November 2012, saya memulai karier sebagai awak kabin Citilink, maskapai penerbangan bertarif rendah, anak usaha Garuda Indonesia Group. Sejak itu, hidup saya terasa sempit karena jadwal terbang yang padat. Namun, seiring berjalannya waktu, rutinitas itu menumbuhkan kesadaranku: Bahwa senyum di kabin tak sama dengan yang aku rasakan; di balik keramahan yang saya perankan, ada lelah yang amat sangat; bahkan, di balik kesabaran menghadapi penumpang yang merasa berkuasa atas layanan ku, ada kedongkolan dan amarah yang aku redam.
Pekerjaan awak kabin yang terkesan ringan ini, sesungguhnya adalah penuh dengan pergulatan batin. Antara tanggung jawab, tekanan atasan, dan kemanusiaan terus diuji di setiap waktu penerbangan. Kesadaran itu datang tidak tiba-tiba. Ia lahir dari kelelahan dan kemarahan yang tak bisa ditertibkan lagi.
Dari hari-hari terbang itu, aku belajar bahwa keselamatan penumpang bukan satu-satunya tanggung jawab yang harus dijaga. Ada tanggung jawab lain, menjaga martabat manusia di balik seragam awak kabin. Dari kegelisahan itulah, aku memilih terlibat dalam perjuangan di serikat buruh bernama Asosiasi Cabin Crew Citilink Indonesia (ACCI), hingga dipercaya sebagai pengurus serikat.
Aku tahu, menjadi pengurus serikat punya risiko dan beban yang berat. Namun, aku harus menjadi suara bagi awak kabin yang tak sempat bersuara. Awak kabin yang istirahatnya terpotong karna jam kerja panjang, awak kabin yang tenaganya terkuras oleh kelelahan di ketinggian langit, dan awak kabin yang tubuhnya sakit karena jadwal kerja yang padat.
Suara ku bukan sekadar keberanian, tapi bentuk tanggung jawab kemanusiaan. Dunia harus tahu: di balik setiap penerbangan yang tepat waktu, ada manusia yang terus berdiri melawan lelah dan ketidakadilan maskapai.
Kelantangan bersuara membawaku pada tanggung jawab yang lebih besar, terpilih sebagai pengusus Federasi Serikat Pekerja Bandara Indonesia (FSPBI). Bukan sekadar suara awak kabin yang bekerja di udara, tapi juga suara buruh-buruh bandara yang menyiapkan pesawat sebelum terbang dan buruh-buruh yang memastikan kedatangan penumpang di ruang tunggu bandara.
Bagi saya bukan sekadar aktivis buruh di tempat kerja. Saya bagian dari barisan panjang perjuangan bagi ratusan, bahkan ribuan buruh bandara di seluruh Indonesia. Buruh-buruh di sektor kebandarudaraan, yang setiap hari memastikan roda penerbangan terus berputar, meski hidup mereka kerap terhenti di batas lelah dan ketidakpastian.
Cerita ku, bukan sekadar kisah pribadi. Tapi potret getir buruh di sektor kebandarudaraan, sektor yang jarang dilihat, namun menyimpan luka yang dalam. Di balik senyum awak kabin dan gemuruh mesin pesawat, ada manusia yang terus berjuang mempertahankan martabatnya. Kisah ini bukan sekadar tentang saya. Ini tentang kami.
Realitas di balik gemerlap buruh bandara
Bayangkan bandara: tempat yang tak pernah sunyi, di mana suara mesin pesawat, suara pengumuman keberangkatan, dan mesin pendingin raksasa ruang tunggu, berpadu dengan langkah kaki dan roda troli yang tak ada habisnya. Di balik riuh suara dan gemerlap kilau lampu modernitas bandara, ada ribuan buruh bekerja dalam diam—menjaga setiap keberangkatan tetap tepat waktu, memastikan keselamatan penumpang dan barang, hingga memastikan layanan penerbangan penuh ramah senyum. Di balik layanan itu pula, ada cerita-cerita yang jarang didengar: tentang lelah yang tak diakui, tentang kemarahan yang didisiplinkan, dan tentang hak yang sering diabaikan. Mungkin itulah mengapa saya tak bisa diam—karena suara-suara itu perlu sampai ke telinga mereka yang berkuasa.
