MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Munir: Mendorong Kebangkitan Gerakan Buruh dan Melawan Impunity di Indonesia

Munir Said Thalib, 38 tahun, meninggal di atas pesawat Garuda Indonesia saat terbang dari Jakarta menuju Amsterdam pada Selasa, 7 September 2024. Tujuan Munir ke Belanda untuk memulai studi Masternya pada bidang hukum humaniter di Utrecht University. Hasil otopsi dari the Nederlands Forensic Institue (NFI), diketahui kematian Munir disebabkan karena racun arsenik akut (acute arsenic poisoning) yang ditemukan dalam tubuhnya. [1]

Saya mengenal Munir sebagai sahabat sekaligus direktur eksekutif di tempat saya beraktifitas di lembaga pemantauan Hak Asasi Manusia (HAM), Imparsial. Semasa hidupnya, Munir dikenal sebagai aktivis yang getol mengritisi kebijakan-kebijakan pemerintah terkait HAM di Indonesia. Khususnya dalam isu impunity terhadap para pelaku kejahatan HAM. Karena kekritisannya, Munir dibunuh oleh kelompok yang merasa terganggu oleh aktivitasnya. Pembunuhan Munir menjadi titik balik bagi kebebasan Human Rights Defenders atau Pembela HAM di Indonesia yang sempat dirasakan sejak 1998 setelah jatuhnya rezim Soeharto.

Munir bukan satu-satunya Pembela HAM atau orang pertama yang dibunuh karena menegakkan dan membela HAM di Indonesia. Meskipun belum diketahui jumlah pastinya, kasus aktivis Pembela HAM yang menjadi korban pembunuhan sudah berlangsung sejak rezim jagal Soeharto berkuasa. Pola yang digunakan pada waktu itu adalah dengan cara penculikan (forced disappearance) dan pembunuhan kilat (summary killing), terutama di daerah-daerah konflik seperti Aceh dan Papua. Sedangkan, di kota-kota besar seperti Jakarta, pola serangan terhadap aktivis bukan dengan cara pembunuhan seperti di daerah-daerah konflik, melainkan dengan menggunakan cara penculikan (forced disappearance), penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (arbitrary arrest and arbitrary detention).

Berulangnya serangan terhadap Pembela HAM disebabkan karena para pelaku pelanggaran HAM masih bebas berkeliaran di Indonesia, bahkan dilindungi oleh selimut impunity dari penguasa. Mereka biasanya berasal dari kalangan militer, polisi, intelejen, birokrat sipil, non-state actor (perusahaan transnasional/multinasional), paramiliter dan preman yang mendapatkan perintah dari penguasa untuk melakukan kekerasan. Hampir tidak ada proses peradilan yang serius bagi kasus-kasus kekerasan yang menimpa Pembela HAM, apalagi yang mampu menyeret sang mastermind untuk diadili. Dalam penyelesaian kasus, biasanya yang dikorbankan hanya para pelaku lapangan. Itupun hanya akan mendapatkan hukuman yang sangat ringan, atau malah dibebaskan dari dakwaan. Oleh karena itu kasus pembunuhan Munir ini kami tidak ingin para pelakunya lolos dari jeratan hukum.

Dalam pembicaraan dan pemberitaan, jarang sekali disebut-sebut mengenai kiprah Munir sebelum dia menginjakkan kaki ke Jakarta dan menjadi aktivis di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Idonesia (YLBHI). Padahal aktivitas Munir dalam isu HAM sudah dimulai sejak dia aktif di Divisi Perburuhan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya pos Malang. Dalam artikel ini, saya akan menceritakan peran Munir dalam upayanya mendukung bangkitnya gerakan buruh, khususnya di Jawa Timur hingga akhirnya menjadi salah satu orang yang paling lantang melawan impunity di Indonesia.

Kera Ngalam yang mendedikasikan hidupnya untuk Buruh

Saya bertemu Munir pada akhir 1992. Saat itu saya baru diterima menjadi relawan LBH Surabaya. Saat itu posisi Munir sebagai ketua LBH Surabaya Pos Malang yang merangkap sebagai kepala divisi Perburuhan LBH Surabaya. Berdasarkan beberapa kali pertemuan dan diskusi dengan Munir, saya menyimpulkan bahwa Munir adalah seorang yang cerdas dan energik. Munir adalah orang yang membuka mata saya bahwa kehidupan buruh di Indonesia tidak seindah yang digambarkan dalam textbook hukum perburuhan yang saya baca ketika saya masih menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya.

Pada masa Soeharto berkuasa, permasalahan yang menekan buruh adalah kebijakan pemerintah yang hanya berorientasi pembangunan ekonomi, sehingga demi memfasilitasi akumulasi modal maka penguasa melakukan represi dan kontrol yang ketat pada buruh. Pemerintah memberikan dukungan yang sebesar-besarnya kepada para investor dan pengusaha dengan cara memberikan jaminan bagi tersedianya buruh-buruh yang siap bekerja (penurut, loyal dan mempunyai etos kerja tinggi) dengan upah yang sangat murah, perlindungan keamanan (tentara dan polisi masuk pabrik untuk mencegah pemogokan buruh), perlindungan hukum (antara lain yang menunggalkan serikat buruh, mempermudah pemecatan, memberikan ruang bagi militer untuk ikut campur dalam masalah perburuhan, dsb), dan kemudahan fasilitas usaha (antara lain berupa sarana jalan tol, kemudahan pembangunan pabrik, kemudahan pengurusan ijin, dsb). Tetapi semua dukungan yang diberikan negara tidak gratis. Para pengusaha harus mengeluarkan dana tambahan (biaya siluman) agar usahanya lancar.

Keterlibatan YLBHI pada isu-isu perburuhan dimulai setelah para aktivis YLBHI-LBH mencetuskan ide Bantuan Hukum Struktural (BHS), yaitu bantuan hukum yang diberikan pada rakyat yang dimiskinkan oleh struktur. Dengan BHS, aktivitas utama kantor-kantor LBH yang semula terbagi atas Litigasi dan Litbang, kemudian lebih memfokuskan pada penguatan masyarakat marginal yaitu buruh, petani, dan masyarakat miskin perkotaan.  

Dengan menggunakan BHS sebagai pisau analisis, khususnya dalam isu perburuhan, maka kami menganggap permasalahan buruh muncul sebagai akibat dari tidak berfungsinya serikat buruh di perusahaan. Jika serikat buruh berfungsi, maka semua kasus perburuhan akan ditangani oleh serikat buruh. Sayangnya pemerintah menerapkan peraturan penunggalan serikat buruh agar pemerintah dan pengusaha dapat dengan mudah mengontrol buruh.

Dengan konsep BHS pula maka kasus buruh yang kami anggap bersumber dari tidak adanya kebebasan berserikat bagi buruh di Indonesia harus kami selesaikan dengan cara melakukan diskusi-diskusi penyadaran kepada buruh tentang pentingnya sebuah serikat buruh yang independen. Oleh karena itu Munir sangat tekun melakukan pengorganisiran buruh di Surabaya, Sidoarjo, Malang, dan Gresik. Empat kota tersebut merupakan wilayah industri andalan di Jawa Timur. Dengan pengorganisasian buruh-buruh dapat mempunyai keterampilan berorganisasi meskipun masih belum dapat membentuk serikat buruh yang independen. Keterampilan Munir dalam mengorganisir buruh ini dia peroleh dari Bang Oji (Fauzi Abdullah) yang sangat dikaguminya. Pada waktu itu Munir sangat terinspirasi dengan munculnya Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan yang dipelopori oleh Bang Oji dan kawan-kawan.

Pintu masuk LBH Surabaya dalam melakukan pengorganisasian adalah melalui kasus-kasus perburuhan yang masuk di LBH Surabaya. Misalnya jika ada buruh yang datang ke LBH untuk mengadukan kasusnya karena selalu dipaksa lembur tetapi tidak pernah diberikan upah lembur oleh pengusaha, maka metode yang akan kami lakukan tidak hanya mendampingi si buruh melaporkan kasusnya ke Depnaker. Tapi kami juga meminta buruh tersebut untuk mengumpulkan kawan-kawannya agar dapat berdiskusi dengan kami mengenai hak-hak normatif buruh yang seharusnya dipenuhi pengusaha. Hal ini kami lakukan agar buruh dapat memahami bahwa permasalahan yang dihadapinya adalah permasalahan bersama, sehingga harus dihadapi secara bersama-sama. Dengan demikian buruh akan mendapatkan kekuatan untuk melakukan negosiasi dengan pengusaha. Bahkan buruh juga akan berani melaporkan pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan pengusaha. Ini adalah upaya permulaan bagi kami untuk dapat menjelaskan kepada buruh tentang perlunya suatu serikat buruh yang mandiri.

