MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Memeras Buruh: Dari Pagebluk Covid-19 hingga Resesi Global

Akhir-akhir ini seorang kawan gelisah. Bani, buruh operator di suatu perusahaan yang memproduksi sepatu olahraga bermerek internasional. Ia memikirkan nasibnya di tempat kerja. Ia gelisah karena banyaknya pemberitaan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di media cetak maupun online.

Sebulan terakhir rubrik bisnis di media massa online dan cetak diwarnai dengan pemberitaan PHK sebagai resesi global. 

Ketakutan Bani bukan tanpa alasan. Derita dua tahun kemarin saja belum selesai, saat tertimpa pandemik Covid-19. Dirinya dan buruh yang lain berkorban demi kelangsungan perusahaan dengan cara dipotong upah. Beberapa kawan lainnya diliburkan tanpa di upah, Tunjangan Hari Raya (THR) yang dicicil atau dirumahkan tanpa diupah.

Ada pula kawan lainnya yang dipaksa bekerja tanpa alat pelindung diri (APD) dan tanpa asupan multivitamin. Kawan-kawannya yang terpaksa bekerja tersebut, sebenarnya, lebih menyeramkan. Mereka sewaktu-waktu terpapar virus. Setelah terpapar akan dikarantina. Buruh-buruh yang dikarantina kebanyakan tidak mendapat pertolongan dari negara maupun perusahaan, malah dipotong upahnya dengan alasan tidak bekerja. Jika tidak beruntung akan meninggal. Mayatnya akan diurus oleh petugas Covid-19 dan dikuburkan di tempat khusus. Makanya, banyak pula buruh yang menyembunyikan gejala serangan virus. Mereka pura-pura sehat atau sekadar terserang virus biasa. Jika meninggal akan dapat diurus dan dikebumikan sesuai pilihan keluarga.

Selain ketakutan terpapar Covid-19, menurut Bani, situasi dua tahun kemarin benar-benar membuat kondisi keuangannya terpuruk. Bani mengambil keputusan meminjam uang ke sanak saudara dan tetangga. Anehnya di periode ini, para peminjam online berkeliaran. Pinjaman online mempromosikan pinjamannya melalui media sosial, bahkan ada yang mengirim pesan langsung melalui handphone. Entah darimana mereka bisa mengetahui nomor pribadi Bani.

***

Situasi membaik. Bani melupakan apa yang sudah terjadi. Muncullah berita bahwa banyak perusahaan mengalami kerugian dan akan mengalami kebangkrutan, karena terdampak resesi global dan penurunan order akibat perang Rusia-Ukraina. Di Jawa Barat dilaporkan ada 18 pabrik tutup operasi dan 9.592 orang kehilangan pekerjaan. Selain itu, ada pula 64.165 buruh yang mengalami putus kontrak dari 124 perusahaan. Demikian dikatakan Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Provinsi Jawa Barat (PPTPJB) Sariat Arifia, sebagaimana dilansir CNBC Indonesia, (1/11/2022).

Akuan lainnya disampaikan oleh Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja. Menurut Jemmy, banyak perusahaan yang memangkas jam kerja dari 40 jam kerja menjadi 30 jam kerja per minggu. “Ada yang kini hanya kerja 4-5 hari seminggu. Ada yang sudah mematikan 1-2 lini produksinya,” tegas Jemmy (CNBC Indonesia, 21/10/2022).

Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri pun mengungkapkan, industri alas kaki di Tanah Air sejak Juli 2022 terus mengalami penurunan order ekspor. Ia mengungkapkan, “Tanpa dukungan pemerintah, PHK mungkin akan semakin massif mulai akhir tahun ini sampai tahun depan. Data yang kami rekap, sudah ada 22.500-an buruh pabrik alas kaki yang sudah di-PHK” (CNBC Indonesia, 3/10/2022).

PPTPJB dan Aprisindo tidak merinci nama dan lokasi pabrik yang telah mem-PHK dan memutus kontrak ribuan buruh. Pada akhirnya, beberapa serikat buruh mempertanyakan kesahihan data akuan PPTPJB maupun Aprisindo, bahkan muncul dugaan bahwa gembar-gembor PHK sekadar dalih untuk untuk menekan upah minimum 2023. Keanehan lain adalah frame pemberitaan media massa. Dengan judul yang menakut, para jurnalis yang kerap menjunjung prinsip konfirmasi dan kredibilitas sumber informasi, ternyata, dalam kasus PHK menelan mentah berita yang disampaikan para pengusaha. 

