Kawan saya berseloroh, Tan Malaka tidak hadir dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia karena gak dapat per diem dari partainya. Tentu saja dia bercanda. Karena ingin mengkritik Ornop yang enggan belajar bersama rakyat.
Kamu bisa bayangin ga sih. Bayangin saja dulu! Ada warga yang digusur di hari libur atau buruh mengalami kecelakaan kerja di hari libur. Kemudian para pendampingnya tidak ada dengan alasan, “Maaf kami sedang libur”, “Oh maaf itu bukan program”, “Itu bukan Tupoksi kami”, “Saya gak bisa ke lapangan karena tidak ada uang lembur”, “Kami tidak bisa berkampanye karena tidak ada upah lembur”, “Kami tidak dapat hadir dalam diskusi itu, karena itu bukan wilayah kerja kami”. Jawaban khas birokrat.
Bukan kah kita juga sering dengar jawaban yang sama dari birokrat negara ketika melapor. “Kami tidak ada anggaran”, “Karena tidak ada laporan kepada kami”, “Itu bukan Tupoksi kami”.
NGO telah lama dikritik. Terdapat banyak tulisan yang menarik, di antaranya NGOs: enemies or allies?, Neo-compradors: the leftist foot soldiers of Imperialism, NGOs: In the service of imperialism, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial dan ORNOP dan krisis di Indonesia: mencari landasan bersama.
Semuanya mempersoalkan mengenai ideologi NGO. Di Indonesia, istilah NGO sempat disepakati untuk diubah menjadi Ornop (organisasi non pemerintah), sebagai organisasi bukan underbouw lembaga negara dan perusahaan.
Mereka tidak setuju dengan istilah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau LPSM (Lembaga Pemberdayaan dan Swadaya Masyarakat). Alasannya, pertama karena istilah LSM telah dibajak oleh organisasi preman, seperti LSM Pemuda Pancasila. Kedua, karena LSM telah menjadi kepanjangan tangan perusahaan yang menerima dana CSR dari perusahaan perusak lingkungan. Mereka juga menolak istilah ‘memberdayakan masyarakat’ karena pada hakikatnya masyarakat sudah berdaya. Masyarakat dilemahkan oleh negara dan kapital.
Posisi mereka jelas. Rakyat dilemahkan. Mereka pasti melawan. Emang rakyat butuh ‘Pekerja NGO?’ Kagak tong! Emang Pak Kholid yang melawan PIK2 itu hasil didikan ‘pekerja NGO’, yang lulusan S2 di luar negeri. Preet! Emang keberanian Bu Senawati di Buol melawan perusahaan sawit hasil pengabdian elu?! Justru sebaliknya, ketika rakyat sedang melawan kapital dan negara, elu lagi pada di mana?! Kita belajar kepada rakyat! Terus mau minta per diem, upah layak dan kondisi kerja yang adil?
Semua tulisan-tulisan berkualitas di atas merupakan refleksi mengenai peran dan posisi Ornop. Mereka mempertanyakan Ornop akan duduk bersama siapa: bersama rakyat atau bersama negara atau bersama perusahaan. Ringkasnya, Ornop menjadi jongosnya siapa?
Mereka pun mengubah istilah CD (Community Development) yang biasa digunakan oleh LSM buatan perusahaan dan negara atau dibuat untuk mengabdi kepada perusahaan dan negara dengan CO (Community Organiser). Alasannya, CD menjadi rakyat sebagai objek dan menganggap persoalan harian rakyat sebagai masalah teknokratis, rakyat kurang rajin dan kurang sabar.
Dengan menggunakan istilah CO maka para aktivis Ornop menguatkan dan meneguhkan gerakan rakyat. Bagi Ornop, seharusnya rakyat bukan objek program, bukan situasi yang harus ditundukkan dalam logframe dan theory of change. Namun kita juga harus ingat, ada banyak NGO dan LSM yang memang dibuat untuk mengabdi kepada negara dan kapital. Contohnya, proyek Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 hasil dari proyek NGO Ausaid. Sedangkan BPJS hasil dari proyek NGO GTZ.