Buruh kontrak dan outsourcing, tulang punggung yang rapuh
Saya dengan tegas menyoroti nasib para buruh outsourcing di bandara — terutama para awak kabin yang hingga kini masih banyak berstatus kontrak. Bagi saya, situasi ini tidak seharusnya terjadi. Bertentangan dengan norma dan peraturan ketenagakerjaan.
Lebih menyedihkan lagi, sebagian dari mereka bahkan tidak disebut “buruh”. Mereka dikategorikan sebagai mitra, karena dipekerjakan melalui vendor, untuk mengakali penghisapan. Padahal, merekalah yang menjaga denyut ekonomi penerbangan dan bandara: petugas kebersihan yang membersihkan lorong-lorong terminal, petugas Aviasi Security (Avsec) yang mengamankan penumpang, petugas Ground Handling yang memindahkan bagasi, memastikan setiap penerbangan berjalan tanpa hambatan. Mereka adalah wajah pertama dan terakhir yang ditemui penumpang — namun juga yang paling mudah dilupakan.
Kontrak kerja mereka sering kali kabur, upah rendah, perlindungan sosial terbatas, dan status kerja yang bisa lenyap sewaktu-waktu — tanpa pesangon, tanpa peringatan, tanpa penghormatan atas jerih payah yang telah mereka berikan. Hidup dalam ketidakpastian membuat banyak buruh bandara menjalani hari dengan rasa cemas yang tak pernah benar-benar reda.
Saya pernah memperjuangkan beberapa awak kabin yang hampir kehilangan pekerjaan. Saat itu, perusahaan berencana melakukan “pemutihan” — menyelesaikan kontrak lama, lalu mempekerjakan mereka kembali dari awal. Mereka memang tidak harus melamar ulang, tetapi seluruh masa kerja mereka hilang begitu saja, seolah pengabdian bertahun-tahun tak pernah ada.
Bagi saya, ini bukan sekadar kebijakan yang keliru, melainkan bentuk kekerasan yang halus — kejahatan yang menyentuh sisi paling manusiawi dari seorang buruh: harga dirinya. Meskipun perjuangan itu tak sempurna, namun sebagian dari mereka berhasil diselamatkan. Dari situ saya belajar, bahwa keadilan tidak akan pernah datang tiba-tiba, tapi diperjuangkan, sedikit demi sedikit, dari tangan-tangan yang menolak diam.
Banyak buruh bandara yang dipecat sepihak dengan alasan yang dibuat-buat perusahaan. Mereka dibuang begitu saja, seolah tenaga dan waktu yang telah mereka curahkan tak pernah berarti dalam bisnis perusahaan. Mereka diperlakukan layaknya “sumber daya sekali pakai”. Diperlakukan seperti benda mati, yang digunakan ketika dibutuhkan, lalu dibuang ketika tak lagi dibutuhkan. Di balik seragam dan senyum yang tetap mereka jaga, tersimpan luka yang mendalam.
Perjuangan saya adalah untuk mengembalikan yang dirampas. Martabat, kepastian, dan rasa aman. Saya berharap mereka kembali berdiri tegak, tanpa rasa takut, tanpa harus memilih antara bekerja atau bermartabat. Meski sering kali dianggap terlalu vokal, bahkan “berbahaya”, saya percaya setiap langkah ini punya arti. Sekalipun saya harus tumbang, dipecat, namun perjuangan ini akan tetap hidup, menjadi warisan kecil bagi mereka yang kelak meneruskan suara ini.