Beriringan dengan berita PHK massal, beredar surat dari asosiasi pengusaha yang ditujukan ke Menteri Tenaga Kerja (Menaker). Surat bertanggal 7 Oktober 2022 berisi tentang permohonan para pengusaha untuk dibuatkan peraturan tambahan mengenai fleksibilitas jam kerja dari 40 jam per minggu menjadi 30 jam per minggu. 

Berbeda dengan data perwakilan pengusaha, Kementerian Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, kinerja industri tekstil dan produks tekstil (TPT) tidak bermasalah. Kata Sri Mulyani, per 2022, nilai ekspor produk tekstil seperti pakaian dan aksesoris rajutan tumbuh 19,4 persen. Begitu juga dengan ekspor produk nonrajutan tumbuh 37,5 persen dan ekspor alas kaki tumbuh 41,1 persen. Sedangkan menurut BPS, industri pakaian jadi tumbuh 8,09 persen, industri kulit dan alas kaki tumbuh 13 persen, ekspor pakaian dan aksesoris pakaian tumbuh 19,4 persen, pakaian dan aksesoris nonrajutan tumbuh 37,5 persen, dan alas kaki tumbuh 41,1 persen pada kuartal III 2022 (CNN Indonesia, 11/3/2022).

***

Aksi Sepihak PHK dan Pemotongan Upah

Sebelum ramai berita tentang PHK, beberapa pabrik pemasok sepatu merek internasional di Banten dan Jawa Barat terjadi aksi PHK dan pemotongan upah. Seperti yang dilakukan oleh PT Victory Chingluh Tangerang, produsen sepatu olahraga merek Nike. Pada 1 Juli 2022, perusahaan tersebut memecat tiga ratus buruh yang dalam masa percobaan, setelah mengancam akan mem-PHK ribuan buruh lainnya. Perusahaan menyebut terjadi penurunan order hingga 30 persen. Ironisnya, informasi PHK di perusahaan yang memiliki lebih multiserikat buruh tersebut, datang dari buruh yang menjadi korban PHK. Buruh tersebut meng-upload kejadian pemecatan di media sosial sehingga menjadi trending di media massa.

Hal yang sama dilakukan pula oleh PT Kahatex. Perusahaan asal Taiwan yang memproduksi bahan untuk produk Adidas dan H&M ini memecat buruh kontrak pada Juli 2022. Setelah itu muncul rencana PHK terhadap 3000-an buruh, tapi berita berakhir dengan penerapan sistem no work no pay. Kebijakan no work no pay dengan alasan kekurangan order terjadi pula di PT Chang Shin Reksa Jaya Garut, PT Chang Shin Karawang, PT KMK Global Sport 1 Tangerang, dan PT Taekwang Subang.

Bukan hanya perusahaan yang berada di Jawa Barat yang memberlakukan sepihak tersebut. Beberapa perusahaan di Jawa Tengah pun perusahaan melakukan hal yang sama. Pada 14 Oktober 2022 PT Leea Footwear Indonesia, perusahaan pemasok sepatu olahraga merek Asics di Kabupaten Tegal, mengurangi hari kerja menjadi dari 26 hari per bulan menjadi 25 hari dalam sebulan. Pun PT Tah Sung Hung, yang menerapkan libur massal di hari Jum’at di Oktober dan November 2022.  Pelaksanaan libur massal tersebut dilakukan dengan memotong cuti tahunan buruh.

Saya mencoba menelusuri informasi pengurangan order kepada buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut. Rerata buruh yang saya temui di perusahaan yang mengaku kekurangan order tersebut, produksi berjalan normal, bahkan dalam tiga bulan terakhir lembur terus menerus. 

Asosiasi-asosiasi perusahaan bukan hanya menebar ketakutan kepada buruh yang bekerja di pabrik, sekaligus menjadi corong kebijakan perusahaan di tempat kerja. Mereka seperti hendak mengulang kesuksesaan di masa pandemi Covid-19, yaitu memotong upah tanpa ada protes dari buruh, merumahkan buruh tanpa membayar upah dan memecat buruh tanpa memberi kompensasi.            

Menjelang setahun setelah pagebluk Covid-19, buruh dapat bernapas lega dari ancaman pemotongan upah dan pemecatan. Mereka pun tengah bersiap menatap rumah tangga yang sempat amburadul karena serangan Covid-19 terhadap keuangan keluarga. Saat ini para buruh seakan memilih dipotong upah ketimbang kehilangan pekerjaan. Beberapa dari mereka berharap serikat buruh tingkat nasional dapat menyuarakan kekhawatiran buruh di-PHK.[]  

Penulis

Lukman Ainul Hakim
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane