Pertengahan April 2025, beberapa petinggi serikat buruh mewacanakan pembentukan Satuan Tugas PHK (Satgas PHK). Dan kemudian direspons positif oleh pemerintah. Usulan pembentukan Satgas PHK tersebut dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terjadinya kasus pemecatan massal di berbagai perusahaan dan daerah karena ketidakpastian ekonomi global akibat perang tarif.
Pertanyaannya kemudian, seberapa efektifkah Satgas PHK tersebut?
Merujuk pembentukan lembaga-lembaga perburuhan yang keanggotaannya bersifat multistakeholder, seperti Lembaga Kerjasama Tripartit (LKS Tripartit), Dewan Pengupahan dan lainnya, peran dan tugasnya hanya memberikan masukan dan saran. Keputusan penentu akhir tetap ada di eksekutif atau pemerintah.
Jika mengacu pada lembaga tripartit yang ada, sepertinya keberadaan Satgas PHK tersebut tidak akan jauh beda dengan lembaga-lembaga tripartit yang sudah dibentuk sebelumnya. Yaitu: hanya memberikan masukan dan saran atau pertimbangan pada pemerintah terkait kebijakan di bidang perburuhan. Tidak lebih dari itu!
Padahal, jika hanya sekadar soal pencegahan PHK, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, semua pihak, termasuk pengusaha, buruh, serikat buruh dan pemerintah, memiliki kewajiban untuk berusaha mencegah terjadinya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Sebagaimana pasal 151 UU Ketenagakerjaan menegaskan hal ini, mengharuskan semua pihak untuk mengusahakan agar jangan terjadi PHK.
Persoalannya, dalam beberapa kasus PHK yang terjadi, bukan karena tidak adanya masukan dan saran dari serikat buruh, pemerintah dan lainnya, tapi lebih pada pertimbangan pengusaha serta gagalnya negosiasi secara bipartit antara pengusaha dan serikat buruh atau buruhnya secara langsung.
Hal yang memprihatinkan, dalam beberapa kasus pemecatan massal, pengusaha tidak membayarkan hak-hak buruh, alias tidak menjalankan ketentuan normatif yang sudah dibuat oleh pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bahkan, pengusaha juga kerap mengabaikan ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang dibuat oleh serikat buruh dan pengusaha. Dan lagi-lagi, dalam beberapa kasus yang terjadi, pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa, selain memberikan masukan dan saran.
Berdasarkan catatan beberapa kasus pemecatan massal, dipenuhi atau tidaknya hak-hak buruh lebih ditentukan oleh kondisi kemampuan perusahaan. Jika perusahaan tersebut ada serikat buruhnya, sangat ditentukan oleh kemampuan negosiasi dan advokasi yang dilakukan oleh serikat buruh. Baik secara bipartit, tripartit maupun perjuangan hukum di pengadilan.
Meskipun tidak sedikit kasus perburuhan di pengadilan dimenangkan oleh buruh, tapi sampai akhir hayatnya buruh tetap tidak memiliki jaminan akan mendapatkan hak-haknya sebagaimana aturan perundangan yang ada.
Berangkat dari beberapa catatan di atas, sangat sulit menemukan jawaban yang dapat meyakinkan kita semua tentang keefektifan Satgas PHK dalam mencegah PHK dan memastikan pemenuhan hak buruh yang dipecat, kecuali dengan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, Pemerintah mengubah nomenklatur dalam UU Ketenagakerjaan yang memberikan tugas lebih perkasa pada satgas ini. Tapi ini nampaknya akan sulit dilakukan, mengingat pencegahan PHK yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, tidak lebih dari sekadar tahapan memberikan masukan dan saran. Jika ini diubah, artinya harus merubah UU Ketenagakerjaan atau UU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan terlebih dahulu. Dan untuk beberapa pengalaman pembentukan lembaga perburuhan yang bersifat tripartit, keberadaannya cenderung hanya bersifat formalistik dan jauh dari substansi.
Kedua, ada pelimpahan tanggung jawab dari para pengusaha yang tidak bisa menjalankan kewajibannya terhadap buruh, seperti dalam pembayaran upah dan pesangon dan hak normatif lainnya oleh negara, sehingga menjadi tanggung jawab negara. Dan ini juga akan sulit dilakukan, mengingat belum ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang hal ini.