Munir mengajarkan pada saya teknik mengorganisir buruh yang relatif cukup aman untuk diterapkan pada masa itu. Pertama,  Munir mewajibkan saya membaca semua peraturan perburuhan yang dianggap sangat penting, antara lain tentang PHK, Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UMR. Pengetahuan tentang peraturan perburuhan penting bagi kami karena sebagai pintu masuk kami untuk bisa berinteraksi dengan buruh adalah melalui konsultasi hukum perburuhan. Kedua, Munir selalu mengajak saya mengunjungi tempat tingal atau kos buruh secara bergantian di beberapa daerah industri di Surabaya, Sidoarjo dan Gresik. Antara lain di kawasan Tandes, Rungkut, Waru dan Driyorejo. Dengan menggunakan dua cara tersebut, saya diharapkan mampu menguasai peraturan perburuhan dan memahami arah kebijakan pemerintah terhadap buruh, sekaligus saya dapat mengenal contact person buruh di setiap daerah untuk dapat melakukan analisis sosial dengan cara mempelajari lokasi pabrik, lokasi markas aparat dan lokasi tempat tinggal buruh. 

Saya melihat Munir sangat workaholic dan selalu menghabiskan waktunya hanya untuk buruh. Bayangkan saja, jam kerja resmi LBH Surabaya adalah mulai pukul 08.00 hingga 16.00, disitu Munir harus memberikan bantuan hukum berupa konsultasi atau pendampingan buruh (Depnaker, P4D, P4P atau Pengadilan Negeri). Terkadang dia juga harus memberikan penjelasan pada jurnalis dan melakukan kerja-kerja jaringan di luar kantor. Tetapi pada pukul 18.30 petang, Munir akan dengan semangatnya mengendarai Honda Astrea-nya untuk mengunjungi kantong-kantong buruh di Surabaya, Sidoarjo atau Gresik hingga pukul 23.00 malam. Tak jarang jika permasalahan buruh sedemikian rumit, misalnya akan melakukan pemogokan, maka Munir akan memindahkan lokasi pengorganisasian buruh ke kantor LBH Surabaya untuk berdiskusi dengan buruh-buruh hingga pagi hari. Kebiasaan ini kemudian mendorong inisiatif Munir untuk menyelenggarakan sekolah malam bagi buruh-buruh yang ingin belajar perburuhan dan diskusi politik sesudah jam kerja mereka. Tak hanya itu, jika ada panggilan darurat dari kawan-kawan buruh, maka Munir dengan senang hati akan memenuhi panggilan buruh-buruh untuk datang ke tempat mereka dan berdiskusi di sana, meskipun tidak ada rencana sebelumnya.

Karena Munir juga tinggal di kantor LBH Surabaya, ia pun mendeklarasikan LBH Surabaya akan memberikan pelayanan kepada masyarakat selama 24 jam. Sebagai guyonan, beberapa kawan menjuluki munir dengan “Doktor” alias mondok di kantor. Guyonan lainnya juga datang dari buruh dan petani yang menjadi mitra LBH yang saat itu yang menyebut bahwa LBH seperti Unit Gawat Darurat (UGD) yang buka 24 jam. Munir pun selalu mengatakan bawa aktivis LBH harus menjadi kawan bagi buruh dalam arti yang sebenarnya. Bukan sebatas pengacara dan klien. Dengan demikian Munir akan selalu mendengarkan cerita Partun, Dar dan Muji tentang pacar mereka, kemarahan mereka pada satpam perusahaan yang suka colak-colek buruh perempuan, dan menjadi tempat curhat bagi buruh lainnya. Munir juga tak pernah sayang jika harus memberikan uang pribadinya pada buruh-buruh yang benar-benar mengalami kesulitan keuangan.

