Berminggu-minggu Bambang Harri terbaring di rumahnya. Sakit. Hari itu ia dilarikan ke Rumah Sakit Santo Yusuf, Bandung, setelah mengeluh sesak nafas. Berita menyebar cepat melalui telepon dan pesan singkat (sms). Keluarga dan teman-teman dekat bergantian menemaninya di rumah sakit. Beberapa kawan dari luar kota berdatangan menjenguk.
Di ruang tunggu bangsal rumah sakit dering telepon genggam hampir tidak henti. Kawan lama menelepon menanyakan perkembangan keadaan Bambang Harri. Semua yang menunggu di rumah sakit tampak tertekan dan prihatin. Bambang Harri tubuhnya kurus kering digerogoti kanker getah bening. Bermacam peralatan bantu menempel ditubuhnya. Sebentar-sebentar hilang kesadaran dan melewati beberapa kali keadaan kritis.
Sesudah empat hari dirawat di rumah sakit, Sabtu siang 23 Februari 2008, Bambang Harri menghembuskan nafasnya. Jasadnya diantarkan sore hari ke rumah mertuanya di bilangan Cikondang untuk dimandikan dan disalatkan. Kemudian disemayamkan di rumah duka di Griya Bukit Mas, Bojongkoneng, Cikutra, Bandung. Esoknya, kami mengantar ke tempat peristirahatannya yang terakhir di taman pemakaman umum Cikutra.
Bambang Harri Santoso Danukusumo meninggal pada usia hampir menginjak 49 tahun.
Bambang Harri sedang memfasilitasi pertemuan buruh di LBH Bandung (Circa 1992-1993)
Pada hari pemakaman, saya mengenali wajah kawan-kawan dari masa lalu. Bambang Harri berteman dengan banyak orang. Dengan jalan ceritanya masing-masing. Mereka berjumpa, berkawan, dan untuk suatu kurun waktu menempuh berbagai perjalanan bersama. Dia lebih dikenal sebagai aktivis perburuhan. Saya sendiri lebih ingin mengenang Harri, begitu saya biasa memanggilnya, sebagai teman baik.
Saya mengenalnya sejak pertengahan 1980-an ketika kami melewati tahun-tahun sebagai mahasiswa di Bandung. Saya hanya mengenalnya sepintas lalu. Kami jarang berbincang, karena dia pendiam seperti patung. Di suatu siang yang panas di kawasan Dago, kami berjumpa. Saya memberinya tumpangan pulang. Di situlah kami mulai bertukar kata sambil menunggang sepeda motor.
Suatu hari, dengan alasan yang sangat kabur dia mengajak saya singgah ke rumah kostnya. Ternyata hari itu dia berulang tahun. Belakangan saya menemukan bahwa kami memiliki kesamaan minat, perhatian dan mulai berteman. Beberapa tahun kemudian hingga akhir hayatnya, seberuntung banyak kawan lain, saya berkesempatan berteman dengan Harri.
Kami melewatkan banyak waktu bersama. Suatu petang yang menyenangkan kami ramai-ramai ke bioskop menonton Cry for Freedom. Film tentang pejuang anti-Apartheid Afrika Selatan Stephen Biko. Nama itu, kelak dilekatkan ke anaknya: Biko Mahmeru. Pada kesempatan lain kami ngobrol ngalor-ngidul di warung kopi. Terdampar di sebuah rapat yang alot dan menjengkelkan. Menemukan diskusi yang menyenangkan. Bepergian kesana kemari menemui kelompok ini dan itu. Berjam-jam terperangkap di gerbong kereta api jurusan Bandung-Jogja yang padat-pengap, hingga menembus udara dingin Gunung Bromo untuk menikmati matahari terbit.
Seperti lazimnya berteman, ada kalanya dia menjengkelkan saya. Saya kira, dia lebih sering jengkel melihat saya terlalu mudah kehilangan minat atau mangkir dari janji untuk menemuinya. Pada suatu kurun tahun, kami berjumpa hampir setiap hari. Ada kalanya kami tidak saling jumpa cukup lama, hanya sesekali berbicara lewat telepon. Sebaliknya, pada saat yang lain Harri lebih sukar ditemui, teristimewa setelah menikah. Gita adalah istrinya. Ia mesti mencari nafkah dan bertanggung jawab membesarkan Biko. Melalui semua perjumpaan itu, berangsur-angsur saya mengenal Harri lebih dekat.