Ketiga, berhasil tidaknya upaya pencegahan PHK akan sangat ditentukan oleh terobosan dan kebijakan pemerintah seperti melakukan diversifikasi ekspor, langkah pemulihan ekonomi yang cepat, keberhasilan negosiasi antara pemerintah RI dengan AS, mengoptimalkan pasar dalam negeri, atau upaya lain seperti pembebasan kewajiban pengusaha terhadap negara seperti pajak, bea masuk dan sejenisnya serta pemberian insentif yang signifikan terhadap para pelaku usaha di tengah situasi ekonomi global yang semakin mengkhawatirkan ini.
Ketiga langkah di atas mungkin saja dilakukan oleh pemerintah, walaupun peluangnya sangat kecil. Mengingat pemerintah sedang dihadapkan pada kondisi anggaran negara yang sedang defisit dan memiliki tanggungan membayar utang luar negeri yang sudah jatuh tempo.
Sebenarnya dalam menghadapi situasi ekonomi yang tidak menentu dan kekhawatiran menghadapi banyaknya kasus PHK massal, tuntutan buruh itu sangat sederhana: saat bekerja penuhi hak sesuai aturan, dan saat dipecat berikan juga hak sesuai aturan. Tidak lebih dari itu.
Persoalannya, jangankan dalam kondisi krisis, dalam kondisi normal saja hak-hak buruh kerap diabaikan oleh pengusaha, dan pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa.
Bukti yang paling mencolok adalah kasus PHK massal buruh PT Sritex, di mana kasusnya sangat menggemparkan, sampai-sampai Presiden Prabowo Subianto sempat berkomentar ingin menyelamatkan PT Sritex. Bahkan Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker), Immanuel Ebenezer sempat turun langsung ketika buruh PT Sritex melakukan aksi dan menjaminkan jabatannya apabila buruh PT Sritex di PHK massal.
Faktanya, PHK massal terhadap buruh Sritex tetap dilakukan, dan buruh tetap saja jadi korban, karena hak-haknya tidak dibayarkan.
Blunder serikat buruh
Keberadaan Satgas PHK yang dibentuk oleh pemerintah mungkin memiliki manfaat, meskipun kecil. Namun itu bisa saja menjadi blunder untuk buruh dan serikat buruh itu sendiri. Karena ketika terjadi PHK massal, buruh pasti akan menuntut perwakilan serikat buruh yang berada di Satgas PHK tersebut untuk membatalkan PHK massal tersebut. Apalagi kalau sampai hak-hak buruh tidak dipenuhi oleh pengusaha pasti tuntutannya pada Satgas PHK dan bisa-bisa mengkambinghitamkan serikat buruh karena dianggap bagian dari Satgas PHK di dalamnya.
Lalu kemana arahnya Satgas PHK?
Walaupun Satgas PHK awalnya merupakan usulan dari petinggi serikat buruh, tapi belum bisa dipastikan manfaatnya untuk buruh.
Dan pemerintah merespon cepat usulan pembentukan Satgas PHK ini lebih kepada mengakomodir usulan yang disampaikan oleh para petinggi serikat, dan pemerintah menganggap hal ini bisa membantu pemerintah karena bisa berbagi peran dan tanggung jawab sekaligus bisa menghindarkan diri jadi satu-satunya kambing hitam, karena serikat buruh sudah diberi peran strategis untuk menghindari PHK massal melalui masuknya dalam Satgas PHK.
Tapi untuk menguji seberapa efektif keberadaan Satgas PHK apabila jadi dibentuk oleh pemerintah, kita tunggu saja. Benar efektif atau tidak, benar ada manfaatnya untuk buruh, atau justeru hanya sekedar gimick di tengah kebuntuan solusi dalam mengantisipasi krisis ekonomi yang berdampak pada sektor industri dan perburuhan di dalamnya.
Catatan Akhir
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menolak atau menentang keberadaan Satgas PHK, tapi lebih pada memberikan perspektif lain agar kalau Satgas PHK jadi dibentuk oleh pemerintah, keberadaannya benar – benar bisa dirasakan manfaatnya oleh buruh yang terdampak.
Bukan sekedar gimick tapi lebih pada hal – hal yang bersifat substansi, bukan sekedar memenuhi kebutuhan ceremony, biar pembentukannya bisa diumumkan saat Peringatan Tahunan May Day.