MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Para Bohir di Industri Semen


Produksi semen dunia meningkat dari 1,67 milyar ton pada 2000 menjadi 3 milyar ton pada 2010. Negara-negara Asia adalah penghasil utama semen, sebesar 77,1 persen dari total produksi dunia pada 2010. China memproduksi lebih dari setengahnya. Di Asia Tenggara, Indonesia bersama Vietnam dan Thailand berambisi mengejar menjadi pemain utama pemasok semen.

Gambar 1: Produksi Semen di Dunia berdasarkan Kawasan (dalam persen)

Screen Shot 2017-03-21 at 10.57.43
Sejak kapan semen menjadi komoditas?
Semen merupakan salah satu industri yang dikaitkan dengan istilah sumber daya alam (SDA). Istilah SDA sendiri tidak benar-benar ‘alamiah’ dan tersedia begitu saja, melainkan suatu konstruksi sosial dan politik. Sebutan SDA bermasalah dan bias kuasa. Ia diciptakan oleh korporasi dan para penghimpun kapital.
Semen ‘ditemukan’ dan dijadikan komoditas oleh korporasi. Korporasi lah yang mendorong semen masuk dalam bisnis mereka: industri ekstraktif! Seperti dalam bisnis industri ekstraktif lainnya, negara memfasilitasi untuk mengeksplorasi semen, mengembangkan, mengekstraksi, mengolah, mendistribusikan, dan menggunakannya. Industri ekstraktif ini merupakan monster pembuat lubang dan pengeruk perut bumi!
Di banyak tempat, setiap komodifikasi SDA hanya akan memperkaya para monster yang bermain di industri ekstraktif. Tidak pernah menguntungkan masyarakat adat, komunitas setempat, dan rakyat pada umumnya.

Gambar 2: Semen di antara Industri Ekstraktif Lainnya

Sumber: Klasifikasi Industri Ekstraktif – UNCTAD (2007) World Investment Report 2007: Transnational Corporations, Extractive Industries and Development. New York: United Nations.
Sumber: Klasifikasi Industri Ekstraktif – UNCTAD (2007) World Investment Report 2007: Transnational Corporations, Extractive Industries and Development. New York: United Nations.

Finansialisasi di Industri Semen
Pada akhir 2012 PT Semen Indonesia mengakuisisi perusahaan semen di Vietnam (Thang Long Cement Company Vietnam) dengan kepemilikan saham 70 persen. Akuisisi dibiayai dengan kapital (financial capital) dari Sumitomo Mitsui Banking Corporation, Standard Chartered Bank, dan Bank Mandiri sebesar 100 juta dolar AS. Walau ketiganya adalah konsorsium, tapi kita tahu siapa yang paling dominan dan mendikte perihal perolehan keuntungan. Akuisisi ini menjadikan PT Semen Indonesia sebagai BUMN pertama yang berstatus korporasi multinasional (MNC)! (sic!). ‘Kejahatan’ oleh industri perbankan dan korporasi finansial seperti inilah yang disebut sebagai finansialisasi di industri semen.
Finansialisasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan hubungan antara sektor finansial dan sektor riil, yaitu peran yang semakin lebih dominannya para aktor dan lembaga finansial dalam kegiatan ekonomi. Istilah finansialisasi juga dipakai untuk menjelaskan perilaku para pemegang saham yang semakin mendikte perusahaan di tingkat yang lebih rendah hingga di tingkat produksi (baik barang maupun jasa) untuk mendapatkan profit yang lebih tinggi. Namun lebih dari itu, para pemegang saham juga sebenarnya dikendalikan oleh korporasi-korporasi finansial global, yang di dalamnya termasuk Standard Chartered Group (Inggris) dan Sumitomo Trust and Banking Company Ltd (Jepang).
Fenomena ini menjadikan pergerakan kapital global semakin cepat, berdampak serius pada fleksibilisasi dengan tujuan meluasakan gerak kapital. Apa yang terjadi sehari-hari terkait dengan perampasan tanah, kerusakan lingkungan, PHK buruh, nilai upah yang terus ditekan rendah, informalisasi, dan pemberangusan serikat pekerja, merupakan dampak buruk dari finansialisasi ini. Investor finansial adalah majikan yang sebenarnya, yang memiliki kecenderungan berinvestasi dalam kurun waktu yang pendek namun berharap meraup laba yang tinggi.
Para pemegang saham tersebut, si majikan yang sebenarnya, biasanya meminta profit/dividen dalam jumlah yang sudah ditentukan dari para perusahaan yang mengelola investasi mereka. Hasilnya: para perusahaan semakin dituntut untuk fokus pada tujuan-tujuan jangka pendek, menekan ongkos produksi, melakukan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, merusak lingkungan, merampas tanah dan hak hidup orang dengan sewenang-wenang. Dan tidak aneh pula bahwa negara turut memfasilitasinya.
Bukan soal BUMN vs Perusahaan Asing 
Setahun setelah ekspansi berkat kucuran kapital dari korporasi finansial (Sumitomo Mitsui Banking Corporation, Standard Chartered Bank, dan Bank Mandiri), PT Semen Indonesia mencatat kenaikan laba Rp 5,4 triliun pada 2013 (jangan lupa, keuntungan lebih besar diraup oleh korporasi finansial dalam kurun waktu yang lama). Ia bersaing dengan 10 perusahaan semen asing yang beroperasi di kawasan-kawasan lain di Indonesia:  

  1. Siam Cement (Thailand) di Sukabumi, Jawa Barat
  2. Semen Merah Putih (Wilmar Grup) di Banten dan Jawa Barat
  3. Anhui Conch Cement (China) di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Papua Barat
  4. Ultratech di Wonogiri, Jawa Tengah
  5. Semen Puger di Jawa Timur
  6. Semen Barru di Sulawesi Selatan
  7. Semen Panasia di Sulawesi Selatan
  8. Jui Shin Indonesia (China) di Jawa Barat
  9. Semen Gombong di Jawa Tengah
  10. Semen Grobogan di Jawa Tengah

Industri ekstraktif yang dimiliki negara (BUMN) maupun milik asing, sama-sama merusak, menghisap dan merugikan masyarakat umum. Watak dasar kapital tidak mengenal asal negara, agama maupun ras. Hanya tiga rukun yang dipegang: akumulasi, ekspoitasi, ekspansi.
Wilayah-wilayah operasi pabrik semen di mana pun akan menuai bencana; kekeringan, kekurangan air bersih, banjir, dan polusi udara. Kerusakan sosio-ekologis akan terus terjadi di wilayah-wilayah operasi pabrik semen, termasuk di Vietnam di mana PT Semen Indonesia juga beroperasi.
Karakteristik produksi semen sebagai salah satu industri ekstraktif adalah padat modal (capital intensive), tidak banyak mempekerjakan buruh. Ditambah dengan sistem perburuhan yang fleksibel, industri ekstraktif semakin leluasa mengatur jumlah tenaga kerja sekehendaknya.
Karena cara kerjanya yang mengebor dan menghancurkan bukit/gunung, mengeruk perut bumi, memanaskan bahan baku hingga 1200-1600 derajat Celsius untuk menghasilkan semen, industri ini merusak lingkungan dan menghasilkan emisi berbahaya bagi perubahan iklim. Proses produksinya membutuhkan bahan-bahan tidak ramah lingkungan lainnya, seperti batu bara, minyak, batu arang petrokimia.
Nasionalisasi industri bukan perkara mudah. PT Semen Indonesia dengan status perusahaan multinasional berarti memiliki kapital finansial dari korporasi finansial mana pun, termasuk Standard Chartered Group dan Sumitomo Trust and Banking Company Ltd.
Ini zaman finansialisasi. Yang paling untung selalu para bohir kapital finansial.
Dengan model BUMN seperti sekarang, nasionalisasi sama saja menjajah, menghisap, merugikan banyak rakyat ketimbang dana yang nyata masuk ke anggaran negara. Yang kita perlukan bukan nasionalisasi, melainkan commonalization, yaitu pengelolaan sumber daya secara demokratis yang dilakukan oleh komunitas lokal untuk hidup mereka dan anak-cucu mereka secara damai dan lestari.
Di Kendeng Jawa Tengah, Sukabumi Jawa Barat, Bayah Banten, dan tempat-tempat lain yang dideteksi mengandung ‘sumber daya alam’, kekayaan alam seperti semen itu ada dan akan selalu ada. Sebagaimana emas di Papua dan di tempat manapun. Sebelum industri ekstraktif muncul semuanya berjalan dengan baik dan alamiah. Sebagai anugerah bumi, masyarakat adat dan komunitas lokal mengelola dan memanfaatkan alam secukupnya. Tentu saja merawat alam demi menjaga daur hidup yang lestari.
Fahmi Panimbang, aktif di Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS).

Penulis

Fahmi Panimbang