Abu Mufakhir
SEPANJANG tahun 2012-2013 terjadi gelombang kebijakan persetujuan penangguhan upah minimum di berbagai wilayah padat industri di Indonesia. Tiga diantaranya terjadi pada propinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Pada ketiga propinsi tersebut, kebijakan penangguhan upah yang dikeluarkan melalui Surat Keputusan Gubernur masing-masing propinsi mengalami berbagai bentuk perlawanan dari serikat buruh.
Melalui berbagai aksi unjuk rasa, melayangkan somasi kepada Gubernur (Jakarta), dan menggugat kebijakan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), serikat buruh berusaha membuktikan bahwa kebijakan tersebut merugikan buruh dan melanggar hukum. Kemudian melalui upaya serikat buruh di PTUN, kebijakan penangguhan upah minimum di propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta dinyatakan batal demi hukum, dan karenanya harus segera dicabut.
Namun, dikeluarkannya SK Gubernur tentang persetujuan penangguhan upah minimum telah terlanjur memicu berbagai dampak negatif di lapangan terhadap pemenuhan hak buruh. Sementara itu, putusan PTUN tidak cukup untuk memperbaiki dampak negatif dari kebijakan penangguhan upah tersebut. Pencabutan SK Gubernur hanya berhenti pada aspek legal, dan tidak diiringi dengan intervensi lanjutan yang lebih konkret di lapangan.
Kondisi ini menunjukan bagaimana Pemerintah Propinsi, dalam hal ini Gubernur dan Disnaker, sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan yang kemudian dinyatakan melanggar hukum, terlihat tidak memiliki kemampuan untuk memperbaiki situasi yang menghambat hak atas pekerjaan yang turut diciptakannya sendiri. Kita bisa lihat hal ini dengan lebih jelas dari berbagai persoalan terkait kebijakan penangguhanan upah minimum di Jakarta pada tahun 2013.
Pada tahun 2013, Gubernur bersama dengan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Propinsi DKI Jakarta, mengambil keputusan untuk memenuhi permintaan penangguhan pelaksanaan upah minimum propinsi (UMP) tahun 2013 yang diajukan secara kolektif oleh beberapa perusahaan.[1] Melalui keputusan tersebut, perusahaan yang memperoleh persetujuan penangguhan dapat membayar upah pekerjanya dengan nilai di bawah UMP (Upah Minimum Propinsi) Jakarta, namun tidak boleh lebih rendah dari angka KHL sebesar Rp1,9 juta, dengan masa penangguhan tidak lebih dari 12 bulan.
Keputusan penangguhan upah minimum tersebut setidaknya memiliki tiga tingkat persoalan: pertama persoalan pada tingkat regulasi; kedua persoalan pada praktik perwujudannya berserta dampak lanjutannya; ketigakosongnya tanggung jawab pemerintah propinsi terhadap dampak negatif dari kebijakan yang diambilnya.
Pada tingkat regulasi, Gubernur Jakarta sebagai satu-satunya pihak (tanpa pengecualian) yang berwenang memberikan izin persetujuan penangguhan pelaksanaan upah minimum, melalui SK yang dibuatnya, kemudian membagi kewenangan tersebut kepada Disnaker Propinsi Jakarta. Pembagian kewenangan didasarkan pada jumlah pekerja dari perusahaan yang mengajukan penangguhan. Bagi perusahaan dengan jumlah pekerja di atas 1000, maka kewenangan tetap berada di tangan Gubernur. Sementara bagi perusahaan dengan jumlah pekerja di bawah 1000, kewenangan dilimpahkan Kepala Disnaker Propinsi Jakarta.
Pembagian kewenangan ini telah melanggar tiga aturan di atasnya: (1) UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Pasal 90, (2) Kepmenakertrans 231/Men/2003, dan (3) Pergub DKI Jakarta No. 42 Tahun 2007, mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan penangguhan upah minimum. Ketiga aturan tersebut menyebutkan bahwa hanya Gubernur sajalah yang berhak untuk menyetujui pengajuan penangguhan pelaksanaan upah minimum, tanpa kecuali, dengan meminta pertimbangan kepada Dewan Pengupahan (bukan Disnaker).
Selain itu, SK Gubernur juga menghilangkan aturan yang mewajibkan setiap perusahaan yang mengajukan penangguhan untuk membuka dokumen keuangan yang diajukan sebagai bukti bahwa perusahaan tidak sanggup memenuhi ketentuan upah minimum. SK Gubernur itu juga tidak mencantumkan kewajiban pemerintah untuk melakukan klarifikasi atas data-data yang diajukan oleh perusahaan. Kedua hal ini melanggar aturan di atasnya, dan bertujuan untuk mempermudah proses pengajuan penangguhan upah minimum.
