Bagi buruh PT Freeport Indonesia yang menjadi korban pemecatan massal karena mogok kerja 2017, May Day bukan sekadar peringatan tahunan, melainkan pengingat sekaligus simbol perjuangan menuntut keadilan dan pengakuan atas hak-hak yang diabaikan. Melalui momentum May Day 2025 ini, kami terus menyerukan solidaritas, keadilan, dan perlindungan hak- hak pekerja di tengah dinamika industri dan kebijakan pemerintah.
Sejak 2017, ribuan pekerja di Lingkungan PT Freeport Indonesia menjadi korban pemecatan sepihak oleh perusahaan setelah melakukan aksi mogok massal yang dipicu oleh kebijakan furlough alias dirumahkan tanpa kepastian. Mogok kerja tersebut dinyatakan sah oleh pengawas ketenagakerjaan, namun hingga hari ini, konflik tersebut belum juga menemukan titik penyelesaian yang adil. May Day 2025 kali ini menjadi penanda bahwa sudah genap 8 tahun kami berjuang dan menimbulkan pertanyaan besar bagi kami. Mengapa pemerintah gagal menyelesaikan konflik perburuhan yang menyangkut hak hidup ribuan keluarga buruh?
Melalui tulisan ini saya hendak membagikan beberapa hal pengalaman kami menuntut keadilan sekaligus merefleksikan bagaimana kami diperlakukan tidak adil oleh perusahaan, dan bahkan negara.
Lemahnya Penegakan Hukum Ketenagakerjaan
Pemerintah provinsi melalui pengawas ketenagakerjaan telah melakukan investigasi dan menyatakan bahwa mogok kerja buruh Freeport sah secara hukum yang diperkuat dalam Putusan Mahkamah Agung. Namun ironisnya, tidak ada langkah tegas yang diambil untuk mengoreksi PHK massal yang dilakukan perusahaan. Bahkan, hingga kini belum dilakukan pemeriksaan pidana ketenagakerjaan terhadap manajemen Freeport atas dugaan pelanggaran hak pekerja. Ketidaktegasan ini mencerminkan lemahnya penegakan hukum di sektor ketenagakerjaan, khususnya terhadap perusahaan besar multinasional.
Dugaan Gratifikasi dan Konflik Kepentingan
Temuan dugaan gratifikasi dari Freeport kepada pejabat Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Papua memperkuat kecurigaan publik bahwa institusi pengawas ketenagakerjaan tidak lagi netral. Pemberian fasilitas akomodasi dan dana perjalanan oleh perusahaan kepada pejabat yang seharusnya mengawasi mereka merupakan konflik kepentingan serius yang merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem pengawasan ketenagakerjaan.
Minimnya Tekanan Politik dan Sosial
Kasus pemecatan massal sepihak oleh PT Freeport nyaris tidak mendapatkan sorotan dan perhatian dari elite politik nasional maupun dukungan kuat dari serikat pekerja nasional. Padahal, dampaknya sangat besar terhadap ribuan keluarga buruh dan komunitas lokal di Mimika. Kurangnya tekanan politik dan lemahnya solidaritas serikat pekerja di tingkat nasional membuat kasus ini perlahan-lahan tenggelam di tengah isu-isu politik dan ekonomi yang lebih “seksi” secara media.
Prioritas pada Stabilitas Ekonomi dan Investasi
Freeport merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar Indonesia, dan pemerintah telah mengalokasikan banyak energi untuk menjamin stabilitas dan kelangsungan operasi tambang. Dalam konteks ini, hak-hak pekerja menjadi subordinat dari kepentingan ekonomi makro dan investasi asing. Pemerintah tampaknya lebih memilih diam demi menjaga relasi strategis dengan Freeport, ketimbang memperjuangkan hak-hak buruh yang jelas-jelas telah dilanggar.
Abainya Negara terhadap Hak Asasi Pekerja
Konflik perburuhan di PT Freeport ini juga menunjukkan kegagalan negara dalam menempatkan hak pekerja sebagai bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi. Negara tidak hadir dalam proses pemulihan hak-hak buruh, baik dari sisi kompensasi, rehabilitasi, maupun reintegrasi mereka dalam dunia kerja. Ribuan buruh dan keluarganya dibiarkan hidup dalam ketidakpastian hukum, ekonomi, dan sosial selama bertahun-tahun.
Siapa yang Membela Buruh?
Kegagalan pemerintah menyelesaikan konflik perburuhan Freeport adalah potret buram dari sistem ketenagakerjaan Indonesia yang masih tunduk pada kekuasaan modal dan kepentingan elite. Di tengah gemuruh investasi dan pembangunan, suara buruh seperti teredam. Diperlukan tekanan kuat dari masyarakat sipil, media independen, dan komunitas internasional agar negara kembali menjalankan perannya: melindungi rakyat, bukan hanya melayani korporasi.
Jika Anda menikmati membaca cerita ini, maka kami akan senang jika Anda membagikannya!