Seorang organiser berbicara di suatu ruangan, di hadapan sekitar 10 orang buruh “serikat buruh adalah sebuah organisasi yang difungsikan untuk memperjuangkan kesejahteraan dan hak-hak Buruh.” Ya!. Setidaknya itulah fungsi serikat buruh menurut undang-undang. Ungkapan itu, Selain itu, rasanya sering sekali saya dengar di setiap pendidikan serikat buruh yang saya ikuti.
Tapi, bukankah strategi para pengusaha untuk memberangus serikat buruh semakin canggih bahkan dapat terhindar dari tuntutan hukum. Setahu saya, dari seluruh kasus union busting hanya satu kasus pengusaha yang dihukum karena melakukan union busting, yaitu di PT King Jim Pasuruan Jawa Timur, pada 2009. Pelaku pemberangusan serikat buruh di perusahaan tersebut akhirnya mendekam dipenjara.
Bagaimana proses hukum kasus union busting lainnya? Kasus-kasus union busting lainnya kerap gagal diproses di pengadilan. Saya mendengar cerita seorang kawan yang pernah mengalami union busting di tahun 2012. Sebut saja Nonon, bekerja di pabrik pembuat sepatu merek internasional di Kota Tangerang. Kondisi kerja yang buruk dan upah yang tidak sesuai aturan,menggerakan Nonon dan kawan-kawannya untuk mendirikan Serikat. Sebelum deklarasi Nonon dan kawan-kawannya membuat agenda-agenda diskusi dan pendidikan, entah dari mana pengusaha mengetahui rencana pembuatan serikat tersebut.
Suatu hari Nonon dipanggil menghadap direktur, general manager dan konsultan perusahaan yang juga Hakim Ad Hoc Mahkamah Agung. Pertanyaan mengenai rencana pembuatan serikat, tawaran untuk bekerja di departemen lain dan tawaran jabatan dan larangan pembuatan serikat secara halus adalah pembicaraan pertemuan tersebut.
Tawaran dan ancaman tersebut tidak berlaku, Nonon dan kawan-kawan tetap mendeklarasikan Serikat Buruh.. Satu hari setelah deklarasi pemberitahuan disampaikan kepada pihak perusahaan, respon dari perusahaan atas pendeklarasian serikat tersebut adalah Nonon dan tujuh kawannya dipecat dengan alasan efisiensi.
Nopember 2012 Nonon melaporkan tindakan union busting tersebut ke pihak kepolisian, ke Komnas HAM dan ke Mahkamah Agung. Tetapi sangat disayangkan Mahkamah Agung tidak merespon laporan tersebut, akhirnya laporan ke Komisi Yudisial.
Proses melaporkan union busting ke Kepolisian tidak semudah membaca dan memahami aturan Undang-Undang. Buktinya pelaporan union busting yang dilaporkan Nonon di tahun 2012 baru mendapat Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) ke 3 April 2013 dan ke 4 Januari 2014.
Walaupun sudah melaporkan lambatnya kinerja kepolisian ke Kompolnas dan Divpropam tetapi tidak ada perkembangan berarti. Tahun 2016 setelah mendengar keterangan saksi ahli seorang profesor dari Universitas Indonesia yang menyatakan “Bahwa tidak ada union busting dari kasus pemecatan buruh pembuat sepatu merk Internasional tersebut, alasannya karena serikat sudah berdiri.” Akhirnya pelaporan union busting akhirnya di SP3kan ( Surat Penghentian Penyidikan).
Saya lanjutkan kembali mengenai kasus union busting. Saya adalah salah satu Kolektif (sebutan umumnya Pengurus), di salah satu serikat buruh di Bandara Soekarno-Hatta. Sebuah bandara terbesar di Indonesia, bahkan beberapa orang menyebutkannya sebagai gerbang masuk negara. Terhitung, sudah sekitar 5 Tahun saya aktif di serikat buruh. Waktu yang relatif singkat bagi seorang aktivis Serikat Buruh.
Untuk membangun pengetahuan dan kapasitas agar memahami konteks permasalahan gerakan buruh secara umum, membutuhkan waktu dan keseriusan lebih. Namun itu tidak menyurutkan semangat saya untuk menulis, semoga apa yang saya tulis bisa bermanfaat bagi gerakan buruh.
Saya adalah salah satu buruh yang menyediakan makanan, minuman dan peralatannya, serta menyiapkan berbagai peralatan untuk penumpang di maskapai Garuda Indonesia. Berbagai peralatan tersebut merupakan bagian utuh dari pelayanan maskapai Garuda Indonesia. Tentu saja, Garuda Indonesia pun mengaku bahwa berbagai pelayanan tersebut sebagai bagian dari jualannya. Sebagai konsumen, tentu saja Anda pun akan memiliki pemikiran yang sama. Nyatanya, saya bukan, bahkan tidak diakui sebagai buruh Garuda Indonesia.
Saya dipekerjakan di salah satu buyut anak usahanya, melalui Aerowisata. Aerowisata punya anak usaha lagi, yaitu PT Aerofood Indonesia (Aerofood ACS). Nah, Aerofood ACS membuat usaha penyaluran tenaga kerja yang bernama PT NHU (Nur Hasta Utama). Jadi, saya adalah buruh outsourcing. Secara hukum hubungan kerja saya dengan PT NHU. Karena saya dan kawan-kawan berstatus buruh outsourcing maka derajat saya lebih rendah ketimbang buruh-buruh lainnya baik dari segi pengupahan, perlakuan maupun hak-hak lainnya. Tapi hasil kerja saya harus setara dengan hasil kerja buruh-buruh di Garuda Indonesia, sebagai bagian dari pelayanan Garuda Indonesia. Saya pun bekerja normal: 8 jam kerja per hari dan sebagainya.
Kondisi-kondisi di atas mendorong pertanyaan di benak saya, “Emang bisa Buruh outsourcing Berserikat?”. Hal dasar, namun sangat mencerminkan pengetahuan dari seorang buruh fresh graduate. Saya merasa didiskriminasikan oleh manajemen perusahaan.
Singkat cerita, saya dan kawan-kawan membangun serikat buruh. Kami menyebutnya Serikat Buruh Gerakan Buruh Katering (SB GEBUK) , seperti serikat pada umumnya, kami juga melakukan proses pengadvokasian kasus. Mulai dari isu hubungan kerja, hak normatif hingga pemecatan.
Ada satu isu yang membuat saya tertarik membahasnya dalam tulisan ini yaitu pemberangusan serikat buruh atau union busting.
Serikat buruh kami berafiliasi ke salah satu Federasi di Bandara Soekarno-Hatta, yaitu Federasi Serikat Pekerja Bandara Indonesia (FSPBI). Kebetulan saya juga merupakan salah satu kolektif di FSPBI.
Di Soekarno-Hatta ada beberapa kasus yang terindikasi kasus union busting melalui metode pemecatan terhadap pengurus serikat buruh. Orang lain menyebutnya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), saya lebih suka mengatakan pemecatan. Alasan saya sederhana, jika menggunakan istilah PHK hanya berlaku untuk hubungan kerja tetap. Kalau Putus kontrak, menurut ahli hukum dan manajemen perusahaan, bukan PHK. Tapi putus kontrak atau tidak diperpanjang kontrak. Menurut saya, orang yang dipecat bukan hanya kehilangan pekerjaan dan putus hubungan kerjanya, tapi kehilangan statusnya sebagai orang yang bekerja jadi penganggur, kehilangan rencana hidupnya dan terancam dikucilkan dari lingkungan sosial. Menurut saya penggunaan istilah itu penting karena akan berkaitan dengan hal-hal lainnya. Dalam tulisan ini, perusahaan akan dengan mudah mengatakan bahwa mereka tidak melakukan union busting tapi memutus hubungan kerja atau menghentikan kontrak kerja buruh.
Untuk memberikan gambaran bagi pembaca, saya akan mengambil contoh salah satu kasus, yaitu pemecatan yang dilakukan salah satu perusahaan warehouse cargo di Bandara. Pemecatan tersebut dilakukan terhadap ketua serikat buruh. Kebetulan saat itu serikat buruh di warehouse cargo sedang mengadvokasi beberapa hak normatif seperti kekurangan upah, hubungan kerja dan upah Lembur yang tidak dibayar.
Dengan kasus-kasus tersebut, para pengurus serikat buruh menyelesaikan persoalan satu per satu. Terlepas bahwa itu serikat buruh yang baru berdiri. Sialnya, ketika mengadvokasi kasus, para penguruslah yang disikat oleh manajemen. Mereka dituduh subversif alih-alih membongkar aib selama ini ditutup rapat.. Kondisi Serikat yang belum stabil mulai dari pengetahuan yang belum merata, kesadaran yang belum terbangun dan tidak ada ikatan solidaritas antar anggota serikat, pemecatan terhadap pengurus serikat buruh membuat serikat buruh porak-poranda. Tentu saja hal ini berkaitan dengan model kepemimpinan di serikat buruh yang baru dibangun.
Pemecatan terhadap pengurus serikat buruh kerap sekali diutarakan sebagai dengan istilah union busting oleh buruh terhadap pengusaha. Saya sepenuhnya sepakat, bahwa segala hal yang dilakukan pengusaha untuk melemahkan serikat buruh adalah union busting. Namun, menurut saya, terdapat faktor lain, yaitu organisasi yang tidak terorganisir. Contohnya seperti ketergantungan organisasi pada individu, ketidaksetaraan pengetahuan, jarak antara pengurus dan anggota, hingga tidak adanya persatuan di dalam serikat buruh.
Salah satu kolektif saya sebut saja “A” di FSPBI menyampaikan pertanyaan di sela-sela diskusi santai yang terdiri dari 4 orang di ruang dapur kantor serikat buruh, “Dalam kasus union busting. Serikat buruh itu dilemahkan, terdampak, atau melemahkan diri?”. Mendengar pertanyaan itu, beberapa orang menjawab bahwa union busting membuat serikat buruh terdampak dan akhirnya melemah.
Sedikit berbeda, saya melihat bahwa ketiga pertanyaan itu memiliki hubungan. Saya menjawabnya dengan uraian berikut:
- Dilemahkan: Pengusaha melihat celah bahwa keadaan serikat buruh tidak terkonsolidasi dan terorganisir. Contohnya, biasanya dalam setiap serikat buruh terdapat beberapa individu yang menonjol. Hal inilah yang dilihat pengusaha sebagai celah, dengan harapan jika individu tersebut dibuang akan melemahkan serikat buruh.
- Terdampak: Beberapa kasus, memang serikat buruh yang mengalami union busting membuat gerakan serikat buruh melemah atau bahkan berhenti. Selain karena kehilangan individu yang dinilai menjadi organiser organisasi, serikat buruh juga disibukkan dengan proses pengadvokasian yang membuat mereka lupa untuk mengorganisir anggota.
- Melemahkan diri: Setelah kehilangan sosok yang dianggap kunci dalam organisasi, pengurus atau anggota yang tersisa kerap mengalami kebingungan tentang bagaimana menjalankan roda organisasi ke depan. Hal ini disebabkan karena tidak meratanya pengetahuan di tubuh serikat buruh. Bisa jadi selama ini pengetahuan hanya dikonsumsi oleh pengurus, tanpa disebarkan kepada anggota. Alhasil anggota yang tersisa tidak bersedia meneruskan perjuangan serikat yang sudah ada. Beberapa bahkan mengalami ketakutan akan bernasib sama seperti kolektif lain yaitu dipecat. Bisa jadi, sebenarnya ketakutan itu disebabkan oleh ketidaktahuan.
Saya melihat serius masalah union busting. Selain sangat sering terjadi, kasus union busting yang merupakan tindakan pidana juga sangat sulit untuk dibuktikan. Jika union busting persoalan hukum maka perlu upaya kuat untuk membuktikannya di pengadilan. Lebih jauh saya melihat dengan sistem kerja fleksibel seperti saat ini, sangat mudah buruh kehilangan pekerjaan karena berserikat. Dengan konteks demikian, union busting bukan persoalan hukum tapi masalah ekonomi-politik. Saya mendengar dari beberapa kawan dalam beberapa kali diskusi, tujuan utama sistem kerja fleksibel adalah menghancurkan serikat buruh agar lebih mudah menjinakan buruh, membayar buruh dengan lebih murah dan menciptakan keuntungan sebesar-besarnya.
Contoh kasus, buruh kontrak yang mendirikan serikat buruh di perusahaan akan dihambat/diputus pada kontrak kerja mendatang. Perusahaan akan memakai dalih efisiensi atau kontrak kerja habis. kasus ini sudah menjadi pertanyaan paling sering yang dilontarkan kepada kami saat mengorganisir TAD (Tenaga Alih Daya)/Outsourcing di Bandara.
Kesimpulan
Saya melihat, buruh perlu mempelajari kembali situasi pemberangusan serikat buruh. Sebenarnya apa sebabnya union busting lalu strategi apa yang diperlukan untuk melawan praktik pemberangusan ini. Saya akan menuliskan beberapa hal, yang menurut ini perlu menjadi perhatian kita sebagai buruh.
A. Kurangnya pendidikan khusus yang spesifik membahas union busting
Selama ini sekitar lima tahun saya di dunia pergerakan serikat buruh, hampir tidak ada pendidikan yang membahas tentang union busting. Padahal tindakan itu bisa terjadi kapan saja kepada buruh. Saat ini beberapa buruh hanya tahu bahwa “Orang yang menghalang-halangi orang berserikat adalah tindakan pidana dengan hukuman penjara atau denda sebesar…bla..bla..blaa..”. Tanpa tahu lebih detail bagaimana cara pengadvokasian dan apa yang harus dipersiapkan guna melawan hal ini.
