MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Emak-emak Militan (5): Pengorganisasian, bukan keanggotaan otomatis

Gambar: pernak-pernik aksi piket Mingguan dan Kamisan buruh PT PDKB. (Foto: SBGTS GSBI PT PDK)

Syarif Arifin

“Emak-emak ini terbagi dua. Ada yang bekerja dan ada yang tidak. Emak-emak PDK ini sudah teruji. Banyak pengalaman yang didapat,” kata Kokom. Bagaimana perempuan pembuat sepatu Adidas dan Mizuno itu berpartisipasi di organisasi?
Berhadapan dengan represi yang rumit metodologi pembangunan serikat buruh diuji. Rerata pendidikan perempuan tersebut sekolah menengah atas, sisanya adalah sekolah menengah pertama dan tamatan sekolah dasar. Lama-tidaknya sekolah formal memang tidak memiliki korelasi dengan keberanian melawan. Namun, berpengaruh terhadap kerangka pendidikan dan pengorganisasian yang dilaksanakan oleh serikat buruh.
Rupanya kegiatan pendidikan tidak dibatasi dengan belajar peraturan perundangan. Mereka belajar teknik menulis, mempelajari ekonomi-politik, dan sebagainya. Selain itu, “Untuk meningkatkan pengetahuan teman-teman yang relatif baru mengenal organisasi, aku mengadakan training membuat surat, mengoperasikan komputer, memimpin rapat, cara bernegosiasi, dan banyak hal lain,” cerita Kokom.
“Sedikit demi sedikit saya belajar banyak hal. Bukan hanya semakin memahami kasus yang dihadapi, saya pun belajar mengoperasikan komputer, belajar penelitian, belajar menyusun agenda, dan lain-lain. Di serikat ini saya mengetahui bahwa buruh, tani dan mahasiswa pada dasarnya kaitannya sangatlah erat. Saya pun sering mengikuti aksi-aksi petani. Aksi kami pun sering mendapatkan solidaritas dari petani dan mahasiswa,” kisah Muryanti.
Muryanti adalah salah satu buruh PDKB yang terlibat pascapemogokan. Setelah diusir dari kontrakan pada September 2015, Muryanti disambut hangat dan dipersilakan tinggal di Sekretariat. Saat ini Muryanti tinggal di Yogyakarta. Secara rutin ia mendukung perjuangan kawan-kawannya dengan menyumbang gambar untuk kampanye media sosial.
Sebenarnya, kantor serikat buruh yang didiami kawan-kawan Kokom telah menghancurkan makna kantor pada umumnya. Umumnya, operasi kantor terikat jam kerja dan hanya melayani perkara ketenagakerjaan. Kali ini tidak. Di beberapa kesempatan saya menyaksikan beberapa anggota yang sekadar mampir, membuat kopi, ngobrol, lalu pulang. Ada pula anggota yang datang untuk berkonsultasi kasus kemudian membuat perencanaan bersama. Fungsi kantor serikat buruh, rupanya telah menjadi tempat belajar, rumah tinggal, sekaligus pusat kegiatan organisasi.
Bagaimana serikat buruh dibangun? Pengalaman Atik Sunaryati menarik untuk dicermati. Sebelumnya Atik Sunaryati pernah bekerja di tempat lain dengan serikat berbeda. Ketika perusahaan mengalami pailit, Atik yang telah bekerja sebelas tahun hanya menerima Rp 700 ribu dari hasil penjualan mesin. Setelah itu, Atik menyimpulkan berserikat itu omong kosong.
Keyakinan Atik luntur ketika bekerja di PT PDKB. Dengan berbagai kesulitan yang dihadapi di tempat kerjanya, sekali waktu ia mengisi waktu luangnya dengan menghadiri pertemuan pendidikan. ‘Iman’ Atik goyah, ketika pembicara dalam pertemuan itu dengan menanyakan kondisi kerja, tentang hak cuti dan hak izin meninggalkan pekerjaan.
“Setelah penjelasan panjang lebar mengenai kondisi kerja yang aku alami, aku berpikir mungkin ini organisasi serikat buruh yang berbeda dengan yang dulu aku pernah di Koryo. Membuat aku berpikir, mungkin aku harus gabung dengan organisasi ini,” jelas Atik. Setelah itu Atik malah mengajak teman-temannya untuk masuk ke organisasi tersebut.
Pengalaman Atik memperlihatkan model perekrutan yang relatif berbeda dengan serikat buruh pada umumnya. “Kawan-kawan yang bertahan ini sebagian besar adalah yang melewati pendidikan sebelum adanya mogok. Memang ada juga yang ikut pendidikan waktu itu dan kemudian menyerah. Tapi pendidikan dan jumlah anggota itu penting untuk menyiapkan serikat buruh yang kuat, ” jelas Kokom Januari 2017.
Pada umumnya, pembentukan serikat buruh diawali dengan kasus. Orang yang dirundung kasus disarankan mendirikan serikat buruh. Ketika berdiskusi tentang kasus, pertemuan akan didominasi dengan sejumlah peraturan perundangan. Tentu saja buruh akan ‘terbakar’ karena baru mengetahui bahwa hak-haknya tidak dipenuhi perusahaan. Tak jarang pengorganisasian melalui kasus ini bertemu dengan buruh yang sudah berserikat, sehingga kerap menimbulkan masalah baru di antara serikat buruh.
Ada pula model pendirian serikat buruh karena melihat atau mengetahui para pemimpin serikat buruh tampil berani dan selalu menang dalam menyelesaikan kasus. Dalam model ini buruh datang mendaftarkan diri untuk menjadi bagian dari serikat buruh. Maksud kedatangannya agar mendapatkan perlindungan dari serikat buruh. Jika kasus menimpa, bisa dimenangkan.
Ada pula model yang sudah ketinggalan zaman, tapi digemari oleh sebagian pemimpin serikat buruh yang malas. Yaitu, pengorganisasian buruh melalui manajemen atau melalui asosiasi pengusaha. Praktiknya, bisa dilakukan oleh pengurus tingkat pusat, cabang atau tingkat pabrik. Pengurus cabang cukup datang ke manajemen sebuah perusahaan. Manajemen kemudian memilih siapa saja yang berhak menjadi pengurus serikat buruh. Ada pula praktik sebaliknya. Manajemen datang ke serikat buruh cabang atau pusat dan meminta dibuatkan serikat. Praktik yang terakhir ini biasanya terjadi untuk memenuhi permintaan buyer. Kode etik bisnis pakaian jadi merek internasional umumnya menyaratkan bahwa pabrik pemasok barang harus menghormati hak-hak buruh, termasuk kebebasan berserikat.
Pengorganisasi buruh melalui manajemen dilakukan pula di tingkat pabrik. Biasanya pengurus akan mendata di bagian mana saja buruh yang belum bergabung, kemudian meminta manajemen ‘menserikatkan’ buruh tersebut.“Kami melakukan pendekatan kepada manajemen agar buruh kontrak yang baru masuk perusahaan didaftarkan menjadi anggota serikat,” kata salah seorang ketua serikat buruh tingkat pabrik di Kabupaten Bekasi, Maret 2011.
Model perekrutan melalui manajeman tersebut mewabah di periode 1980-an, disebut dengan ‘keanggotaan otomatis’. Salah satu landasannya dapat ditemukan dalam pikirannya Iman Soepomo.
“Ciri khas masyarakat Pancasila… , berlainan dengan dengan masyarakat liberalisme pada umumnya, tidak mengenal semacam closed shop agreement yang berarti orang harus menjadi anggota organisasi buruh untuk memperoleh pekerjaan atau semacam union shop agreement yang berarti orang tanpa menjadi anggota serikat buruh dapat memperoleh pekerjaan, tetapi dalam waktu singkat setelah diangkat harus menjadi anggota,” kata Iman Soepomo (1997). Saya menekankan kalimat terakhir. Itulah yang menjadi salah satu pijakan munculnya keanggotaan otomatis di serikat buruh. Ketika calon buruh masuk pabrik dan menjadi buruh, otomatis menjadi anggota serikat.
Dengan model ‘keanggotaan otomatis’, buruh jarang mengetahui dirinya telah ‘diserikatkan’. Ia menyadari telah berserikat ketika mengetahui slip upahnya dipotong untuk iuran serikat atau menerima instruksi agar mengikuti kegiatan serikat buruh, seperti demonstrasi. Karena tidak semua buruh memiliki ketelitian melihat slip upah dan kebetulan kegiatan serikat buruh hanya untuk pengurus, tak jarang terdapat buruh tidak mengetahui bahwa dirinya telah ‘diserikatkan’ dan upahnya dipotong. Saat ini memang ada perkembangan baru bahwa pemotongan iuran mesti menyertakan surat kuasa dari buruh. Tentu  saja terdapat perbedaan tajam antara pemenuhan administrasi hukum dengan kerangka membangkitkan dan merawat kesadaran buruh.
Menurut saya pengalaman Atik di atas penting dicermati, yakni tentang keluhan harian mewujud dalam tubuh organisasi. Barangkali itu pula yang menjadi perekat anggota dengan serikat buruh. Keluhan-keluhan harian buruh di tempat kerja menjadi framing umum keberadaan dan keharusan melawan pengusaha yang kejam. Keluhan umum itu tidak ditempatkan sebagai persoalan individu, melainkan menjadi bahan pendidikan dan terdokumentasi dalam tulisan dan kronologi kasus.
Keluhan-keluhan itu pun tidak sekadar ‘dirantai’ dalam bunyi peraturan perundangan, melainkan menjadi pernyataan dan sikap organisasi: kami sebagai buruh yang ditindas melawan pengusaha dan pemilik merek sebagai pihak yang rakus dan sombong. Negara harus turun tangan menyelesaikan kasus tersebut. Itulah yang memunculkan yel-yel, lagu, tulisan dalam spanduk dan poster.
Pada kegiatan Indonesia People’s Tribunal: Upah dan Kondisi Kerja yang Layak bagi Buruh Garmen sebagai Hak Fundamental, 21-24 Juni 2014 di Jakarta, sebagai ketua umum serikat buruh PT PDKB, Kokom dengan lantang mengatakan bahwa latar belakang pemogokan dan berdirinya serikat buruh adalah buruknya kondisi kerja, dan kemudian ditambah dengan kekurangan pembayaran upah minimum.
“Sistem tersebutlah yang membuat buruh tersiksa, tertekan dan dibayangi ketakutan. Strategi produksi tersebut membuat buruh tidak memiliki waktu untuk meninggalkan pekerjaan. Buruh yang mencoba meninggalkan pekerjaan karena keperluan cuti, bahkan untuk keperluan ibadah, mengambil air minum dan ke kamar mandi akan menyebabkan pekerjaan bertumpuk. Tak hanya itu. Target produksi tersebut ditopang dengan mengetatkan disiplin kerja oleh mandor dan supervisor. Buruh-buruh yang dianggap lambat bekerja akan dikenai hukuman berupa bentakan, caci maki hingga pemecatan. Buruh yang diketahui tidak masuk kerja karena sakit atau izin lainnya akan dikenai hukuman berdiri di depan line selama 1 jam,” jelas Kokom dihadapan 300-an peserta sidang dari berbagai serikat buruh di Indonesia, India, Eropa, dan Amerika Serikat.
