Oleh, Abu Mufakhir
Seminggu lagi kita akan memperingati hari buruh internasional. Tahun ini, untuk ketiga kalinya May Day menjadi hari libur nasional. Di banyak negara, May Day menjadi satu-satunya hari libur nasional yang tidak ada sangkut pautnya dengan peringatan hari besar keagamaan atau kenegaraan. May Day diperingati oleh kelas pekerja dengan agama dan kewarganegaraan apapun.
May Day tahun lalu, salah satu pejuang buruh terbaik, Sebastian Manuputi, melakukan bunuh diri sebagai sikap politik. Kawan Sebastian adalah wakil dari generasi pejuang buruh yang lahir saat perlawanan buruh di Bekasi sedang menguat, pada masa grebek pabrik berlangsung dengan heroik selama tujuh bulan.
Ia adalah bagian dari generasi muda pejuang buruh yang mengalami radikalisasi. Dalam pesan terakhirnya, ia menunjukan keputusannya sebagai bentuk protes radikal terhadap buruknya kondisi kesehatan dan keselamatan kerja. Terhadap tingginya angka kematian akibat kerja. Kita yang diracun zat kimia industri. Kita yang menanggung kanker karena menghirup asap solder, asbes, debu benang, alkohol etil, berjam-jam setiap hari, lalu tergeletak menahan sakit di kamar kontrakan setelah dipecat.
Tidak lama setelah kepergian kawan Sebastian, terjadi rentetan kebakaran pabrik yang mengerikan di Bekasi. Salah satunya di pabrik kosmetik PT. Mandom, yang menewaskan 28 buruh, dan membuat 31 lainnya terluka parah. Entah bagaimana perkembangan kasusnya kini. Pengorbanan Sebastian harus kita ingat sebagai protes terhadap kesehatan dan keselamatan kerja yang kian memburuk.
Kita tahu, 1 Mei diperingati sebagai hari perlawanan. Hari perjuangan memperpendek jam kerja. Banyak negara yang menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional. Di Indonesia May Day telah menjadi hari libur sejak zaman Soekarno. Kemudian dilarang oleh rejim militer Soeharto, dan kembali menjadi hari libur dua tahun lalu. UU Kerdja Tahun 1948, Pasal 15 Ayat 2, mengatakan “Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja.” Sementara itu, setelah melakukan penghancuran berdarah gerakan buruh, Soeharto melarang peringatan May Day. Kemudian menggantinya dengan Harpeknas (Hari Pekerja Nasional), yang diperingati setiap 20 Februari, sejak tahun 1991.
Harpeknas bukan saja mengkhianti sejarah perlawanan gerakan buruh, tapi juga menghinanya. Peringatannya setiap 20 Februari, merujuk pada pembentukan FBSI tahun 1973. Peristiwa yang justru menandakan keberhasilan Soeharto menghancurkan gerakan buruh radikal. Peringatan Harpeknas berdiri di atas sejarah pembantaian gerakan buruh radikal, di atas kubangan darah.
Kurang ajarnya, Harpeknas masih saja dirayakan oleh serikat lama. Walau telah ada beberapa anggota federasinya yang menyatakan penolakan secara terbuka. Keberadaan Harpeknas terus dirawat dengan pembodohan besar-besaran. Perayaannya didukung oleh kucuran duit kepala daerah, asosiasi pengusaha dan pengelola kawasan industri. Diisi dengan acara sosial omong kosong, dan hiburan yang tak berguna. Dengan cara ini kebohongan turut diawetkan. Tapi jika mau lebih jujur, beberapa pengusung Harpeknas juga turut menjadikannya sebagai ajang cari duit.
Mereka itu jugalah yang pernah menolak keras peringatan May Day selama bertahun-tahun. Turut juga menolak penetapan May Day sebagai hari libur. Mereka tidak mau Harpeknas tergantikan. Tapi dasar mata duitan, karena tak mampu lagi menolak, mereka kembali menjadikan May Day sebagai ajang mencari duit. Turut mendukung seminar omong kosong yang biasanya digalang Muspida menjelang 1 Mei. Isinya tentang May Day yang tertib, sopan, simpatik, dan bebas demonstrasi. Kemudian tanpa malu, melakukan perayaan May Day dengan menghadirkan penyanyi dangdut nasional, menyediakan makanan gratis bagi yang hadir, membagi-bagikan hadiah doorprize. Pesta-pora bodoh itu biasanya dibuka dengan dzikir bersama dipimpin ustadz seleb. Sama saja, duitnya mereka dapat dari Bupati, pengusaha, dan pengelola kawasan industri.
Tujuannya jelas, merusak May Day sebagai hari buruh internasional, sebagai ingatan bersama, sebagai hari perlawanan. Merayakan Harpeknas, tapi juga turut menumpang May Day untuk sama-sama mencari duit dari panggung hura-hura sambil sok religius. Saya tidak menolak jika May Day dirayakan dengan riang gembira, atau dirayakan dengan takzim sambil berdzikir. Tapi kenapa mereka tidak berdzikir malam hari sebelum May Day? Kenapa mereka beriang gembira dengan panggung hiburan dan makanan yang didanai oleh kepala daerah dan pengusaha, sementara jutaan buruh lainnya meneriakan kemarahan dan tuntutan mereka di jalanan?
Apa maksudnya menikmati hiburan dan makanan pemberian penguasa, ketika jutaan buruh lainnya menggali kembali makna perlawanan? Berdzikir dulu, lalu berjoged hura-hura, disusul makan gratis dan membagi-bagikan doorprize kipas angin ketika pulang. Pada titik ini, tindakan mereka jelas menghina kita, menghina hari buruh internasional, menghina sejarah panjang perlawanan kaum tertindas. Menghina salah satu martir terbaik yang harus kita kenang terus, mendiang Sebastian Manuputi.
Jika Anda menikmati membaca cerita ini, maka kami akan senang jika Anda membagikannya!