Harri lahir di Jember, 5 Juli 1959. Anak ketujuh dari delapan bersaudara dari Raden Mohammad Saleh Danukusumo dan Raden Ajeng Martati. Melihat beberapa foto keluarganya, saya kira Harri memiliki kedekatan khusus dengan ibunya. Sekitar 1990-an saya sering mencuri lihat foto ibundanya terselip di dompetnya.
Harri berada di pusaran aktivisme mahasiswa di Bandung ketika ibunya wafat. Dia bahkan masih remaja tanggung berumur 14 tahun ketika ayahnya, seorang pegawai perkebunan, wafat. Tidak banyak yang diketahui tentang masa kecilnya.
Harri melewatkan sebagian masa sekolah dan remaja di Surabaya dan Lawang. Saya menyimak dia mengenal baik tempat-tempat yang menarik di Malang, ketika kami singgah di rumah kakaknya dalam suatu perjalanan ke Jawa Timur, di pertengahan 1999.
Sejak remaja Harri tergila-gila musik rock 1970-an. Secara sambil lalu Harri pernah bercerita, dia kerap mampir di suatu sudut di kota Malang untuk mendengarkan gitaris Godbless Ian Antono berlatih. Idolanya yang lain adalah Gitaris Totok Tewel. Dengan sesama arek Jawa Timur Aries Santoso (peminat masalah militer) dengan mata berbinar, dia membahas penyanyi rock 80-an Sylvia Saartje dan Arthur Kaunang, dan menghubungkan kehadiran komunitas keturunan Minahasa di Jawa Timur dengan ekonomi perkebunan.
Kelompok Diskusi Dago Pojok
Harri menghirup udara kota Bandung pada 1980, sesudah tercatat sebagai mahasiswa fakultas psikologi di Universitas Padjadjaran. Saat itu, kekuasaan Soeharto berada di puncak. Gerakan mahasiswa 1970-an baru saja dilumpuhkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK). Kegiatan berbau politik disingkirkan dari kampus. Segera saja Harri menemukan kawan-kawan baru yang memiliki minat pada pemikiran politik dan memutar kegiatan diskusi.
Bersama beberapa teman seperti Miftah Fauzie, Dudi Salam, dan Noer Fauzi, dia membentuk kelompok diskusi Dago Pojok, yang menerbitkan buletin ilmu sosial kritis Thesa. Buletin ini tidak berumur panjang. Namun Harri tetap terhubung dengan aktivisme mahasiswa melalui kegiatan kelompok diskusi. Berkat bantuan Ramboen Tjajo dan Hendardi kegiatan diskusi bisa menggunakan Kantor LBH Bandung. Ketika itu, LBH Bandung berpangkalan di Jalan Ir H. Juanda.
Sesudah 1984, Harri bersentuhan dengan pemikiran bahwa gerakan mahasiswa seharusnya lebih dari sekedar kelompok diskusi. Tidak boleh lagi sekadar kekuatan moral dan harus berada di tengah kehidupan rakyat tertindas.
Harri mulai menolehkan perhatian lebih banyak pada kasus-kasus perampasan tanah yang marak di 1980-an. Bersama Hendardi, Rambon Tjajo, dan Paskah Irianto, Harri mulai sering terlihat mondar-mandir ke Cimerak, Ciamis Selatan, untuk menemui petani-petani yang tanahnya dirampas oleh Perhutani. Tanah tersebut akan diubah menjadi perkebunan kelapa hibrida yang beroperasi dengan skema Perkebunan Inti Rakyat – Perkebunan (PIRBUN). Tanah seluas lebih dari 1000 hektare dirampas dari tangan petani. Ini adalah contoh masuknya modal besar untuk mengalihfungsikan lahan luas yang dipaksakan dengan kekuatan aparat kekerasan.
