MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Eksploitasi Buruh Perempuan Melalui Perampasan Cuti Haid

Pengantar[1]
Hak cuti haid diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Pasal 81 menyatakan:
(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan
kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[2]
Umum diketahui, meski sudah diakui dalam peraturan perundangan, tidak mudah mendapatkan hak cuti haid. Perempuan dipaksa untuk memperlihatkan surat keterangan dokter atau dipaksa memperlihatkan pembalutnya bahwa dirinya haid dan jenis-jenis pemeriksaan lainnya. Umum  diketahui pula, jika perempuan mengambil hak cuti haid, akan dituduh memanfaatkannya masa cutinya untuk keperluan lain, semisal berlibur. Sekilas alasan tersebut tampak benar. Namun, jika diperhatikan keyakinan tersebut bermula dari nafsu mengontrol dan mengendalikan buruh perempuan. Bagaimana pelaksanaan hak cuti haid di tempat kerja? Apa yang melandasi hak alamiah perempuan tersebut sulit realisasikan?
Tulisan ini menelusuri dan menggambarkan pemenuhan hak cuti haid di tempat kerja di perusahaan garmen, tekstil, kertas, penambangan batu bara, makanan, dan jasa di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Selatan dan Riau. Sumber utama tulisan ini adalah peraturan perundang-undangan, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama (PKB) sebanyak 21 perusahaan. Penelitian ini dilengkapi dengan observasi, korespondensi, dan wawancara mendalam dengan informan dengan buruh perempuan dan para pegiat perburuhan.
Gambaran Hak Cuti Haid dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan
UUK Pasal 81 Ayat 1 menyatakan bahwa pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Ayat (2) kemudian menjelaskan terkait pelaksanaan teknis yang menyatakan bahwa pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[3]
Bunyi ketentuan pasal tersebut sangat jelas, yaitu buruh perempuan merasakan sakit karena haid pada hari pertama dan kedua serta memberitahukan, tidak diwajibkan bekerja. Jika tidak memenuhi dua unsur tersebut dipastikan hak cuti haid tidak dipenuhi. Dengan demikian, cuti haid merupakan hak yang bersyarat. Selain itu, tergambar pula bahwa dasar utama pelaksanaan cuti haid bukan atas haid, tapi karena sakit yang akibat haid melalui mekanisme pemberitahuan. Haid tidak lagi dianggap sebagai peristiwa alamiah perempuan dewasa yang berulang dan tetap.
Proposisi selanjutnya dari ketentuan Pasal 81 Ayat 2 adalah ketentuan pelaksanaan cuti haid yang tertunda karena membutuhkan peraturan teknis untuk melaksanaannya. Sayangnya pengaturan teknis tersebut bukannya memberikan jalan kemudahan karena mengandaikan dua pihak yang setara, pada posisi yang tidak setara.[4] Hak cuti haid diperlihatkan sebagai hak alamiah yang melekat dan secara otomatis dapat dipenuhi, tapi bersyarat dan dapat dinegosiasikan.
Permasalahan utama yang menyebabkan nihilnya perlindungan terhadap buruh perempuan untuk menjalankan cuti haid adalah UU Ketenagakerjaan yang menegaskan lepas tangannya negara dalam memberikan perlindungan. UU Ketenagakerjaan yang disahkan pada 25 Maret 2003 tersebut secara resmi menggantikan Undang-Undang Kerdja Nomor 12 Tahun 1948 (Undang-Undang Kerdja).[5]
Berbeda dengan UU Ketenagakerjaan, mengenai hak cuti haid UU Kerdja Pasal 13 Ayat 1 menggunakan struktur kalimat lebih tegas, yakni: buruh perempuan tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid. Secara langsung, UU Kerdja menggunakan “perlindungan afirmatif” karena kewenangan melarang bekerja adalah majikan. Ketika buruh perempuan memberitahukan dirinya sedang haid, majikan tidak boleh memerintahkan buruh perempuan untuk bekerja. Artinya buruh perempuan tersebut diberi kebebasan untuk memilih sesuai kemauannya sendiri untuk melakukan pekerjaan atau tidak –tanpa melalui prosedur administratif yang menyulitkan.[6] Lebih jauh UU Kerdja memberikan isyarat kuat bahwa cuti haid adalah hak yang melekat tanpa syarat pada buruh perempuan, yang kewajibannya tertangguh kepada majikan bukan tertangguh pada mekanisme pemberitahuan ataupun negosiasi di tingkat perusahaan.
Perbandingan di atas memperlihatkan bahwa terjadi perubahan karakter undang-undang dari yang bersifat melindungi kaum lemah menjadi membiarkan kaum lemah bertarung dengan kaum kaya.  

