MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Bagaimana 1 Mei Dirayakan Pada Masa Lalu?: Studi Perayaan Hari Buruh 1946-1947

Pengantar
Semenjak runtuhnya Orde Baru di tahun 1998, selama 10 tahun terakhir ini, hari 1 Mei selalu dirayakan dengan penuh semangat. Panji-panji tuntutan diusung. Beragam media massa juga menjadikan perayaan 1 Mei sebagai sajian liputan utama. Ini karena serikat buruh, walau belum menjadi satu kekuatan sosial yang berpengaruh, punya potensi besar dalam menyuarakan kepentingan masyarakat umum. Tuntutan serikat buruh menjadi satu alat ukur keresahan masyarakat mengenai keadilan sosial. Karena itu, perayaan 1 Mei menjadi titik pertautan antara dua hal. Di satu sisi, ia menjadi bentuk sukacita gerakan buruh dalam perayaan pencapaian perjuangannya terdahulu. Di sisi yang lain, ia adalah ekspresi keprihatinan serikat buruh akan beragam masalah ekonomi-sosial-politik kaum rendahan yang mesti diperjuangkan dalam kerangka dinamika sosial. 
Kondisi ini berbeda dari situasi pada masa Orde Baru. Sejak 1967, perayaan 1 Mei diharamkan, walau tidak ada peraturan hukum yang menyatakan demikian. Aparatus resmi Orde Baru menghendaki kepatuhan kelas buruh lewat kontrol politik dan teror sosial. Sebab, justru aturan hukum yang berlaku pada masa Orde Baru, yaitu Undang-Undang No. 12 Tahun 1948, memberikan jaminan kesempatan bagi buruh untuk “dibebaskan dari kewajiban bekerja” untuk “merayakan hari kemenangannya”. Jaminan hukum dalam UU No. 12/1948 itu dipendam dalam politik kebisuan, yang ditebar Orde Baru sehingga mengaburkan ingatan sejarah kolektif buruh akan puncak-puncak perjuangannya. Sebagaimana akan digambarkan dalam catatan awal ini, jaminan hukum dalam UU No.12/1948 adalah buah perjuangan serikat buruh. Dan, perumusannya di dalam aturan hukum merupakan bentuk pengakuan negara terhadap perjuangan buruh. Jaminan bagi buruh untuk “merayakan hari kemenangannya” itu tidak serta-merta diberikan begitu saja oleh negara tanpa perjuangan serikat buruh.
Sebagaimana diketahui, kebijakan Orde Baru merupakan reaksi pembatasan atas aktivitas serikat buruh dari masa sebelum 1965. Ada kesan kuat yang ditanamkan dalam penulisan sejarah bikinan Orde Baru bahwa aktivitas serikat buruh sebelum 1965 hanya menciptakan benturan sosial di dalam masyarakat. Serikat buruh dianggap biang kerok sosial. Dalam sejarah bikinan Orde Baru, kesan negatif itu disusun dengan menenggelamkan buah-buah perjuangan serikat buruh bagi kesejahteraan masyarakat umum. Contoh yang jelas, adalah soal Tunjangan Hari Raya (THR). THR adalah buah perjuangan serikat Buruh dari 1950. Akhirnya diakui dalam aturan hukum pada 1960 sebagai hak ekonomi buruh, dan akhirnya diterima masyarakat sebagai kaidah sosial. Hanya saja, selama Orde Baru, THR dihapuskan dari pengakuan hak buruh, dan terlebih lagi, sejarah perjuangan serikat buruh akan THR dikaburkan dari ingatan kolektif.
Jika menilik sejarah, bagaimana sesungguhnya 1 Mei dirayakan pada masa lalu, sebelum Orde Baru? Catatan awal ini hendak menekankan pembahasan pada masa 1946-1947, sebelum terbitnya UU No. 12/1948 tersebut.  Hendak diperlihatkan bahwa, pada masa-masa awal kemerdekaan itu 1 Mei dirayakan dengan penuh kegairahan. Gerakan buruh menikmati alam kemerdekaan, dan upaya-upayanya dalam membela tanah air. Namun juga, 1 Mei dirayakan sebagai upaya mengajukan beberapa tuntutan serikat buruh dalam memperjuangkan kepentingan dan hak-hak buruh. Pertautan antara perjuangan kemerdekaan nasional dan juga perjuangan sebagai gerakan buruh, membawa pada perumusan jaminan hukum bagi buruh untuk “dibebaskan dari kewajiban bekerja untuk merayakan hari kemenangannya” sebagaimana terumuskan dalam UU No.12/1948.
Untuk memberikan konteks sejarah perayaan 1 Mei, tulisan ini akan dimulai dengan pembahasan tentang arti penting terbitan buruh sebagai sumber bacaan kaum buruh dalam masa-masa awal kemerdekaan (bagian 2). Bebas dari kekangan kolonialisme Barat dan Jepang, kaum buruh haus akan informasi dan pengetahuan akan dunianya sendiri dan perkembangan-perkembangan sosial-politik. Di titik inilah, hari 1 Mei sebagai satu bentuk perayaan kemenangan buruh masuk sebagai khasanah perjuangan gerakan buruh Indonesia. Secara khusus (di bagian 3 dan 4) akan dibahas dua buku yang cukup populer pada jaman itu, untuk menandai bagaimana 1 Mei dimaknai, dipersepsikan, dan disebarluaskan di dalam gerakan buruh. Pada bagian berikutnya (bagian 5), akan dibahas bagaimana perayaan 1 Mei pada 1946 dan 1947 diselenggarakan dan kegiatan-kegiatan apa yang disusun oleh gerakan buruh. Ini untuk menggambarkan bahwa kegiatan perayaan 1 Mei bukanlah sekedar acara luapan kemenangan, melainkan merupakan hasil pergulatan serikat buruh dalam menjawab tantangan jamannya akan keadilan sosial dan persatuan. Di sini akan pula dibahas bagaimana UU No.12/1948 dirumuskan. Di bagian akhir (bagian 6), catatan awal ini akan ditutup dengan kesimpulan singkat akan arti penting perayaan 1 Mei bagi perkembangan gerakan buruh di masa selanjutnya.
Terbitan Buruh Sebagai Narasi Sosial
Catatan awal ini berpijak pada satu fakta sejarah, bahwa cukup banyaknya terbitan buruh pada masa-masa awal kemerdekaan 1945-1948 di Pulau Jawa. Walau sedikit saja yang kini terselamatkan, dapat kita telusuri beragam majalah internal serikat buruh dan juga serangkaian buku saku terbitan gerakan buruh. Semuanya beredar di kalangan buruh. Usai berakhirnya masa penjajahan Jepang tumbuh berbagai serikat buruh. Juga, munculnya serikat buruh di tingkat nasional yang dipelopori oleh kelompok kiri (yang di kemudian hari tergabung dalam Sayap Kiri di dalam BP-KNIP, Badan Pekerdja-Komite Nasional Indonesia Poesat, sebagai “parlemen transisi” pada masa itu). Selain bernuansa propaganda, terbitan-terbitan tersebut memberikan informasi-informasi baru (dalam hal Majalah) dan juga ide-ide serapan (dalam hal Buku Saku) bagi para buruh pembacanya.
Misalnya saja, Majalah “Kereta Api” yang diterbitkan oleh Serikat Buruh Kereta Api (SBKA). SBKA adalah serikat buruh di kalangan buruh kereta api di tanah Jawa, yang didirikan sebagai hasil Kongres 12-13 Maret 1946. Terbit mingguan. Majalah “Kereta Api” secara beragam berisikan berita organisasi, opini editor, beberapa artikel lepas tentang perjuangan buruh, dan juga secara teratur memuat kolom “Kroniek”, berupa berita-berita baru dunia perburuhan dalam negeri dan luar negeri. Fungsi majalah sebagai media komunikasi internal memang kuat dan terbukti krusial di dalam pengorganisasian serikat. Sejak akhir 1946, kedudukan editor majalah, yaitu “Pemimpin Sidang Pengarang” dan “Pemimpin Tata Oesaha” dijadikan sebagai bagian dari “Pengurus Pusat” organisasi. Namun begitu, majalah “Kereta Api” tidak semata merupakan terompet organisasi. Sebab dalam beberapa edisi (dan ini cukup sering), ada kolom kritik sosial yang disampaikan secara jenaka dan satir. Dengan gaya bahasa melayu pasar, “Kereta Api” mengantarkan buruh pembaca dalam kefasihan membaca situasi sosial-politik-ekonomi secara kritis.  
Begitu juga dengan majalah “Soeara Boeroeh” yang diterbitkan oleh Perserikatan Boeroeh Tionghoa (PBT, atau juga dalam bahasa Mandarin Hokkien: Lao Tung Hsieh Hui). PBT adalah serikat buruh di kalangan masyarakat Tionghoa peranakan di Pulau Jawa, berdiri 1 Mei 1946, berkedudukan di Surabaya. Majalah “Soeara Boeroeh” berisikan berita-berita organisasi, kolom opini dan debat, juga kolom bahasan masalah-masalah aktual. Terdapat pula sejumlah iklan komersial toko/agen niaga.  Isi majalah menggunakan Bahasa Melayu pasar (rendahan) yang cukup sederhana dan mudah dipahami. Ada juga beberapa bagian menggunakan Bahasa Mandarin, namun ini hanya berupa terjemahan pendek. Dalam salah satu edisi terbitannya, dalam nomor istimewa memperingati 3 tahun kelahiran organisasi, disebutkan pula di bagian muka majalah “Oentoek memperingati International Labour-Day” (Lihat: Gambar 1). Dalam terbitan nomor istimewa ini, Redaksi memberikan “Pengantar kata” yang menceritakan sejarah peringatan 1 Mei dalam perjuangan buruh di Eropa dan Amerika, yang kemudian ditutup dengan harapan bagi perjuangan PBT sendiri, yaitu: 

