Menelusuri Tipologi Gig Economy
Perjuangan kelas telah menjadi dinamika historis sejak abad ke-19, ketika buruh mulai menuntut hak atas eksploitasi modal. Namun, kapitalisme modern menghadirkan kompleksitas baru dengan deregulasi pasar tenaga kerja, otomatisasi, serta dominasi Big Tech yang mengikis perlindungan sosial. Alih-alih memastikan kesejahteraan kolektif, sistem ini memperdalam kesenjangan dan melemahkan posisi buruh dalam ekonomi global.
Dalam lanskap tenaga kerja kontemporer, fleksibilitas yang dijanjikan justru menghadirkan ketidakpastian. Gig economy, yang diklaim memberdayakan buruh, nyatanya melanggengkan kerentanan struktural. Revolusi digital telah menciptakan kelas baru: prekariat, sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Guy Standing (2011), merupakan kelas sosial yang lahir dari dinamika globalisasi dan ekonomi neoliberal, ditandai oleh ketidakstabilan kerja, absennya perlindungan sosial, dan ketidakpastian ekonomi. Berbeda dari kelas menengah yang dulu menjamin stabilitas, prekariat terjebak dalam pekerjaan temporer berbasis platform digital.
Gig economy terbagi dalam dua kategori utama: crowdwork, yang berbasis digital (seperti Upwork dan Fiverr), serta location-based gig, yang mengandalkan interaksi langsung (seperti Gojek dan Grab), seperti layanan ride-hailing (Uber, Didi, Lyft), pengantaran makanan (Deliveroo, Just Eat, Uber Eats), dan jasa kurir (Maxim, Lalamove). Di Indonesia, ekonomi gig didominasi oleh superapp seperti Gojek, Grab, dan Shopee, yang mengintegrasikan berbagai layanan dalam satu platform, mencerminkan tren digitalisasi dan diversifikasi sektor ini. Keberadaan platform sebagai perantara serta sifat pekerjaan yang bersifat temporer membedakan buruh gig dari buruh kontrak dan outsourcing.
Gig economy menawarkan pekerjaan yang fleksibel dan independen di mana buruh memutuskan kapan dan di mana akan mulai bekerja. Model pekerjaan termasuk sistem kerja on-demand, kontrak tanpa jam kerja tetap, serta jadwal kerja yang berubah-ubah sesuai kebutuhan pasar (Ness et al, 2023). Namun, fleksibilitas menyebabkan ketidakstabilan dalam pekerjaan di mana keamanan kerja tidak ada dan pendapatan serta tunjangan tidak stabil. Model ini memperlihatkan pergeseran dari hubungan kerja tradisional menuju kontrak mikro berbasis platform. Tanpa jaminan kerja dan tunjangan sosial, buruh gig menghadapi “pikiran terprekariatisasi”, sehingga menimbulkan kecemasan terus-menerus akibat ketidakpastian ekonomi dan identitas sosial yang rapuh (Standing, 2011).
Ketidakpastian Jaminan Kesejahteraan Ojek Daring di Indonesia
Gig workers mengalami pertumbuhan pesat pasca-reformasi, didorong oleh meningkatnya kompetisi kerja yang semakin ketat, sehingga menciptakan ketidakstabilan bagi para buruh sektor ini. Fenomena ini semakin menonjol di Indonesia sejak kemunculan Gojek pada tahun 2015 sebagai platform transportasi daring.
Menurut Izzati et al (2023), jumlah pekerja gig di sektor transportasi daring (pengendara ojek dan kurir) di Indonesia mencapai 1,23 juta orang. Secara proporsional, angka ini mencakup 0,9% dari total angkatan kerja, 0,6% dari populasi dewasa, dan 10,9% dari lulusan perguruan tinggi. Pengendara ojek daring di Indonesia didominasi oleh laki-laki (97,6%). Pulau Jawa menampung 74% pekerja gig, dengan 480.000 (39%) bekerja sebagai ojek daring yang terkonsentrasi di aglomerasi Jakarta (Jabodetabek). Selain itu, kota-kota seperti Manado, Bandar Lampung, dan Denpasar memiliki kepadatan pengendara ojek daring yang tinggi.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengendara ojek daring memiliki jam kerja yang sangat tinggi, dengan rata-rata mencapai 57 jam per minggu. Keluhan yang umum juga disampaikan oleh para pengendara ojek daring adalah jam kerja yang melebihi 12 jam per hari, dari pagi hingga larut malam, dengan jumlah penumpang yang diperoleh hanya sekitar 10–12 orang. Temuan ini sejalan dengan berbagai studi yang mengungkap bahwa pengemudi ojek daring sering kali harus bekerja dalam durasi panjang guna memenuhi target serta memperoleh insentif harian berbasis target dan bonus; sehingga mereka bekerja melebihi batas wajar.
Meskipun secara nominal pendapatan mereka tampak tinggi, perhitungan berbasis jam menunjukkan bahwa tingkat upah per jam mereka relatif rendah dibandingkan dengan sektor lain. Pendapatan harian yang mereka hasilkan pun sering kali tidak mencukupi untuk menutupi biaya hidup, terutama karena tingginya harga bahan bakar serta berbagai potongan dan diskon yang diberlakukan oleh perusahaan platform. Potongan aplikasi saat ini mencapai 20-30 %. Oleh karena itu, rata-rata pendapatan mereka per bulan sekitar Rp 3,05 juta (Perwira & Hidayat, 2020).
Paradoksnya, meskipun penghasilan pengendara ojek daring tetap rendah, perusahaan justru meraup keuntungan besar dari skema pemotongan tersebut. Pola ini memperlihatkan bagaimana gig economy tidak hanya menciptakan ketidakpastian pendapatan bagi pekerja, tetapi juga membentuk struktur ketimpangan yang semakin disadari oleh banyak pengendara ojek daring. Model bisnis ini mempertahankan kontrol perusahaan atas buruh secara tidak langsung melalui pengaburan relasi kerja dalam konsep “kemitraan.”
Profesi pengemudi ojek daring di Indonesia belum memiliki ‘payung’ hukum yang jelas, sehingga secara legal dapat dikategorikan sebagai profesi yang belum diakui. Ketiadaan regulasi atau undang-undang yang mengatur profesi ini menjadi alasan utama mengapa para pengemudi tidak dapat diangkat sebagai buruh tetap dan tetap berstatus mitra. Akibatnya, perusahaan platform tetap mempertahankan pola kemitraan, tanpa menaikkan status mereka menjadi buruh atau memberikan hak-hak ketenagakerjaan seperti upah minimum, cuti berbayar, tunjangan, asuransi ketenagakerjaan, skema pensiun, dan perlindungan sosial yang lebih baik (Izzati, 2022). Sebagai perbandingan, di beberapa negara Eropa, sejumlah pengemudi ojek daring telah memperoleh status sebagai buruh, yang memungkinkan mereka menerima gaji dan tunjangan dari perusahaan; di mana skema ini sebenarnya diinginkan oleh sebagian besar mitra pengemudi di Indonesia.
Dalam perspektif ekonomi politik, model kemitraan inheren yang diterapkan oleh perusahaan platform sebenarnya menguntungkan pemilik modal dengan menghindari kewajiban mereka terhadap kesejahteraan buruh. Model ini mencerminkan pergeseran kekuasaan dalam dunia kerja, di mana perusahaan berbasis teknologi mampu mengontrol tenaga kerja tanpa memberikan jaminan yang layak (Fajri, 2025). Jika kondisi ini terus berlanjut tanpa regulasi yang jelas, maka eksploitasi pengendara ojek daring akan semakin sistematis, memperkuat ketimpangan sosial, dan memperburuk kualitas hidup buruh di sektor ini.
Sistem gamifikasi atau pelevelan dalam platform transportasi daring juga telah menciptakan stratifikasi di antara para pengemudi ojek daring. Alih-alih sekadar menjadi mekanisme insentif, sistem ini justru memperburuk ketimpangan ekonomi di kalangan ojek daring. Pengemudi dengan akun pada level rendah mengalami penurunan pendapatan yang signifikan, karena algoritma platform secara otomatis memprioritaskan akun dengan tingkatan lebih tinggi.
Fenomena ini menjelaskan mengapa banyak pengemudi yang telah mengaktifkan aplikasinya sejak pagi hingga siang hari tetap tidak mendapatkan orderan. Misalnya, seorang pengemudi dengan akun berstatus basic seringkali kesulitan mendapatkan pelanggan karena sistem cenderung memberikan prioritas kepada akun dengan level lebih tinggi, seperti silver, gold, atau platinum. Hal serupa juga terjadi pada platform lain, seperti Grab, yang menerapkan sistem peringkat mulai dari anggota, pejuang, satria, hingga jawara sebagai tingkat tertinggi (Mustaqim, 2024).
Akibat penerapan sistem ini, banyak pengemudi mengeluhkan penurunan pendapatan secara drastis. Beberapa di antaranya bahkan hanya memperoleh satu hingga dua pesanan dalam rentang waktu lebih dari enam jam. Sebagai ilustrasi, seorang pengemudi yang telah bekerja sejak pukul 08.00 hingga 14.00 hanya memperoleh dua pesanan dengan total pendapatan Rp16.000. Untuk meningkatkan status akun dan memperoleh akses yang lebih besar terhadap pelanggan, pengemudi harus mengumpulkan ribuan poin, yang hanya dapat diperoleh melalui jumlah perjalanan yang tinggi. Rata-rata, satu perjalanan hanya memberikan sekitar 15–20 poin (Perwira & Hidayat, 2020). Oleh karena itu, sistem ini tidak hanya menciptakan tekanan kerja yang berlebihan, tetapi juga membentuk persaingan yang semakin ketat di antara para pengemudi.
Lebih jauh, sistem pelevelan ini berfungsi sebagai instrumen kontrol yang membentuk sebuah algoritma perusahaan, yang secara otomatis memberikan lebih banyak pesanan kepada akun dengan tingkat lebih tinggi. Ini menciptakan siklus tertutup di mana mereka yang sudah berada di puncak terus mendapatkan keuntungan, sementara yang berada di level bawah semakin sulit meningkatkan pendapatannya (Abyyu et al, 2023). Insentif, privilese, dan prioritas hanya diberikan kepada mereka yang mampu mencapai target tertentu, sementara mereka yang gagal justru terkena penalti tidak langsung berupa penurunan kesempatan memperoleh pelanggan.
Gamifikasi ini juga berfungsi sebagai mekanisme depolitisasi ojek daring. Dengan menanamkan narasi individualisme, perusahaan membingkai kesuksesan dan kegagalan pengemudi sebagai tanggung jawab pribadi. Ketika seorang pengemudi tidak memperoleh penghasilan yang layak, mereka dianggap kurang bekerja keras atau gagal “menyelesaikan permainan” dalam sistem pelevelan, sementara perusahaan sebagai penyedia platform terbebas dari tanggung jawab struktural atas ketidakadilan ekonomi yang terjadi. Dalam skema ini, perusahaan tidak hanya mengontrol aspek ekonomi pengemudi, tetapi juga membentuk pola pikir yang menghambat terbentuknya kesadaran kolektif di antara buruh.
Dampak jangka panjang dari sistem ini adalah fragmentasi solidaritas di kalangan pengemudi ojek daring. Secara alami, mereka memiliki kepentingan bersama dalam menuntut kondisi kerja yang lebih adil. Namun, sistem gamifikasi mendorong mereka untuk saling bersaing, bukan bersatu. Bahkan dalam aksi-aksi kolektif seperti demonstrasi menuntut perbaikan sistem kerja, akan selalu ada pengemudi yang memilih untuk tetap bekerja demi meningkatkan peringkat akun mereka (Mustaqim, 2024). Hal ini menunjukkan bagaimana gamifikasi tidak sekadar menjadi mekanisme operasional, tetapi juga alat untuk mempertahankan status quo yang menguntungkan perusahaan dengan cara menghambat mobilisasi buruh dan memperlemah tuntutan kolektif mereka.
Di tengah fragmentasi yang dihasilkan oleh gamifikasi, para pengemudi ojek daring juga menghadapi tekanan ekonomi yang semakin besar. Tingginya biaya hidup di perkotaan, laju inflasi yang menekan, serta terbatasnya peluang kerja turut memaksa masyarakat (terutama lulusan SMA dan bahkan sarjana), untuk berprofesi sebagai pengemudi ojek daring, demi mencapai kestabilan ekonomi. Pendapatan mereka sangat fluktuatif, dengan bergantung pada algoritma platform, dinamika permintaan pasar, hingga faktor eksternal seperti kondisi cuaca (Darmaputra et al, 2024).
Meskipun platform digital menawarkan fleksibilitas, sistem kerja berbasis persaingan ini justru menghambat kestabilan ekonomi mereka. Penetapan tarif yang sepenuhnya dikendalikan oleh algoritma sering kali tidak mencerminkan kelayakan kerja. Pola kerja ini justru memperkuat precarious employment, di mana pekerja tidak memiliki jaminan pendapatan dan kepastian kerja dalam jangka panjang serta menjadikan stabilitas pendapatan sebagai sebuah ilusi.
Dalam The Affluent Society (1958), John Kenneth Galbraith menjelaskan bahwa kebutuhan pokok dalam masyarakat modern sering kali menciptakan ilusi kemakmuran. Sebagian besar pengemudi ojek daring terjebak dalam paradoks ekonomi: di satu sisi mereka menghadapi ketidakpastian penghasilan, sementara di sisi lain mereka dituntut untuk memenuhi kebutuhan primer hingga tersier guna menopang kehidupan keluarga mereka. Kenaikan harga kebutuhan hidup akibat tingginya biaya di perkotaan serta dinamika ekonomi nasional semakin memperburuk kondisi mereka. Lebih jauh, realitas yang jarang dibahas adalah peningkatan utang rumah tangga, yang kerap menjadi beban berat dalam memenuhi kebutuhan dasar.
Dalam lingkup hukum, para ojek daring ini belum memiliki payung yang melindungi kesejahteraan, hak, dan keselamatan mereka. Menurut Farhan dan Irwansyah (2023), sekitar 1,6% pekerja informal yang mendapatkan terlindungi oleh asuransi kecelakaan kerja dan asuransi jiwa. Angka tersebut berbanding jauh dengan 41% buruh di sektor formal. Tanpa mekanisme perlindungan yang memadai, mayoritas dari mereka rentan terhadap risiko kecelakaan kerja serta tekanan fisik dan mental yang berkelanjutan.
Pengendara ojek daring juga tidak luput dari kasus eksploitasi terselubung dalam model kerja gig dan telah menjadi perhatian publik. Salah satu insiden terjadi pada Februari 2023, ketika seorang ojek daring di Jakarta Barat dilaporkan meninggal dunia saat mengantarkan paket, diduga karena kelelahan akibat jam kerja yang berlebihan. Hal ini menegaskan perlunya regulasi yang lebih ketat guna melindungi kesejahteraan buruh gig di sektor transportasi.
Menjamin Hak dan Kebebasan Ojek Daring secara Adil, Inovatif, dan Berkelanjutan
Ribuan pengemudi ojek daring telah berulang kali menggelar demonstrasi di sekitar kantor pemerintahan dan perusahaan untuk menyampaikan aspirasi mereka. Aksi ini bertujuan mendesak pemerintah agar lebih memperhatikan kesejahteraan akan hak dan kebebasan mereka yang semakin tertekan oleh kebijakan perusahaan aplikasi. Para pengendara ojek daring menilai bahwa pemerintah cenderung lebih berpihak kepada kepentingan perusahaan aplikasi dan kurang memberikan perlindungan yang adil.
Oleh karena itu, mereka menuntut regulasi yang lebih berpihak pada kesejahteraan buruh, termasuk pembentukan payung hukum yang jelas agar perusahaan aplikasi tidak bertindak sewenang-wenang terhadap pengemudi dan kurir. Salah satu tuntutan utama dalam aksi ini adalah revisi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 1 Tahun 2012 tentang Layanan Pos Komersial, yang dinilai tidak lagi relevan dengan kondisi kerja dan tantangan yang dihadapi oleh pengemudi ojek daring di Indonesia.
Aspirasi dari setiap ojek daring tersebut perlu menjadi perhatian khusus bagi pemerintah maupun perusahaan platform penyedia transportasi daring. Langkah pertama dimulai dari pemerintah, yang harus merancang skema regulasi dengan tidak hanya melindungi kesejahteraan pengemudi, tetapi juga tidak membebani keberlangsungan industri digital. Sebagai langkah awal, pemerintah perlu memiliki basis data yang akurat terkait jumlah, distribusi, dan karakteristik ojek daring di tingkat nasional.
Data yang dikumpulkan secara independen, tanpa intervensi perusahaan penyedia platform, akan memungkinkan analisis yang lebih komprehensif mengenai kesenjangan antara ojek daring dengan buruh formal lainnya. Selain itu, evaluasi terhadap pola kemitraan antara perusahaan aplikator dan pengemudi ojek daring di Indonesia juga perlu dilakukan untuk mengidentifikasi unsur ketidakadilan dalam hubungan kerja.
Pemerintah perlu memperjuangkan pencantuman hak kesejahteraan dalam kontrak perjanjian kerja, termasuk skema pengupahan yang transparan dan pemberian jaminan sosial, seperti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, sebagaimana yang diterima oleh buruh sektor swasta. Untuk itu, pemerintah memiliki peran penting dalam mendorong regulasi yang mengatur hak dan kewajiban pengemudi, termasuk aspek imbalan hasil, jam kerja, jaminan sosial, dana hari tua, serta keselamatan dan kesejahteraan kerja.
Dalam aspek finansial, pemerintah dapat menjalin kemitraan dengan perusahaan platform penyedia ojek daring guna menciptakan Kredit Kendaraan Berbasis Produktivitas. Skema ini memungkinkan pengemudi memperoleh kendaraan dengan sistem cicilan berbasis pemotongan pendapatan secara otomatis tanpa bunga tinggi. Semakin konsisten dan rajin pengemudi bekerja, semakin ringan beban cicilan yang harus mereka tanggung. Selain itu, kendala akses terhadap perlindungan asuransi akibat premi yang mahal dapat diatasi melalui penerapan Sistem Asuransi Mikro Berbasis AI, yang secara fleksibel menyesuaikan skema perlindungan dengan pola kerja dan penghasilan pengemudi. Teknologi AI akan menganalisis data perjalanan dan memberikan opsi premi yang lebih terjangkau, sehingga pengemudi tetap mendapatkan perlindungan tanpa beban finansial yang berlebihan.
Dari sisi perusahaan, peningkatan kesejahteraan pengemudi ojek daring menjadi salah satu solusi rasional yang dapat diwujudkan melalui peran aktif perusahaan penyedia layanan atau aplikator. Perusahaan perlu menyelaraskan skema tarif hemat untuk pengantaran barang dan makanan pada seluruh platform, sehingga menghindari perlakuan yang tidak adil terhadap pengemudi. Selain itu, transparansi dalam kebijakan promosi dan algoritma pembagian pesanan harus ditingkatkan.
Algoritma pembagian perjalanan perlu mempertimbangkan faktor waktu tunggu, jarak tempuh, serta performa pengemudi secara lebih adil agar peluang memperoleh insentif dapat didistribusikan secara merata. Penerapan Algoritma Fair Ride dapat memastikan bahwa setiap pengemudi memiliki kesempatan yang setara dalam mendapatkan pesanan, sementara skema Dynamic Profit Sharing memungkinkan pengemudi menerima pembagian keuntungan yang lebih proporsional berdasarkan fluktuasi permintaan pasar, bukan hanya bergantung pada insentif musiman.Sebagai langkah perlindungan tambahan, perusahaan platform dapat mengembangkan sistem Driver Safety Wallet, di mana sebagian kecil dari setiap transaksi perjalanan otomatis dialokasikan sebagai dana darurat bagi pengemudi. Dana ini dapat digunakan untuk situasi mendesak, seperti kecelakaan, perawatan kendaraan, atau keadaan darurat lainnya. Dengan menerapkan teknologi blockchain, sistem ini dapat memastikan transparansi dan menghindari potensi penyalahgunaan dana.
