MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Permasalahan Pekerja Migran Indonesia di Belanda

Yasmine Soraya
 
Pendahuluan
Sebut saja Febri, mahasiswi asal Indonesia lulusan Master Hukum Publik Internasional Universitas Erasmus Rotterdam. Awal 2007, ia kembali ke Belanda untuk internship di Court of Sierra Leone, pengadilan khusus yang dibentuk sementara untuk menangani kasus di Sierra Leone. Febri menjalani internship selama enam bulan yang lalu. Kontrak internship-nya diperpanjang untuk 6 bulan ke depan. Awal 2008 Febri diangkat menjadi staf. Meski demikian, kontrak yang ia dapatkan hanya setahun. Pada akhir 2008, kontrak kerja Febri diperpanjang kembali untuk tiga tahun ke depan. Febri, sebagai migran di Belanda merasa lega bahwa ia dapat meneruskan kerja.
Sebenarnya, setiap akhir kontrak, perasaan was-was selalu menghantui Febri. Apabila kontrak kerja tidak diperpanjang berarti Febri harus segera mencari pekerjaan lain. Bila tidak menemukan pekerjaan, ia harus kembali ke Indonesia.
Lain halnya dengan Manik. Manik perawat asal Indonesia yang mengikuti program kerja di Belanda. Ia mendapatkan kesempatan bekerja selama tiga tahun. Kontrak kerjanya kemudian diperpanjang setahun. Manik diwajibkan untuk kembali ke Indonesia karena kontrak kerjanya telah habis dan tidak memiliki izin tinggal. Untuk mendaftar izin tinggal tetap/permanen pun Manik belum memenuhi syarat. Syaratnya wajib tinggal sekurang-kurangnya lima tahun di Belanda. Tetapi Manik tidak ingin kembali ke Indonesia. Manik memutuskan bekerja di Belanda tanpa memiliki dokumen izin tinggal dan izin kerja.
Demikian beberapa contoh mengenai pekerja migran Indonesia yang datang ke Belanda dan memiliki permasalahan dengan status imigrasi mereka. Pekerja migran Indonesia adalah warga Indonesia yang bermigrasi ke negara lain untuk hidup dan bekerja di Negara tersebut dalam waktu singkat maupun panjang. Pekerja migran Indonesia ini bekerja di berbagai sektor formal maupun informal. Sebagai pekerja migran, melekat kepada mereka persoalan status keimigrasiannya. Hal inilah yang menghambat pekerja migran hidup dengan aman dan tentram. Tentang status imigrasi para pekerja migran ini penting untuk diangkat ke permukaan, karena selalu luput dari pembicaraan isu pekerja migran dan terkadang tidak dianggap sebagai bagian dari permasalahan pekerja migran.
Artikel ini selain akan mengulas mengenai pekerja migran Indonesia di Belanda, juga akan mengulas mengenai latar belakang atau alasan awal bermigrasi, permasalahan-permasalahan yang ditemui di lapangan, termasuk status imigrasi mereka. Diharapkan artikel ini dapat memberikan gambaran mengenai pentingnya melihat sudut pandang keimigrasian dalam menangani isu pekerja migran.
 
Gambaran Umum Pekerja Migran di Belanda
Lebih dari empat juta pekerja Indonesia yang bermigrasi ke negara lain.[1] Jumlah tersebut tercatat antara tahun 2006-2012 bagi pekerja yang terdaftar secara resmi. Bagi yang bermigrasi secara tak resmi, belum tercakup dalam jumlah tersebut. Dalam laporan ILO dinyatakan bahwa jumlah pekerja migran tak resmi bisa mencapai dua sampai empat kali jumlah di atas. Ini termasuk juga pekerja Indonesia di Belanda yang berjumlah cukup banyak, resmi maupun tak resmi.