…moedah-moedahan…kita dapet mempertebel semanget dan tekad kaoem boeroeh seoemoemnja dan anggota PBT choesoesnja, oentoek teroes  memperdjoangken angen2 kita bersama, jaitoe metjape satoe masjarakat jang baroe, jang adil, dalem mana boeroeh dari segala bangsa dapet hidoep dengan tjoekoep, damai dan seneng.[1]

Pernyataan harapan ini memberi kesan bahwa kegiatan perjuangan PBT diletakkan dalam kerangka umum perjuangan buruh di manapun: tatanan hidup yang baru dan adil. 

Gambar 1. Majalah terbitan Perserikatan Boeroeh Tionghoa, dalam memperingati 1 Mei 1949. Sumber: Arsip Nasional Belanda (Het Nationaal Archief), Den Haag.

Perlu pula disebut, buku saku seri “Pendidikan Boeroeh” yang disusun oleh kelompok kiri berkedudukan di Yogyakarta. Seri “Pendidikan Boeroeh” ini memiliki lebih dari 10 judul bahasan. Buku saku yang berjudul “Kekuatan Proletar” membahas soal teknis-teknis pengorganisasian kelompok kaum rendahan. Buku saku berjudul “Repoeblik Filipina” membahas kisah panjang perjuangan rakyat Filipina dalam membangun negara republik pertama di Asia, yang dijadikan cermin pembanding semangat bagi Negara Indonesia. Buku saku berjudul “Upah Buruh” membahas beberapa konsep dasar tentang pengupahan dalam sistem ekonomi kapitalis. Di antara judul-judul bahasan itu, terdapat buku saku “Satoe Mei: Hari Kemenangan Boeroeh Sedoenia” yang akan dibahas dalam catatan awal ini secara khusus di bawah. Hendak didalilkan bahwa seri “Pendidikan Boeroeh” ini memberikan suntikan ide yang diserap dari berbagai sumber-sumber asing, untuk kemudian dibahasakan dalam pengertian umum masyarakat Indonesia (khususnya, yang tinggal di Jawa). Bentuk negara “repoeblik” adalah ide segar yang masuk dalam khasanah pembentukan tata negara Indonesia, dengan tidak mengambil pola kerajaan kuna Nusantara ataupun kerajaan merkantilis gaya Belanda, tapi disusun secara demokratis-modern dengan bercermin dari negara tetangga, Filipina.[2]  Juga demikian, konsep “upah buruh” dimengerti bukan sebagai imbalan hadiah dari pengusaha atau sesuatu yang nilainya pasti tanpa negosiasi, melainkan diletakkan dalam sistim ekonomi kapitalis (yang didominasi modal asing) yang mendera kehidupan rakyat. Ini semua membuktikan, bahwa ada upaya yang serius, tidak hanya sekedar menerjemahkan suatu konsep asing ke dalam bahasa melayu tinggi (melayu sekolahan versi Balai Poestaka), tapi menjelaskan beragam konsep tersebut dalam konteks lokal kehidupan ekonomi-sosial-politik negara muda Indonesia yang baru saja merdeka.      
Contoh lainnya, adalah buku saku berjudul “Djedjak Dynamica Masjarakat” karangan I.N. Soeprapti, seorang aktivis dari Barisan Boeroeh Wanita (BBW). BBW adalah satu kelompok buruh tingkat nasional yang menghimpun aktivis-aktivis buruh perempuan dari beberapa Serikat Buruh, sebagai bagian dari Barisan Boeroeh Indonesia (BBI). BBW terbentuk di akhir 1945 dan di kemudian hari meleburkan diri dalam Partai Buruh, menjadi bagian dari Sayap Kiri di parlemen. Kegiatan utama organisasi pimpinan S.K. Trimurti ini adalah mengadakan “kursus-kursus”, yaitu pelatihan sosial dan politik bagi buruh-buruh perempuan di Jawa. Di dalam buku “Sedjarah Pergerakan Boeroeh Indonesia”, Sandra (1961) mencatat bahwa “(T)epat dengan dirajakannja hari 1 Mei 1946 jang pertama di Ibukota Republik, BBW telah berhasil mengumpulkan tjalon pemimpin-pemimpin buruh wanita untuk dilatih selama 2 bulan.” Kebutuhan akan materi pelatihan bagi pemahaman keseharian buruh perempuan yang menjadi peserta kursus nampaknya yang mendorong penyusunan buku saku “Djedjak Dynamica Masjarakat” ini. Buku saku ini menggunakan bahasa melayu tinggi dan di antaranya terselip beberapa kosakata Belanda dalam menjelaskan beberapa konsep asing. Si pembaca diperkenalkan akan konsep-konsep tersebut guna memperlancar bacaan selanjutnya.
Isi buku “Djedjak Dynamica Masjarakat” membeberkan perjuangan kelas buruh di Eropa dalam melawan sistem kapitalisme berdasarkan prinsip materialisme-historis (diterjemahkan sebagai “sedjarah harta benda”) yang diformulasikan oleh Karl Marx. Sebagaimana tercetak di bagian muka, buku saku ini berisikan:

Mengoeraikan phase-phase masjarakat dari masa ke masa dengan faktor-faktor jang menentoekan bagaimana oejoed atau tjara perobahan satoe-satoenja masjarakat itoe berdasarkan boeah pikiran Poedjangga-Poedjangga sosialis.

