MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Tidak Sejernih Suara dari Earphone (Bagian 3)

Keluhan Menjadi Tuntutan

Tak terlalu lama setelah pemilihan, saya mendapat Surat Keputusan dari DPC GSBI Sukabumi sebagai ketua terpilih. Surat tersebut diberitahukan pula kepada manajemen, sekaligus meminta pertemuan dengan manajemen. 

Manajemen menerima surat permintaan pertemuan. Ketika bertemu dengan manajemen saya memaparkan program kerja sebagai ketua baru dan akan bekerja sama dengan pihak manajemen perusahaan dalam meningkatkan produktivitas perusahaan melalui kedisiplinan kerja.  Pihak perusahaan pun menerima dan meminta kepada saya untuk bisa lebih baik menjalin hubungan kerjasama. Sejak itu, saya pun tidak dilibatkan lagi dalam proses produksi seperti biasanya.

Saya sebagai ketua serikat buruh. Saya memiliki kantor di dalam perusahaan. Hari pertama berkantor saya dihadapkan dengan beberapa lembar kertas dari manajemen. Isinya adalah daftar kehadiran buruh yang merupakan anggota SBME GSBI di perusahaan. Kehadiran mereka kurang bagus. Saya diminta agar buruh yang merupakan anggota SBME GSBI memperbaiki tingkat kehadiran mereka. Lebih kurang dua minggu saya sibuk memanggil para anggota yang tertulis dalam dokumen tersebut. 

Waktu berlalu. Di bulan berikutnya saya dihadapkan dengan 200 orang anggota serikat yang akan di-PHK dengan alasan kontrak kerja mereka sudah berakhir. Tanpa menunggu lama saya meminta bertemu dengan pihak HRD perusahaan. HRD perusahaan bersedia. Saya ditemani salah satu pengurus bertemu dengan HRD di ruang meeting

Di ruang meeting saya mengutarakan maksud kedatangan. Tiba-tiba datang salah satu bapak-bapak yang biasanya dipanggil oleh para buruh dengan singkatan GA. Tanpa basa-basi dia menujukkan sikap rasa tidak sukanya kepada saya. Dengan nada meninggi dan suara yang cukup keras, ia berkata kepada saya, “Kalau kamu memaksakan menjadikan tetap untuk mereka yang sudah selesai masa kontraknya, kamu akan berhadapan dengan warga setempat (forum desa) dan tidak perlu mengancam”. 

Saya pun tidak menjawab. Saya yakin dan percaya bahwa berdebat dengan beliau hanya membuang-buang waktu. Saya hanya katakan kepada beliau bahwa saya hanya menjalankan apa yang diamanatkan oleh organisasi kepada saya. HRD perusahaan melihat suasana menegang, rapat dihentikan. HRD menyarankan saya ke rumahnya untuk melanjutkan perundingan. Saya tidak menyetujuinya.

Pertemuan hari itu diakhiri dan saya keluar dari ruangan meeting

Keluar dari ruang meeting, di tempat kerja saya bertemu beberapa pengurus serikat. Di antara pengurus serikat ada yang meminta kepada saya untuk ‘mengerti situasi’. Saya katakan kepada mereka bukan saya tidak ‘mengerti situasi’ tetapi memang saya tidak mau mengerti. Dalam pikir saya, mengapa orang di-PHK dengan alasan putus kontrak, sementara perusahaan terus-menerus membuka lowongan kerja; untuk apa mereka diputus kontrak kemudian melamar kerja lagi dan membayar melalui calo?! Begitu pergulatan batin saya. Saya tidak ingin anggota serikat diputus kontrak dan serikat tidak berbuat apa-apa.

Kontrak kerja jangka pendek memang masalah yang paling banyak dikeluhkan. Setiap bulan ada saja yang habis kontrak. Pada awalnya kontrak kerja per tiga bulan. Dilanjutkan ke kontrak kedua dengan durasi enam bulan. 

Waktu itu, saya menuntut agar buruh diangkat menjadi buruh tetap. Tapi HRD tidak menyetujui. HRD berkilah bahwa tidak mungkin mengangkat buruh kontrak menjadi tetap. “Mau bagaimana lagi? Ini ‘kan sudah kesepakatan lingkungan (forum) dan itu juga menjadi sumber mata pencarian mereka (forum)”. Saya dalam posisi dilematis. Jika saya terus mendesak agar HRD mengangkat buruh kontrak menjadi tetap, saya akan berhadapan langsung dengan warga, forum desa dan kelompok aparat desa yang lainya. Jika saya membiarkan praktik buruh kontrak dan perekrutan berbayar, buruh dirugikan dan serikat buruh seperti tidak berfungsi apa-apa.  