“Karakter pokok dari liberalisasi itu adalah menihilkan, bahkan menghilangkan sama sekali peran negara. Liberalisasi justru memberikan ruang bagi pengusaha membangun penafsiran subjektif mengenai kondisi syarat-syarat kerja yang diinginkan. Pada akhirnya buruh akan dipaksa berhadap-hadapan dengan pengusaha. Dalam situasi buruh dan serikat, cenderung belum terorganisir dengan baik, syarat dan kondisi kerja versi pengusaha itu akan terus dipertahankan.”[7]

Sebenarnya, perubahan karakter undang-undang tersebut tidak terlepas dari campur tangan lembaga-lembaga internasional semacam Dana Moneter Internasional (IMF/International Monetery Fund). IMF berkepentingan mengubah peraturan perundangan agar lebih ramah terhadap kekuatan modal. Dorongan mengubah perubahan peraturan perundangan atau deregulasi tersebut terjadi sejak 1970-an di belahan dunia, ketika kelas kapitalis mengalami krisis overakumulasi. Kala itu, modal memerlukan ladang-ladang baru untuk menggandakan kapitalnya melalui berbagai mekanisme penguasaan teritorial untk seperti ekspor modal, mesin, bahan baku, menguasai bisnis-bisnis baru, dan sebagainya. Di Indonesia, skema global tersebut terjadi pada pertengahan 1990. Saat itu, kapital keuangan internasional bersepakat dengan Soeharto menandatangani hutang baru yang dikompensasikan dengan perubahan peraturan perundangan.
Salah satu poin surat kesepakatan (LoI/Letter of Intent) Soeharto dengan IMF menyebutkan:

“Following the major reform of the rights of association and union activity in 2000, modernization of complementary labor legislation relating to industrial relations has become a priority. A bill relating to labor protection has now been passed, and we are working closely with Parliament to ensure that the other bill in this area, on industrial dispute resolution, is enacted during the first half of 2003. We are working with labor and business to ensure that the laws strike an appropriate balance between protecting the rights of workers, including freedom of association, and preserving a flexible labor market.”[8]

Ideologi yang mendasari bahwa hak sebagai sesuatu yang bisa dinegosiasikan dan bersyarat, mengandaikan buruh dan pengusaha setara, serta tidak memerlukan intervensi negara untuk melaksanakannya, merupakan karakter umum dari liberalisme. Corak liberal dalam peraturan perundangan ditandai dengan semakin besarnya kekuasaan modal mengatur pasar tenaga kerja. Peraturan perundangan mengabdi pada mekanisme pasar, yakni lentur dan menguntungkan modal.[9]
Watak liberal pengaturan hak cuti haid pada akhirnya ditanggung oleh buruh di tempat kerja bukan oleh negara. Di lapangan, kesulitan-kesulitan tersebut dialami para pengurus serikat buruh. Para pengurus serikat buruh merasakan secara langsung bahwa negosiasi pelaksanaan hak cuti haid tidak mudah.

“Dampaknya ruang pertarungan tidak seimbang antara serikat dengan pengusaha dan seandainya serikat tidak kuat maka habislah buruhnya,”[10]

Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jumisih menyatakan bahwa kondisi sekarang jauh lebih berat; pasal mengenai cuti haid menjadi lentur dan pelaksanaan di tempat kerja ditentukan oleh persepsi pihak yang lebih kuat, yaitu pengusaha.