Saya percaya, setiap manusia berhak atas pekerjaan yang layak dan kehidupan yang adil. Dan selama masih ada langit di atas bandara, selama masih ada napas di dada, saya akan terus berdiri bersama mereka yang selama ini tak terdengar dan didengar — karena suara yang lahir dari kesadaran tak akan pernah bisa dibungkam.
Senyum Awak Kabin di Balik Kelelahan Ekstrem
Sebagai awak kabin, saya tahu betul rasanya terbang dengan tubuh yang nyaris habis, tapi tetap harus tersenyum demi menjaga citra maskapai. Kami selalu dituntut dengan penampilan rapi dan senyum ramah dengan waktu kerja yang panjang, minim istirahat, dan tekanan yang tiada henti.
Keterlambatan penerbangan bukan hanya tentang penumpang yang menunggu. Bagi kami, itu berarti waktu istirahat kami terpotong, tubuh yang semakin ringkih, dan pikiran yang terus dipaksa siaga dengan terus memberi senyum meski harus menahan kantuk dan lelah. Dampak dari itu semua, sudah tentu akan menyerang kesehatan dan keselamatan awak kabin, bahkan dapat memicu kecelakaan.
Saya tahu berbicara tentang ini berisiko. Banyak kawan kami memilih diam karena takut kehilangan pekerjaan dan takut dianggap pembangkang. Tapi diam terlalu lama hanya membuat ketidakadilan semakin berakar. Sementara pengorbanan awak kabin sudah terlalu banyak, kehilangan hak untuk beristirahat, hak untuk berkumpul bersama keluarga, hak untuk sekadar menjadi manusia yang utuh. Kami merayakan hari raya di atas langit, meniup lilin ulang tahun di kamar hotel transit, menatap dunia dari jendela pesawat tanpa pernah benar-benar menjadi bagian darinya. Tubuh kami bekerja melampaui batas: menyesuaikan diri dengan zona waktu yang berganti, menanggung jet lag, dehidrasi, tekanan udara, dan risiko penyakit yang datang tanpa peringatan. Tapi kami tetap harus tersenyum. Tetap ramah. Tetap sempurna. Bahkan ketika kami sakit, sedih, atau hancur di dalam.
Tak jarang, awak kabin mengalami perlakuan tidak sopan dari penumpang, baik secara verbal maupun non verbal. Bahkan kesalahan manajemen karena pesawat yang tertunda atau kendala teknis, kami pula yang menanggungnya. Kamilah yang menghadapi penumpang. Kami berdiri sendirian. Tak punya kuasa, tapi diminta menanggung semua kesalahan manajemen.
Orang sering bilang pekerjaan kami ringan, sekadar “jalan-jalan dan dibayar.” Mereka tak tahu bahwa kenyataannya setiap singgah di kota tertentu atau remain overnight (RON), bukan liburan yang menyenangkan, tapi jeda untuk bertahan hidup. Kami tidur agar tubuh pulih, untuk bisa kembali terbang, bukan untuk menikmati kota tempat kami singgah.
Tugas awak kabin bukan sekadar pelayan di udara. Kami penjaga keselamatan, pengemban tanggung jawab yang tak terlihat. Citra maskapai kami yang emban. Kami dilatih untuk menghadapi darurat, menenangkan penumpang panik, menolong yang sakit, bahkan melawan ketakutan kami sendiri. Namun, sistem ini kerap memperlakukan kami seolah tak penting. Upah yang bergantung pada jam terbang, kontrak kerja yang rapuh, status yang tak pasti. Kami dituntut profesional, tapi diperlakukan seolah bisa diganti kapan saja.
Saya menolak menerima itu semua sebagai takdir. Karena kami bukan sekadar bagian kecil dari industri penerbangan. Kami adalah manusia yang menjaga industri penerbangan tetap hidup. Dan selama suara ini masih ada, saya akan terus berbicara untuk mereka yang lelah, yang diam, dan yang takut. Karena ketidakadilan tidak akan berhenti jika tak ada yang berani melawannya.
