“Once men turned their thinking over to machines in the hope that this would set them free. But that only permitted other men with machines to enslave them.”
— Frank Herbert, Dune (1965)
Pernyataan Herbert, yang banyak dikutip dalam wacana kritis tentang teknologi, secara implisit memantulkan ketakutan liberal terhadap keruntuhan agensi manusia di tengah derasnya penetrasi teknologi dalam ranah kehidupan sosial. Namun, bagi tradisi pemikiran yang berpijak pada materialisme historis, dikotomi antara manusia dan mesin tidak pernah menjadi landasan analitis yang mencukupi. Yang lebih mendesak adalah mendekonstruksi konfigurasi relasi sosial yang memungkinkan berlangsungnya pemindahan fungsi-fungsi intelektual manusia ke dalam skema otomatisasi, dalam hal ini Large Language Models (LLM), sebagai ekspresi mutakhir dari formasi kapitalisme kognitif.
Studi mutakhir berjudul “Your Brain on ChatGPT” (2025), merupakan salah satu upaya ilmiah yang mengungkap secara empiris bagaimana keterlibatan pengguna dengan sistem LLM seperti ChatGPT menghasilkan penurunan signifikan dalam fungsi-fungsi kognitif, khususnya dalam hal aktivasi memori, internalisasi makna, dan persepsi kepemilikan terhadap produk intelektual. Studi ini memperlihatkan pula bahwa adaptasi otak terhadap medium yang memfasilitasi kecepatan produksi wacana justru menghasilkan kemunduran dalam kemampuan berpikir reflektif. Temuan ini, jika dibaca secara dangkal, akan memperkuat argumen kaum teknofobia; namun bila dibaca melalui kerangka materialisme historis, justru merupakan bukti konkret terjadinya restrukturisasi pembagian kerja intelektual di bawah tekanan akumulasi kapitalistik.
Kepemilikan: antara entitas legal dan struktur hegemoni spasial
Konsep kepemilikan dalam diskursus produksi digital dan algoritmik tidak lagi dapat direduksi ke dalam dimensi legal-formal semata. Dalam konteks otomasi dan produksi berbasis kecerdasan buatan, kepemilikan adalah arena kuasa yang beroperasi secara multidimensional—melingkupi aspek spasial, epistemik, dan teknokratik. Dalam kerangka ini, perlu ditekankan tiga dimensi esensial yang membentuk struktur kepemilikan sejati: kehadiran aktif dalam skema produksi, penguasaan pengetahuan teknis, dan kontrol substantif atas operasi sistemik.
Pertama, kehadiran dalam bentuk partisipasi langsung—baik dalam perencanaan, pengelolaan, maupun eksekusi kerja—merupakan bentuk pengklaiman ruang produksi secara fisik dan sosial. Kedua, pengetahuan tentang struktur kerja sistem digital (data, parameter model, arsitektur algoritma, hingga integrasi antarmuka) menjadi syarat mutlak untuk bisa memahami secara kritis bagaimana nilai diproduksi dan dimodulasi. Ketiga, pengendalian atas vektor produksi, mulai dari siapa yang mengakses hingga siapa yang menentukan arah penggunaan sistem, adalah inti dari kepemilikan substantif.
Carl Schmitt dalam The Nomos of the Earth menguraikan bahwa tindakan awal dari semua rezim politik adalah apropriasi ruang dan sumber daya. Dalam konteks AI, bentuk apropriasi ini bukan sekadar ‘penggunaan’, melainkan juga mencakup monopoli terhadap distribusi kapasitas komputasi, penguasaan atas data pelatihan, dan kemampuan untuk menentukan batas-batas diskursif dari hasil keluaran mesin. Oleh karena itu, kepemilikan terhadap AI tidak bisa dimaknai sebagai status legal formal, tetapi sebagai kuasa atas siklus produksi nilai epistemik.
Di titik inilah pertanyaan klasik mengemuka kembali: ownership or autonomy? Dalam rezim produksi yang kapitalistik, ownership kerap kali bersifat simbolik dan nominal—mengacu pada kepemilikan yang dilembagakan secara hukum namun tidak disertai kuasa aktual. Sebaliknya, autonomy dalam pengertian Marxian—yakni self-valorization—merujuk pada kapasitas subjek untuk mengarahkan, menciptakan, dan memproduksi nilai dari kerjanya sendiri secara mandiri. Namun otonomi ini, jika tidak ditopang oleh kontrol kolektif atas alat-alat produksinya, akan tetap bersifat ilusif dan terbatas.
Reorganisasi kognisi dalam konstelasi produksi kapitalistik
Temuan dalam studi MIT tidak hanya menunjukkan degradasi kapasitas memori, melainkan menyingkap realitas mendalam dari reorganisasi kognisi dalam logika kapitalisme digital. Konektivitas neural dalam pita alpha—yang berkorelasi dengan kerja kreatif dan pemrosesan semantik—menurun drastis pada kelompok pengguna LLM. Sebaliknya, kelompok otak-murni (brain-only group) yang menulis secara mandiri menunjukkan intensitas aktivitas otak yang lebih tinggi dan hubungan afektif yang lebih kuat terhadap hasil tulisan mereka.
Fenomena ini menandai pergeseran dari produksi makna berbasis refleksi menuju produksi konten berbasis prediksi. ChatGPT, sebagai alat produksi, mengandalkan struktur probabilistik untuk menghasilkan kalimat yang koheren namun tak selalu bermakna. Pengguna hanya perlu memberikan instruksi singkat dan menerima jawaban yang tampak informatif, tanpa harus menanggung beban konseptual dari argumen yang dikembangkan. Ini melahirkan alienasi intelektual yang kian dalam: subjek tidak lagi melihat dirinya dalam hasil pikirannya.
Sebanyak 83% peserta pengguna ChatGPT tidak mampu mengutip satu kalimat pun dari esai mereka sendiri sesaat setelah menulis. Hanya separuh dari mereka yang merasa esai itu sepenuhnya “milik mereka”. Ini bukan sekadar masalah afeksi personal, tetapi refleksi dari kehilangan posisi subjek dalam proses produksi kognitif. Tanpa penguasaan atas medium produksi, subjek hanya menjadi mediasi pasif dari logika algoritmik yang bekerja di balik layar.
Dialektika alat produksi intelektual
Frank Herbert menggambarkan dunia di mana manusia diperbudak oleh mesin yang mereka ciptakan sendiri. Narasi ini menarik, namun hanya menyentuh permukaan. Engels memberikan kerangka yang lebih tajam: bukan mesin yang berbahaya, melainkan hubungan sosial yang membuat mesin berfungsi sebagai alat dominasi kelas.
LLM seperti ChatGPT hanyalah infrastruktur teknologis—alat produksi dalam wujud jaringan neural. Namun ketika alat ini dimonopoli oleh segelintir korporasi transnasional dan dilepaskan dari kontrol demokratis, maka muncullah bentuk baru kapitalisme kognitif yang tidak lagi menuntut kerja fisik, tetapi menghisap nilai dari keterlibatan intelektual massal. Data pelatihan LLM, misalnya, dikumpulkan dari jutaan interaksi daring tanpa kompensasi kepada produsen asalnya. Informasi dan data dikeruk dari kerja-kerja kolektif, namun nilai dan keuntungannya diakumulasi oleh para pemilik teknologi.
Dalam skema seperti ini, subjek manusia direduksi menjadi sekadar pengguna yang mengajukan prompt dan menerima output. Posisi produsen digeser oleh sistem, dan makna dikonstruksi bukan melalui pertarungan ide, tetapi lewat kalkulasi probabilistik. Ini adalah bentuk baru dari ekspropriasi epistemik—ketika kapasitas untuk menghasilkan makna dipisahkan dari manusia itu sendiri.
Deskilling intelektual sebagai strategi akumulasi
Istilah “adaptasi negatif” yang digunakan dalam laporan MIT merupakan bentuk kontemporer dari deskilling. Otak manusia, setelah terbiasa bekerja dalam skema produksi berbantuan LLM, mengalami kesulitan untuk kembali melakukan kerja intelektual secara manual. Bahkan setelah tiga sesi menggunakan ChatGPT, peserta yang kemudian diminta menulis tanpa AI menunjukkan konektivitas otak yang lebih rendah dibandingkan kelompok yang kerja intelektual secara manual.
Inilah bukti bahwa otomatisasi tidak netral. Ia mengubah struktur produksi pengetahuan, dan pada saat yang sama, mendefinisikan ulang kapasitas kerja subjek. ChatGPT menciptakan ilusi efisiensi, namun sesungguhnya memindahkan subjek dari posisi pencipta makna ke posisi penyunting hasil probabilistik. Jika dalam jalur perakitan Fordis, buruh kehilangan keterampilan karena kerja dipecah menjadi tugas-tugas kecil, maka dalam konteks LLM, pengguna kehilangan keterampilan berpikir reflektif karena kerja konseptual diotomatisasi.
Dari perspektif class composition, ini menandai lahirnya fraksi baru dalam tubuh proletariat digital—yakni mereka yang secara formal bekerja dengan ‘pengetahuan’, namun tidak memiliki otonomi atas alat produksinya. Mereka inilah proletariat intelektual yang disubkontrakkan oleh platform dan algoritma, dibayar berdasarkan performa naratif, namun tidak pernah benar-benar menjadi subjek dalam produksi makna.
Perbandingan antara penggunaan Google dan ChatGPT dalam studi MIT memperkuat premis bahwa tidak semua teknologi berdampak seragam terhadap kerja kognitif. Pengguna mesin pencari menunjukkan tingkat konektivitas theta dan delta yang lebih tinggi dibanding pengguna LLM, menandakan keterlibatan otak yang lebih aktif dalam proses sintesis dan integrasi informasi. Namun demikian, kedalaman refleksi dan afeksi terhadap hasil tetap lebih tinggi pada kelompok otak-murni.
Penggunaan mesin pencari masih membuka ruang bagi pembacaan kritis dan evaluasi sumber, sedangkan LLM cenderung menawarkan teks ‘jadi’ tanpa memaksa pengguna berpikir ulang. Di sinilah perbedaan antara interaktivitas dan intensitas menjadi krusial. Interaktivitas tidak menjamin otonomi. Justru ketika sistem menyediakan segalanya secara instan dan polished, pengguna kehilangan kesempatan untuk membentuk makna secara mandiri.
Menggurita ke organisasi kelas pengguna algoritma
Jawaban terhadap fenomena fragmentasi kognitif ini bukanlah seruan nostalgik untuk kembali ke pena dan kertas, melainkan penciptaan bentuk organisasi baru: serikat pengguna algoritma. Sebuah formasi politik yang sadar bahwa kerja digital adalah kerja kolektif, dan karena itu membutuhkan struktur kolektif pula untuk mengklaim hak-haknya.
Pendidikan digital kritis harus melampaui wacana literasi teknis. Yang dibutuhkan adalah proses political subjectivation—pembentukan kesadaran kelas dalam ranah digital, di mana pengguna tidak hanya tahu cara memakai, tapi juga memahami logika produksi dan relasi kuasa yang melekat dalam sistem yang digunakannya. Dalam semangat Gramscian, ini adalah medan hegemoni baru yang mesti direbut.
Tanpa bentuk organisasi seperti itu, pengguna hanya menjadi buruh tak bernama dalam tambang nilai digital. Interaksi mereka dengan ChatGPT bukan sekadar pemanfaatan alat, melainkan bentuk kerja gratis yang memperkuat model bisnis platform. Ini adalah bentuk surplus value extraction yang terjadi dalam wilayah diskursif, bukan material. Dan karena itu pula, perjuangannya harus dimulai dari pemihakan epistemik, bukan sekadar regulasi institusional.
Frank Herbert menyampaikan kekhawatiran klasik: bahwa manusia akan diperbudak oleh ciptaannya sendiri. Tapi yang tak ia lihat, dan yang ditawarkan oleh Engels dan Marx, adalah bahwa perbudakan itu bukan hasil dari mesin, melainkan dari siapa yang memiliki dan mengontrol mesin tersebut. Hari ini, kecerdasan buatan bukanlah entitas yang otonom, melainkan ekspresi dari relasi sosial tertentu yang berakar dalam logika komodifikasi pengetahuan.
Jika manusia hari ini merasa kehilangan kendali atas pikirannya, itu bukan karena ChatGPT lebih pintar, tetapi karena manusia telah menyerahkan alat produksinya kepada segelintir korporasi. Maka jalan keluar bukanlah pelarangan teknologi, tetapi demokratisasi atas alat produksi kognitif—yang hanya mungkin jika subjek pengguna berorganisasi, membangun kesadaran, dan menolak menjadi konsumen pasif dari dunia yang dibentuk tanpa mereka.
“Kecerdasan natural autentik manusia tidak akan tergantikan, kecuali memang dia nggak punya otak aja.”
Daftar Referensi
Kosmyna, N., Hauptmann, E., Yuan, Y. T., Situ, J., Liao, X.-H., Beresnitzky, A. V., Braunstein, I., & Maes, P. (2025). Your Brain on ChatGPT: Accumulation of Cognitive Debt when Using an AI Assistant for Essay Writing Task. ArXiv.org. https://arxiv.org/abs/2506.08872
Dune : Herbert, Frank, author : Free Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive. (2021). Internet Archive. https://archive.org/details/dune0000herb_a7n1
Marx, K. (1844). Economic & Philosophic Manuscripts of 1844 . Progress Publishers. https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/Economic-Philosophic-Manuscripts-1844.pdf
Engels, F. (1845). Condition of the Working Class in England. https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/condition-working-class-england.pdf
Schmitt, Carl. The Nomos of the Earth. Telos Press, 2006. https://fenix.iseg.ulisboa.pt/downloadFile/281608120802996/Carl%20Schmitt%20-%20Nomos-Earth.pdf