Berhadapan dengan kasus-kasus besar perburuhan

Selain sangat berani, Munir juga orang yang sangat cerdas. Dalam kegiatan litigasi perburuhan, dia mampu mengoreksi kelemahan sistem dan berinisiatif mencari alternatif peluang yang bisa dimainkan buruh. Banyak kasus perburuhan besar yang ditangani Munir, misalnya kasus Marsinah, kasus Sido Bangun, kasus Maspion, dll.

Dalam kasus pemecatan sepihak, Munir yang waktu itu baru saja terlibat di LBH pos Malang setelah lulus dari FH Unibraw bersama Anshoroel, S.H. yang waktu itu menjadi Kepala Kantor LBH Malang, mengusulkan agar LBH Surabaya mendampingi buruh-buruh yang dipecat sepihak untuk menggugat perusahaan di Pengadilan Negeri dengan menggunakan pasal “perbuatan melawan hukum”. Ide mereka berhasil cemerlang ketika pada 1995 Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk pertama kalinya mengabulkan gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan buruh-buruh PT. Sido Bangun kepada pihak pengusaha. Ini adalah kasus kemenangan buruh yang pertama terjadi di Indonesia yang berhasil mengalahkan pengusaha di pengadilan.

Munir juga menganggap bahwa campur tangan militer dalam masalah perburuhan dan kolaborasi pengusaha-penguasa-militer adalah masalah yang paling serius bagi buruh. Dalam kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah yang diduga dilakukan aparat militer, Munir berinisiatif agar LBH mendampingi buruh-buruh pembuat jam tangan di PT. Catur Putra Surya (PT. CPS) yang dipecat di Kantor Kodeim Sidoarjo. Munir mendampingi buruh untuk melakukan gugatan perbuatan melawan hukum kepada Kodim Sidoarjo, Pengusaha PT CPS dan Lurah Siring di Pengadilan Negeri. Meskipun gugatan tersebut ditolak karena alasan pengadilan tidak tunduk pada Surat Edaran Mahkamah Agung mengenai pemecatan sepihak di perusahaan swasta, namun upaya gugatan ini sudah cukup mempermalukan institusi militer yang pada waktu itu menjadi penguasa yang tidak terkalahkan.

Pola untuk melumpuhkan buruh melalui jalur pemidanaan juga menjadi trend pada waktu itu. Beberapa buruh menjadi korban kriminalisasi perusahaan, antara lain 14 perwakilan buruh PT. Maspion I yang didakwa melakukan tindak pidana penghasutan sehingga mengakibatkan amuk massa buruh dan merusak beberapa aset perusahaan. Kami pada waktu itu menjadi pembela 14 aktivis buruh di Pengadilan Negeri Sidoarjo. Ruang peradilan kami jadikan ajang kampanye untuk penghormatan terhadap hak-hak buruh, khususnya hak berserikat bagi buruh, sekaligus ruang pembelajaran bagi Majelis Hakim, Penuntut Umum dan pengusaha. Bahkan buruh-buruh juga berani melakukan aksi demonstrasi di halaman pengadilan menuntut agar 14 buruh yang ditahan tersebut dibebaskan. Dalam proses persidangan tersebut, akhirnya terungkap apa yang disebut “SIS” atau Sistem Intelejen Sidoarjo, yaitu sistem deteksi dini yang dilakukan secara koordinatif oleh intel-intel militer, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, Pemda dan Departemen Tenaga Kerja untuk mengantisipasi aksi protes buruh. Dengan adanya SIS, lembaga ekstra-judisial diberi kewenangan untuk menangkap buruh atau orang-orang yang dicurigai sebagai aktor aksi demonstrasi buruh. Penangkapan para buruh oleh aparat SIS tersebut dilakukan dengan cara penculikan. Misalnya kasus penculikan dan pembunuhan terhadap Marsinah, kasus penculikan aktivis buruh Amelia Maria, dsb. Aparat SIS juga melakukan penangkapan sewenang-wenang dengan mengabaikan prosedur penangkapan yang diatur dalam KUHP.   