Belanda menjadi negara tujuan utama di Eropa bagi pekerja Indonesia, selain Itali.[2] Hal ini terutama disebabkan hubungan emosional yang terjadi sejak zaman kolonial dan banyaknya orang Indonesia yang tinggal di Belanda. Pekerja Indonesia di Belanda hadir sejak 1970-an.[3] Jumlah mereka meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data Komisi Pemilihan Umum, jumlah warga negara Indonesia (WNI) di Belanda yang tercatat oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag sebanyak 16,088 jiwa,[4] yang terdiri dari pelajar, pekerja profesional, wisatawan dan permanent resident.[5]
Pekerja Profesional di antaranya datang untuk tinggal setelah diundang dan menerima pekerjaan dari perusahaan-perusahaan atau organisasi Internasional di Belanda. Beberapa pekerja Indonesia lainnya datang atas dasar MoU (Memorandum of Understanding) alias perjanjian bilateral antara Indonesia dengan Belanda, seperti perawat Indonesia yang datang dan bekerja di Belanda. WNI yang lain datang untuk studi dan meneruskan tinggal untuk mendapat pekerjaan. Belanda memberikan kesempatan satu tahun bagi para mahasiswa asing lulusan universitas di Belanda untuk tinggal dengan visa zoekjaar.
Ada pula pekerja Indonesia yang datang dan menetap karena menikah atau berpatner dengan Warga Negara Belanda. Setelah mendapatkan izin tinggal dengan pasangan, secara otomatis WNI tersebut menerima izin kerja. Dengan izin tersebut mereka mencari pekerjaan. Grup WNI lain yang merupakan pekerja Indonesia di Belanda adalah pekerja tanpa dokumen yang tak memiliki izin tinggal maupun izin kerja. Biasanya pekerja tanpa dokumen ini masuk ke Belanda sebagai pekerja musiman di Pasar Malam maupun Tong Tong Fair, sebagai turis Belanda maupun Negara Eropa lainnya dan juga sebagai ABK (Anak Buah kapal).
Kebanyakan dari pekerja tanpa dokumen bekerja di sektor domestik sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang kerjanya berdasarkan jam kerja dan melakukan pekerjaan bervariasi dari membersihkan, memperbaiki bangunan rumah, menjaga anak dan atau orangtua, memasak, menyetrika dan lain sebagainya. Selain di sektor domestik, pekerja tanpa dokumen bekerja juga di sektor perkebunan, pabrik, jasa, kesehatan, dan lain-lain.
 
Status Imigrasi Pekerja Migran di Belanda
Para pekerja migran di Belanda biasanya bekerja di sektor formal maupun informal. Pekerja Indonesia yang bekerja pada sektor formal umumnya menerima undangan untuk bekerja atau diterima bekerja di perusahaan-perusahaan atau organisasi Internasional. Perizinan kerja dan tinggal biasanya diurus oleh perusahaan atau organisasi tersebut. Setelah pengurusan izin selesai, pekerja datang ke Belanda dan bekerja sesuai dengan kontrak yang telah disepakati.
Bagi yang memiliki izin tinggal karena menetap di Belanda entah dengan patner atau pun dengan izin tinggal permanen, tidak terlalu memiliki kekhawatiran dengan status imigrasi mereka apabila terjadi putus hubungan kerja. Pekerja ini bisa dengan mudah mencari pekerjaan lain. Meski demikian, terdapat beberapa permasalahan. Bagi pekerja formal kontrak, berarti mereka bekerja dan tinggal di Belanda selama kontraknya berlaku. Apabila kontrak kerjanya habis, mereka wajib kembali ke negara asalnya. Hal ini terjadi pada perawat seperti Manik yang mengikuti program G to G (Government to government) berdasarkan MoU antara Indonesia dan Belanda. Para perawat ini diberikan kesempatan kurang lebih tiga tahun untuk tinggal dan bekerja di Belanda. Persyaratan tiga tahun ini untuk menghindari para perawat memiliki izin tinggal permanen yang bisa dimintakan setelah lima tahun tinggal di Belanda. Alhasil setelah kontrak kerja selesai, para perawat diharapkan kembali ke negara asalnya. Bila pun menetap maka akan bekerja tanpa memiliki dokumen izin tinggal dan izin kerja.[6]
Contoh lainnya terjadi kepada Febri. Febri bekerja di organisasi internasional yang berkedudukan di Belanda seperti di International Criminal Court (ICC), International Court of Justice (ICJ), dan lain-lain. Karena pembentukan pengadilan tersebut bersifat sementara (oleh Perserikatan Bangsa-bangsa/PBB), para pekerjanya pun bekerja berdasarkan kontrak dan tidak pernah menerima kontrak tetap. Mereka selalu dihantui rasa was-was di setiap akhir kontrak.