Lebih lanjut, transparansi dalam sistem gamifikasi yang diterapkan perusahaan juga perlu ditingkatkan. Pengemudi harus memiliki akses yang jelas mengenai mekanisme perhitungan poin dan insentif, serta memastikan bahwa sistem tersebut bekerja secara adil bagi semua mitra. Insentif yang diberikan perlu lebih fleksibel, memungkinkan pengemudi memilih antara bonus tunai, voucher bahan bakar, atau potongan biaya layanan sesuai dengan kebutuhan mereka. Skema gamifikasi juga dapat lebih variatif dengan menyertakan tantangan berbasis performa, seperti jumlah perjalanan tertentu atau tingkat kepuasan pelanggan, guna memastikan distribusi order lebih adil tanpa bergantung pada faktor keberuntungan.
Sebagai bentuk apresiasi, perusahaan juga dapat menerapkan program loyalitas bagi pengemudi yang secara konsisten memberikan layanan berkualitas tinggi. Bonus berbasis rating pelanggan dapat menjadi mekanisme penghargaan bagi mereka yang tidak selalu mencapai target kuantitatif dalam skema gamifikasi tetapi tetap menunjukkan dedikasi dalam pekerjaannya. Perlunya kolaborasi antara pemerintah dan perusahaan platform yang diarahkan melalui penyediaan akses pelatihan keterampilan digital serta wirausaha, sehingga membuka peluang bagi pengemudi untuk meningkatkan taraf hidup mereka di luar sektor ojek daring.
Selain itu, perusahaan harus menyediakan mekanisme banding yang transparan agar pengemudi memiliki ruang untuk menyampaikan keluhan dan memperoleh solusi yang adil terhadap permasalahan yang mereka hadapi. Legalitas serikat atau komunitas pengemudi juga harus diperkuat oleh pemerintah agar mereka memiliki posisi tawar yang lebih setara dalam bernegosiasi dengan perusahaan platform. Keberadaan serikat ini dapat menjadi wadah bagi pengemudi untuk membahas persoalan terkait tarif, insentif, dan kebijakan kerja lainnya secara kolektif. Dengan langkah-langkah strategis tersebut, kesejahteraan buruh gig, khususnya pengemudi ojek daring, diharapkan dapat lebih terjamin melalui regulasi yang adil dan inklusif. Pemerintah, perusahaan platform, dan buruh perlu berkolaborasi untuk menciptakan ekosistem gig economy yang berkelanjutan tanpa mengorbankan fleksibilitas sektor ini. Selain itu, peningkatan keterampilan melalui pendidikan teknologi informasi dan komunikasi akan memperkuat daya saing pengemudi di era digital. Dengan pendekatan bersama ini, gig economy dapat memberikan manfaat optimal bagi semua pihak.
Referensi
Abyyu, M. M., Anggraeny, Y., & Hariyanto, V. N. (2023). Ketidakpastian Gojek Dalam Diskursus Masyarakat Resiko. TUTURAN: Jurnal Ilmu Komunikasi, Sosial dan Humaniora, 1(3), 15-25.
CNBC Indonesia. (2025, 5 Februari). Demo Ojol Tuntut THR 17 Februari 2025, Pemerintah Lakukan Ini. Diakses pada 9 Februari 2025: https://www.cnbcindonesia.com/tech/20250205112051-37-608117/demo-ojol-tuntut-thr-17-februari-2025-pemerintah-lakukan-ini
Darmaputra, R., Hidayat, R., Nurjana, J., Bulan, W. R., Widianingsih, Y., & Manolu, R. (2024). Dampak Profesi Ojek Online Bagi Perekonomian Driver Ojek Online. Jurnal Manajemen Riset Inovasi, 2(1), 139-150.
Dewi, I. R. (2023, 4 April). Tak Ada Payung Hukum, Ojol Grab-Gojek Profesi Ilegal? Diakses pada 8 Februari 2025, dari CNBC Indonesia: https://www.cnbcindonesia.com/tech/20230404134629-37-427222/tak-ada-payung-hukum-ojol-grab-gojek-profesi-ilegal
Fajri, M. S. (2025, 30 Januari). Gig Economy dan Keadilan Sosial: Sampai Kapan Pekerja Berjuang Sendirian? Diakses pada 8 Februari 2025, dari Kompas.com: https://money.kompas.com/read/2025/01/30/062046926/gig-economy-dan-keadilan-sosial-sampai-kapan-pekerja-berjuang-sendirian?lgn_method=google&google_btn=onetap
Farhan, M. I., & Irwansyah, I. (2023). Resistansi Pengemudi Ojek Online Terhadap Celah Hukum Ketenagakerjaan. Jurnal Kebijakan Publik, 14(1), 119-130.
Izzati, N. R. (2022). Ketidakseimbangan Kewajiban Para Pihak dalam Regulasi Ojek Online: Distorsi Logika Hubungan Kemitraan Ekonomi Gig. Undang: Jurnal Hukum, 5(2), 325-356.
Izzati, N. R., Askar, M. W., & Permana, M. Y. (2023, 23 Agustus). Dari Ojek hingga Penerjemah: Berapa Banyak Pekerja Ekonomi Gig di Indonesia dan Bagaimana Karakteristik Mereka? Diakses pada 8 Februari 2025, dari The Conversation Indonesia: https://theconversation.com/dari-ojek-hingga-penerjemah-berapa-banyak-pekerja-ekonomi-gig-di-indonesia-dan-bagaimana-karakteristik-mereka-211056
Morelli, C. (2018, 7 Mei). Marx, Worker Power and the Gig Economy. Diakses pada 7 Februari 2025, dari Sceptical Scot: https://sceptical.scot/2018/05/marx-worker-power-gig-economy/
Mustaqim, A. (2024, 2 Agustus). Rekayasa Gamifikasi Ojol: Memaksa Mitra Bekerja Lebih Lama & Giat, Bikin Sengsara Level Terendah, dan Memecah Solidaritas. Diakses pada 8 Februari 2025, dari Project Multatuli: https://projectmultatuli.org/rekayasa-gamifikasi-ojol-memaksa-mitra-bekerja-lebih-lama-giat-bikin-sengsara-level-terendah-dan-memecah-solidaritas/#:~:text=Arif%20tak%20ragu%20menyebut%20sistem,terhadap%20pengemudi%20itu%2C%E2%80%9D%20tuturnya.&text=Tulisan%20ini%20adalah%20bagian%20dari,di%20Mesin%20’Big%20Tech
Ness, I., Ovetz, R., Roque, I., Swidler, E. M., & Zwick, A. (2023). The Routledge handbook of the Gig Economy. London: Routledge.
Perwira, L. T., & Hidayat, M. (2020). Memahami dinamika bekerja dalam ketidakpastian: Tinjauan fenomenologis pengalaman bekerja pengemudi ojek online. Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi, 7(2), 249-266.
Puspitarini, R., & Basit, A. (2020). Persoalan Struktural Ekonomi Gig: Studi Kasus Start-Up Bisnis Transportasi Daring Di Indonesia. Media Bina Ilmiah, 15(4), 4327-4336.
Rinaldo. (2024, 30 Agustus). Regulasi Permenkominfo Nomor 1 Tahun 2012 Tidak Menguntungkan Ojol dan Kurir Online. Diakses pada 9 Februari 2025, dari Sinar Pagi Baru: https://sinarpagibaru.com/regulasi-permenkominfo-nomor-1-tahun-2012-tidak-menguntungkan-ojol-dan-kurir-online/
Sembiring, L. J. (2024, 29 Agustus). Bisakah Ojol Dapat Kesejahteraan dan Diakui Jadi Angkutan Umum? Diakses pada 9 Februari 2025, dari CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240829070820-92-1138813/bisakah-ojol-dapat-kesejahteraan-dan-diakui-jadi-angkutan-umum
Standing, G. (2011). The Precariat: The New Dangerous Class. London: Bloomsbury Publishing.Sulistiowati, T. (2024, 30 Agustus). Ini 6 Tuntutan Demo Ojek Online di Jakarta Kemarin. Diakses pada 9 Februari 2025, dari Kontan.co.id: https://nasional.kontan.co.id/news/ini-6-tuntutan-demo-ojek-online-di-jakarta-kemarin