Bagaimana serikat buruh dibangun? Setelah dinyatakan mengundurkan diri, para pemimpin serikat buruh mengubah siasat pengorganisasian. “Sejak aksi pertama itu, setiap hari sampai bulan Oktober kami menggelar aksi. Setiap hari tanpa henti. Setiap hari pula selama aksi aku dan kawan-kawan berkumpul,” cerita Kokom.
“Kami membagi anggota berdasarkan tempat tinggalnya… Dalam pertemuan itu, tidak hanya buruh saja yang hadir, melainkan anggota keluarga juga,” tambah Kokom.
“Koordinasi dilakukan antara pengurus dengan Korwil atau pengurus mendatangi Korwil. Tiap Korwil membawahi kelompok. Jika di wilayah sudah ada yang bekerja di pabrik dibentuk komite pabrik,” jelas Kokom Juni 2013 lalu.
Di setiap wilayah akan dipilih Koordinator Wilayah (Korwil). Korwil menjadi penghubung antara pengurus harian dengan anggota. Selain terlibat dalam merencanakan dan memutuskan agenda-agenda organisasi, Korwil pun bertugas menyampaikan informasi-informasi baru dari anggota kepada pemimpin organisasi maupun sebaliknya. Tiap wilayah mengadakan pertemuan rutin seminggu atau dua minggu sekali. Pertemuan rutin di tingkat Korwil menjadi penting. Jika tidak ada pertemuan, Korwil sekadar nama atau klaim mengatasnamakan anggota.
Korwil pun bertugas mengumpulkan dana organisasi. Per orang dikenai Rp 10 ribu per bulan. Iuran itu di luar kebutuhan lain, seperti sewa kantor dan demonstrasi besar. Semua uang itu dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan organisasi.
Selain pemimpin mendatangi tempat tinggal anggota, terkadang keluarga buruh datang ke kantor serikat buruh. “Aku sering mengajak Emak ke sekretariat, supaya paham dan tahu apa yang dikerjakan anaknya. Sesekali di waktu rapat Koordinator Wilayah Emak aku ajak, jadi dia melihat bagaimana anaknya memberikan propaganda ke anggotanya,” tulis Atik.
Umumnya ikatan anggota dengan pengurus serikat buruh berbasis perusahaan dan individual. Antara pengurus dengan anggota terdapat penghubung atau perantara, dengan nama yang berbeda; Korlap (Koordinator Lapangan), Bakor (Badan Koordinasi), PA (perwakilan anggota), dan sebagainya. Semua aktivitas organisasi seringkali dipusatkan di pengurus bahkan ada yang dipusatkan di tingkat cabang. Situasi tersebut merupakan penyumbang terbesar kesenjangan pengurus dan anggota. Karena tidak ada upaya menghidupkan pertemuan di bawah, tak jarang inisiatif anggota mengadakan pertemuan dicurigai sebagai ‘rombongan liar’.
Serikat buruh mengubah strategi pengorganisasian dari yang berbasis individu berdasarkan perusahaan menjadi berbasis wilayah tempat tinggal dan melibatkan keluarga. Dengan anggota di atas 300 orang dan tersebar di tempat yang berbeda, jenjang organisasi demikian mempermudah konsolidasi ketimbang dilakukan secara terpusat. Selain itu, ada pula situasi yang mendorong pengorganisasian keluarga ketika sejumlah anggota merasa kesulitan melakukan konsolidasi karena hambatan keluarga. Pengorganisasian wilayah memecahkan dua hal sekaligus, yaitu persoalan anggota dengan keluarga atau mendekatkan organisasi ke keluarga dan merekatkan ikatan antar anggota di satu wilayah yang sama.
Bagaimana iuran dilaksanakan? Iuran dalam bentuk uang dilakukan secara langsung. Iuran dalam bentuk barang dilakukan tidak menentu. Sementara ini iuran seringkali dikonotasikan dengan membayar uang, bahkan dinyatakan sebagai ‘serikat buruh modern’ jika pemotongan iuran dilakukan dengan model Check of System (CoS).
CoS merupakan model penarikan uang oleh staf manajemen perusahaan dari upah buruh dan disetor ke serikat buruh. Model penarikan ini sama dengan pemotongan upah buruh untuk membayar asuransi kesehatan, yaitu dipotong secara langsung. Kebersediaan manajemen menyetujui penarikan iuran melalui CoS seringkali dianggap sebagai bagian dari kemenangan kebebasan berorganisasi.
Tidak diketahui dengan pasti awal mula CoS dianggap sebagai bagian dari langgam organisasi. Pengalaman saya di tiga pabrik memperlihatkan bahwa model penarikan CoS ini berakibat buruk ketika serikat buruh berseberangan dengan perusahaan. Ketika serikat buruh membutuhkan dana perjuangan, keuangan ‘disandera’ perusahaan. Dengan model CoS pula, sebenarnya, perusahaan dapat mengetahui dan mengukur kekuatan serikat buruh.
Sulit diperkirakan apakah dua bulan mendatang kasus PT PDKB akan mengakhiri kasusnya atau memperhebat perlawanannya. Tugas utama perempuan-perempuan tersebut nyaris tidak berakhir, bagaimana merawat kesadaran anggota untuk mengatasi persoalan harian sekaligus mengarahkan perlawanan pada eksploitasi dan kontrol pemilik modal. Dengan kecanggihan serangan pemilik modal dan kelenturan hubungan kerja, saya kira serikat-serikat buruh lain pun berhadapan dengan situasi yang sama, bangunan serikat buruh yang kian tidak relevan menghadapi lindasan modal. Pertanyaan yang selalu menggoda, ketika pemilik perusahaan kabur, apakah cukup sekadar membicarakan hak-hak buruh sesuai peraturan perundangan atau ada cara lain?
 
Bahan bacaan
Abdullah, Fauzi. Catatan Reflektif tentang Kebebasan Berserikat, dalam Memetakan Gerakan Buruh: Antologi Tulisan Mengenang Fauzi Abdullah. Arifin, Syarif. Dkk (edi). LIPS dan Sawit Watch. 2012
Arifin, Syarif. Perempuan dan Serikat Buruh. 2015. Majalah Sedane.
Suziani, Jenny dan Arifin, Syarif. 2016. Keadilan Buruh di PHI?. 2015. Majalah Sedane.
Muryanti. 12 -16 Juli 2012: Saya, Pemogokan dan Serikat, dalam, Buruh Menuliskan Perlawanannya. Dahana, Bambang. Dkk (ed.). Bogor. LIPS dan TAB. 2015
Kronologi Kasus Panarub Dwikarya. Dokumentasi Kasus SBGTS GSBI PT PDK.
Agustini, Erni. Buruh Perempuan dan Organisasi Buruh Pasca-Reformasi: Kasus Pimpinan Unit Kerja Perusahaan Elektronik di Kawasan Cibitung Bekasi, dalam Bertahan Hidup di Desa atau Tahan Hidup di Kota: Balada Buruh Perempuan. Women Research Institute. 2008
Sunaryati, Atik. Bertahan Hidup dan Terus Melawan, dalam Menolak Tunduk: Cerita Perlawanan dari Enam Kota. Tim LIPS (ed.). Bogor. LIPS dan TAB. 2016.
Komalawati, Kokom. Aku si “Malaikat Pencabut Nyawa”, dalam Menolak Tunduk: Cerita Perlawanan dari Enam Kota. Tim LIPS (ed.). Bogor. LIPS dan TAB. 2016.
Symth, Ines dan Grijns, Mies. Unjuk Rasa atau Protes Sadar?: Strategi-strategi Perlawanan Buruh Perempuan Indonesia, dalam Gelombang Perlawanan Rakyat: Kasus-kasus Gerakan Sosial di Indonesia.  Kusuma, N dan Agustina, Fitri. (Peny). Yogyakarta. Insist. (2003)