Demikian pula dengan pekerja migran dengan system Visa Blue Card.[7] Sejak 2009, Eropa telah mengakui visa Blue Card yang diberikan kepada pekerja berketerampilan tinggi (high skilled) untuk datang dan bekerja di Eropa selama dua tahun. Setelah itu mereka dapat meneruskan pekerjaan bila kontraknya diperpanjang. Bila kontraknya tidak diperpanjang, mereka memiliki kesempatan selama tiga bulan untuk mencari pekerjaan lain. Salah satu keuntungan visa Blue card ini adalah pekerja dapat dengan bebas mencari pekerjaan di seluruh Negara Uni Eropa. Hanya saja menurut penelitian HIT Foundation, praktik di Belanda, visa Blue Card ini tidak mudah diberikan pada migran dengan keterampilan tinggi dan hanya diberikan kepada pekerja yang bekerja di kantor cabang perusahaan Belanda untuk datang dan bekerja di Belanda dengan jangka waktu sementara.
Tentang ketergantungan para pekerja pada status keimigrasian, dijelaskan oleh Professor Boonstra dalam seminar sehari mengenai Labour Migration, Labour Market and Labour Rights, 2013 di Den haag.[8] Menurut Boonstra, hukum imigrasi Belanda tidak membolehkan seorang migran bekerja tanpa izin kerja, dan izin tinggal melekat pada izin kerja tersebut.[9] Izin kerja bagi migran pun tidak diberikan kepada pekerja melainkan kepada perusahaan/pemberi kerja yang mengundang pekerja migran tersebut. Karena itu, pekerja migran pun terikat dengan pemberi kerja mereka terkait dengan izin kerja dan izin tinggalnya. Situasi ini, sebenarnya, dapat dengan mudah menimbulkan eksploitasi serta tindakan sewenang-wenang dari pemberi kerja. Para pekerja migran yang diundang datang ke Belanda pun hanya merupakan pekerja dengan keterampilan tinggi (atau yang dikenal dengan kennismigrant) untuk bekerja di sektor formal dan hanya diundang apabila tidak adanya tenaga kerja di Belanda atau Uni Eropa yang dapat mengisi lowongan tersebut. Maka dari itu tidak ada pengiriman pekerja ke Belanda untuk sektor informal atau domestik seperti pengiriman tenaga kerja ke Arab Saudi maupun Negara-negara Asia lainnya.
Permasalahan pekerja migran dan status imigrasinya pun terjadi pada penduduk migran yang tinggal dan menetap di Belanda. Bagi WNI yang menetap di Belanda secara resmi mereka turut memiliki izin kerja. Hanya saja bagi yang menetap berdasarkan dengan alasan hidup bersama pasangan, izin tinggal dan izin kerja ini tergantung kepada pasangan selama lima tahun pertama (sebelum dikeluarkannya izin tinggal permanen/tetap). Peraturan ini keluar sejak terjadinya ‘pernikahan pura-pura’ dengan warga negara Belanda yang dipergunakan para migran untuk dapat tinggal dan bekerja di Belanda. Dengan aturan tersebut, para migran ini memiliki ketergantungan kepada pasangannya. Hal ini pun dapat menyebabkan pelecehan dan eksploitasi dari pasangan tersebut. Apabila mereka bercerai ataupun pasangan meninggal sebelum migran mendapatkan izin tinggal tetap, otomatis ia kehilangan izin tinggal dan izin kerjanya.