Proses perundingan berjalan alot. Ketika bernegosiasi emosi saya meluap-luap; kadang saya tidak dapat menahan air mata saya yang jatuh. Saya berusaha meyakinkan manajemen bahwa buruh-buruh itu berasal dari luar Sukabumi, seperti Jawa Tengah. Mereka datang ke perusahaan untuk bekerja malah diminta membayar untuk bekerja. Mereka harus merogoh uang Rp500 ribu hingga Rp1,8 juta yang diberikan kepada calo. Dengan harga tersebut, tidak semua calon tenaga kerja mampu, bahkan ada orang tua mereka yang harus menjual atau menggadaikan sawah dan menjual ternak dengan harapan agar anaknya bisa bekerja. Ternyata, setelah mereka bekerja pun durasi kerjanya tidak lama. Kemudian diputus kontrak. Kemudian harus mendaftarkan dan membayar lagi melalui calo.  

Akhirnya, perundingan menghasilkan hal yang menguntungkan. Buruh yang diputus kontrak dipekerjakan kembali tanpa membayar sepeser pun. Meskipun, masih dalam kontrak kerja yang baru. Bagi saya, itu adalah kemenangan. Itu pun membuat anggota merasa sangat senang. Selanjutnya, HRD pun menyetujui durasi kontrak lebih lama. 

Hasil perundingan itu disambut gembira oleh para buruh dan berdampak baik bagi serikat buruh. Berita tentang pembatalan putus kontrak dan durasi kontrak yang lebih lama menyebar cepat. Banyak buruh yang meminta menjadi anggota serikat. Awalnya saya menargetkan dalam jangka waktu tiga bulan akan ada penambahan anggota mencapai 100 persen. Ternyata, dalam waktu kurang lebih dua bulan jumlah keanggotan serikat lebih dari yang saya targetkan. Saya merasa bangga dengan perkembangan ini. Meskipun masih banyak hak-hak buruh yang masih dilanggar oleh perusahaan seperti skorsing dan jumlah upah lembur yang kurang.  

Rencana saya selanjutnya adalah mempersoalkan mengenai perhitungan lembur. Kebetulan beberapa anggota pun mengadukan mengenai kekurangan pembayaran lembur tersebut. Saya pun mengajukan perundingan untuk merevisi perhitungan upah lembur para buruh. Terus terang hal ini membuat saya merasa jengkel karena harus menelusuri letak kesalahan perhitungan upah lembur. Ada kalanya kesalahan dilakukan oleh buruh karena lupa mengisi daftar hadir saat pulang lembur atau tidak melakukan finger print (mesin kehadiran otomatis). Jika kesalahannya demikian, tidak jarang saya harus adu argumen dengan anggota.

Persoalan lain yang menjadi perhatian serikat buruh adalah kelelahan kerja. Ketika bekerja seringkali saya menemukan buruh yang pingsan karena tidak sempat sarapan dari rumah dan ada pula yang mengalami tekanan di dalam keluarga. Ada pula faktor tekanan dari leader dan senior leader yang mengeluarkan kata-kata kasar dan makian binatang kepada buruh. Biasanya leader dan senior leader akan membentak ketika buruh tidak mencapai target. Rata-rata buruh yang bekerja di pabrik sparepart elektronik ini adalah perempuan yang baru lulus SMK/SMA. Karena mereka merasa ditekan, pada akhirnya mereka keluar dari pekerjaan. 

Ada pula kasus pelecehan seksual di area pabrik. Ketika saya jadi pengurus, kasus pelecehan seksual relatif berkurang ketimbang waktu awal saya masuk kerja. Ini juga jadi persoalan untuk diselesaikan. 

Saya juga dapat kabar bahwa rata-rata buruh terlilit utang ke rentenir. Saya perkirakan hampir 40 persen upah buruh dipotong untuk membayar utang ke rentenir. Pinjaman utang ke rentenir ini biasanya untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Para buruh meminjam uang ke rentenir dengan jaminan kartu ATM. Ada pula yang menggadaikan kartu BPJS. Setelah itu, rentenir memberikan pinjaman dan menetapkan bunga di kisaran 20-40 persen, bahkan ada buruh upah bulanannya habis untuk bayar utang. Buruh yang memiliki banyak utang semangat kerjanya menurun. Karena setiap bulan upahnya tidak diterima. Karena kinerjanya menurun, serikat buruh pun disalahkan oleh manajemen. Karena persoalan utang pula, ada pula buruh yang mengundurkan diri dari pekerjaan dengan mengambil program pensiun dini. Pada akhirnya, serikat buruh pun kehilangan anggota. 