“Dulu (sebelum 2003), cuti haid itu posisinya sama seperti cuti tahunan yang harus dipenuhi oleh pengusaha dan ada sanksinya kalau dilanggar”[11]

Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Eny Rofiatul menjelaskan bahwa pelaksanaan aturan hak cuti haid dipengaruhi persepsi masyarakat yang bias gender dan tidak memahami kesehatan reproduksi dan pada akhirnya pemberi kerja menerjemahkan peraturan teknis di tempat kerja menjadi sangat diskriminatif.[12]

Cuti Haid dan Patriarki di Serikat Buruh 
Dengan diserahkannya pelaksanaan hak cuti haid dalam peraturan di tempat kerja, mengasumsikan adalah adanya aktor-aktor yang memiliki kesadaran mengenai pentingnya hak cuti haid bagi buruh perempuan. Sayangnya asumsi tersebut terbantah, karena mendirikan serikat buruh dan bernegosiasi secara bebas dan setara bukan perkara mudah. Sudah menjadi rahasia umum untuk mendirikan serikat buruh dan dapat bernegosiasi dengan bebas, para buruh sering diperhadapkan dengan ancaman pemecatan, bahkan dicurigai akan membangkrutkan perusahaan.
Meski dapat mendirikan serikat buruh dan dapat bernegosiasi, tidak berarti hak cuti haid menjadi salah satu prioritas perundingan. Hak-hak perempuan seringkali dimaknai hanya sebagai masalah perempuan bukan bagian integral dari program perjuangan serikat buruh.

“Kepedulian serikat buruh –bahkan di kalangan serikat buruh yang selama dikenal progresif– terhadap isu cuti haid sangat rendah. Kalau range nilainya 1-10, kepedulian mereka hanya sekitar 3-5 saja.”[13]

“Pengurus serikat buruh tidak paham bahwa salah satu tugas mereka adalah melakukan pendidikan berkaitan dengan hak kesehatan reproduksi. Mereka tidak pernah mensosialisasikan hak cuti haid pada anggotanya karena menganggap haid bukan isu penting.”[14]

Pengurus Serikat Buruh PT Lematang Coal Lestari (LCL) Sumatera Selatan Muchammad Farid mengatakan bahwa pengurus serikat buruhnya tidak melakukan sosialisasi kepada anggota terkait hak cuti haid. Alasannya karena PKB masih baru dan serikat masih fokus pada agenda kenaikan upah. Kondisi itu membuat buruh perempuan tidak paham cuti haid sehingga sedikit sekali yang mengambil hak cuti haid.[15]
Pernyataan-pernyataan di atas terkonfirmasi. Dari 21 buku PKB atau PP yang diteliti, ditemukan fakta-fakta sebagai berikut:[16]

  1. Pasal cuti haid di dalam PKB/PP sama persis dengan pasal yang ada di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa pengurus serikat buruh tidak paham proses penyusunan PKB. Seharusnya pasal di dalam PKB nilainya lebih tinggi dibandingkan undang-undang. Apabila isinya sama persis, tidak perlu menyusun PKB.
  2. Pasal cuti haid di dalam PKB/PP disalin dari PKB serikat buruh lain. Kondisi ini disebabkan pengurus serikat buruh tidak memiliki inisiatif untuk merumuskan pasal cuti haid sesuai dengan kondisi di tempat kerja.
  3. Pasal cuti haid di dalam PKB/PP tidak pernah disosialisasikan kepada anggota. Hal ini menunjukkan bahwa pengurus serikat buruh menganggap cuti haid bukan sebagai prioritas yang harus disosialisasikan secara serius kepada anggota. Mereka beranggapan bahwa cuti haid tidak lebih penting dibandingkan masalah pengupahan, kontrak dan outsourcing, dan isu lainnya.
  4. Pasal cuti haid di dalam PKB/PP lebih bagus dibandingkan Undang-Undang Ketenagakerjaan, tetapi tidak pernah dilaksanakan. Kondisi ini terjadi karena serikat buruh mencantumkan pasal mengenai cuti haid sebatas untuk memenuhi persyaratan audit yang dilakukan oleh buyer, suplier, atau untuk mendapatkan dokumen sertifikasi.
  5. Pasal cuti haid di dalam PKB/PP lebih rendah dibandingkan undang-undang. Kejadian ini menunjukkan bahwa serikat buruh tidak memahami prinsip PKB harus lebih tinggi dibandingkan dengan undang-undang.
  6. Pasal cuti haid di dalam PKB/PP menyatakan bahwa buruh yang sedang haid cukup memberitahukan kepada perusahaan dan dinyatakan sebagai izin tidak bekerja karena sakit, apabila pada hari ketiga masih sakit bisa diperpanjang. Meskipun upahnya tidak dipotong, klausul ini merugikan buruh perempuan karena “keterangan sakit” pada akhir tahun akan diakumulasi dan berpengaruh terhadap penilaian kerja.