Permasalahan lain ditemui pula oleh grup mahasiswa lulusan universitas Belanda yang diberikan kesempatan setahun untuk mencari pekerjaan dengan visa zoekjaar. Dengan situasi krisis keuangan yang melanda Belanda dalam beberapa tahun terakhir, mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang studi pun menjadi sulit khususnya bagi para migran. Alhasil, banyak mahasiswa lulusan universitas Belanda bekerja di bidang informal seperti sebagai pekerja kebersihan/cleaning service, pekerja HORECA (Hotel Restauran dan Café), pekerja domestik atau PRT. Hal ini menyebabkan terbuangnya kemampuan yang mereka miliki (brain waste). Apabila dalam satu tahun zoekjaar mereka tidak mendapatkan pekerjaan yang sesuai maka kebanyakan dari mereka kembali ke Indonesia.
Pekerja domestik atau PRT di kota-kota besar di Indonesia biasanya dilakukan oleh  orang-orang yang bermigrasi dari desa. Begitu juga di Belanda. Pekerja domestik kebanyakan adalah orang-orang pendatang. Bedanya, bukan dari desa melainkan dari negara-negara Eropa Timur, Afrika maupun Asia. Dengan kata lain, pekerja domestik di Belanda ini adalah orang-orang migran. Hal ini tak berarti bahwa tak ada orang-orang Belanda yang bekerja di sektor domestik seperti bersih-bersih, menjaga anak, orang jompo, dan lainnya. Tentu ada, tetapi biasanya dilakukan di sektor formal seperti thuisverzorg(st)ers, huihoudelijkehulps, interieurverzog(st)ers, gasthouders  atau yang resmi di panti jompo dan tempat penitipan anak dan lain-lain. Sedangkan bekerja sebagai pekerja domestik secara informal lebih diminati oleh pendatang-pendatang migran.
Migran yang bekerja di sektor domestik ini memiliki status keimigrasian yang beragam. Mereka dapat datang sebagai penerima suaka, pengungsi, karena menikah atau ber-partner, melakukan studi di Belanda, berlibur atau pun untuk bekerja musiman (sementara).
Untuk penerima suaka dan pengungsi pemerintah memiliki program yang wajib dilakukan oleh mereka untuk berintegrasi dengan masyarakat Belanda. Mereka pun mendapatkan tunjangan hidup atau yang disebut sebagai uitkering. Uitkering ini tak banyak, tapi cukup untuk hidup. Banyak penerima uitkering mencoba untuk mendapatkan uang tambahan. Tapi mereka melakukannya secara diam-diam. Bila diketahui pemerintah bahwa mereka bekerja dan mendapat uang, tunjangannya akan dibatalkan, dapat dikenai denda, bahkan dicabut izin tinggalnya. Maka itu, kebanyakan dari mereka bekerja di sektor informal, sebagai pekerja domestik.
Lain halnya dengan Au pair. Au pair bukan merupakan pekerja.[10] Au pair adalah program pertukaran budaya di mana anak-anak muda dapat datang ke Belanda/Eropa untuk mempelajari bahasa dan budaya. Para Au pair datang dan tinggal bersama keluarga angkat/host family. Dalam mempelajari budaya, mereka wajib membantu orangtua angkat untuk mengurus rumah, anak dan melakukan kerja ringan selama 8 jam sehari dan maksimal 30 jam seminggu. Mereka tidak mendapatkan upah tetapi mendapatkan uang saku. Banyak keluarga angkat yang menyalahgunakan program Au pair untuk mendapatkan pekerja domestik atau PRT murah. Eksploitasi jam kerja di mana mereka bekerja lebih dari 30 jam seminggu banyak terjadi pada au pair. Juga pada tugas yang harus mereka lakukan. Setelah masa program au pair banyak yang tetap tinggal tanpa dokumen untuk bekerja sebagai pekerja domestik. Hal ini juga terjadi pada beberapa perawat, mahasiswa, serta penduduk yang izin tinggal serta izin kerjanya telah habis masa berlakunya tetapi tetap tinggal di Belanda untuk terus bekerja tanpa dokumen.