Munir juga sangat prihatin dengan upah buruh yang sangat murah jika dibandingkan dengan etos kerja buruh dan kualitas yang dihasilkan. Oleh karena itu, dia berinisiatif mengadakan penelitian pengupahan di empat kota Jawa Timur, yaitu Surabaya, Sidoarjo, Gresik dan Malang setiap tahunnya setelah kenaikan upah buruh. Hasil penelitian tersebut selalu menemukan fakta bahwa kenaikan upah buruh tidak sebanding dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok, dan sangat tidak sebanding dengan besarnya energi yang dikeluarkan buruh untuk menghasilkan produk barang yang harga jualnya cukup tinggi di pasaran. Buruh-buruh yang membuat sepatu olah raga Nike misalnya, hanya mampu membeli ubi goreng dan mie instan sebagai makanan mereka. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa dengan upah yang jauh dari layak, maka kualitas hidup buruh pun sangat rendah. Dalam jangka panjang, hal ini akan berdampak pada rendahnya kualitas generasi Indonesia di masa mendatang karena orang tuanya yang bekerja sebagai buruh tidak mempunyai cukup uang untuk membeli makanan bergizi bagi keluarga.

Selama menjalankan aktivitasnya sebagai pejuang HAM di Jawa Timur, Munir sudah kenyang dengan segala macam bentuk ancaman dan teror yang ditujukan padanya oleh pihak-pihak yang tidak suka dengan aktivitasnya. Selain pernah menerima ancaman dari aparat kelas teri, Munir juga pernah diancam secara langsung oleh Mayjen TNI Hartono yang menjadi Pangdam Brawijaya pada waktu itu. Munir diancam akan “dijadikan sosis” jika masih tetap melakukan provokasi pada buruh. Selain panglima, para intel dan preman juga kerap melakukan teror terhadapnya, baik melalui telepon maupun surat-surat. Menghadapi ancaman seperti ini, Munir hanya berkata enteng:

”Ah, setiap pekerjaan pasti ada resikonya. Jika bisa menghindar ya dihindari, tapi jika tidak bisa menghindar ya harus dihadapi. Yang penting kita harus tetap cerdas. Kalau kita ketakutan justru mereka akan senang karena tujuan mereka sudah tercapai”.

Karena sepak-terjangnya yang sangat dinamis di Surabaya, Munir diminta oleh para pembesar YLBHI untuk pindah ke Jakarta dan membantu mereka di sana. Keinginan para pembesar YLBHI seperti Adnan Buyung Nasution dan Ibu Amartiwi Saleh (Alm) untuk merekrut Munir sudah dicetuskan kepada Direktur LBH Surabaya Indro Sugianto sejak 1994. Permintaan itu ditolak oleh Munir, dengan alasan masih berat meninggalkan kawan-kawan grassroot-nya di Jawa Timur. Disamping itu LBH Surabaya juga masih sangat membutuhkan Munir. Tetapi setelah tahun 1996 Munir terpaksa bersedia pindah ke Jakarta, saat itu Bambang Widjojanto yang menjadi Ketua Dewan Pengurus YLBHI meminta Munir untuk membantunya di YLBHI sebagai Wakil Ketua Bidang Operasional. Setelah Munir pindah ke Jakarta, saya kemudian menggantikannya menjadi kepala divisi perburuhan LBH Surabaya hingga tahun 1998.

Di tahun yang sama kepindahannya ke Jakarta, 1996, Munir menikahi seorang aktivis buruh perempuan asal Malang bernama Suciwati yang dikenalnya pada 1991. Suci adalah aktivis perempuan gigih yang dipecat perusahaan karena membela kawan-kawannya yang diperlakukan tidak adil oleh perusahaan. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai dua orang anak bernama Soultan Alif Allende dan Diva Suukyi Larasati. Nama Allende diambil dari nama Presiden Chile Salvador Allende, dan nama Suukyi diambil dari nama Aung San Suu Kyi, dua orang yang paling dikagumi Munir.

Ketika menjadi Wakil Ketua Bidang Operasional, kesibukan Munir tidak lagi menangani kasus-kasus buruh, melainkan melakukan advokasi terhadap semua kasus pelanggaran HAM. Ketika terjadi penculikan aktivis besar-besaran pada 1997-1998, YLBHI dan beberapa organisasi yang concern terhadap HAM di Jakarta mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), tepatnya pada 20 Maret 1998. Munir ditunjuk menjadi koordinator Kontras dan sukses menangani kasus penculikan aktivis yang dilakukan oleh Tim Mawar dari satuan Kopassus (Korps Pasukan Khusus). Berkat usaha Munir dan Kontras, beberapa perwira menengah Kopassus diadili dan Letnan Jendral Prabowo Subianto, menantu mantan Presiden Soeharto yang menjadi Komandan Kopassus serta Mayjen Muchdi PR yang menjadi pengganti Prabowo diberhentikan karena dianggap terlibat dalam peristiwa penculikan aktivis.