Melihat pergerakan serikat buruh, sebenarnya, perusahaan tidak tinggal diam. Perusahaan berusaha melancarkan program pengurangan buruh, terutama kepada anggota serikat buruh. Kejadian ini menjelang tiga bulan lagi ke puasa Ramadan. Waktu itu, perusahaan mengumumkan akan melakukan PHK terhadap 1500 buruh dari 3000 buruh. Saya dipanggil oleh HRD. HRD menyebutkan maksud dan tujuan pengurangan buruh tersebut. Perusahaan menginginkan agar buruh yang sisa kontraknya sebulan diputus kontrak agar saat di bulan Ramadan sudah tercapai pengurangan 1500 buruh. Saya membantah dan tidak setuju jika hal tersebut terjadi kepada anggota serikat buruh. Melihat gelagat tersebut, manajemen mengurungkan niatnya. Tapi upaya putus kontrak terus terjadi tapi kepada buruh bukan anggota serikat buruh. 

Selain itu, ada pula pelaksanaan libur lebaran Idulfitri. Berdasar Surat Keputusan Bersama 3 Menteri, pemerintah menetapkan bahwa libur Lebaran dilakukan sebelum dan sesudah Idulfitri. Waktu itu, saya mengajukan dua permintaan kepada pihak perusahaan:

  1. Memberikan kelonggaran waktu kepada para buruh yang tinggalnya jauh agar dipercepat izin liburnya. Agar para buruh dapat merayakan Lebaran di kampung halaman bersama keluarga mereka.
  2. Jika buruh bekerja di hari libur Lebaran maka diperhitungkan lembur dengan pembayaran dua kali lipat.

Dari dua tuntutan tersebut manajemen merespons tuntutan pertama; libur Lebaran didahulukan bagi buruh yang berasal dari Jawa Tengah, Lampung, dan kota-kota lain. Sedangkan tuntutan yang kedua hanya dikabulkan untuk perhitungan lembur sehari. Kesepakatan tersebut berlaku bagi semua buruh lama maupun baru. 

Pengumuman pun ditempelkan di mading. Dengan adanya kesepakatan tersebut, para buruh merasa senang. 

Namun, delapan hari setelah pengumuman, manajemen mengingkari kesepakatan. Mereka berkilah bahwa terjadi miskomunikasi. Mereka meralat kesepakatan secara sepihak dengan membuat pengumuman baru. Dalam pengumuman baru disebutkan bahwa perhitungan lembur dua kali lipat hanya berlaku bagi buruh yang telah bekerja satu tahun ke atas. 

Dengan hal tersebut, saya sangat marah. Saya pun mendatangi manajemen,

“Bapak maunya apa?” “Mengapa keluar dari kesepakatan?”  

Saya pun mempertanyakan komitmen manajemen ketika menyepakati kesepakatan dan membiarkan pengumuman ditempelkan di mading. Saat itu manajemen malah menyalahkan saya. Katanya, saya membuat suasana pekerjaan tidak kondusif. Pada akhirnya, saya pun kalah dengan pengumuman baru dari manajemen. 

Menggalang Solidaritas

Saya adalah orang yang beruntung. Setelah menjadi ketua serikat buruh, saya pun berkesempatan belajar dengan organisasi-organisasi yang memiliki perhatian terhadap perburuhan, seperti IndustriAll dan TURC. Melalui organisasi tersebut saya belajar mengenai kesetaraan gender, kepemimpinan, PKB, kesehatan dan keselamatan kerja, pengorganisasian serikat buruh dan materi-materi lainnya. Semua saya ikuti karena semua sangat penting buat saya pribadi.

Dari materi-materi pelajaran tersebut pengetahuan saya bertambah. Sensitivitas saya mengenai mengenai kondisi kerja di dalam pabrik pun meningkat. Saya pun jadi mengetahui hubungan bahan kimia dengan kesehatan buruh. Di tempat kerja saya memang ada beberapa bagian pekerjaan yang menyebabkan penyakit kulit dan sesak napas. Ternyata, penyakit-penyakit tersebut memiliki hubungan dengan bahan kimia yang dipergunakan di tempat kerja. 