Pekerja tanpa dokumen lain yang berniat bekerja di sektor domestik datang melalui cara-cara kerja musiman pada pasar malam dan atau tong tong fair, dengan visa turis atau pun visa Anak Buah Kapal (ABK). Amin Mudzakir menjelaskan bahwa para pekerja tanpa dokumen ini terbagi menjadi tiga golongan: Pertama,  yang tertipu oleh iming-iming agen, di mana dijanjikan pekerjaan oleh agen tenaga kerja dengan biaya Rp 50 sampai 75 juta rupiah. Saat keberangkatan dan paspor diberikan, ternyata bervisa turis. Sesampainya di Belanda tidak ada pekerjaan bahkan tidak ada tempat tinggal yang dijanjikan.
Kedua, pekerja yang sadar tidak memiliki visa kerja tetapi tetap berangkat demi mencari penghidupan yang lebih baik. Ketiga, pekerja yang berangkat ke Belanda melalui undangan keluarga, au pairs, maupun pernikahan.[11] Cara-cara ini diambil karena seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa tidak ada pengiriman tenaga kerja ke Belanda untuk sektor informal atau domestik. Nyatanya, pasar sektor ini amat besar. FNV Bondgenoten, serikat buruh terbesar di Belanda, memperkirakan bahwa terdapat seratus ribu rumah tangga membutuhkan pekerja domestik. ILO sendiri menyatakan bahwa saat ini terdapat enam ribu pekerja domestik di Belanda.[12]
Pekerja tanpa dokumen terdiri dari beberapa tipe.[13] Di antaranya; (a) imigran tanpa dokumen baik yang bekerja atau tidak aktif secara ekonomi, (b) imigran tanpa dokumen yang bekerja secara resmi (pada era tahun 90-an), (c) imigran legal yang bekerja illegal (seperti pencari suaka yang tak memiliki izin kerja dan mahasiswa yang bekerja secara gelap – kebanyakan pada sektor domestik, (d) imigran dengan visa overstayer yang bekerja illegal atau tidak aktif secara ekonomi, dan (e) anak dari imigran tanpa documen baik yang bekerja maupun tidak. Pekerja Indonesia dikategorikan pada tipe (d) dan sebagian pada tipe (b), (c), dan (e).
Sebagai pekerja tanpa dokumen, posisinya lebih rentan dibanding dengan pekerja-pekerja yang telah disebutkan di atas. Tak hanya rentan eksploitasi, tetapi juga penyiksaan, perdagangan manusia, jual beli kerja, penipuan oleh agen dan lain sebagainya.
Kebanyakan pekerja domestik, mendapatkan upah sebesar 10 Euro per jam. Ada juga yang memberi 12,50 Euro termasuk transpor. Di tahun 2005, FNV melakukan studi dan menyimpulkan bahwa upah rata-rata pekerja domestik adalah 8.90 Euro per jam.[14] Tetapi banyak sekali pekerja yang tidak mendapatkan upah yang seharusnya dan dibayar sangat rendah. Selain itu dengan status imigrasi tanpa dokumen, para pekerja rentan eksploitasi jam kerja yang panjang, tak memiliki hari libur, tak mendapatkan tunjangan sakit, dan perlindungan dari Pemutusan Hubungan Kerja /PHK yang tak adil. Kondisi tanpa dokumen pun menghalangi para pekerja untuk membayar pajak penghasilan sehingga tidak mendapatkan pensiun di hari tua.
Saat ini serikat buruh Belanda FNV Bongenoten bersama dengan jaringan kerja bernama RESPECT dan organisasi-organisasi migran lainnya mengadakan kampanye yang mengusahakan agar pekerja migran di sektor domestik dilegalkan. Kendalanya, Belanda telah memiliki peraturan di mana sektor ini diperuntukkan hanya untuk orang-orang yang telah memiliki izin tinggal dan izin bekerja saja, tidak untuk migran. Dengan sistem zzp (zelfstandig zonder personeel) freelancer atau wiraswasta, pekerja yang telah memilik izin tinggal dan izin kerja dapat bekerja secara formal pada sektor ini, membayar pajak dan menerima upah. Jadi sebenarnya sistem ini tidak terbuka untuk migran atau bahkan mendatangkan migran untuk bekerja di sektor domestik seperti yang terjadi di Arab Saudi atau pun di Negara-negara lain di Asia. Alhasil, banyak pekerja yang bekerja di sektor ini tidak resmi alias kerja gelap atau zwartwerk, tidak membayar pajak dan mendapatkan upah, termasuk bagi yang telah memiliki izin tinggal.