***
Beberapa tahun terakhir, saya memperhatikan dan bergaul dengan teman-teman yang bekerja di NGO, khususnya di wilayah JABODETABEK. Dari amatan saya, bekerja di NGO kini semakin dipandang sebagai profesi yang menjanjikan dalam hal karir atau sebagai sarana untuk menjadi intelektual (peneliti) yang bisa mempresentasikan dirinya di lembaga internasional. Diam-diam, situasi ini semakin menguat dengan semakin banyaknya iklan lowongan kerja yang dipasang di berbagai kanal, seperti Jobstreet, atau bahkan oleh NGO itu sendiri yang membuka open recruitment.
Dalam dua tahun terakhir ini juga muncul istilah aneh, ‘pekerja NGO’. Keanehan pertama, menggunakan istilah yang ragu-ragu dan memiliki dimensi ogah disebut buruh. Pengen tetep mentereng, pekerja!
Keanehan kedua adalah terkait dengan penggunaan istilah ‘NGO’. Istilah ini terkesan asing dan justru menjauhkan mereka dari bahasa sehari-hari rakyat yang tidak menggunakan bahasa Inggris. Ada kesan bahwa mereka tidak berusaha untuk berbicara dalam bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh rakyat biasa, melainkan memilih tetap menggunakan istilah yang lebih akademis dan terkesan elit.
Keanehan lainnya, tuntutannya cemen tapi analisisnya mewah pake teori nilai. Mereka mempersoalkan tuntutan pekerjaan dengan kepatuhan hukum ketenagakerjaan. Merasa mengeluh tidak mendapatkan hak-haknya sebagai ‘pekerja NGO’ padahal telah berjuang untuk masyarakat. Cie… cie… yang mengabdi kepada rakyat, sambil rebahan. Tidak lupa juga scroll X dan IG di cafe dan beer house. Tidak terlewat tentunya, sembari meratap dan sambat (mengumpat) di medsos.
Dalam beberapa kesempatan, saya mengikuti diskusi mengenai ‘pekerja NGO’. Sayangnya, sangat sedikit yang membahas mengenai metode kerja yang tidak didemokratiskan oleh lembaganya atau visi-misi NGO yang tidak jelas. Kebanyakan diskusi langsung jumping pada masalah relasi kerja. Dalam hati saya bertanya, “Kenapa kritiknya malah soal relasi kerja? Bukankah persoalan utama terletak pada visi dan misi NGO itu sendiri? NGO itu jadi jongos siapa? Jongos kapital atau jongos rakyat?” Bukankah seharusnya ada mekanisme yang digunakan oleh NGO, seperti Rencana Strategis (Renstra), yang bisa dipertanyakan dan dipertarungkan lebih dulu sebelum membawanya ke Disnaker ketika mengalami ketimpangan?
Terkadang mereka yang bercita-cita menjadi pekerja NGO lupa ada lembaga donor yang cenderung represif dan membuat NGO-nya sendiri menjadi birokratis, tetapi sering kali hal ini hanya dimaknai sebagai kesalahan internal. Jika NGO sepenuhnya bergantung pada donor, memberikan upah tinggi kepada personilnya, dan mengurangi beban kerja mereka, maka apakah itu akan mampu merubah situasi gerakan? Itu adalah pertanyaan yang perlu dilihat juga.
Wacana tentang membangun serikat di dalam NGO memang perlu dimaknai kembali. Berserikat jelas merupakan alat untuk perlawanan, karena dengan berserikat buruh dapat memperjuangkan hak-hak dan kepentingannya secara kolektif, efektif, dan tepat sasaran. Namun, dalam konteks NGO, saya melihat ada hal yang lebih mendesak daripada sekadar melawan NGO di Disnaker. Bukankah lebih penting untuk melawan korporasi dan negara yang lebih besar. Walaupun ini menjadi debatebel jika mereka melihat dirinya dan lembaganya sebagai relasi upahan.
***
Kita memang perlu mengkritisi dan bahkan memukul NGO yang perilakunya hanya menjadi penambang data dan broker kasus, yang sering kali tidak membawa perubahan nyata. Namun, kita juga harus mengkritisi diri sendiri: Kepada siapa kita mengabdi dan untuk apa kita berada dalam satu lembaga? Saat saya menyelesaikan tulisan ini, handphone saya berdering seorang teman mengirim pesan “orang-orang di NGO itu jongos rakyat”.[]
Jika Anda menikmati membaca cerita ini, maka kami akan senang jika Anda membagikannya!