Di Cimerak, Harri dan kelompoknya memulai suatu bentuk aktivisme; penyelidikan pedesaan, mencatat perkembangan kasus, dan bagaimana rakyat di wilayah kasus menjalani hidupnya. Catatan Cimerak merekam penyangkalan hak dan kekerasan yang dialami petani. Melalui catatannya, Harri dan kawan-kawan membawa kasus itu untuk didiskusikan bersama para aktivis mahasiswa.
Bersama petani Cimerak Harri dan kawan-kawan mendiskusikan soal hak kaum tani, dan membantu mereka agar mendapatkan bantuan hukum. Lebih dari itu, mereka mendorong para petani membentuk kelompok di tingkat lokal dan memilih pemimpinnya. Kepemimpinan inilah yang selanjutnya terhubung dengan kalangan aktivis mahasiswa di kota untuk memperjuangkan nasib petani. Antara lain dengan membawa kasus tersebut ke lembaga-lembaga negara seperti DPRD dan Kantor Gubernur.
Di Jawa Barat saja, masih ada kasus lain. Misalnya, kasus Badega, Cimacan, dan Jatiwangi. Di tempat lain ada kasus Kedung Ombo dan Pulo Panggung. Harri dan kawan-kawan turut membangun jaringan organisasi tani dan Ornop yang menangani berbagai kasus tanah tersebut.
Sebagian orang akan mengenang andil penting Harri dalam kampanye kasus-kasus agraria melalui penyebaran Kalender Tanah untuk Rakyat. Kalender yang digambar oleh Yayak Yatmaka ini dengan telanjang memperlihatkan keserakahan modal dan kekejaman tentara pada berbagai perampasan kasus tanah.
Pihak Kejaksaan mengendus bahwa Kalender tersebut menyerang istana dan tentara. Kalender dilarang. Tak lama kemudian dari terdengar kabar dari Jogjakarta. Beberapa orang ditangkap lantaran menyebarkan Kalender tersebut.
Rumah Biologi
Lulus dari universitas pada 1989, dari tempat kostnya Harri pindah ke rumah sewa di punggung perbukitan Dago. Tepatnya di Jalan Biologi 18, Bandung. Biasa disebut Rumah Biologi. Inilah rumah tempat Harri pulang dari berbagai kesibukannya. Rumah Biologi adalah rumah kolektif. Penghuni resminya tiga orang: Harri, Alvani, dan Boy Fidro.
Kian hari rumah ini berkembang sebagai tempat berkumpul untuk mendiskusikan berbagai masalah. Para aktivis dari beraneka latar belakang dari berbagai kota, biasa singgah. Tak terelakan, rumah ini pun menampung pula para penghuni tidak tetap, yakni para aktivis berkantong tipis.
Selain penghuni semipermanen yang menumpang makan dan tidur, ada pula mereka yang biasa mampir untuk bekerja. Apalagi kalau bukan untuk meminjam pakai komputer XT dengan prosesor 486, sebagai peralatan terbaik pada tahun itu. Tanpa mengeluh Harri si kepala keluarga menyambut baik semua yang datang; memastikan semuanya cukup makan dan bisa bekerja nyaman.
Rumah Biologi merupakan tempat Harri untuk menjalani kesibukan dan kehidupan pribadinya. Sesekali dia bepergian keluar kota karena pekerjaannya sebagai konsultan psikologi di PT Telkom. Jika tidak bepergian, pagi hari dia sering duduk di hadapan komputer menyelesaikan pekerjaan.
Pada tahun-tahun itu dia menulis, menyadur atau menerjemahkan banyak dokumen. Di antaranya panduan penyelidikan desa dan investigasi pabrik untuk keperluan pendidikan petani dan buruh. Malangnya, dokumen-dokumen tersebut tidak tersisa. Punah bersama kerusakan harddisk komputer.
Jika tidak banyak kesibukan, dia menghabiskan waktu luang dengan mendengarkan musik. Dia kerap mendengarkan tiupan saxophone lagu Everyday, I thank you dari Michael Brecker. Dia pun sering terlihat membaca ulang biografi Che Guevara yang ditulis Regis Debray.
Sesudah masa sewa rumah biologi berakhir, rumah kolektif beberapa kali berpindah tempat; ke jalan Ligar Elok, ke Ligar Ayu, dan di Jalan Gumuruh. Rumah kolektif mengisi fungsi yang kurang lebih sama. Ruang kerja dan perpustakaan adalah fungsi yang tidak pernah hilang.
Pada satu masa, rumah itu adalah tempat kerja untuk Kasmidin, pemuda tani dari Cimerak yang mengasuh terbitan Suara Tani. Tempat Noer Fauzi mengelola kursus-kursus agraria bagi kader organisasi tani. Sekaligus tempat Siti, buruh industri dari Ujung Berung, pemimpin redaksi buletin Kelompok Buruh Bandung, mengumpulkan teman-temannya. Lain kali rumah yang sama menjadi tempat mengungsi seorang buruh yang sakit hati, takut dan marah sehabis diinterogasi di kantor Kodim.
Pernah pula menjadi rumah peristirahatan bagi Suryadi A. Radjab untuk memulihkan kesehatan dari sakit lever. Secara alamiah rumah ini menjadi tempat singgah para aktivis yang datang dan pergi, membawa kabar peristiwa penembakan di pemakaman Santa Cruz (1991), mengumpat keterlibatan tentara dalam kasus Marsinah (1993), dan membahas peristiwa 27 Juli 1996 hingga kejatuhan Soeharto pada 1998.
Merancang pendidikan perburuhan
Hingga permulaan 1990-an kerja pengorganisasian tani sedikit banyak menampakkan hasilnya. Masalah perampasan tanah semakin didengar oleh publik, terutama melalui kampanye yang digalang kelompok-kelompok mahasiswa melalui pembentukan berbagai komite pembelaan kasus-kasus tanah. Organisasi tani di Jawa Barat tengah membentuk organisasi payung: Serikat Petani Jawa Barat (SPJB). Harri rupanya mulai mengurangi keterlibatannya dalam gerakan tani, dan beralih memikirkan pengorganisiran perburuhan.
Seiring dengan semakin berkembangnya Bandung Raya sebagai pusat industri tekstil dan garmen, jumlah buruh semakin besar. Tak perlu dikatakan lagi, sama saja dengan kaum buruh dimanapun, mereka adalah kelompok yang tenaga kerjanya dihisap dengan perlindungan hak yang minimal. Sebagian kecil dari mereka yang dirugikan mencari saran dan pertolongan dari LBH Bandung.
Dijembatani layanan bantuan inilah Harri bersama Budi Sentosa Surbakti, staff bantuan hukum LBH Bandung, membangun kontak dengan komunitas buruh di Majalaya, kawasan industri zaman kolonial yang terletak di selatan Bandung. Melalui diskusi kasus perburuhan, buruh yang satu mulai terhubung dengan yang lain. Upaya ini perlahan menampakan hasil.
Pada tahun 1991-92, sekitar duapuluh orang buruh dari berbagai pabrik membentuk Solidaritas Buruh Bandung dan Sekitarnya (SBBS), sebuah kumpulan aktivis buruh yang mulai membangun organisasi buruh di tingkat pabrik.
Sekitar dua tahun berkonsentrasi di Majalaya, Harri dan kawan-kawan kemudian merancang pertemuan pendidikan yang lebih terprogram. Melalui pertemuan pendidikan kelompok-kelompok buruh berkenalan dengan berbagai topik seperti undang-undang perburuhan, analisis perkembangan kapitalisme di Indonesia, dan keterampilan-keterampilan teknis sebagai organisator buruh. Selain itu, wilayah pengorganisasian pun semakin diperluas. Sekitar 1994, pengorganisasian dimulai di tiga wilayah lain: Pasalasari di selatan Bandung, kemudian Cimahi, dan Ujung Berung.