Untuk menghindari kerja gelap/zwartwerk, pemerintah Belanda melalui Kementrian Kesejahteraan Sosial membentuk Komisi (Komisi Kalsbeek). Komisi ini mengusulkan untuk mengikuti sistem yang telah dianut oleh Belgia untuk para pekerja domestik. Sistem tersebut adalah dengan menggunakan servis cek. Servis cek ini dapat dibeli di firma jasa kebersihan oleh para pengguna jasa seharga 12,50 Euro dan diberikan kepada pekerja untuk satu jam kerja. Servis cek ini lalu dikembalikan ke firma jasa kebersihan yang akan menambahkan subsidi pemerintah sebesar 7,50 Euro untuk setiap ceknya guna membayar pekerja untuk pajak, tunjangan sosial dan asuransi.[15] Sistem tersebut memberikan solusi pekerja untuk mendapatkan hak sosial mereka. Hanya saja sistem tersebut tidak memberikan solusi bagi para pekerja tanpa dokumen untuk melegalkan posisi mereka dan mendapatkan izin kerja dan izin tinggal.
Bagi para pekerja Indonesia tanpa dokumen, mereka juga memiliki permasalahan perlengkapan dokumen. Para pekerja tanpa dokumen yang habis masa berlaku passpornya, tidak bisa memiliki paspor kembali. Alih-alih memberikan paspor, KBRI Den Haag memberikan Surat Perjalanan Laksana Passpor (SPLP). SPLP ini tidak terlalu dikenal sebagai ID oleh masyarakat Belanda. Pada akhinya, banyak pekerja migran tanpa dokumen tidak memiliki dan tanpa ID. Mereka menjadi lebih rentan di antara yang rentan. Para pekerja ini tidak bisa mengirimkan uang melalui lembaga jasa pengiriman uang yang formal, maka muncullah perorangan yang menawarkan jasa pengiriman. Hal ini riskan karena tanpa jaminan apabila uang tak sampai. Selain itu, tanpa ID, para pekerja sulit untuk mengidentifikasikan diri mereka apabila mengalami sakit dan harus ke dokter maupun ke rumah sakit. Hal yang paling merugikan pun yaitu kesulitan ID/dokumen pada saat legalisasi. Hal ini terjadi di Saudi Arabia pada akhir tahun lalu.[16]
Pemerintah Saudi memberikan amnesti bagi pekerja tanpa dokumen. Pekerja tanpa dokumen ini wajib untuk kembali ke Indonesia dan memproses izin tinggal serta izin kerja resmi. Untuk kembali ke Indonesia, ratusan ribu pekerja tanpa dokumen harus memproses dokumen SPLP. Kurangnya tenaga KJRI untuk melayani ratusan ribu WNI tanpa dokumen tersebut menimbulkan chaos. Pada akhirnya banyak pekerja gagal memenuhi amnesti hingga batas akhir waktu amnesti.
 
Upaya Mengatasi Permasalahan Imigrasi bagi Pekerja Migran
Tidak banyak usaha yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi status imigrasi selain berusaha agar kontrak kerja diperpanjang atau mencari pemberi kerja lain yang dapat menerima kerja dan mengurus izin tinggal dan izin tinggal pekerja migran. Pekerja dengan keterampilan tinggi masih memiliki kesempatan di lain tempat, di Indonesia maupun di negara lain. Mereka bisa mencari pekerjaan di tempat lain. Sedangkan bagi yang kurang memiliki kesempatan dan tak dapat pergi ke tempat lain, seperti pekerja migran domestik tanpa dokumen, mereka melakukan usaha-usaha yang signifikan demi turut mendapatkan kehidupan yang layak.