Saya pun mengikuti pendidikan-pendidikan yang dilaksanakan oleh DPC GSBI. Di DPC saya bertemu dengan buruh lain dari sektor yang berbeda. Kami belajar mengenai kasus-kasus yang terjadi di pabrik lain, yang hampir sama terjadi di tempat kerja saya. Masalahnya tidak jauh dari upah, PHK sewenang-wenang, putus kontrak dan union busting.             

Berorganisasi memang terasa betul menyita waktu saya buat keluarga. Tetapi saya sangat senang menjalaninya. Pengetahuan dan keberanian saya bertambah. Kawan saya bertambah, bahkan saya berkenalan dengan buruh dari daerah lain yang memiliki kesamaan nasib sebagai buruh yang tertindas. Inilah yang memberikan energi yang kuat untuk saya. 

Pada 21 januari 2019, ada salah satu pabrik tutup secara tiba-tiba di daerah Cicurug, yaitu PT Sentosa Utama Garmindo. Karena pemilik pabrik kabur. Mereka menghadapi masalah yang sama dengan saya dan buruh lainnya. Saya pun terlibat dalam perjuangan mereka. Mereka menduduki pabrik. Mereka juga melakukan aksi massa ke Pemda Sukabumi. Di dalam aksi masa itu saya bisa rasakan betapa susahnya buruh mendapatkan hak-haknya padahal upah adalah hak normatif. Hak normatif semestinya tidak perlu lagi diminta tapi harus otomatis diberikan. 

Sekali waktu saya mengumpulkan beberapa bahan kimia berbahaya di tempat kerja untuk diperiksa oleh ahlinya. Saya pun mengumpulkan bukti-bukti seperti foto-foto akibat pengunaan zat kimia seperti kulit tangan yang melepuh, leher yang gatal-gatal, dan sesak nafas. Saya dan pengurus lain pun juga menyelidiki mengenai target produksi yang tinggi dan menyebabkan buruh stress dan banyak yang pingsan. Ternyata, semua itu disebabkan oleh bahan kimia yang disebut dengan toluene. Toluene adalah pelarut dan pembersih, yang biasa dipergunakan di tempat kerja kami untuk membersihkan bagian earphone

Di bantu oleh DPC GSBI, berbulan-bulan kami melakukan penyelidikan. Kami melakukan advokasi agar pabrik tidak menggunakan lagi toluene. Selain itu, upaya ini pun dibantu oleh salah satu organisasi kampanye internasional dari Eropa. Kami mendesak agar penerima order dari tempat kerja kami, yaitu Samsung, mengganti toluene dengan bahan kimia yang lebih aman untuk buruh dan disediakan alat perlindung diri yang lebih nyaman. 

Ternyata desakan itu berhasil. Buyer mengirimkan satu tim audit. Mereka tidak hanya mengaudit mengenai bahan kimia, tapi semua yang berkaitan dengan hak-hak perburuhan, seperti kontrak kerja, upah, jam kerja, klinik dan sebagainya. Waktu itu, saya memperhatikan bagian manajemen seperti kebakaran jenggot. Mereka sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi audit. Bagian office yang tadinya selalu judes berubah ramah. 

Menghadapi audit, manajemen tidak kalah akal. Mereka menyiapkan audit palsu. Mereka membuat briefing dengan para buruh: jika ditanya ini, jawab ini. Misalnya, jika ditanya apakah perusahaan menggunakan toluene, jawab tidak; apakah overtime ada paksaaan, jawab tidak; dan sebagainya. 

Namun bukan hanya mengarahkan jawaban, para buruh pun mendapatkan ancaman; jika mereka menjawab tidak sesuai perintah manajemen maka pabrik akan tutup dan buruh akan di-PHK. Tapi auditor tetap menemukan mengenai pelanggaran-pelanggaran hak buruh. 

Akhirnya, setelah audit tersebut bahan toluene digantikan oleh bahan kimia lain, yaitu etil. Buruh pun diberikan sarung tangan, kaca mata pelindung, earphone antikebisingan, memasang penyedot debu yang besar di tempat penyucian zinc dan gudang. Perusahaan pun melakukan MCU (medical check up) untuk seluruh buruh.

Dari hasil audit itu pula, dibuat pernyataan agar tidak terjadi percaloan dalam rekrutmen. Meskipun dalam praktiknya percaloan masih terjadi. Percaloan ini melibatkan perangkat desa, leader, supervisor, HRD dan stafnya.

Ketika tulisan ini selesai dibuat, saya dan kawan-kawan masih berjuang agar kondisi kerja buruh semakin membaik, meskipun intimidasi gencar dilakukan oleh manajemen.[]

***

Baca bagian 1

Baca bagian 2