Beberapa serikat buruh memiliki sikap menjawab tindakan ini. Terlepas hasilnya positif atau negatif bagi serikat buruh. Seperti melakukan kampanye, berunding dengan pengusaha, aksi massa hingga mogok kerja. Tetapi, tidak jarang beberapa serikat buruh yang melemah atau bahkan vakum (jika tidak mau disebut bubar) setelah mengalami union busting.
Harapannya dengan pendidikan khusus yang membahas union busting, buruh bisa memetakan apa saja yang merupakan tindakan union busting, bagaimana langkah advokasinya dan apa saja bukti yang perlu disiapkan.
B.Tidak meratanya pengetahuan di internal Serikat Buruh
Faktor lain dalam hal pengetahuan yang tidak merata juga menjadi tantangan serikat buruh. Hal ini biasa terjadi pada organisasi serikat buruh yang baru berdiri, tak terkecuali di serikat kami. Setelahpembentukan serikat buruh baru, selalu disibukan dengan hal yang bersifat advokasi berbasis kasus.
Hal itu juga masih menjadi perhatian saya. Entah dari cara pengorganisiran, merasa memiliki pengetahuan berdasarkan regulasi atau pengelolaan organisasi. Padahal ada banyak sekali pekerjaan organisasi yang harus dikerjakan untuk menguatkan internal serikat buruh. Seperti, membuat program, mengorganisir anggota sebanyak mungkin dan pendidikan untuk menambah kapasitas baik pengurus atau anggota.
C.Kurangnya literasi tentang union busting
Faktor lain yaitu kurangnya literasi yang membahas hal ini. Salah satu yang membahasnya dengan lengkap adalah Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), yang merilis artikel “Gerakan Serikat Buruh Sejati Melawan Union Busting dan Kriminalisasi Buruh” pada 22 April 2016. Selain itu, hampir jarang sekali literasi tentang union busting muncul.
Ke depan, kita perlu terus memproduksi tulisan-tulisan tentang union busting. Supaya Serikat Buruh di manapun bisa mempelajarinya dan memunculkan ide-ide baru terkait metode melawan union busting sesuai sektor masing-masing.
D.Belajar dari SBPS Klaten
Baru-baru ini di tengah ketidakpercayaan diri serikat buruh terhadap mogok kerja sebagai senjata utama, berhasil dijawab. Serikat Buruh Progresif Sejahtera Klaten (SBPS Klaten) berhasil memenangkan pertarungan melawan praktik union busting yang dilakukan oleh PT Safelock Medical Klaten. Selain itu, SBPS Klaten juga berhasil memenangkan tuntutan kepada PT Safelock Medical untuk mengangkat buruh PT Safelock Medical menjadi buruh tetap (PKWTT).
Kemenangan itu sebanding dengan keberanian yang dilakukan kawan-kawan SBPS Klaten dalam menentukan keputusan. Pasalnya, saat ini jarang sekali serikat buruh yang berani mengambil jalan mogok kerja dalam proses perjuangannya. Apalagi, SBPS Klaten ini terhitung masih sebagai serikat yang muda.
Tertarik dengan perjuangan SBPS Klaten, saya menanyakan banyak hal kepada kawan saya (sebut saja “D”). Kebetulan dia terbilang sering mengunjungi serikat buruh ini di Klaten.
Kawan saya menjelaskan bahwa situasi di SBPS terbilang unik. Seperti proses cara pengambilan keputusan, mereka selalu melibatkan anggota. Hal itu tidak terjadi di kebanyakan serikat buruh, yang mana biasanya keputusan hanya ditangan elit. Selain itu, proses pengorganisiran anggota yang tergolong cepat. Hal itu juga menjadi faktor penting dari keberhasilan mereka.
Namun, kawan saya juga menjelaskan ada hal yang perlu dibenahi kedepannya, seperti soal administrasi. Dia menjelaskan bahwa saat ini kawan-kawan SBPS masih terbatas soal pengetahuan administrasi. Seperti membuat surat bipartit, menulis kronologi, pernyataan sikap dll.
Ada beberapa hal dalam pengamatan saya tentang keberhasilan kawan-kawan SBPS Klaten. Terlepas dari kekurangan administrasi, hal itu bisa dibenahi kedepan. Yaitu:
- Kemampuan mengorganisir dan mobilisasi anggota.
- kemampuan mengemas isu di tempat kerja.
- kemampuan mengkampanyekan isu ke masyarakat luas. Dibuktikan dengan besarnya solidaritas dari berbagai elemen masyarakat.
- Paling penting mogok kerja masih menjadi senjata pamungkas kaum buruh.
Hal ini membuktikan bahwa kita perlu belajar dari kawan-kawan SBPS Klaten, tentang apa dan bagaimana metode melawan praktik union busting. Bahkan lebih jauh, yaitu memenangkan tuntutan.