Beberapa usaha yang dilakukan pekerja Indonesia adalah membentuk perkumpulan/organisasi/serikat pekerja yang dapat membela hak-hak pekerja termasuk pekerja tanpa dokumen. Para pekerja pun bergabung dengan serikat buruh Belanda FNV Bondgenoten yang mengadakan kampanye untuk mengubah kebijakan demi memberikan perlindungan kepada pekerja domestik di Belanda. Bersama dengan grup migran lain, pekerja Indonesia mengadakan kampanye legalisasi penduduk migran tanpa dokumen.
Untuk permasalahan ID, pekerja Indonesia tanpa dokumen mengadakan kampanye paspor sejak tahun 2011 di mana para WNI tanpa dokumen menuntut untuk mendapatkan paspor sebagai pembaharuan paspor dan bukan mendapatkan SPLP karena SPLP menurut undang-undang hanya diberikan bila bertujuan untuk pulang dan paspor hilang. Pihak KBRI Den Haag telah memintakan kebijakan pusat. Sementara menanti kebijakan pusat, pekerja Indonesia tanpa dokumen di Belanda, menggunakan kartu anggota serikat buruh Belanda sebagai kartu ID mereka. Atas permintaan grup migran dari Afrika yang tidak memiliki ID sama sekali, kartu anggota FNV diberikan dengan menggunakan foto diri sebagai identitas.
Selain FNV, organisasi Indonesia pun mengeluarkan kartu anggota mirip seperti paspor Indonesia. Hal ini dilakukan selain sebagai kampanye paspor, juga untuk memberikan informasi bagi para anggotanya, karena buku paspor anggota tersebut berisikan informasi mengenai pengacara dan rumah sakit serta apotek yang dapat dikunjungi para anggota tanpa dokumen apabila mereka menemui kesulitan sakit maupun tertangkap dan ditahan polisi.
Selain itu, para pekerja Indonesia pun turut mendukung ide “satu dunia” yang dicanangkan oleh World Service Authority (WSA). WSA adalah lembaga di Amerika Serikat yang didukung oleh PBB yang menyatakan bahwa pemerintahan di dunia ini hanya satu yaitu Pemerintahan Dunia dan seluruh masyarakat bebas mencari tempat hidup dan bekerja. WSA mengeluarkan paspor dunia sebagai identitas rakyat dan berfungsi sebagai ID. Paspor ini tidak berfungsi untuk menggantikan paspor yang telah dimiliki. Hanya sebagai identitas perseorangan yang mendukung ide satu dunia.
Paspor dunia ini diakui banyak negara sebagai identitas dan dapat digunakan untuk travel keluar (pulang) dengan memintakan visa pada negara yang dituju. Paspor ini pun diakui sebagai ID oleh rumah sakit, dokter ataupun pihak-pihak lainnya.
Sejak awal tahun 2014, Para pekerja tak terdokumentasi di Belanda berhak mendapatkan paspor baru apabila paspor mereka sudah habis masa berlakunya.  Meski demikian, permasalahan baru hadir saat para pekerja yang datang dengan menggunakan data palsu dimana paspor mereka tentunya tidak dapat diperbaharui.
Kesimpulan
Tentunya permasalahan pekerja migran dan status migrasi mereka di atas tidak terlepas dari unsur politik Belanda sendiri mengenai kebijakan imigrasi yang semakin ketat dan hubungan politik serta hubungan ekonomi Belanda-Indonesia. Khususnya dengan krisis keuangan yang melanda Belanda dan Eropa beberapa tahun terakhir. Masuknya migran semakin dipersulit dan kegiatan migran semakin tak tersubsidi (contohnya untuk program integrasi – program wajib pemerintah bagi migran). Keberadaan migran pun selalu juga dikaitkan dengan tingkat kriminalitas. Maka dari itu sejak 2011 muncul proposal untuk mengkriminalisasikan penduduk migran yang melanggar izin tinggal di Belanda. Kriminalisasi tersebut adalah dengan memberikan denda sebesar 3800 Euro dan 4 bulan kurungan detensi. Proposal ini bertujuan untuk mengurangi sebanyak-banyaknya imigran dari Belanda.Tetapi untung saja proposal ini telah dibatalkan tahun 2014.
Selanjutnya, meski hubungan politik ekonomi sosial Belanda – Indonesia semakin membaik – terlihat dari kunjungan perdana menteri Rutte pada akhir tahun 2013, tetapi meski demikian belum dapat membantu dan menyelesaikan permasalahan penduduk dan pekerja migan Indonesia tanpa dokumen yang berada di Belanda. Duta Besar Indonesia Retno Marsudi pernah mengusung legalisasi pekerja migran Indonesia tanpa dokumen, tetapi Pemerintah Belanda tidak dapat hanya memberikan legalisasi kepada pekerja migran Indonesia saja. Mereka juga harus memikirkan migran dari negara lain beserta konsekuensinya.
Pekerja migran dan status imigrasi berkaitan erat satu dan lainnya. Tetapi saat seseorang bekerja dan memiliki ketergantungan akan status imigrasi mereka, tak ada lagi kebebasan bekerja dan hak asasi yang melekat. Status imigrasi terus menerus menghantui pekerja migran untuk mendapat kebebasan bekerja di tempat yang diinginkan dan di bidang/sektor yang sesuai. Eksploitasi pun dapat timbul atas konsekuensi status imigrasi tersebut. Meski demikian kehadiran para pekerja migran terus dibutuhkan pasar kerja. Tanpa adanya pekerja migran, perputaran ekonomi Belanda akan mati. Serikat buruh pun tidak memandang status imigrasi pekerja saat memberikan perlindungan hak pekerja.[17] Hal ini karena pekerja migran telah memberikan kontribusi yang besar sekali, tak hanya untuk negara yang ditempatinya, tetapi juga untuk negara dimana dia berasal.[18]  ***
_________________________
[1] 10 Tahun Menangani Migrasi Kerja di Indonesia, http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—asia/—ro-bangkok/—ilo-jakarta/documents/publication/wcms_213360.pdf.
[2] Mudzakir, Amin, Pekerja Indonesia di Belanda: Studi kasus Pekerja tidak terampil dan Tidak Terdokumentasi, Jurnal Kajian Wilayah, Vol.3 No.1, 2012, Hal. 47-71, @2011, PSDR LIPI, ISSN 2087-2119.
[3] Mudzakir,Amin, Ibid.
[4]http://www.kpu.go.id/dmdocuments/Data_Agregat_WNI.pdf
[5]http://infopublik.kominfo.go.id/read/18985/kemlu–empat-tahun-terakhir-wni-di-negeri-belanda-terus-meningkat.html
[6] Soeleiman, Nelly, Trend Issues Indonesian Labor Migration in the Netherlands, LIPI: http://www.academia.edu/3441735/TREND_ISSUES_INDONESIAN_LABOR_MIGRATION_IN_THE_NETHERLANDS
[7] Soraya, Yasmine ,Migration of Highly Qualified Workers in EU and in the United States: EU Blue Card, the US Green Card, and the Visa  H-1B, LAP LAMBERT Academic Publishing, October 2010.
[8]Berdasarkan laporan Seminar yang dibuat oleh Indonesian Migrant Workers Union (Netherlands), 2013.
[9]kecuali bagi migran yang tinggal dan menetap di Belanda berdasarkan partnership yang akan dijelaskan kemudian.
[10]Riset Indonesia Migrant Workers Union (Netherlands) mengenai Au Pairs, 2013.http://www.imwu-nl.com/AU%20PAIRS.pdf .
[11] Mudzakir, Amin, Op cit.
[12]Mudzakir, Amin, Ibid.
[13]Van der Leun (2003:19), Mudzakir, Amin, Ibid.
[14]Irene and Iuf (2008: 78), Mudzakir, Amin, Ibid.
[15]http://www.dutchnews.nl/news/archives/2014/01/domestic_workers_could_leave_b.php
[16]10 Catatan Penting Proses Amnesti Arab Saudi, http://buruhmigran.or.id/2013/10/17/10-catatan-penting-proses-amnesti-arab-saudi/
[17] Santing, Froukje, WhereWould We Be Without Migrant Workers? A Journalist Essay abour Labour Migration, Exploitation and the role of consumers,IOM, 2010.
[18]Impact of Remittances on Poverty in Developing Countriess, United Nations 2011.