Menariknya, penjelasan ini diletakkan dalam konteks perjuangan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan. Oleh karena itu, menurut buku saku ini, perjuangan buruh di Indonesia berbeda dari perjuangan buruh di Eropa (Soeprapti, 1946:17-18):  
…bahwa perdjoangan boeroeh di negeri djadjahan atau jang diantjam oleh pendjadjahan, mesti melaloei satoe phase dahoeloe, jaitoe rassentrijd, perdjoangan bangsa melawan bangsa, ialah bangsa jang mendjadjah dengan bangsa jang didjadjah. Dalam rassentrijd mana, hakekatnja soedah tersimpoel djoega adanja klassenstrijd. Jaitoe klas jang tertindas melawan klas jang menindas, dan klas jang menindas itoe berwoejoed modal asing.
Persoalan kapitalisme dan kolonialisme-imperialisme Barat atas Timur memang merupakan persoalan pelik dalam teori marxisme dan sosialisme. Dan bagaimana si penulis buku saku ini merumuskan persoalan tersebut adalah hal yang menarik untuk ditilik lebih lanjut. Menimbang apakah rumusan itu benar dan sesuai teori marxisme bukanlah tujuan catatan awal ini, namun dapat dilihat bahwa si penulis telah mencoba memahami persoalan aktual yang dihadapi buruh Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagai negara koloni yang sedang berperang menghadapi kembalinya tentara Belanda. Demikianlah Buku Saku tersebut mencoba memberikan arti perjuangan revolusi Indonesia dan peran apa yang perlu kerjakan serikat buruh dalam perjuangan kemerdekaan itu.
Demikianlah semua hal ini memperlihatkan bahwa fungsi terbitan sebagai penyambung informasi (dalam hal Majalah) dan bahan bacaan pendidikan (dalam hal Buku Saku) mendasari latar belakang penulisan berbagai terbitan itu bagi kelompok pembaca buruh. Perlu dimengerti, bahwa dunia buruh adalah dunia kaum urban dengan segala kompleksitas dinamika kehidupan perkotaan. Terbitan-terbitan buruh mengisi kebutuhan para buruh akan bacaan yang mampu menyajikan beragam informasi dan ide terkini – bukan sekedar berisi cerita dongeng yang didendang kaum tua, ataupun pers kolonial yang menekan pribumi. Konteks revolusi ekonomi-sosial-politik Indonesia sebagai negara muda merupakan faktor utama bagaimana terbitan itu ditulis untuk kemudian dipandang layak terbit memberikan tetes embun bagi kedahagaan para buruh pembaca. Jika selama dalam kontrol kolonial Belanda dan kekangan fasisme Jepang, buruh hanya dijadikan obyek penindasan (sebagai koeli dan rõmusha) dan karenanya dibuat menjadi manusia pasif nan bisu, maka dalam alam kemerdekaan buruh dapat membaca dan menyuarakan kepentingan-kepentingan perjuangannya secara bebas tanpa tekanan penguasa. Buruh mulai mengambil hak-haknya sebagai manusia bebas. Terbitan-terbitan itu memenuhi alam pikiran buruh dalam memahami dunia sekitarnya, mendeskripsikan persoalan yang dihadapinya, dan juga menentukan langkah-langkah yang dianggap tepat-guna dalam perjuangannya keadilan sosial. Demikian jelaslah bahwa terbitan-terbitan itu membentuk satu narasi sosial kehidupan buruh pada masa awal kemerdekaan Indonesia.
Pada bagian berikut akan dibahas khusus dua buku saku yang berkenaan dengan 1 Mei: “Satoe Mei: Hari Kemenangan Boeroeh Sedoenia” dan “Revoloesi Nasional dan 1 Mei”. Sebagai suatu narasi sosial, kedua buku tersebut memberikan gambaran bagaimana 1 Mei disosialisasikan, dimaknai dan dirayakan oleh para buruh pada masa-masa awal kemerdekaan. Kedua buku saku ini merupakan catatan berharga dalam sejarah perjuangan buruh memahami dan mengatasi berbagai persoalan aktual yang dihadapinya. Dalam konteks kekinian, kedua buku saku ini menyediakan bahan-bahan awal bagi penyusunan kembali ingatan kolektif buruh yang telah dibungkam dalam politik negara Orde Baru. Bahwa gerakan buruh memiliki andil penting dalam gerakan kemerdekaan Indonesia, namun tidak serta-merta berfungsi belaka menjadi alat negara, melainkan secara independen mampu menyampaikan tuntutannya dalam membela kepentingan dan hak buruh anggota di hadapan negara muda Indonesia. 
Buku “Satoe Mei: Hari Kemenangan Boeroeh Sedoenia”
Buku Satu Mei: Hari Kemenangan Boeroeh Sedunia dikarang oleh Sandra. Terbit pada April 1946. Buku ini mengalami cetak ulang (cetakan kedua) pada Maret 1947. Hal ini bisa dikarenakan tingginya minat, atau juga dianggap perlu sebagai bacaan menjelang perayaan 1 Mei. Bagaimanapun, buku tersebut menjadi buku pertama dalam bahasa melayu (tinggi) yang mencoba menjelaskan perayaan 1 Mei bagi pembaca buruh.
Buku saku setebal 50 halaman ini terdiri dari 10 bab: “Oetjapan Pendekar Proletar,” “Beberapa Kekedjaman dan Pemerasan,” “Toentoetan 8 Djam Bekerdja,” “Tanggal Jang Bersedjarah,” “Arti Kemenangan 1 Mei,” “Alamatnja bagi Perdjoangan Boeroeh International,” “Tjahaja 1 Mei Memantjar di Asia,” “Pentjipta Pergerakan Boeroeh Baroe,” “Sandoengan terhadap Djasa-djasa Boeroeh,” “Tjatatan Sedjarah.” Enam bab pertama mengisahkan tantangan dan perjuangan buruh Barat dalam sistem kapitalisme “bengis” di abad 19. Bab selanjutnya, “Tjahaja 1 Mei Memantjar di Asia” adalah bab dengan penjelasan terpanjang dari keseluruhan 10 bab yang ada. Dan ini kiranya yang menjadi titik berat buku dalam mencoba memberikan arti khusus akan makna perayaan 1 Mei bagi perjuangan buruh di Asia.
Dalam diskusi umum mengenai gerakan buruh di Asia, digambarkan buruh Asia yang pasif menanti uluran tangan dari Barat. Kolonialisme Barat yang menjajah Asia membawa serta kepentingan modal dalam melakukan eksploitasi imperialisme atas rakyat Asia. Akibatnya, bangsa Asia yang terjajah dipandang belum cukup matang melawan kapitalisme karena masih terbelenggu dalam semangat nasionalisme sempit membebaskan diri dari penjajahan Barat.
Sandra, menariknya, punya pendapat lain. Sebagai seorang yang punya akses atas bahan pustaka luas, Sandra adalah seorang intelektual yang aktif membahasakan ide-ide serapan bagi bacaan buruh. Bagi rekan-rekan sejamannya, ada kesan bahwa Sandra dianggap mampu, dan ia (terbukti) memiliki cukup waktu untuk membaca dan menulis – faktor ini pula yang kiranya menyebabkan terbitnya seri buku saku, bahwa si penulis (dianggap) punya otoritas tertentu dalam menulis dan menyebarkan ide-ide, terutama ide-ide dari golongan Kiri. Di sini Sandra sebagai penulis tidak hanya menjalankan fungsi sebagai penyerap ide dan mereproduksinya kembali ke dalam bahasa yang berbeda, tetapi juga memiliki kebebasan dalam menafsirkan konteks penulisannya itu sendiri, bagi terwujudnya “revolusi sosial” ala Marxisme, di bumi Indonesia.
Sandra menekankan arti penting perjuangan gerakan buruh bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia, sebagai bangsa Timur yang terjajah, di masa-masa penjajahan Belanda dan sesudahnya. Namun melampaui tugas-tugas kebangsaan itu, ia berpendapat bahwa:

Begitoelah maka penderitaan proletar Timoer di dalam hakekatnja setali tiga oeang dengan kawan2nja proletar pada masa abad 18 atau 19. Kenjataan inipoen djoega diketahoei oleh proletar di Timoer. Mereka ini moelai insjaf bahwa sebagai proletar soedah boekan lagi ia menganoet kefahaman kebangsaan, tetapi kefahaman tjita2 jang mendjadi sendi perdjoangan. Lebih2 ketika mereka mengenal 1 Mei sebagai lambang kemenangan kaoem proletar atas kaoem kapitalis. (Sandra, 1947; 37)

Bagi Sandra, jelaslah bahwa buruh Asia yang menghadapi kolonialisme Barat perlu berjuang menuntut kemerdekaan, tapi buruh Asia tidak hanya pasif saja menanti bantuan dari buruh di Barat. Buruh Asia juga turut melawan kapitalisme di dalam pergerakan umum seluruh dunia dan menjadikan perjuangannya itu sebagai titik utama kebersamaan sebagai kaum proletar. Bahwa mereka juga (telah) mampu mendesakkan kepentingannya secara frontal menghadapi kaum kapitalis. Dalam hal ini Sandra merujuk pada pemogokan buruh sepanjang 1926-1927 yang tersebar di seluruh tanah Jawa. Perjuangan buruh melawan kapitalisme tidak hanya terjadi di Barat, tetapi juga terjadi di bumi Indonesia dalam sejarah buruh pribumi menentang kolonialisme dan kapitalisme. Demikianlah, Sandra memaknai perjuangan buruh Indonesia sebagai bagian dari perjuangan buruh sedunia. Kerja-kerja pengorganisasian, tuntutan ekonomi, dan pemogokan adalah contoh nyata perjuangan buruh Indonesia dalam perlawanan menghadapi kaum pemilik modal. Sebagaimana dalam kata-katanya sendiri:

Njatalah bahwa kaoem boeroeh Indonesia soedah masak dan tjakap menjemploengkan siasat perdjoangannja ikoet serta dengan proletar seloroeh doenia jang setjita2 dan sefaham. (Sandra, 1947; 40)

Dengan makna yang demikian, maka arti penting perayaan 1 Mei bagi buruh Indonesia dapat langsung dirasakan pembaca. Bahwa perayaan 1 Mei bukan semata-mata milik buruh Eropa, melainkan juga milik buruh Indonesia. Buruh Indonesia bisa merayakan 1 Mei dengan kebanggaannya atas dasar sejarah perjuangannya melawan kolonialisme dan kaum kapitalis (asing). Dengan demikian, konsep “seloeroeh doenia” yang diusung dalam perayaan 1 Mei memperoleh bentuk nyata dalam benak buruh pembaca Indonesia. Dari sini bisa kita ketahui bahwa Sandra hendak mengajukan arti penting 1 Mei bagi buruh di Asia bukanlah pada soal bagaimana hari itu mesti dirayakan di Timur sebagaimana di Barat, melainkan akan semangat perjuangan “kaoem proletar” – di manapun mereka berada.
Buku “Revoloesi Nasional dan 1 Mei”
Buku Revoloesi Nasional dan 1 Mei disusun oleh Adisoemarta, seorang aktivis kelompok kiri yang kemudian bergabung ke dalam SOBSI (Sentral Organisasi Boeroeh Seloeroeh Indonesia). SOBSI sendiri baru terbentuk di akhir November 1946 dan sah berdiri melalui Kongres pertamanya pada 18 Mei 1947 di Malang. Dengan demikian, buku saku ini adalah salah satu buku yang baru diterbitkan berkaitan Kongres tersebut.
Buku saku ini menggunakan bahasa melayu pasar dengan susunan kalimat yang sederhana dan ringkas-pendek. Juga, kosakata asing jarang ditemukan – nampaknya secara sadar memang diminimalisir. Selain itu, di dalam setiap halaman buku di bagian bawah, secara menyolok terdapat kotak ringkasan pernyataan yang menyerupai slogan. Demikian jelaslah, buku saku ini disusun sedemikian rupa secara sederhana agar isinya mudah dipahami. Buku saku ini berfungsi sebagai buku pedoman memperkenalkan posisi SOBSI bagi para pembaca buruh awam. Hal ini nampak pula dari susunan isi buku itu sendiri.   
Buku saku setebal 31 halaman ini terdiri 7 bagian: “Hari 1 Mei dan Revoloesi Nasional,” “1 Mei dengan Perdjoangan Kaoem Boeroeh,” “Perdjoangan Kaoem Boeroeh dalam Pembangoenan,” “ Kemerdekaan Kelas Pekerdja,” “Rentjana Program Pembangoenan Ekonomi SOBSI”, dan “Rentjana Program Pembangoenan Sosial,” dan terakhir, “Program Doea Tahoen Barisan Tani Indonesia.” Dalam empat bagian pertama pembaca langsung disuguhkan kaitan antara perayaan 1 Mei dengan situasi perang kemerdekaan Indonesia. Penjelasan tentang sejarah 1 Mei disajikan secara ringkas saja (berbeda dengan buku karangan Sandra yang cukup mendetail), untuk langsung menukik membahas apa yang menjadi keutamaan buku itu sebagai buku pedoman, yaitu menyajikan posisi SOBSI akan apa yang disebut sebagai “revolusi nasional”:

Repoeblik Indonesia memberi sjarat jang baik sekali bagi perdjoangan boeroeh oentoek melanjoetkan perdjoangan ke arah toedjoean jang lebih tinggi. Kaoem boeroeh dan kaoem tani membentoek dan memperkoeat Negara, sebagai alat dalam perdjoangannja. (Adisoemarta, 1947: 10)