Kematian Munir dan upaya membongkar benteng impunity

Setelah mengundurkan diri dari kepengurusan YLBHI awal Desember 2001, Munir mengajak beberapa kawan, termasuk saya, untuk mendirikan sebuah lembaga monitoring HAM khususnya masalah transitional justice di wilayah Aceh dan Papua. Bersama 18 orang aktivis HAM di Jakarta, kami kemudian mendirikan Imparsial pada bulan Juni 2002. Imparsial memulai aktivitasnya secara resmi pada bulan November 2002 dan Munir ditunjuk seluruh anggota Dewan Pendiri untuk menjadi Direktur Eksekutif.

Pada awal berdirinya, Imparsial mengampanyekan isu terorisme versus kebebasan masyarakat sipil, karena kebijakan pemerintah dalam membasmi terorisme ternyata telah mengorbankan kebebasan masyarakat sipil. Misalnya dengan memberikan hak pada polisi untuk menangkap orang yang disangka teroris selama 7 x 24 jam. Selain itu Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga memberikan kewenangan yang luas pada lembaga-lembaga ekstra-judisial, misalnya Militer dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk ikut campur dalam urusan hukum. Kebijakan Pemerintah ini terbukti malah digunakan sebagai alat untuk menangkapi para aktivis dan lawan-lawan politik pemerintah, misalnya Juru Runding (negosiator) GAM dan menerapkan dakwaan Teroris kepada mereka.

Munir juga sangat serius mengkritisi Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI (sejak 18 September 2004 sudah disahkan oleh Presiden RI Megawati Soekarnoputri menjadi UU TNI). Munir juga melakukan protes keras ketika pada 2004 Angkatan Laut mengeluarkan kebijakan untuk menjual kapal-kapalnya kepada beberapa Pemerintah Daerah.  

Pada 2004, ICCO, sebuah organisasi Belanda yang menjadi donor Imparsial memberikan beasiswa pada Munir untuk melanjutkan pendidikan Master di Belanda. Hal ini merupakan bentuk dukungan ICCO bagi peningkatan kapasitas Imparsial.

Munir memang sudah lama ingin melanjutkan studinya. Namun dia selalu memberikan kesempatan kepada kawan-kawannya, termasuk saya, untuk melanjutkan sekolah mereka terlebih dulu. Kali ini dia benar-benar tertarik untuk sekolah setelah melihat semua kawannya meraih gelar Master dan setelah dia melihat kondisi politik Indonesia tidak terlalu bermasalah untuk bisa sejenak ditinggal sekolah. Waktu itu dia mengatakan pada saya:

“Aku harus sekolah sekarang. Umurku tahun ini sudah 38. Tahun depan aku tidak yakin masih sanggup untuk sekolah. Jadi aku memang harus sekolah sekarang atau tidak sekolah sama sekali! It’s now or never!”.

Munir berkeinginan untuk langsung mengambil program Ph.D, tetapi para professor di Utrecht University tempat Munir mengajukan proposal studi menyarankan agar Munir mengambil Masternya terlebih dahulu, karena berdasarkan Curiculum Vitae-nya, Munir banyak menghabiskan waktunya sebagai aktivis, bukan sebagai pengajar. Meski demikian, Profesornya di Utrecht menjamin akan langsung memberikan kesempatan kepadanya untuk mengambil studi Ph.D jika dia berhasil lulus Master.

Akhirnya setelah mendapatkan visa student pada akhir Agustus, Munir memutuskan berangkat ke Belanda pada 6 September 2004. Kami semua melepas kepergian Munir dengan harapan agar dia dapat kembali ke tanah air dengan gelar baru dan semangat baru bagi perjuangan penegakan HAM di Indonesia. Tetapi keesokan harinya kami justru mendapatkan berita yang sangat mengejutkan. Munir diberitakan sudah meninggal dunia di pesawat!

Kami semua yakin bahwa meninggalnya Munir tidak wajar sebab saat kami mengantar dia ke airport kami tahu pasti bahwa saat itu Munir dalam kondisi yang sangat sehat dan dia sangat bahagia karena akhirnya bisa berangkat sekolah. Kalaupun Munir mengalami kelelahan atau sakit, itupun tidak akan menyebabkan dia meninggal seketika. Kami yakin bahwa ada pihak-pihak yang tidak suka dengan aktivitasnya telah membunuhnya. Dugaan kami memang benar karena berdasarkan hasil otopsi the Netherlands Forensic Institute (NFI) diketahui bahwa penyebab kematian Munir adalah karena keracunan arsenik secara akut dalam dosis yang sangat mematikan. Rumitnya upaya keluarga dan kawan-kawan aktivis dalam mengusut kasus kematian Munir semakin memperbesar kecurigaan kami bahwa negara terlibat di dalam pembunuhannya.

Kesulitan awal dalam mencoba membongkar kasus pembunuhan Munir muncul dari tidak kooperatifnya Garuda Indonesia sebagai perusahaan penerbangan yang seharusnya bertanggung jawab terhadap keselamatan jiwa Munir selaku penumpangnya. Sangat sensitifnya kasus ini juga tampak dalam sikap Pemerintah Belanda yang terkesan tidak kooperatif. Misalnya mereka tidak memberitahukan hasil otopsi Munir secara langsung pada pihak keluarga seperti janji semula, malah memberitahukan melalui jalur diplomatik, yaitu pertama, ketika Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot memberitahukan kepada Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirayudha tentang hasil otopsi Munir pada saat Menteri Bot menghadiri pelantikan Presiden RI pada akhir Oktober 2004. Menteri Wirayudha saat itu juga tidak memberitahukan kepada keluarga Munir mengenai informasi Menteri Bot. Kedua, pihak Belanda mengirimkan hasil otopsi melalui Kedutaan Belanda di Jakarta, yang langsung menyampaikannya pada Departemen Luar Negeri RI. Selanjutnya dapat diduga, Departemen Luar Negeri menyerahkan hasil otopsi pada Menteri Politik Hukum dan Keamanan, dari dari sana beralih lagi kepada Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri). Pihak keluarga justru baru mengetahui hasil otopsi sudah keluar dan Munir meninggal karena racun arsenik justru setelah sebuah surat kabar Belanda memberitakan hasil wawancara mereka dengan pihak Departemen Luar Negeri RI.

Setelah keluarga di-ping-pong sana-sini, barulah pihak Polri memberitahukan hasilnya pada keluarga, itupun tidak boleh disalin atau difotocopy. Dari hasil otopsi tersebut dijelaskan bahwa dalam lambung Munir masih terdapat 450 mg arsenic, dalam darah terdapat 3 mg dan di urine terdapat 4 mg, yang kesemuanya sangat fatal. 

Selanjutnya pihak kepolisian juga tidak cekatan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus ini. Mereka terkesan sangat melindungi Garuda. Dalam tempo enam bulan setelah kematian Munir, baru ada satu tersangka. Itupun berdasarkan hasil informasi keluarga dan kawan-kawan Munir. 

Pembunuhan terhadap Munir membangkitkan persatuan aktivis di Indonesia yang sempat melemah setelah jatuhnya Presiden Abdulrahman Wahid pada tahun 2001. Para aktivis menganggap saat ini adalah momen yang sangat penting untuk mendesakkan perlindungan terhadap Human Rights Defenders mengingat resiko-resiko yang dihadapi sangat tinggi. Para aktivis berkumpul mendirikan Komite Solidaritas untuk Munir (KASUM), dengan tujuan mendesak kepada Pemerintah untuk serius melakukan penyelidikan terhadap kasus pembunuhan Munir. Untuk tetap mempertahankan agar kasus ini terus mencuat, kami melakukan berbagai macam upaya, mulai dari mengadakan advokasi kepada kelompok grassroots hingga dunia internasional. Kami melakukan pemutaran film dokumentasi Munir ke semua daerah di Indonesia sekaligus mengangkat isu perlindungan terhadap Human Rights Defenders, mengadakan diskusi dengan Human Rights Defenders dan masyarakat sipil, melakukan pendekatan pada media massa, hingga melakukan lobby di parlemen, organisasi massa, dan Komisi HAM PBB. Kami juga melaporkan kasus ini kepada Hina Jilani selaku UN Special Representative for Human Rights Defenders

Desakan para aktivis, baik di dalam maupun di luar negeri, menghasilkan janji Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono untuk membantu sepenuhnya pengungkapan kasus Munir. Presiden membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir pada tanggal 23 Desember 2005 dengan tujuan untuk membantu pihak kepolisian dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus ini.