Ancaman Pemberangusan Serikat (Union Busting)
Risiko saya bersuara lantang, saya dipecat. Kasus pemecatan sepihak yang menimpa saya bukan sekadar persoalan administrasi. ini adalah cermin dari upaya membungkam suara yang menuntut keadilan. Saya pernah menjadi bagian dari Asosiasi Cabin Crew Citilink, serikat yang berafiliasi dengan FSPBI. Organisasi yang menjadi ruang kecil tempat kami belajar menyatukan keberanian dari ketakutan yang sama.
Di sana, saya belajar bahwa bersuara bukanlah pilihan, melainkan panggilan. Bahwa diam berarti membiarkan ketidakadilan tumbuh di atas punggung mereka yang lelah tapi tak berdaya. Namun dunia kerja sering tak memberi ruang bagi nurani. Suara yang berbeda dianggap ancaman, bukan peringatan.
Dan ketika saya memilih berbicara, keputusan itu membawa konsekuensi: saya dihapus dari daftar, pecat tanpa peringatan. Tapi saya tahu, pemecatan ini bukan akhir. Ia hanyalah tanda bahwa kebenaran mulai didengar, dan kekuasaan mulai gelisah.
Mereka bisa memecat saya, tapi tidak bisa mencabut keyakinan saya, bahwa setiap suara yang lahir dari kejujuran akan menemukan jalannya sendiri, bahkan ketika dibungkam.
Keberanian yang disingkirkan
Puncak kepedihan itu datang perlahan, ketika suara saya mulai dianggap ancaman. Aktivitas saya di serikat tiba-tiba menjadi sorotan; langkah saya diawasi, setiap kata ditimbang dengan curiga.
Sebagai pengurus aktif di FSPBI, saya belajar banyak dari mereka yang lebih dulu berjalan di jalan terjal perjuangan ini —dari Mbak Jacq, sang Ketua Umum yang tak pernah lelah menyalakan semangat; Bung Angga, Sekjen yang menanamkan kesadaran tentang makna sejati gerakan buruh; Bung Rocky, Ketua Bidang Advokasi yang mengajarkan bagaimana hukum bisa dijadikan alat perjuangan; hingga Bung Irfan dan Bung Agung, yang sabar membimbing saya menyuarakan kebenaran lewat media sosial.
Ada pula Bung Frendo, yang memberi masukan dalam mengorganisir barisan; Wahyu dan Lena, yang setiap hari mengingatkan agar saya tetap kuat. Di bidang pendidikan, Bung Rusbal dan Bung Ihsan terus menyalakan api kesadaran, sementara Bung Raymon dari badan pengawas menjaga agar langkah kami tetap terarah. Mereka bukan sekadar kawan seperjuangan — mereka adalah keluarga yang saya temukan di tengah badai pemecatan.
Namun, semakin keras suara kami terdengar, semakin besar pula tekanan yang datang. Saya mulai dipanggil untuk “coaching”, yang ternyata bentuk ancaman untuk menghentikan perjuangan yang dibungkus rapi. Saya dihadapkan pada pilihan yang pahit: diam atau dipecat. Tapi bagaimana mungkin saya diam, ketika diam berarti mengkhianati nurani dan ribuan buruh yang menggantungkan harap pada serikat ini? Saya memilih tetap teguh. Dan seperti yang telah saya duga, keputusan itu dibayar mahal, saya dipecat!
Saya tidak pernah membayangkan, rasa hancur bisa sedalam itu. Karier yang saya bangun selama bertahun-tahun, masa depan yang saya rawat dengan disiplin dan dedikasi, direnggut dalam sekejap hanya karena saya bersuara.
Pemecatan itu bukan sekadar kehilangan pekerjaan. Ia adalah penistaan terhadap hak asasi manusia. Tamparan keras bagi siapa pun yang percaya pada keadilan. Ia adalah pesan dari kekuasaan: bahwa keberanian masih dianggap sesuatu yang salah.
Namun, saya tahu saya tidak sendiri. FSPBI berdiri di belakang saya, menuntut agar saya dipekerjakan kembali, agar perusahaan menghormati kebebasan berserikat yang dijamin undang-undang. Pertarungan ini tidak mudah, tapi saya percaya, setiap perjuangan yang lahir dari kebenaran tak akan sia-sia. Karena suara yang dibungkam hari ini, akan bergema lebih keras esok hari.
Lebih dari Sekadar Kasus Hukum
Kini, perjuangan saya berlanjut ke kasasi di Mahkamah Agung. ini bukan sekadar upaya mencari keadilan pribadi. Ini adalah simbol dari perlawanan seluruh buruh bandara yang selama ini berdiri di bawah bayang-bayang kekuasaan. Melawan korporasi besar dengan pasukan hukum yang kuat bukan perkara mudah. Ia menuntut keteguhan hati dan ketahanan jiwa. Setiap sidang yang ditunda, setiap keputusan yang tak berpihak, adalah luka baru. Tapi juga pengingat bahwa perjuangan ini belum selesai.
Di antara kepedihan itu, ada api kecil yang tak pernah padam. Api itu bernama harapan — harapan agar kasus ini menjadi preseden, agar tak ada lagi buruh yang dipecat hanya karena berani bersuara. Harapan agar martabat buruh bandara dijunjung, bukan diabaikan.
Saya ingin kasus ini menjadi pesan yang tak bisa diabaikan: kepada manajemen perusahaan di sektor penerbangan, kepada PT Citilink, dan kepada siapa pun yang merasa bisa memperlakukan buruh sesuka hati. Bahwa praktik pemecatan sepihak, pembungkaman serikat, dan pengabaian hak-hak normatif tak akan pernah dibiarkan. Karena setiap tindakan sewenang-wenang selalu menyalakan sesuatu, bukan ketakutan, tapi keberanian. Dan dari keberanian itulah, perubahan akan lahir.
Membangkitkan Keberanian
Saya berharap kisah saya ini dapat menginspirasi dan menjadi api kecil yang menyalakan keberanian di dada para buruh bandara lain, agar mereka tak lagi takut bersuara. Melihat seseorang berjuang sampai akhir mungkin tidak mengubah dunia seketika, tapi setidaknya menumbuhkan keyakinan: bahwa perubahan selalu mungkin, selama masih ada yang mau melangkah.
Pesan saya, setiap buruh bandara pasti akan menghadapi tekanan, tapi kita tak boleh menyerah pada rasa takut. Setia pada prinsip keadilan adalah bentuk tertinggi dari keberanian. Karena dari satu suara yang jujur, akan lahir gema yang tak bisa dibungkam. Gema yang menuntun pada hak, martabat, dan kehidupan kerja yang lebih manusiawi.
Saya juga percaya, kekuatan perubahan tidak hanya lahir dari ruang sidang atau serikat, tapi juga dari publik yang peduli. Karena itu, saya mengajak kawan-kawan media dan masyarakat untuk terus menyebarkan kisah ini — tentang kondisi kerja, tentang perjuangan, tentang manusia di balik roda besar industri penerbangan.
Saya berharap tekanan publik adalah cahaya yang memaksa kekuasaan membuka mata. Dan selama cahaya itu menyala, saya percaya: keadilan tak akan benar-benar padam.
Membawa Isu Ketenagakerjaan ke Meja Kebijakan
Perjuangan saya tidak mungkin bertahan sejauh ini tanpa dukungan dari FSPBI dan berbagai elemen gerakan buruh lainnya. Seperti kawan-kawan dari P2RI, KPBI, SGBN, SERBUK, para akademisi, lembaga bantuan hukum, hingga jaringan solidaritas masyarakat yang terus menyala di berbagai tempat.