Jadi, buruh Indonesia perlu menyokong kemerdekaan negara muda Indonesia demi kebaikan dan kesejahteraan bagi buruh sendiri.
Namun, kemerdekaan Indonesia bukanlah tujuan akhir dari perjuangan buruh. Sebab, kelompok buruh memiliki tujuannya tersendiri. Kemerdekaan negara hanyalah “sebagai alat perdjoangan” buruh dalam mencapai apa yang menjadi “toedjoean jang lebih tinggi” (Bandingkan dengan perumpamaan “djembatan emas” yang dipergunakan oleh S.K. Trimurti, 1948). “Toedjoean jang lebih tinggi” ini dalam pembahasan buku saku itu adalah:
Kemerdekaan politik sadja tidak tjoekoep bagi massa pekerdja di pabrik dan di sawah bagi boeroeh dan tani. Mereka meminta keringan hidoepnja, beloem lagi mereka meminta kebebasan, sebab kebebasan hanja dapat tertjapai dalam revoloesi sosial, dalam masjarakat jang sosialistis. Peroet tidak haroes kerontjongan lagi. Roemah tidak lagi matjam kombong ajam. Pakaian tidak lagi goni dan tjompang-tjamping. Anak-anak mereka haroes bersekolah. Oepah bekerdja bersesoeaian dengan keboetoehan hidoep. Pendek kata kita haroes mendjalankan politik-kemakmoeran bagi mereka jang bekerdja keras jaitoe boeroeh dan tani. (Adisoemarta, 1947: 10)
Demikianlah, bagi SOBSI perjuangan buruh Indonesia adalah utamanya merebut kemerdekaan penuh bagi negara. Dalam konteks 1947 ketika terjadi Perdjandjian Linggajati yang memaksa negara muda Indonesia untuk menyerahkan beberapa bagian wilayah ke tangan Belanda, nuansa perjuangan fisik akan kemerdekaan yang penuh, jelas mempunyai gaung nasionalisme yang kuat di dalam sanubari seluruh rakyat – dan tak terkecuali, kelompok buruh. Dan dalam mempersatuan perjuangan buruh merebut kemerdekaan penuh itu, SOBSI menjadikan dirinya sebagai kendaraan utama bagi para buruh. Jelaslah buku saku ini terbit dalam menjawab tantangan jamannya.
Di dalam buku saku ini, perayaan 1 Mei dijadikan sebagai kerangka dasar memperluas perjuangan buruh Indonesia. Sebagai perayaan kemenangan, maka buruh Indonesia dipacu untuk merebut kemenangannya pula: mendukung kemerdekaan republik dan juga mengajukan tuntutan kepentingan sosial-ekonomi sebagai “toejoean akhir” perjuangannya itu.
Apakah buku saku ini merupakan satu bentuk retorika sosial SOBSI (sebagaimana di bagian akhir buku saku ini tersusun “Rentjana Program Pembangoenan Ekonomi SOBSI”, dan “Rentjana Program Pembangoenan Sosial”) di dalam alam revolusi negara muda Indonesia?  Rumusan yang disusun SOBSI dalam buku saku ini adalah memang untuk menarik keanggotaan, membangun satu “sentral organisasi” yang membawahi beragam serikat buruh. Dengan berfungsi sebagai buku pedoman pengenalan organisasi, buku saku ini memiliki maksud dalam menyebar-luaskan gagasan SOBSI. Secara strategi, SOBSI memanfaatkan momen perayaan 1 Mei sebagai ajang memperkenalkan posisi dan program organisasi.  Dalam kenyataannya, tujuan ini tercapai sebagaimana sampai 1948, SOBSI menjadi organisasi buruh terbesar dengan memayungi serikat-serikat buruh lokal dari berbagai sektor industri.
Kegiatan Perayaan 1 Mei
Dari dua buku saku yang dibahas di atas kita memiliki jendela dalam melihat bagaimana 1 Mei dipersepsikan, disebarluaskan, dan dimaknai oleh gerakan buruh Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan. Yaitu, bahwa perayaan 1 Mei diterjemahkan sebagai perayaan kemenangan bagi buruh Indonesia di dalam perjuangannya bersama-sama dengan rekan buruh sedunia dalam melawan sistem kapitalisme.  Selain itu juga, perayaan 1 Mei oleh SOBSI, organisasi buruh terbesar pada masa itu, dijadikan kerangka dasar bagi perjuangan buruh di dalam mendukung kemerdekaan penuh negara muda Indonesia dan juga mengajukan tuntutan akan kepentingan sosial-ekonomi buruh sebagai cermin keadilan sosial masyarakat Indonesia yang baru merdeka. Jika perayaan 1 Mei dimaknai sebagai hari kemenangan bagi buruh Indonesia, pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana tuntutan-tuntutan buruh Indonesia dalam perjuangannya menuju kemakmuran dan melawan kapitalisme itu dirumuskan? Kegiatan-kegiatan apa yang diadakan/disusun dalam perayaan 1 Mei itu dalam menunjang pemenuhan tuntutan itu? Juga, bagaimana kegiatan-kegiatan itu diselenggarakan dalam situasi sosial-politik negara muda Indonesia yang masih menghadapi serbuan tentara Belanda?
Dalam bagian ini akan diulas singkat beberapa kegiatan buruh dalam perayaan 1 Mei pada masa revolusi Indonesia 1945-1949, khususnya 1946 dan 1947. Sedikitnya bahan-bahan sejarah yang terselamatkan, memberikan kesulitan tersendiri di dalam menyusun suatu kronologi yang lengkap akan kegiatan buruh. Walau demikian, ada gambaran yang dapat dijadikan masukan awal bagi penelitian lebih lanjut tentang hal ini: bahwa negara turut aktif di dalam perayaan 1 Mei, dan bahwa serikat buruh tidak segan-segan melintas-batas berpadu menggalang kekuatan di dalam perayaan 1 Mei.  Ini semua dapat dimengerti dalam konteks sosial-politik masa itu yang memaksa semacam kerjasama antara negara dan masyarakat (dalam hal ini, kelompok buruh) dalam menghadapi tekanan tentara Belanda.

  1. Perayaan 1 Mei 1946

Perayaan 1 Mei 1946 adalah perayaan pertama dalam alam kemerdekaan. Saat itu adalah masa Kabinet Sjahrir Kedua (Maret 1946 – Oktober 1946). Dengan membuka keran demokrasi parlementer, kabinet Sjahrir memastikan keleluasaan gerakan buruh. Sjahrir adalah seorang demokrat-sosialis yang mementingkan hak-hak buruh, setidaknya atas dua dasar: pembacaannya akan sistem negara Indonesia yang ia cita-citakan sebagai negara kesejahteraan, dan sokongannya terhadap gerakan buruh sebagai sumber mobilisasi massa. Karenanya, Kementerian Sosial yang dipimpin oleh Maria Ulfah, memberikan dukungan besar dalam pelaksanaan perayaan 1 Mei.  Kementerian Sosial mengeluarkan satu Makloemat, yang isinya:

Kepada boeroeh harian jg. ikoet merajakan hari 1 Mei diberi gadjih teroes oentoek hari itoe.