Meskipun kewenangan TPF sangat terbatas, tetapi peran TPF cukup signifikan mengingat mereka berhasil menemukan bukti-bukti bahwa pelaku pembunuhan Munir ada keterlibatannya dengan para pejabat Badan Intelejen Negara (BIN). TPF dalam laporannya pada Presiden menjelaskan bahwa mereka menemukan dugaan pembunuhan Munir dilakukan secara konspirasi, melibatkan pihak-pihak Badan Intelejen Negara dan perusahaan penerbangan nasional Garuda Indonesia, serta para pelakunya terbagi atas pelaku lapangan, pelaku pembantu yang memfasilitasi atau mempermudah pembunuhan, pelaku yang merancang pembunuhan dan pelaku yang menyuruh membunuh. Sementara di sisi lain, pihak kepolisian hanya berani menangkap Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot Garuda yang memberikan kursi bisnis kepada Munir dalam perjalanan Jakarta – Singapura dan diduga sebagai pelaku lapangan, dan 2 tersangka lainnya yaitu Yetty Susmiarti dan Oedi Irianto, pramugari dan pramugara Garuda yang menyiapkan makanan minuman dan menghidangkan makanan minuman pada Munir dalam perjalanan Jakarta-Singapura.

Sementara rekomendasi TPF yang menemukan bukti kuat keterlibatan BIN dalam kasus pembunuhan Munir, masih belum ditindaklanjuti oleh polisi. Sayang sekali masa tugas TPF dibatasi hanya sampai 23 Juni 2005 setelah menjalani perpanjangan 3 bulan, atau total 6 bulan setelah dibentuk Presiden, sehingga TPF tidak dapat menembus kuatnya benteng BIN.

Dengan berakhirnya masa tugas TPF, lagi-lagi tampaknya hanya bisa menjaring pelaku lapangan yang notabene orang sipil saja, sementara otak pembunuhan yang diduga berasal dari pihak intelejen atau militer masih bebas berkeliaran tidak tersentuh oleh hukum. Bahkan tampil show of force di hadapan publik sebagai pihak yang diperlakukan dengan tidak adil oleh para aktivis HAM.

Kami sangat sadar bahwa impunity masih sangat kuat menjadi budaya di Indonesia karena para penguasa masih tetap orang-orang lama yang sangat diuntungkan oleh impunity. System peradilan di Indonesia yang memang dibentuk oleh penguasa untuk melindungi kepentingan mereka tentu saja juga masih mempertahankan keberlangsungan impunity. Sehingga dalam mengusut kematian Munir ini kami masih harus berjuang sangat keras dan dengan tidak kenal lelah agar kami bisa berhasil menyeret para pelaku ke pengadilan. Kami tidak ingin kawan yang kami hormati dan kami sayangi meninggal dengan ironis karena di masa hidupnya dia memperjuangkan hapusnya impunity, tetapi kematiannya ternyata malah dibelit impunity yang ingin dia hapuskan. Munir sendiri pernah mengemukakan bahwa upaya menghapus impunity adalah sebuah kerja mengelupas kulit baja sebuah sistem kekuasaan absolut. Kalimat tersebut pernah menjadi kata pembuka dari Paper yang ditulis Munir untuk Konferensi INFID ke-13, Yogyakarta, 1 September 2002. 

Bagi saya, upaya kami untuk membongkar kasus kematian Munir ibarat pertandingan catur melawan kokohnya impunity di Indonesia. Oleh karena itu sebagai pihak yang harus berhadapan dengan kuatnya negara, kami harus menggunakan kecerdasan otak dan kesabaran kami agar bisa memenangkan perjuangan kami.[]


[1] Tulisan ini pernah diterbitkan di Jurnal Kajian Perburuhan Sedane Vol. 3, No. 2, 2006. Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS).