MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Darwin Mariano, WAC – Filipina: Buruh Kontrak Harus Berserikat

lkjlkjlkj


Pengantar

Aktivis buruh Darwin Mariano sehari-hari bekerja di Workers Assistance Center (WAC), organisasi perburuhan yang kantornya terletak sekitar 30 menit perjalanan darat menuju selatan Manila. WAC mulai dibangun pada 1995 oleh Alm. Pendeta Jose Dizon sebagai layanan sosial di gereja setempat. Di kemudian hari Pendeta Dizon mengubahnya menjadi sebuah organisasi non-pemerintah (ornop) di bidang perburuhan. Sebagian besar buruh yang disentuh program pengorganisasian WAC adalah para buruh pabrik. WAC juga menyediakan bantuan hukum misalnya untuk buruh-buruh yang kena PHK atau menghadapi masalah sejenis itu di tempat kerjanya. Selain itu, mereka menyelenggarakan berbagai program pendidikan, contohnya adalah pendidikan gender untuk buruh-buruh di Kawasan Ekonomi Cavite, di Rosario, Propinsi Cavite. Kawasan industri terbesar ini, dimiliki dan dikelola oleh perusahaan publik, menampung 200-300 perusahaan asing dan mempekerjakan 60-70 juta buruh.  Hampir 50 sampai 60 persen buruh di kawasan industri ini adalah buruh perempuan.

Pada Desember 2016 tim redaksi Majalah Sedane berkesempatan berbincang-bincang tentang beberapa isu penting perburuhan di Filipina dengan Darwin Mariano di sebuah acara yang diselenggarakan di Jakarta. Berikut perbincangannya.

Bisakah Bung Darwin menggambarkan sedikit tentang situasi perburuhan di Filipina selama dua sampai lima tahun terakhir?

Sebenarnya saya tidak bisa berbicara tentang Filipina secara keseluruhan tetapi saya bisa bercerita tentang daerah atau wilayah di mana organisasi saya bekerja, yaitu di Kawasan Ekonomi Cavite.

 Pada dua sampai lima tahun terakhir ini, selain melakukan pengorganisasian, kami menghadapi dan berusaha mengurai persoalan maraknya praktik buruh kontrak (kontraktualisasi) di wilayah kami. Sebenarnya, upaya kami melawan kontraktualisasi sudah dimulai sejak tahun 2000.

Kami mendorong dua strategi dalam menghadapi kontraktualisasi khususnya di wilayah kami. Pertama, serikat harus memperjuangkan buruh kontrak di pabrik; dan Kedua, buruh yang bekerja di bawah skema perjanjian kontrak harus menggugat secara hukum terutama melalui undang-undang ketenagakerjaan. Dalam UU Ketenagakerjaan di Filipina, dan peraturan ketenagakerjaan, ada ketentuan yang menyatakan bahwa buruh yang bekerja di sebuah perusahaan selama enam bulan atau lebih dari satu tahun harus diangkat menjadi buruh tetap.

Bagaimana kami melakukan pengorganisasian serikat buruh? Kami punya dua kasus spesifik di mana serikat buruh memperjuangkan buruh-buruh kontrak; meskipun ada jarak waktu sepuluh tahun antara kasus pertama dengan kasus berikutnya. Kasus pertama terjadi awal tahun 2000 ketika kami mendorong pendirian serikat di sebuah pabrik garmen di Kawasan Ekonomi Cavite. Hampir 50 persen buruhnya adalah buruh kontrak. Ketika serikat akhirnya berdiri, buruh kontrak sebenarnya mendukung serikat. Sesudah akhirnya berhasil didaftarkan, serikat mulai memperjuangkan hak buruh, mengupayakan agar buruh kontrak berubah status menjadi buruh tetap. Manajemen perusahaan mengabulkan. Meskipun akhirnya manajemen menutup perusahaan, namun kami masih menganggap ini sebagai salah satu kemenangan terbesar kami dalam melawan skema buruh kontrak di Filipina.

Kasus kedua terjadi tahun 2010 atau sekitar itu. Nama perusahaannya adalah Golden Will Fashion. Kami berhasil mengorganisasikan serikat di perusahaan itu. Pabriknya terletak di kawasan industri lain, namanya First Cavite Industrial Estates (FCIE) di Dasmariñas, sebuah kawasan industri milik swasta. Di sana banyak terdapat buruh garmen yang sudah bekerja di pabrik selama dua, tiga tahun dengan skema kontrak. Kami berhasil menyakinkan buruh untuk menggugat, membawa kasus ini ke pengadilan. Untuk mendesak departemen tenaga kerja agar menyatakan mereka sebagai buruh tetap di perusahaan itu. Berbagai kasus demikian mendapatkan keputusan yang berbeda-beda, karena arbitrase (semacam hakim) ketenagakerjaan yang menangani kasusnya juga berbeda-beda. Tetapi sebagian besar arbitrase ketenagakerjaan memutuskan bahwa buruh-buruh itu harus diubah statusnya menjadi buruh tetap di perusahaan itu. Di saat yang sama, ketika buruh-buruh kontrak sedang menghadapi kasus perubahan status menjadi buruh tetap, kami juga terus mengorganisasikan serikat buruh. Jadi hampir bersamaan, ketika serikat-serikat buruh berdiri dan menang, buruh kontrak juga memenangkan kasus-kasus perubahan status menjadi buruh tetap. Buruh kontrak menjadi buruh tetap, dan memiliki hak untuk memberikan suara dalam pemilihan untuk sertifikasi.

Kemudian perusahaan menunda pelaksanaan keputusan (yang memenangkan serikat). Pada masa itulah,  pemiliknya menutup pabrik dan memindahkannya ke kota lain di Filipina. Menutup perusahaan adalah cara yang paling mudah bagi kapitalis untuk memberangus serikat. Pabriknya tutup begitu saja. Jika mereka menggunakan cara yang lain, buruh bisa saja mogok. Jadi lebih mudah bagi mereka untuk menutup pabrik, dan pindah ke kota atau provinsi lain. Maka,  akan sangat sulit untuk bisa menemukan mereka kembali, untuk mengetahui dengan persis di mana pabrik itu direlokasi, terutama ketika buruh hendak menuntut pesangon dan membawanya ke pengadilan. Dalam kasus Golden Will Fashion, arbiter ketenagakerjaan mengeluarkan keputusan bahwa buruh yang mengadukan kasus ke pengadilan harus dipekerjakan kembali. Tetapi, buruh yang menang kasus itu tidak dapat bekerja kembali karena perusahaan sudah dipindah jauh dari tempat tinggal mereka.

Dan yang kedua, seperti sudah saya katakan sebelumnya, kami melawan skema kontrak dengan melakukan gugatan. Kami berhasil meyakinkan sebagian besar buruh untuk membawa kasus kontraktualisasi ini ke pengadilan, agar mereka mendapatkan status sebagai buruh tetap. Rata-rata buruh sudah bekerja di pabrik sekitar satu sampai dua tahun secara berturut-turut. Kami mendapatkan hasil yang positif. Meskipun akhirnya manajemen mem-PHK mereka, namun mereka masih memenangkan kasusnya. Berdasarkan keputusan pengadilan, mereka harus diangkat menjadi buruh tetap di perusahaan itu, dan tidak bekerja kepada agen outsourcing, dan harus dipekerjakan di perusahaan. Selain itu, perusahaan juga diperintahkan untuk membayar seluruh kewajibannya (bonus, upah, kenaikan upah, upah lembur, dll) dan kerugian lain yang diderita oleh buruh.

Keputusan pengadilan ini memaksa Dae Duck Phillipines Inc. (DDPI), perusahaan Korea yang memproduksi PCB (komponen elektronik) untuk mobil, untuk berdamai dengan buruh. Ketika itu,  ada investor yang akan datang berinvestasi untuk meningkatkan produksi perusahaan. Tetapi investornya mundur, karena kasus yang masih berjalan, yakni kasus yang diajukan buruh ke pengadilan melawan DPPI. Kasus yang ditangani WAC ini, mencakup PHK ilegal dan regularisasi (perubahan status menjadi buruh tetap) yang diajukan buruh melawan DDPI akhirnya terselesaikan.

Mengenai kontraktualisasi, apa yang kami tentang adalah skema ilegal dari labor-only contracting. Skema ini benar-benar ilegal menurut undang-undang ketenagakerjaan Filipina. Departemen Ketenagakerjaan mengeluarkan memo yang disebut Department Order No. 18-A, kalau saya tidak salah, sekitar dua tahun setelah krisis finansial tahun 2008. Departemen Ketenagakerjaan memberikan kesempatan bagi agen-agen outsourcing, labor-only contractor, untuk diakui secara hukum. Departemen ketenagakerjaan menentukan standar/kualifikasi bagi agen-agen ini untuk bisa beroperasi. Departemen Ketenagakerjaan memberikan toleransi kepada labor-only contractor untuk beroperasi asalkan mereka memenuhi persyaratan yang ditentukan.

Kami masih terus berusaha, terus menggugat secara hukum. Pemerintahan baru yang sekarang, meskipun masih kami anggap sebagai retorika saja, mengatakan bahwa mereka akan menghapuskan kontraktualisasi dengan beberapa kompromi. Tetapi dengan kompromi itu, artinya mereka masih akan memberikan toleransi kepada skema kontrak itu. Karena dalam pandangan mereka, jika kontraktualisasi dihapuskan, itu akan memberikan kesan yang buruk tentang Filipina di mata investor, sehingga investor akan pergi. Tapi kami masih berjuang.

Apakah ada perubahan penting dalam Undang-undang Ketenagakerjaan atau peraturan propinsi selama lima tahun terakhir?

Pernah ada rancangan undang-undang yang diajukan ke Kongres untuk mengubah Undang-undang Ketenagakerjaan di Filipina. Tetapi draf ini tidak lolos di tingkat komite. Jika ada revisi Undang-undang Ketenagakerjaan, undang-undang sekarang yang sudah buruk bisa bertambah buruk lagi. Undang-undang Ketenagakerjaan Filipina memang tidak bisa dibilang baik.  Tetapi, yang ini saja belum bisa diterapkan dengan baik. Dalam pandangan kami, undang-undang yang sekarang belum berpihak kepada buruh, seperti halnya Konstitusi Filipina. Kami tidak ingin undang-undang ini direvisi, terutama jika hanya akan menguntungkan dinasti Filipina, pengusaha; karena merekalah yang punya uang untuk melakukan lobi, untuk menentukan peraturan mana yang akan dimasukkan, dan lagi-lagi rakyatlah yang ditinggalkan.

Tolong jelaskan tentang agen labor-only contractor. Apakah itu semacam perusahaan yang memasok buruh outsourcing ke perusahaan?

Labor-only contracting sebenarnya ilegal di Filipina. Karena labor only contractor hanya menyuplai buruh ke pabrik-pabrik. Agen-agen ini tidak punya modal atau mesin yang berhubungan dengan bisnis pabrik manufaktur tertentu, jadi agen-agen ini ilegal. Tetapi memang ada pekerjaan-pekerjaan yang memang bisa di-outsourcekan, yang diperbolehkan oleh hukum seperti cleaning service dan petugas keamanan, jenis pekerjaan yang bukan pekerjaan inti dan penting bagi bisnis itu.

Dan juga ada beberapa peraturan tertentu dalam undang-undang ketenagakerjaan yang mengizinkan perusahaan untuk mempekerjakan buruh tambahan pada kurun waktu tertentu, ketika terjadi kekurangan tenaga kerja karena volume pekerjaan meningkat. Tetapi peraturan ini biasanya dilanggar oleh perusahaan, dengan mempekerjakan lebih banyak buruh untuk memenuhi tenggat waktu yang sudah disepakati sebelumnya dengan buyer, dengan harapan mendapatkan insentif yang lebih besar dari buyer. Praktik mempekerjakan banyak buruh ini diikuti oleh penerapan target produksi yang tinggi. Akibatnya buruh tidak memiliki pekerjaan selama dua atau tiga bulan berikutnya, karena perusahaan mereka sudah menyelesaikan order dari buyer lebih cepat.

Jadi, kontrak dengan buyer misalnya begini, “Ok, selesaikan 100 juta unit dalam waktu enam bulan, dan anda akan mendapatkan insentif.” Jika saya bisa menyelesaikan pesanan lebih cepat maka saya akan mendapatkan insentif yang lebih besar. Lalu yang dilakukan sang pemilik perusahaan, yang juga orang asing ini, adalah menaikkan target produksi. Jadi pekerjaan yang seharusnya diselesaikan dalam enam bulan, akan dipendekkan menjadi tiga bulan. Jadi setelah tiga bulan, buruh yang sudah menyelesaikan pesanan buyer sebanyak 100 juta unit, tidak punya pekerjaan selama tiga bulan setelahnya. Perusahaan biasanya menyatakan libur selama tiga bulan. Lalu apa yang terjadi pada buruh? Mereka juga punya keluarga yang harus dihidupi.

Tentu saja, buruh tidak mampu mencapai target produksi yang tinggi dalam delapan jam kerja, sehingga harus lembur. Bekerja lembur sangatlah melelahkan. Berdasarkan standar internasional perburuhan, kerja lembur seharusnya bersifat sukarela; tidak lebih dari dua jam setiap hari. Jika lebih dua jam, perusahaan harus menanyakan kesediaan kepada buruh apakah mereka bersedia bekerja lembur selama dua jam lagi.

Tetapi memang dua jam kerja lembur hanyalah standar internasional saja. Di berbagai pabrik mereka memaksa buruh untuk bekerja lembur selama empat jam dan tidak jarang buruh tidur di pabrik. Seringkali mereka menipu buruh dengan tidak membayarkan upah lembur, kami menyebutnya lembur tengkyu. Sampai sekarang lembur tak dibayar ini masih dipraktikkan terlepas dari betapa besar usaha kami menentangnya. Hal ini masih terjadi karena buruh masih kurang menyadari hak-hak mereka, sehingga dengan mudah dicurangi dan tunduk begitu saja kepada keinginan pemilik pabrik.  Lembur tengkyu terjadi terutama di sektor garmen.