Mereka hadir bukan sekadar memberi dukungan moral, tetapi mengangkat suara saya menjadi gema bersama. Mengkampanyekan kasus ini, menggalang dukungan seluas-luasnya untuk mendesak pemerintah dan DPR memastikan Hak Asasi Manusia menjadi nilai yang dijunjung tinggi di tempat kerja. Memastikan norma hukum dan peraturan dapat melindungi buruh, terutama perlindungan bagi buruh rentan, seperti outsourcing dan jaminan atas kebebasan berserikat.
Lagi-lagi saya harus katakan, bahwa perjuangan ini bukan tentang saya. Tapi tentang setiap petugas kebersihan bandara yang menggenggam sapu dengan upah yang nyaris tak cukup; tentang petugas keamanan bandara yang berdiri berjam-jam menjaga keselamatan orang lain; tentang awak kabin yang menahan lelah demi memastikan setiap penumpang tiba dengan selamat.
Saya ingin dunia tahu — di balik gemerlap industri penerbangan, ada wajah-wajah buruh yang jarang terlihat, tapi justru menjadi fondasi dari setiap penerbangan yang sukses. Mereka berhak atas keadilan, martabat, dan perlindungan yang layak.
Pemecatan sepihak yang saya alami adalah bentuk nyata dari upaya membungkam suara yang menuntut keadilan. Ia menyingkap wajah sesungguhnya dari hubungan industrial yang masih jauh dari kata adil. Sebuah sistem yang lebih cepat menghukum daripada mendengar. Namun saya percaya, selama masih ada solidaritas, tidak ada kekuasaan yang benar-benar bisa menutup mulut para buruh. Karena suara yang lahir dari penderitaan bersama, akan selalu menemukan jalannya. Menembus tembok korporasi, menembus kebisuan, dan menyalakan harapan bahwa perubahan masih mungkin terjadi.
Kronologi singkat pembungkaman saya
Saya dipanggil untuk menghadiri agenda yang disebut sebagai “coaching”, namun ternyata pertemuan tersebut merupakan rapat dengan jajaran petinggi perusahaan. Dalam pertemuan itu, saya mendapat ancaman akan dipecat apabila tidak menghentikan aktivitas saya di serikat buruh. Saya menolak tekanan tersebut dan tetap teguh pada pendirian untuk membela hak-hak pekerja. Tak disangka, penolakan saya justru berujung pada pemecatan sepihak. Menanggapi hal ini, FSPBI merespons dengan tegas melalui pernyataan sikap resmi yang menuntut agar saya dipulihkan sebagai awak kabin, perusahaan menghormati kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta menjamin hak setiap warga negara untuk berekspresi secara politik. Selain itu, FSPBI juga menuntut rehabilitasi atas seluruh kerugian yang timbul akibat pemecatan sepihak tersebut.
Seruan untuk semua
Kasus saya adalah contoh nyata praktik pemberangusan serikat buruh (union busting), di mana perusahaan menggunakan berbagai cara, termasuk pemecatan, untuk melemahkan atau menghilangkan keberadaan serikat buruh yang vokal. Bagi saya, ini adalah potret hidup getirnya perjuangan buruh di sektor penerbangan.
Kisah ini tak hanya penuh dengan fakta, tetapi juga memilukan. Ia menggambarkan bagaimana sistem dan kekuasaan mampu menggerus harapan dan keadilan, meninggalkan luka mendalam bagi buruh yang mencoba melawan.
Saya sangat berharap cerita ini bisa menjadi pengingat bahwa di balik gemerlap industri dan infrastruktur modern, ada air mata, keringat, dan pengorbanan buruh di sektor bandara. Sudah saatnya kita tidak hanya menikmati layanan, tetapi juga peduli pada tangan-tangan yang membangun dan menjalankannya.