Mengingat kembali kerja-kerja di masa itu, Harri telah memulai dan menjalani suatu pekerjaan yang tidak gampang. Selalu ada kesukaran untuk menyelenggarakan pertemuan pendidikan di akhir minggu. Para buruh sudah kelelahan karena bekerja lebih dari delapan jam sehari. Lagi pula hanya pada hari Minggu para buruh punya waktu untuk mencuci pakaian dan merebahkan badan.
Akhirnya, pertemuan di akhir minggu biasanya harus segera diakhiri lebih cepat. Sebagian karena beberapa buruh mesti kembali masuk pabrik pada shift malam. Belum lagi kesulitan yang menyangkut penyediaan bahan-bahan pendidikan. Sebagian bahan pendidikan terlalu ’sekolahan’ sehingga perlu ditulis-ulang agar lebih mudah dibaca.
Satu hal lagi yang terasa mengganggu adalah kehadiran aparat keamanan dalam kegiatan perburuhan. Di pabrik, militer ikut campur dalam perselisihan perburuhan. Kala itu, menolak campur tangan militer adalah salah satu agenda terpenting. Sementara di luar pabrik, pertemuan buruh kerap mengundang perhatian petugas rukun tetangga (RT), yang sedang menjalankan tugasnya sebagai perpanjangan tangan aparat keamanan.
Faktor keselamatan diri terkadang membuat buruh, sekalipun sudah terdidik, belum tentu bersedia menunjukkan solidaritas, apalagi bergabung dalam organisasi. Ketika melakukan advokasi kasus, para organisator buruh di Majalaya harus melakukan semua hal. Dari mendidik dan membangun kesadaran, mengumpulkan tekad dan keberaniaan, dan membangun persatuan. Semuanya adalah hal penting yang tidak mudah.
KBB, Marsinah dan Jaringan Buruh Antarkota
Hingga pertengahan 1990-an SBBS berganti nama menjadi Kelompok Buruh Bandung dan menerbitkan Buletin KBB secara teratur. Buletin ini adalah bacaan buruh yang diproduksi oleh buruh. Pertemuan buruh antarwilayah semakin kerap dilakukan.
Pertemuan yang membutuhkan tempat agak besar biasanya dilakukan di Kantor LBH Bandung. Pada pertemuan tersebut para buruh bertukar pengalaman, mendiskusikan hasil investigasi pabrik dan persoalan perburuhan lainnya. Juga pada sekitar tahun ini, KBB melakukan suatu kerja yang membutuhkan koordinasi yang lebih besar, yakni menyelenggarakan suatu survei upah. Melalui aktivitas ini buruh belajar menghitung kebutuhan nyata sehari-hari buruh lajang dan keluarga buruh kemudian membandingkannya dengan upah yang mereka terima.
Tampaknya cukup banyak kemajuan yang dicapai. Di tengah dinamika yang menggairahkan tersebut, kami mendengar berita mengejutkan. Oktober 1994, Budi Surbakti meninggal dunia dalam kecelakaan lalu-lintas di Ujung Berung. Ketika itu dia bersepeda motor dalam perjalanan pulang ke rumah. Kami semua paham bahwa motor vespanya tak terurus dan rawan kecelakaan. Budi lalai memeliharanya.
Betapa pun tak memiliki cukup bukti, menimbang kasus-kasus yang ditanganinya selaku pengacara perburuhan di LBH Bandung, kami mencadangkan kemungkinan lain. Kecelakaan tersebut tidak kebetulan dan bukan kelalaian. Harri dan kami semua merasa kehilangan seorang kawan, seorang pembela buruh yang pekerja keras.
Di tengah pekerjaan pengorganisasian yang seakan tak ada habisnya, Harri masih menyimpan sebagian tenaganya untuk membangun jaringan buruh antarkota. Harri bersama Haneda Sri Lastoto dan Hemasari (ketika itu staf LBH Bandung) mulai bepergian untuk membangun hubungan dengan kelompok buruh dan Ornop perburuhan di Jabotabek, Solo, Surabaya, dan sebagainya.
Kontak dilanjutkan melalui bermacam aktivitas. Dari saling mengunjungi, bertukar terbitan dan bahan bacaan, solidaritas pembelaan kasus, dan memperingati Mayday bersama-sama.
Peristiwa penting yang melecut percepatan penguatan jaringan antarkota adalah kasus Marsinah. Marsinah adalah buruh pabrik arloji di Sidoarjo yang kedapatan mati terbunuh beberapa hari sesudah mengikuti suatu aksi, pada Mei 1993. Jaringan antarkota membentuk Komite Solidaritas untuk Marsinah (KSUM). KSUM melancarkan tuntutan untuk pengungkapan pembunuhan Marsinah. Sampai sekarang belum terungkap siapa sesungguhnya dalang pembunuhan Marsinah.
Menyambut pergantian tahun 1994 ke 1995, terjadi pertemuan besar perburuhan. Inilah salah satu peristiwa penting yang menandai pembangunan jaringan perburuhan antarkota. KBB mendapat kehormatan menjadi tuan rumah. Pertemuan dilangsungkan di Lembang, Bandung.
Diskusi perburuhan yang diselenggarakan siang hari di Bandung, berlangsung lancar. Masalah timbul ketika acara dilangsungkan di Lembang. Rupanya kegiatan ini diamati aparat keamanan. Sepanjang acara berlangsung petugas berseragam datang dan pergi. Ada pula yang tetap tinggal di lokasi dan terus mengawasi.
Akhirnya, dua wakil panitia penyelenggara dipanggil ke kantor Polres Lembang untuk ditanyai. Dua orang itu adalah Haneda Sri Lastoto dan Bambang Harri. Kesimpulannya, dengan dalih tidak ada surat izin, polisi meminta pertemuan dihentikan.
Pertemuan memang harus disudahi. Tidak ada lagi kegembiraan menyambut tahun baru. Semua orang merasa gusar dan tidak nyaman karena terus menerus diawasi.
Sebelum pertemuan berakhir, Harri meminta kami berkumpul membentuk setengah lingkaran. Di hadapan kami, Harri yang biasanya tenang dan pendiam, berbicara sambil menahan marah. Tidak ada alat yang merekam apa dia katakan. Saya hanya dapat mengandalkan ingatan yang sudah lima belas tahun lewat. ”Kita kaum buruh mau merayakan tahun baru saja tidak boleh. Bandingkan dengan orang kaya yang merayakannya di hotel mewah!”
Sambil memikirkan kemungkinan akan berakhir seperti perayaan tahun sebelumnya, kelompok buruh dari empat wilayah Bandung Raya, organisasi buruh beberapa kota, dan Ornop perburuhan berkumpul kembali pada perayaan tahun baru 1995.
Seperti tahun sebelumnya, acara diselenggarakan di Lembang dengan lokasi berbeda. Seperti biasa, pertemuan diawali dengan diskusi yang cukup melelahkan. Tapi ada juga kegembiraan bertemu banyak kawan, makan enak, dan minum susu segar peternakan sapi Lembang. Malam harinya, Maryati dari Cimahi memandu acara hiburan. Utusan kelompok buruh berbagai kota bergantian menampilkan joget dan nyanyian. Di tengah keramaian diiringi dentam musik dangdut, Harri dipaksa berjoget. Joget yang jelek; kaku dan tak berirama. Agak sedikit aneh tapi melegakan. Kali ini tidak ada pelarangan. Perhelatan berlangsung lancar sampai akhir.
Si keras hati yang pendiam
Soeharto dipaksa mengundurkan diri pada Mei 1998. Nama Harri tak banyak terdengar di arena perburuhan. Harri memang tidak dikenal luas. Dia bukan seorang orator dalam aksi, pemimpin massa, atau pemimpin advokasi. Harri seorang pendidik perburuhan. Bagi seorang buruh Majalaya, Harri mengajarkan kebiasaan ‘Membaca buku dan menghitung berapa banyak waktu yang hari ini kamu luangkan bagi orang lain’.
Barangkali dia tidak lagi melihat ada kebutuhan untuk terlibat banyak, apalagi dalam kerja penanganan kasus. Sesudah reformasi 1998, peran Ornop perburuhan jauh berkurang. Buruh dapat mendirikan serikat buruh dengan bebas. Intervensi militer dalam hubungan industrial pun sudah jauh dibatasi.
Namun demikian minat Harri terhadap pendidikan perburuhan tidak pernah padam. Rumahnya senantiasa terbuka menerima kedatangan para aktivis buruh. Hingga 2002, dia sempat memimpin Labour Education Center (LEC). Namanya tercantum sebagai salah satu pendiri dalam akta pendirian Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI). Bersama Fauzi Abdullah, nama Harri tercantum sebagai salah satu anggota Perkumpulan Sedane, organisasi yang memayungi aktivitas Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS).
Saya tidak tahu persis sejak kapan Harri mengetahui bahwa tubuhnya mulai dijalari sel kanker. Harri yang pendiam menyimpan rahasia itu. Dia membuat banyak kerabat terdekatnya marah, ketika mengetahui bahwa dia sakit dan sedang menjalani penyembuhan. Sepanjang 2006-2007, dia menjalani masa yang sulit selama menjalani penyembuhan tradisional di Sukabumi, kemudian di Garut.
Harri yang sakit-sakitan, keras hati. Seingat saya, saat masih dalam penyembuhan, Harri yang keras hati sudah muncul kembali dalam pendidikan buruh di Cimahi. Akhir 2007, Harri kembali sakit-sakitan. Tanpa mengindikasikan perkembangan penyakitnya, dia menelepon meminta saya untuk menemuinya di rumah.
Ketika bertemu, terlihat dia agak jengkel. Saya baru datang sesudah dua kali ingkar janji. Tak lama kemudian dia memamerkan beberapa rekaman musik yang menarik. Pada kesempatan itu, dia meminta saya menyimpan beberapa benda pribadi, antara lain beberapa buku. Permintaan mudah yang sudah seharusnya saya sanggupi. Sesudah itu, keadaannya terus merosot dan merosot
Lebih setahun sepeninggal Harri, melalui telepon saya bertukar kabar dengan seorang buruh di Majalaya. Kawan ini bercerita tentang sistem kerja outsourcing dan PHK besar-besaran yang sedang marak. Dia sekarang tengah mendampingi buruh-buruh yang dipaksa untuk menerima pesangon yang sangat rendah, hanya Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu per masa kerja.
Orang bilang, cara paling baik mengenang mereka yang sudah mendahului kita adalah dengan meniru perbuatan-perbuatan baiknya.
Catatan
*Pernah diterbitkan di Jurnal Kajian Perburuhan Sedane. Vol. 6 No. 2 08 Tahun 2009. Dimuat ulang tujuan untuk mengenang semangatnya dengan sedikit perubahan redaksi.
Suara Daniel mereda. Ia mengingat tangis kedua orang tuanya yang menghadiri sidang pembacaan vonis Pengadilan Negeri (PN) Jepara terhadap dirinya. Hari itu, Kamis (24/7/2024) menjelang sore hari, hawa panas Jakarta menyerbu melalui jendela kaca yang terbuka ke ruangan ukuran 6×4 meter di sekitar jalan Hayam Wuruk Jakarta Pusat. Pendingin udara ruangan terkulai mati di pojok […]
Munir Said Thalib, 38 tahun, meninggal di atas pesawat Garuda Indonesia saat terbang dari Jakarta menuju Amsterdam pada Selasa, 7 September 2024. Tujuan Munir ke Belanda untuk memulai studi Masternya pada bidang hukum humaniter di Utrecht University. Hasil otopsi dari the Nederlands Forensic Institue (NFI), diketahui kematian Munir disebabkan karena racun arsenik akut (acute arsenic […]
“Apakah kita bisa meneruskan ini?” terang Sekretaris Serdadu (Serikat Angkutan Roda Dua) Kodriyana. “Kalau Kopdar (Kopi Darat) udah diundur. Nanti ada rencana untuk audiensi dengan Disdik (Dinas Pendidikan),” lanjut Kodriyana mengisyaratkan bahwa para pengurus Serdadu mampu melanjutkan rencana telah disepakati bersama. Serdadu merupakan serikat buruh yang dibentuk oleh ojol dan kurir dari berbagai aplikasi di […]