Kepada kantor2 Djawatan2 dan peroesahaan2 tsb diatas diperkenankan mengibarkan Bendera Merah disamping Sang Merah Poetih.[3]

Secara strategis, Makloemat Kementerian Sosial itu sesungguhnya disusun sebagai jawaban positif pemerintah atas tuntutan dari gerakan buruh sebelumnya. Beberapa minggu sebelum 1 Mei, Barisan Boeroeh Indonesia (BBI) telah mengajukan tuntutan terbuka kepada Presiden agar 1 Mei dijadikan hari raya (sebab hari 1 Mei 1946 memang jatuh pada hari Rabu), dan “sekolah2 dan kantor2 soepaja ditoetoep oentoek menghormati hari itoe dan kepada kaoem boeroeh seoemoemnja diberikan kesempatan seloeas2nja oentoek merajakan hari kemenangan.”[4] Jadi, inisiatif perayaan 1 Mei datang dari gerakan buruh, dan oleh karenanya, mereka mengajukan tuntutan kepentingan kepada negara. Negara memberikan jawaban positif atas tuntutan tersebut, dan bahkan selangkah maju mendukung 1 Mei agar dirayakan secara besar-besaran oleh gerakan buruh, dengan memberikan jaminan ekonomis pembayaran upah bagi buruh yang ikut merayakannya dan memperkenankan pengibaran bendera merah (yaitu, bendera simbol perjuangan buruh).
Jawaban positif negara atas tuntutan dari  gerakan buruh, bukanlah hal yang mengherankan. Dalam konteks negara yang baru merdeka, negara Indonesia hendak membangun citra yang membedakan dirinya dari negara kolonial yang dilawannya, yaitu dengan melindungi dan mendukung gerakan rakyat. Seperti yang terjadi juga di banyak tempat di Asia dan Afrika yang membebaskan dari cengkeraman kolonialisme Eropa, negara Indonesia yang akan dibangun bukanlah seperti negara kolonial yang menindas dan menyengsarakan rakyat (pribumi), melainkan berupaya mengakomodir sebisa mungkin segala kepentingan rakyatnya. Gerakan buruh, yang walaupun jumlahnya tidaklah besar di negara-negara yang baru merdeka ini, mempunyai peran sentral sebagai penggerak mobilisasi massa, sehingga dukungan sosial-politik gerakan buruh menjadi salah satu kunci utama bagaimana pondasi negara yang baru merdeka itu akan disusun. Dalam konteks demikian, Makloemat Kementerian Sosial dapat dipahami sebagai bentuk relasi simbiosis mutualis politik antara negara muda Indonesia dengan gerakan buruh.
Tidak ada data sejarah yang menceritakan bagaimana pelaksanaan isi Makloemat Kementerian Sosial tersebut di dalam kenyataannya di lapangan. Apakah benar semua buruh yang “ikoet merajakan hari 1 Mei diberi gadjih teroes oentoek hari itoe”? Apakah sungguh terjadi diperkenankannya pengibaran “Bendera Merah disamping Sang Merah Poetih” di kantor-kantor pemerintah? Kita tidak dapat menjawab secara positif dua pertanyaan penting ini. Dengan demikian, tidak dapat disimpulkan bahwa tidak ada pelanggaran atas isi Makloemat itu. Walau begitu, penelusuran beberapa koran utama sepanjang 1946, tidak menemukan adanya berita keluhan dari gerakan buruh atas perayaan 1 Mei 1946, sehingga kita cukup mengetahui bahwa perayaan 1 Mei 1946, sekalipun terjadi pelanggaran atas isi Makloemat, telah berjalan lancar.
Patut diketahui pula bahwa persiapan perayaan 1 Mei 1946 telah dimulai beberapa hari sebelumnya. Jauh hari sebelumnya, Barisan Boeroeh Indonesia sudah membentuk “Panita Peringatan hari 1 Mei”.[5] Tugas Panitia ini lebih berupa “penerangan-penerangan” – atau dalam kosakata kekinian: kampanye – perihal sejarah dan arti penting perayaan 1 Mei bagi buruh dan masyarakat umumnya. Maka itu, dapatlah kita ketahui konteks sosial-politik penulisan buku saku “Satoe Mei: Hari Kemenangan Boeroeh Sedoenia”karangan Sandra – yang mencoba menerjemahkan perayaan 1 Mei bagi buruh dalam alam kemerdekaan yang baru dinikmati rakyat Indonesia. Jadi, “penerangan” ditempuh lewat terbitan buruh. Selain itu, “penerangan-penerangan” ini juga dilakukan dengan memanfaatkan media utama pada jaman itu, yaitu: radio. Radio adalah media massa terpenting pada masa 1940-an – 1950-an yang dapat menjangkau masyarakat luas, dan perayaan 1 Mei (dianggap) sebagai hal penting yang perlu disiarkan dan diketahui rakyat umum. Gerakan buruh memberikan “penerangan-penerangan” lewat radio dalam siaran berita Antara. Kegiatan apa yang disusun, juga jadwal acara perayaan 1 Mei disebarkan ke masyarakat umum lewat radio.
Menteri Sosial juga memberikan pidatonya lewat radio dalam perayaan 1 Mei 1946.[6] Pidatonya berintikan dua hal, yaitu tentang “sedjarah sarekat kerdja di lain negeri”, dan juga harapan agar gerakan buruh “memberi bantoean dengan ikoet membangoenkan negara Indonesia jang merdeka.”Menariknya, Menteri Sosial juga menyebut program kerja Kementerian dalam menyusun satu “Oendang-oendang Sosial jang ditoejoekan kepada perbaikan nasib rakjat Indonesia seoemoemnja.”  Oendang-oendang sosial ini dalam perkembangannya di kemudian hari menjadi UU No. 12/1948 tentang Kerdja.
Selain “penerangan-penerangan”, BBI juga mengadakan “pertemoean dimana kaoem boeroeh laki-laki dan perempoean djoega isteri boeroeh, ditoenggoe kedatangannja”. Pertemuan umum lebih berupa ajang sosialisasi di antara rekan-rekan aktivis buruh di tingkat nasional. Lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dan lagu perjuangan buruh “Internasionale” diputar berturut-turut. Juga diperkenalkan lagu “Satoe Mei” sebagai lagu perjuangan buruh Indonesia dari kelompok progresif (Lihat: Gambar 4).
Sementara itu di tingkat lokal, perayaan 1 Mei 1946 mengambil bentuk lain. Sebagaimana diberitakan, gerakan buruh di Pati mengadakan “rapat raksasa” yang berupa upacara (yang dimulai pukul 7 pagi) dan dilanjutkan dengan “arak-arakan setjara demonstrasi dengan membawa sembojan-sembojan”. Juga diadakan “gerakan pengoempoelan bahan pakaian, obat-obatan dan lain-lain oentoek menolong fakir miskin dan bekas roomoesha.” Keprihatinan gerakan buruh terhadap fakir miskin dan bekas rõmusha merupakan bentuk solidaritas yang dipusatkan bagi kesejahteraan masyarakat umum. Gerakan buruh (sudah) menyadari bahwa kesejahteraan rakyat seluruhnya adalah bagian dari cita-cita perjuangannya juga. Sebagai kelompok masyarakat yang “cukup” beruntung memiliki pekerjaan dan memperoleh upah atas pekerjaannya itu, gerakan buruh melakukan kerja-kerja konkret tidak hanya bagi dirinya sendiri, tapi bagi kaum rendahan keseluruhan. Kerja konkret ini didasarkan pada fakta bahwa bahan makanan pada masa-masa awal kemerdekaan sangatlah sulit didapat – dan harga beras di tanah Jawa melonjak drastis dalam masa kurun 1946-1947, sehingga beberapa serikat buruh menuntut pembayaran upah berupa beras.
Dengan demikian, jelaslah bahwa bagi gerakan buruh Indonesia perayaan 1 Mei bukan semata-mata merupakan euforia sukacita perayaan kemenangan kelompok buruh atas pencapaian-pencapaiannya secara eksklusif, namun ekspresi keprihatinan yang bertujuan mendorong keadilan sosial bagi masyarakat umum. Ini adalah salah butir penting perayaan 1 Mei 1946, yang bisa kita simpulkan.