Kedua. Pada tingkat praktik, menurut Forum Buruh DKI Jakarta (FB DKI)[2] dan Trade Union Right Centre (disingkat TURC, LSM yang menjadi salah satu pengacara publik bagi serikat buruh di PTUN)[3] diduga kuat telah terjadi berbagai bentuk manipulasi atas data-data yang menjadi persyaratan penangguhan, seperti data keuangan, jumlah pekerja, dan surat persetujuan dari pekerja. Beberapa indikasi manipulasi tersebut terlihat dari:
1. Data keuangan yang diajukan oleh perusahaan untuk membuktikan perusahaan telah merugi selama dua tahun berturut-turut, dibuat oleh bagian keuangan internal perusahaan, bukan oleh akuntan publik yang disepakati bersama oleh perusahaan dan buruh/serikat buruh sesuai ketentuan yang berlaku. Data yang diajukan itupun tidak pernah diklarifikasi oleh Disnaker, sehingga dinilai tidak valid, dan tidak dapat dipastikan kebenarannya.
Data keuangan tersebut, sesuai dengan ketentuan persyaratan pengajuan penangguhan upah minimum, harus dapat membuktikan jika perusahaan mengalami kerugian selama dua tahun berturut-turut. Namun di lapangan, FB DKI seringkali menemukan bahwa perusahaan yang mengaku telah merugi selama dua tahun berturut-turut, justu melakukan lembur kerja, yang artinya order dan jumlah produksi terus meningkat, bahkan melakukan perluasan (ekspansi).
2. Mengurangi jumlah pekerja sehingga berada di bawah 1000 pekerja, seperti pada kasus PT Molax (hanya salah satunya) yang terletak di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung. Perusahaan melakukan pengurangan pekerja secara tiba-tiba dengan cara melakukan PHK sepihak, sehingga jumlah pekerjanya menjadi 900. PT Molax kemudian kembali merekrut pekerjanya setelah pengajuannya diproses oleh Disnaker. Manipulasi jumlah pekerja ini merupakan taktik perusahaan agar bisa mengajukan penangguhan upah minimum kepada Disnaker dan bukan Gubernur.
Temuan-temuan manipulasi data jumlah pekerja seperti ini kemudian diadukan oleh beberapa serikat buruh (salah satunya FSBI/Federasi Serikat Buruh Indonesia dan FBLP/Forum Buruh Lintas Pabrik) kepada pihak Pemerintah Propinsi. Pengaduan tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan membentuk tim investigasi khusus melalui wadah Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Tingkat Propinsi DKI Jakarta.[4] Temuan tim investigasi, dan berdasarkan laporan jumlah kepesertaan Jamsostek, membenarkan praktik manipulasi ini.
Hasilnya, surat izin penangguhan upah minimum kepada perusahaan tersebut kemudian dicabut. Namun, pihak perusahaan menolak pencabutan izin penangguhan dan tetap membayar upah pekerjanya sebesar Rp1,9 juta. Praktik mengurangi jumlah pekerja agar berada di bawah 1000 yang dilakukan oleh perusahaan bertujuan agar pengajuan penangguhannya dapat diputuskan oleh Kepala Disnaker, dan bukan Gubernur, karena proses di Disnaker diduga lebih mudah dilakukan perusahaan dibandingkan pengajuan kepada Gubernur.
3. Persyaratan penangguhanupah minimum selanjutnya adalah mendapatkan persetujuan dari 70 persen pekerja. FB DKI menemukan berbagai bukti dimana perusahaan menggunakan berbagai cara untuk memanipulasi persetujuan pekerja, bahkan melakukan berbagai tindakan pemaksaan terhadap pekerja. Pada beberapa pabrik, FB DKI menemukan bagaimana perusahaan membagikan blangko kosong (yang akan digunakan sebagai surat persetujuan penangguhan oleh pekerja) untuk ditandatangi oleh pekerja.
Namun karena tidak berhasil akibat terjadi penolakan, perusahaan kemudian melanjutkan strateginya dengan memanggil satu persatu pekerja (atau bertiga) untuk menandatangani blangko tersebut. Pada saat itulah terjadi berbagai bentuk pemaksaan. Salah satunya dengan melarang pekerja pulang kerja jika belum menandatangani surat persetujuan, pekerja juga diancam akan diputus kontraknya, dipecat atau dimutasi-demosi, bahkan ada beberapa pekerja sampai disekap di kamar mandi supaya menandatangi persetujuan penangguhan.
Temuan inipun dilaporkan oleh FB DKI kepada Pemerintah Propinsi, yang kemudian ditindaklanjuti dengan investigasi oleh LKS Tripartit. Namun sampai sekarang tidak pernah ada tindak lanjut dari Disnaker atas hasil temuan tersebut, kecuali dicabutnya izin penangguhan satu perusahaan yang awalnya sudah dipenuhi. Temuan-temuan adanya praktik pemaksaan dan ancaman kepada pekerja tersebut juga diajukan oleh kuasa hukum serikat buruh ke PTUN. Walaupun majelis hakim tidak menjadikan hal tersebut sebagai pertimbangan.[5]
Ketiga, kosongnya tanggung jawab pemerintah propinsi terhadap dampak negatif dari kebijakan yang diambilnya. Seperti yang telah disebutkan di atas, dikeluarkannya Keputusan Gubernur tentang penangguhan upah minimum telah memicu terjadinya berbagai pelanggaran hak-hak dasar buruh di tingkat perusahaan. Tetapi, ketika peraturan tersebut dinyatakan batal demi hukum oleh PTUN Propinsi Jakarta, Gubernur dan Disnaker sebagai pihak yang bertanggung jawab memperbaiki keadaan, justru bersikap cuci tangan.
Pemerintah DKI Jakarta melepaskan tanggung jawabnya atas dua hal: (i) mengabaikan laporan dari FB DKI dan temuan hasil tim investigasi yang memperkuatnya; (ii) PTUN DKI Jakarta pada tanggal 7 November 2013 telah menyatakan bahwa SK Gubernur DKI Jakarta tidak sah, dan memutuskan persetujuan penangguhan upah oleh Gubernur dan Disnaker batal demi hukum.[6]
Hakim menyatakan seluruh izin persetujuan penangguhan pelaksanaan upah minimum yang didapatkan perusahaan batal demi hukum. Perusahaan tersebut dinilai tidak mampu memberikan bukti-bukti bahwa perusahaannya mengalami bangkrut selama dua tahun berturut-turut; tidak dapat menunjukan bukti adanya kesepakatan dengan serikat pekerja atau pekerja; tidak menyertakan lampiran laporan keuangan dua tahun sebelumnya atau rencana produksi dua tahun ke depan, dan tidak melakukan audit keuangan melalui akuntan publik.
Perusahaan tersebut juga dinilai melanggar persyaratan formil karena penangguhan yang diajukan melebihi batas waktu (paling lambat 10 hari sebelum berlakunya ketentuan upah minimum yang baru). Dengan demikian, majelis hakim menyatakan bahwa Gubernur Jakarta telah melakukan pelanggaran atas azas-azas umum pemerintahan yang baik, salah satunya azas kecermatan materiil. Kemudian, perusahaan yang dibatalkan penangguhannya diwajibkan untuk membayar kekurangan gaji selama sebelas bulan masa penangguhan (Januari-November 2013).
Namun, pada poin ini pemerintah Jakarta tidak memiliki upaya untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut membayarkan rapelannya. Seperti terlihat pada kasus PT Koga (Korean Garment), yang berlokasi di KBN Cakung. Sebagai salah satu perusahaan yang izin penangguhannya disetujui oleh Gubernur dan kemudian dibatalkan PTUN, PT Koga tetap saja membayarkan upah pekerjanya sebesar Rp. 1,8 juta.
Nilai ini selain di bawah ketentuan UMK, juga di bawah ketentuan SK Gubernur bahwa batas minimum penangguhan upah adalah sebesar Rp. 1.978.000. Pelanggaran juga terjadi pada tingkat yang lebih luas, beberapa perusahaan KBN Cakung, tidak kunjung mematuhi keputusan PTUN dan tetap membayarkan upah pekerjanya sebesar Rp. 1.978.000 (sesuai angka SK Gubernur tentang penangguhan upah minimum). Dan sampai saat ini pemerintah DKI Jakarta tidak melakukan tindakan apapun sebagai bentuk tanggung jawabnya untuk memperbaiki situasi.
Dasar hukum dari penangguhan upah minimum, yang bisa berdampak pada pelanggaran hak-hak dasar buruh, terutama hak atas upah layak, adalah Pasal 90 ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 dan Kepmen No. 231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum. Saat ini, Menteri Perindustrian menginginkan Kepmen ini untuk direvisi agar pengajuan penangguhan upah minimum menjadi lebih mudah. Jika ini terjadi, potensi pelanggaran hak-hak dasar buruh oleh sistem penangguhan upah minimum akan semakin besar. Pasalnya, seperti yang dapat dilihat dari kasus DKI Jakarta, sistem penangguhan upah minimum sangat rentan untuk disalahgunakan.
Catatan
[1] Lihat Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No. 361 tahun 2013, tentang penangguhan pelaksanaan upah minimum.
[2] Wawancara Presidium FB DKI Toha dan Ade, 06 Oktober 2013. Forum Buruh DKI beranggotakan 12 serikat buruh tingkat federasi yang berlokasi di Jakarta, diantaranya SPSI LEM, FSPMI, FBLP, FSBI, SPN, ASPEK, dan lain-lain.
[3] Wawancara Tim Advokasi Buruh-Untuk Upah Layak (TAB-UL), Ari Lazuardi, Andriko Otang, dan Fandrian, 03 Juni 2013.
[4] Lembaga Kerja Sama Tripartit merupakan forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah kabupaten/kota. (Lihat di Peraturan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor Per.O4/Men/II/2010 Dan Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pembentukan dan Peningkatan Peran Lembaga Kerja Sama Tripartit Provinsi dan Kabupaten/Kota).
[5] Wawancara Fandrian dan Andriko Otang, keduanya merupakan anggota Tim Advokasi Buruh-Untuk Upah Layak (TAB-UL) yang menjadi tim kuasa hukum serikat buruh, 09 Oktober 2013
[6] Lihat juga: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt527dd5049775e/ptun-batalkan-penangguhan-ump-jakarta.
Jika Anda menikmati membaca cerita ini, maka kami akan senang jika Anda membagikannya!