Berdasarkan Catatan Akhir Tahun Lembaga Bantuan Hukum (Catahu LBH) Jakarta 2017, ada 223 pengaduan kasus perburuhan atau 4.565 pencari keadilan. Dari seluruh pengaduan tersebut tidak ditemukan pengaduan terhait hak cuti haid. Cerita yang sama diungkapkan dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK). [17]  
Tersisihnya cuti haid dalam perjuangan serikat buruh karena watak patriarki membayangi serikat buruh. Patriarki di serikat buruh mewujud dalam gagasan, keberpihakan, program kerja, dan perspektif.[18] Karena itu sangat penting bagi serikat buruh memahami prinsip kesetaraan gender dan hak-hak buruh perempuan. “Metodenya dapat dilakukan melalui pendidikan kesetaraan gender dalam serikat buruh.”[19]
Hak Cuti Karena Haid, Anugerah yang Dirampas Pemodal
Pengalaman buruk yang menimpa buruh perempuan ketika mengalami haid berlangsung secara sistematis. Problem terbesar yang terjadi di tempat kerja tentu saja ruwetnya birokrasi yang harus dilalui buruh perempuan ketika mengambil hak cutinya. Untuk mengambil cuti haid, buruh perempuan harus berhadapan dengan mandor, HRD, dan klinik perusahaan demi selembar surat dokter sebagai persyaratan untuk tidak bekerja. Selembar surat dokter itu merepresentasikan berbagai ketidakadilan yang dialami buruh perempuan.
Berikut adalah pola umum tidak dipenuhinya hak cuti haid:

  1. Ketika cuti hadi, upah dipotong dengan alasan tidak bekerja atau no work no pay atau biaya pemeriksaan tersebut dipotong dari dana BPJS milik buruh.
  2. Membayar sendiri biaya periksa ke dokter untuk mendapatkan surat sakit. Hal ini dilakukan karena tidak ada klinik di tempat kerja atau menghindari pemeriksaan dari dokter perusahaan yang mempersulit pemberian surat dokter.
  3. Cuti haid diganti uang, tetapi jumlahnya lebih rendah dari upah per hari.
  4. Cuti haid diganti dengan satu pack pembalut yang harganya lebih rendah dibandingkan upah per hari.
  5. Buruh kontrak yang cuti haid –dengan menyerahkan surat sakit dari dokter– mendapatkan penilaian kinerja yang tidak bagus sehingga kontraknya tidak diperpanjang.

Bukan hanya merampas hak cuti haid. Di tempat kerja, perempuan-perempuan yang mengambil haknya untuk cuti haid dilabeli negatif. Umumnya, perempuan-perempuan yang mendiskusikan untuk mendapatkan hak cuti haid dianggap manja, malas dan produktivitasnya rendah. Stereotipe atau pelabelan negatif ini diberikan pada buruh perempuan dengan tujuan untuk memberikan efek jera. Buruh yang tidak masuk bekerja meskipun dengan alasan cuti haid mendapatkan stempel sebagai buruh yang malas dan produktivitasnya rendah.

“Cap sebagai pemalas dan tidak produktif itu sangat menakutkan karena itu artinya kontrak kerja tidak akan diperpanjang.”[20]

Selain label sebagai pemalas, buruh perempuan juga merasa malu untuk membahas haid secara terbuka karena menganggap bahwa darah haid kotor, tidak pantas dibicarakan secara terbuka dan merupakan hal privasi.
Kenyataan bahwa cuti haid dianggap sebagai isu nomor dua diketahui dengan berbagai fakta, antara lain: perusahaan tidak melakukan sosialisasi hak cuti haidnya pada buruh (tidak diberi buku PKB/PP), cuti haid bukan isu utama serikat buruh, pengurus serikat buruh tidak paham isu kesehatan reproduksi, termasuk cuti haid.
Pengurus Serikat Pekerja Sekuriti (SPS) Rusmalahati menceritakan pengalamannya berkaitan dengan beban ganda yang dialaminya. Selama lima belas tahun bekerja, Mala selalu mengambil cuti haid karena menurutnya itu hak yang harus diambil. Namun, meskipun dirinya sedang cuti, tak mungkin terbebas dari pekerjaan rumah tangga.
Lapisan lain yang ditemukan ketika buruh perempuan dipaksa bekerja ketika haid.

  1. Psikologis buruh perempuan diserang oleh mandor, HRD, atau supervisor dengan cara: dimaki, dibentak, dihukum berdiri di depan line produksi, tidak diberi pekerjaan.
  2. Diperiksa oleh satpam, atasan, atau dokter klinik untuk membuktikan sedang haid atau diminta menempelkan kapas pada alat kelamin untuk membuktikan adanya darah haid.
  3. Dipaksa bekerja meskipun merasakan sakit, nyeri, deman, dan bahkan sampai pingsan.
  4. Diberi obat pereda sakit, meskipun tidak tahu jenis obat tersebut.
  5. Waktu istirahat pendek sehingga kesulitan untuk ganti pembalut dan tidak tersedia cukup air bersih di kamar mandi untuk membersihkan haid.

Utamakan Keuntungan Perusahaan, Lupakan Kesehatan Buruh
Dokter Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Lelitasari Danukusumo menyebutkan, 62,7 persen perempuan Indonesia mengalami nyeri ketika haid dan menjadi kendala ketika beraktivitas. Karena itu, Buruh perempuan yang bekerja, mengalami haid, dan kemudian cuti adalah sesuatu yang normal, wajar, normatif, dan tidak melanggar hukum. Tidak ada yang salah dengan semua siklus itu. Lalu di mana sumber permasalahannya sehingga permasalahan itu sedemikian kompleks? Kenapa mereka harus dipaksa tetap bekerja, padahal mereka mengalami sakit yang luar biasa?
Ketika buruh perempuan mengalami siklus haid, berbagai cara dilakukan perusahaan agar si buruh tetap bekerja. Ada beberapa modus yang lazim dipakai, pertama, dengan memberikan satu pack pembalut. Langkah ini sebenarnya tidak masuk akal. Karena dalam sehari rerata kebutuhan pembalut mencapai lima. Jika masa haidnya 6 hari maka dibutuhkan 1,5 sampai 2 pack pembalut. Lagi pula, harga satu pack pembalut tersebut nilainya di bawah upah per hari. Jadi buruh dua kali dirugikan.[21]
Kedua, perusahaan memberikan kompensasi pengganti cuti haid sebesar upah sehari, biasa disebut “cuti haid diuangkan”.
Apa yang mendasari pengusaha bersikukuh menghalangi perempuan mengambil hak cuti sampai rela membayarnya? Untuk melihat lebih rinci watak kekerasan untuk mengakumulasi keuntungan, ada baiknya kita melihat kembali hubungan waktu kerja, jumlah produksi dan keuntungan perusahaan.
Berikut gambarannya. Pada 2012, perusahaan pembuat sepatu Adidas, Mizuno dan Specs di Tangerang mempekerjakan 2000 orang buruh dan 75 persen atau sebanyak 1500 adalah buruh perempuan. Dalam sejam memproduksi 100 pasang sepatu. Harga sepasang sepatu di pasaran Rp 1,3 juta. Saat itu, Upah Minimum Kota Tangerang Rp 1.381.000 per bulan. Pengertian bulan dalam hitungan produksi pabrik adalah hanya dihitung 25 hari kerja. Artinya upah per hari adalah Rp 55.240.
Perhitungan uang yang bisa diselamatkan oleh pengusaha adalah:

1. Total produksi sepatu dalam sebulan:
100 pasang sepatu per jam x 7 jam bekerja x 25 hari kerja = 17. 500 pasang.
17.500 pasang sepatu : 2000 buruh = Dalam sebulan seorang buruh dapat menyelesaikan sepatu secara utuh sebanyak 8,75 pasang sepatu.
8,75 pasang sepatu x Rp 1,3 juta (UMK) = Rp 11.375.000
Uang yang dihasilkan per buruh per hari: 11.375.000 : 25 = Rp 455.000

2. Ketika cuti haid, pengusaha uang pengganti cuti haid Rp 55.240. Cara perhitungannya seperti ini:
[Rp. 455.000 – (2 hari cuti haid x Rp. 55.240)] x 1.500 buruh perempuan = Rp 516. 780.000 juta per bulan atau Rp 6. 201. 360.000 per tahun.

3. Dengan membayar uang cuti haid, perusahaan dapat menyelamatkan keuntungan Rp 6. 201. 360.000. Angka tersebut atau setara dengan uang untuk membayar upah buruh perempuan sebanyak 1. 500 buruh perempuan selama tiga bulan sebesar UMK Rp 1.381.000 selama 3 bulan.[22]

Demikian, hubungan antara kekerasan melalui perampasan cuti haid dan target produksi di tempat kerja. Ilustrasi di atas hanya berlaku bagi perusahaan yang menguangkan cuti haid, namun banyak perusahaan tidak rela mengeluarkan sepeser pun untuk membayar cuti haid apalagi mengizinkannya cuti.[23]
Buruh perempuan mengalami ketidakadilan yang berlipat-lipat,[24] karena industri telah menciptkan sexual divison of labor yang baru yaitu pekerjaan ringan di industri padat karya yang penuh limbah dengan upah murah.[25] Karena itu, tidak ada lagi alasan bagi serikat buruh untuk mengabaikan hak-hak perempuan. Mesti ada upaya kuat bahwa hak perempuan di tempat kerja dan di rumah merupakan masalah bersama yang harus diperjuangkan bersama.
_____________________________
[1] Tulisan ini merupakan ringkasan dari Tugas Ujian Akhir Semester Gasal Mata Kuliah Hukum Dalam Masyarakat (HDM) di Sekolah Tinggi Hukum Jentera Jakarta, 2017. Judul asli tulisan ini adalah Cuti Haid dan Lingkaran Eksploitasi Terhadap Buruh Perempuan di Tempat Kerja: Studi Kasus Pelaksanaan Cuti Haid Perusahaan Sektor Garmen Dan Tekstil, Kertas, Penambangan Batu Bara, Makanan, dan Jasa di Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Selatan dan Riau).
[2] Lihat Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Ketenagakerjaan Republik Indonesia. 
[3] Lihat Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 Ketenagakerjaan Republik Indonesia. 
[4] Ruth Indiah Rahayu, “Ruht Indiah Rahayu: Feminisasi Dunia Kerja Menguntungkan Kapitalis”, https://indoprogress.com/2013/08/ruth-indiah-rahayu-feminisasi-dunia-kerja-menguntungkan-kapitalisme/, diakses pada 26 Oktober 2017. 
[5] Lihat Undang-undang Kerja Nomor 12 tahun 1948. 
[6] Serbukindonesia.org, “Membangun Indonesia: Mulai dengan Penuhi Cuti Haid Bagi Perempuan Buruh”, http://serbukindonesia.org/pub/membangun-indonesia-mulai-dengan-penuhi-cuti-haid-bagi-perempuan-buruh/, diakses pada 23 Oktober 2017. 
[7] Berdasarkan Hasil Wawancara melalui email dengan Herdiansyah Hamzah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur. 
[8] http://www.imf.org/External/NP/LOI/2003/idn/01/index.htm. Diakses pada 19 Desember 2017. Terjemahan bebasnya sebagai berikut: “Setelah mereformasi pengaturan hak berserikat dan berunding pada 2000, prioritas lainnya adalah melengkapi pengaturan hubungan industrial. RUU yang berkaitan dengan perlindungan tenaga kerja sudah dilakukan, dan kami bekerja sama dengan Parlemen untuk memastikan bahwa undang-undang tersebut dapat dibahas, mengenai penyelesaian perselisihan industrial, dapat diundangkan pada paruh pertama tahun 2003. Kami bekerja dengan buruh dan pebisnis untuk memastikan bahwa undang-undang tersebut mencapai keseimbangan yang tepat antara melindungi hak-hak pekerja, termasuk kebebasan berserikat, dan melestarikan pasar tenaga kerja yang fleksibel.”
[9] Dr. Agusmidah, S.H., M.HUM, Dilematika Hukum Ketenagakerjaan, Tinjauan Politik Hukum, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2011), hlm. 8. 
[10] Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Lilis Mahmudah, Pengurus DPP Konfederasi Serikat pekerja Nasional (KSPN) pada 8 Desember 2017 di Jakarta, pukul 19:35. 
[11] Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Jumisih, Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) pada 9 Desember 2017, di Jakarta, pukul 14:3 
[12] Berdasarkan Hasil Wawancara melalui email dengan Eny Rofiatul, Pengacara Publik Lembaga Banytuan Hukum (LBH) Jakarta 
[13] Wawancara dengan Domin Damayanti, Peneliti dari Institute Solidaritas Buruh Surabaya (ISBS) pada 12 Desember 2017, di Jakarta. 
[14] Wawancara dengan Mimmy Kowel, Koordinator Decent Work Working Group (DWWG) melalui email. 
[15] Wawancara dengan Muchammad Farid, Pengurus Serikat Buruh PT Lematang Coal Lestari pada 16 November 2017 di Gunung Raja, Muara Enim, Sumatera Selatan. 
[16] Resume naskah PKB/PP dari berbagai perusahaan terkait pengaturan hak cuti haid di perusahaan. Sebanyak 20 PKB diteliti untuk mengetahui pengaturan cuti haid di perusahaan yang berasal dari sektor: garmen, elektronik, kimia dan farmasi, kertas, penambangan batu bara. 
[17] Wawancara dengan Iit Rahmatin, Advokat Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) pada 3 Januari 2018 di Jakarta. 
[18] Wawancara dengan Jumisih, Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) pada 9 Desember 2017, di Jakarta, pukul 14:36. 
[19] Wawancara melalui email dengan Vivi Widyawati, Aktivis Perempuan Mahardika, Jakarta. 
[20] Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Domin Damayanti, Peneliti dari Institute Solidaritas Buruh Surabaya (ISBS) pada 12 Desember 2017, di Jakarta, pukul 19:45. 
[21] Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Domin Damayanti, Peneliti dari Institute Solidaritas Buruh Surabaya (ISBS) pada 12 Desember 2017, di Jakarta, pukul 19:47. 
[22] Simulasi perhitungan ini dilakukan bersama dengan Syarif Arifin dalam wawancara di Kantor LIPS Bogor pada 15 Desember 2017 
[23] Bambang T. Dahana. Abu Mufakhir, Syarif Arifin, “Darimana Pakaianmu Berasal? Upah dan Kondisi Kerja Buruh Industri Garmen, Tekstil dan Sepatu di Indonesia, 2016”, (Yogyakarta: Tanah Air Beta, 2016.) 
[24] Prof. Dr. Agnes Widanti, “Hukum Berkeadilan Jender Aksi Interaksi Kelompok Buruh Perempuan dalam Perubahan Sosial”, (Jakarta: Kompas, 2005), hlm. 5. 
[25] Prof. Dr. Agnes Widanti, “Hukum Berkeadilan Jender Aksi Interaksi Kelompok Buruh Perempuan dalam Perubahan Sosial”, (Jakarta: Kompas, 2005), hlm. 9.
___________
Daftar Pustaka
Bambang T. Dahana, Abu Mufakhir, Syarif Arifin. Darimana Pakaianmu Berasal? Upah dan Kondisi Kerja Buruh Industri Garmen, Tekstil dan Sepatu di Indonesia, 2016. Yogyakarta: Tanah Air Beta, 2016.
Dr. Agusmidah, S.H., M.HUM. Dilematika Hukum Ketenagakerjaan, Tinjauan Politik Hukum. Jakarta: PT. Sofmedia, 2011.
Jurnal Perempuan edisi 41. Seksualitas. Jakarta: Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan. 2005.
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Insist Press, 2016.
Maria Mies. Patriarchy and Accumulation on a World Scale: Women in the International Division of Labour. London & New York: Zed Books, 1986.
Michele Ford and Lyn Parker. Women and Work in Indonesia. London: Taylor & Francis e-Library, 2008.
Prof. Dr. Agnes Widanti. Hukum Berkeadilan Jender Aksi Interaksi Kelompok Buruh Perempuan dalam Perubahan Sosial. Jakarta: Kompas, 2005.
Prof. Dr. Agnes Widanti. Hukum Berkeadilan Jender Aksi Interaksi Kelompok Buruh Perempuan dalam Perubahan Sosial. Jakarta: Kompas, 2005.
Rosemarie Putnam Tong. Feminisme Thouhgt. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, 2005.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Lihat Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Ketenagakerjaan Republik Indonesia.
Lihat Undang-Undang Kerja Nomor 12 tahun 1948.
WAWANCARA
Berdasarkan Hasil Wawancara melalui email dengan Herdiansyah Hamzah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur.
Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Lilis Mahmudah, Pengurus DPP Konfederasi
Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Jumisih, Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) pada 9 Desember 2017, di Jakarta.
Berdasarkan Hasil Wawancara melalui email dengan Eny Rofiatul, Pengacara Publik Lembaga Banytuan Hukum (LBH) Jakarta.
Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Domin Damayanti, Peneliti dari Institute Solidaritas Buruh Surabaya (ISBS) pada 12 Desember 2017, di Jakarta.
Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Muchammad Farid, Pengurus Serikat Buruh PT Lematang Coal Lestari pada 16 November 2017 di Gunung Raja, Muara Enim, Sumatera Selatan.
Berdasarkan Hasil Resume naskah PKB/PP dari berbagai perusahaan terkait pengaturan hak cuti haid di perusahaan. Sebanyak 20 PKB diteliti untuk mengetahui pengaturan cuti haid di perusahaan yang berasal dari sektor: garmen, elektronik, kimia dan farmasi, kertas, penambangan batu bara.
Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Iit Rahmatin, Advokat Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) pada 3 Januari 2018 di Jakarta.
Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Tuti Nurkhasanah, Staff Perpustakaan STHI Jentera, Jakarta. Wawancara dilakukan di Jakarta pada 8 Desember 2018.
Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Heti Susanti, Buruh Pabrik Garmen di Bogor melalui komunikasi dengan WhatsApp pada 20 November 2017.
INTERNET
Mif19.tea’s.Blog. “Haid, Nifas Dan Istihadoh Perspektif Al-Qur’an, Hadis Dan Fiqih,” Kamuskesehatan.com. diakses pada 23 Oktober 2017. https://miftah19.wordpress.com/2013/02/06/haid-nifas-dan-istihadoh-perspektif-al-quran-hadis-dan-fiqih/.
Lihat Kamus Kesehatan, http://kamuskesehatan.com/arti/menstruasi/.
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Arti Haid.” Kbbi.we.id. diakses pada 29 Oktober 2017. https://kbbi.web.id/haid,
Serbukindonesia.org. “Membangun Indonesia Mulai Dengan Penuhi Cuti Haid Bagi Perempuan Buruh.” Serbukindonesia.org. diakses pada 23 Oktober 2017. http://serbukindonesia.org/pub/membangun-indonesia-mulai-dengan-penuhi-cuti-haid-bagi-perempuan-buruh/.
Ardhanaryinstitute.org. “Yuk Belajar Memahami Feminisme.” Ardhanaryinstitute.org. diakses pada 20 Desember 2017. http://ardhanaryinstitute.org/index.php/2016/04/20/yuk-belajar-memahami-feminisme/.
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.web.id/habituasi. Diakses pada 30 Oktober 2017.
Indiah, Ruth Rahayu. “Ruht Indiah Rahayu: Feminisasi Dunia Kerja Menguntungkan Kapitalis.” Indoprogress.com. diakses pada 26 Oktober 2017. https://indoprogress.com/2013/08/ruth-indiah-rahayu-feminisasi-dunia-kerja-menguntungkan-kapitalisme/.
http://www.imf.org/External/NP/LOI/2003/idn/01/index.htm. Letter of Intent, Memorandum of Economic and Financial Policies, and Technical Memorandum of Understanding Diakses pada 19 Desember 2017.
Serbukindonesia.org. “Membangun Indonesia: Mulai dengan Penuhi Cuti Haid Bagi Perempuan Buruh.” Serbukindonesia.org. diakses pada 23 Oktober 2017. http://serbukindonesia.org/pub/membangun-indonesia-mulai-dengan-penuhi-cuti-haid-bagi-perempuan-buruh/.