Satoe Mei
Tanggal satoe Mei ini          Perajaan kita 
Di seloeroeh doenia           Kaoem proletariers  
Tanggal satoe Mei ini            Kemenangan kita           
Di seloeroeh doenia            Kaoem komoenisten
Refrein (batja doea kali):     Komoenisten, Komoenisten,        
Tak selaloe bersoesah           Komoenisten, Komoenisten,      
Djoega moesti bersenang
 
 
 
2. Perayaan 1 Mei 1947 sebagai Kegiatan Bersama
Apabila selama 1946 banyak serikat buruh yang terpencar-pencar – karena juga baru mulai tumbuh di akhir 1945 dan aktivitas BBI masih terpusat di Jakarta, maka pada 1947, gerakan buruh mulai menyusun langkah-langkah untuk menuju persatuan. Untuk memahami kerangka persatuan ini, perlu kiranya dijabarkan singkat tentang dinamika hubungan antarorganisasi serikat pada masa 1945 – 1948. Menjelang deklarasi kemerdekaan Agustus 1945, buruh-buruh langsung membentuk serikat berdasarkan wilayah kerjanya. Buruh kereta api di stasiun Manggarai berkumpul menjadi satu, sementara rekannya di Solo juga demikian. Juga, buruh perkebunan di Jogja langsung membentuk serikat di kalangannya sendiri. Masing-masing memiliki independensinya, namun menyadari bahwa mereka perlu kerjasama, terlebih lagi pada masa itu apa yang dimengerti sebagai “kelas pengusaha” belum terbentuk. Sampai akhir 1945 masing-masing organisasi buruh masih berdiri sendiri. Namun sampai pertengahan 1946, mereka mulai menggabungkan diri berdasarkan industri: buruh kereta api bergabung membentuk SBKA, buruh perkebunan gula membentuk Serikat Boeroeh Goela (SBG), buruh di lapangan minyak membentuk Serikat Boeroeh Minjak (SBM), dan sebagainya. Masing-masing memiliki struktur organisasi mandiri dengan jumlah keanggotaan yang tersebar di banyak daerah di Jawa. 
Bagi kita di antara pembaca yang sebelumnya menghadapi dominasi tunggal SPSI dalam rejim Orde Baru, dan kemudian mengalami keberagaman serikat buruh dalam alam Reformasi sekarang ini, mungkin bisa menafsirkan fenomena ini semua sebagai kelemahan gerakan buruh. Namun sesungguhnya, nilai penting dari kenyataan ini adalah kemandirian buruh. Buruh telah mampu menyusun organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Semangat ini pula yang mendasari organisasi buruh 1946-1947. Hanya saja, di mulai sejak awal 1946, negara muda Indonesia mulai menyusun sendi-sendi pemerintahannya. Bersamaan dengan itu, organisasi buruh telah lebih dulu menduduki beberapa institusi penting. Misalnya, SBKA telah menguasai jalur perkeretaapian se-Jawa, SBG menguasai produksi gula untuk kemudian hasilnya dibagi rata di antara semua buruh gula, dan SBM menghimpun buruh-buruh minyak – yang pada masa itu, minyak merupakan sumber energi baru di samping batubara. Mendahului pemerintah, serikat buruh ternyata telah menguasai dan juga mampu mengatur laju jalan sendi-sendi perekonomian yang dianggap penting bagi kelangsungan suatu negara. Padahal, pemerintahan sendiri belum stabil. Kabinet Sjahrir melihat bahwa kemandirian serikat buruh bisa menjadi alat bagi gerakan kemerdekaan Indonesia, tapi juga mesti diwaspadai. Sebab, jika serikat buruh menjadi (terlalu) kuat maka pemerintahan (menjadi) tidaklah diperlukan. Secara hati-hati, pemerintah mulai mendekati gerakan buruh, sekalian juga berupaya merebut institusi-institusi penting itu dari tangan penguasaan serikat buruh.  
          Namun serikat buruh tidaklah lengah. Beberapa serikat buruh utama, misalnya SBKA dan SBG, terbiasa membaca situasi sosial-politik keseluruhan dan menyadari langkah-langkah pemerintah. Mereka mengupayakan persatuan di kalangan serikat buruh di tanah Jawa. Beberapa aktivis buruh di tingkat pusat juga mendorong upaya ini.
Bagi yang hidup dalam masa pasca-Reformasi mungkin agak sedikit kesulitan memahami makna persatuan buruh pada jaman itu. Yang perlu digarisbawahi, bahwa tiap serikat buruh memiliki identitasnya masing-masing. Sebagaimana digambarkan di atas, serikat buruh dibentuk dari “bawah” ketika buruh-buruh yang mengetahui usainya penjajahan Jepang, secara otonom dan solider menggabungkan diri dalam organisasi. Jadi, organisasi serikat buruh pada masa itu dibentuk atas dasar inisiatif sendiri tanpa instruksi dan tekanan dari atas. Identitas yang dibentuk lebih menonjolkan bidang lapangan pekerjaan (misal, serikat buruh listrik, serikat buruh gula, dll.) dan daerah tempat kerja (misal, serikat buruh kota Jakarta, serikat buruh Bandung, dll.). Sehingga pada masa itu, persatuan gerakan buruh lebih merupakan pilihan bagaimana menyusun organisasi induk: apakah berdasar lapangan pekerjaan (secara vertikal) atau berdasar wilayah tempat kerja (secara horizontal). Pilihan ini memang terbukti sulit, karena tiap lapangan pekerjaan dan juga tiap wilayah, punya tantangannya masing-masing. BBI mencoba mengatasi pilihan ini dengan mengadakan konferensi di tingkat pusat, pada 19 Maret 1946. Hasilnya, masih jauh dari terang. Konferensi kedua diadakan, pada 21 Mei 1946 di Madiun, untuk memecah kebuntuan. Namun, garis yang terbentuk secara vertikal dan secara horizontal, malah makin menguat, akibatnya malah perpecahan di kalangan buruh. Beberapa serikat buruh lapangan pekerjaan, seperti Serikat Boeroeh Minjak (SBM) dan Serikat Boeroeh Pegadaian yang memang telah memiliki banyak cabang di daerah-daerah berdasarkan kesamaan lapangan pekerjaan, langsung membentuk induk organisasi tersendiri, Gaboeangan Serikat Boeroeh Vertikal. Sementara serikat buruh yang disusun atas dasar wilayah, menjadi kewalahan. 
Di dalam upaya menggalang persatuan itu, terbentuknya SOBSI di akhir 1946 merupakan peristiwa penting bagi gerakan buruh Indonesia. Usaha beberapa aktivis buruh, seperti Alimin dan Hardjono, dalam mempertemukan dua kelompok serikat buruh itu membuahkan beberapa hasil kemajuan. Serikat buruh di tingkat pusat maupun lokal, bergabung dalam SOBSI sebagai satu induk organisasi utama. Masing-masing serikat tetap independen sebagai organisasi anggota, memiliki AD/ART tersendiri dan program kerja yang disahkan Kongres buruh anggota, dan hubungan dengan serikat buruh lain didasarkan atas kesetaraan dalam satu induk organisasi SOBSI – bukan hubungan hirarkis. Jadi, SOBSI tumbuh dan dibentuk “dari bawah”, bukan merupakan pesanan ataupun desakan “dari atas”. Kebutuhan untuk bersatu di kalangan buruh adalah motif utamanya, di dalam menghadapi langkah-langkah pemerintah yang hendak mengatur gerakan buruh sesuai dengan kepentingan negara. Sandra (1961) mencatat bahwa “(L)ahirnja SOBSI bagi pergerakan buruh di Indonesia berarti satu langkah kemadjuan dalam usahanja mentjapai konsolidasi.” Dengan melakukan upaya persatuan “dari bawah,” gerakan buruh membuktikan dirinya sendiri independen, tidak bergantung dan tidak dapat dikendalikan begitu saja oleh pemerintah.
Oleh karena itu, di dalam Perayaan 1 Mei 1947, nuansa persatuan di dalam gerakan buruh terasa kental. Ada baiknya dikutip secara panjang di sini satu liputan berita surat kabar tentang perayaan 1 Mei 1947:

Pagi djam 9 Balai Pertemoean telah penoeh. Pekarangan, lapangan stasioen Gambir, pekarangan Hotel Shutte Raaf dan Willemkerk poen penoeh. Lapangan perajaan dipenoehi oleh poster2 dan bendera Merah Poetih jang dibawa oleh barisan boeroeh dari masing2 kantor dan Djawatan. Setelah Nona Setiati, ketoea dari Panitia Perajaan tsb, memboeka perajaan, Pak Wirjo membentangkan dengan pandjang lebar akan perdjoeangan boeroeh Djakarta selama ini. … Kemoedian berganti-ganti berbitjara wakil dari progressieve-groep dari golongan Tionghoa, jaitoe toean Oh Bian Hong, kemoedian toean Mr. de Graaf dari golongan Belanda. Pidato terachir jaitoe toean Soepranoto, dengan soeara jang berkobar-kobar mengatakan bahwa boeroeh Djakarta sanggoep oentoek menjediakan tenaganja dalam perdjoeangan jg. akan datang. Rapat selesai djam 10.15 diachiri dengan lagoe “Internationale.”[7]

Dari berita liputan itu dapat kita ketahui bahwa SOBSI melakukan kerja koordinasi dalam perayaan 1 Mei. Nona Setiati adalah seorang aktivis perempuan dari SOBSI, yang di kemudian hari di 1960-an menjabat sebagai salah seorang Wakil Ketua Dewan Nasional SOBSI. “Panitia Perajaan” adalah kerja koordinasi SOBSI yang didukung oleh gerakan buruh dari berbagai golongan. Mulai saat itu, perayaan 1 Mei disusun secara bersama, dan tidak didominasi oleh satu kelompok tertentu saja.
Perayaan 1 Mei bukanlah semata-mata milik kelompok kiri saja (sebagaimana digambarkan dalam sejarah bikinan Orde Baru) sebab, sebagaimana tergambar di atas, tiap kelompok buruh memiliki perannya masing-masing. Memahami perayaan 1 Mei sebagai perayaan bersama gerakan buruh bukan berarti larut hilang identitas tiap serikat buruh. Masing-masing serikat buruh tetap memegang identitasnya – entah itu berdasarkan lapangan pekerjaan ataupun daerah wilayah. Jadi, polarisasi dan segregasi kelompok buruh bukanlah berdasarkan identitas kesukuan atau agama. Kebersamaan gerakan buruh dalam merayakan 1 Mei 1947 memiliki dua arti strategis: bagi perjuangan kemerdekaan negara muda Indonesia, dan bagi konsolidasi gerakan buruh sendiri. Dalam kerangka perjuangan kemerdekaan, gerakan buruh yang bersatu menjadi sumber mobilisasi massa. Terlebih dalam situasi politik akibat Perdjandjian Linggadjati. Sementara itu, bagi konsolidasi gerakan buruh, persatuan dengan berbagai serikat buruh memiliki arti ideologis dan kepentingan bersama bagi buruh anggota, sebab menguatkan daya tawar di hadapan penguasa di dalam mengajukan tuntutan kesejahteraan.
Kesukuan dan agama bukanlah persoalan susunan struktur organisasi buruh pada masa itu. Pilihan susunan berdasar lapangan pekerjaan atau daerah wilayah kerja, yang menghantui benak aktivis buruh. Pula, identitas yang hendak dibangun bukanlah identitas kesukuan atau agama secara eksklusif, melainkan identitas kebersamaan sebagai kelas buruh. Selain itu juga, sesungguhnya ada kegagapan di antara kelompok pemuka agama (baik itu kaum ulama ataupun santri) dalam menjangkau kelompok buruh, karena mereka tidak punya kosakata yang pas untuk bisa terjun ke dunia buruh memahami kerasnya kehidupan urban kaum buruh. Serikat Boeroeh Islam Indonesia (SBII), sebagai serikat buruh yang pertama kali bersendikan keagamaan, baru terbentuk di akhir 1948 –  dan ia dilahirkan bukan sebagai hasil pengorganisasian buruh anggota dari tingkat basis, melainkan disusun dari tangan-tangan aktivis buruh di tingkat pusat sebagai reaksi ketakutan atas peristiwa Madiun dan tuduhan keterlibatan SOBSI di dalamnya. Dalam konteks demikian, perayaan 1 Mei adalah perayaan kebersamaan buruh yang sungguh dibentuk dari dorongan kuat dari bawah. Dan di dalam menyelenggarakan perayaan 1 Mei bersama itu, SOBSI mampu menggalang kekuatan buruh dari berbagai sektor lapangan pekerjaan dan daerah wilayah kerja, dan terlebih juga secara lintas batas – sebagaimana akan dibahas selanjutnya berikut ini.
 3. Perayaan 1 Mei 1947 secara lintas batas
        Secara khusus perlu kiranya disebut bahwa upaya persatuan gerakan buruh juga dilakukan secara lintas batas, dengan mengadakan perhubungan dengan serikat-serikat buruh di daerah pendudukan Belanda. Utamanya dengan kelompok buruh di kalangan masyarakat Tionghoa, yang pada saat itu kerap berkumpul di kantor Sin Ming Hui (SMH – “Perkumpulan Cahaya Baru” 新明會).
SMH adalah organisasi sosial di kalangan masyarakat Tionghoa yang terbentuk di awal 1946 di Kota Jakarta (sebagai bentuk keprihatinan atas peristiwa rasial Tangerang). Di samping melakukan kerja-kerja karitatif, di dalam perkembangannya SMH membuka kerja pembelaan hukum bagi golongan buruh (“afdeling kaum buruh”), dan ini menjadi satu kegiatan utama SMH. SOBSI membangun kontak-kontak awal dengan SMH afdeling kaum buruh. Pada 27 April 1947, berhasil diadakan “Pertemoean di antara wakil2 gerakan boeroeh Indonesia terdiri dari sdr.2 Boejoeng Saleh wakil SOBSI, Soepardjan wakil Serikat Boeroeh Minjak dan Soeparna wakil Sarboepri dengan Poesat Perserikatan Boeroeh Tionghoa Sin Ming Hui jang diwakili oleh sdr.2 Injo Beng Goat ketoea, Oh Bian Hong, Liem Hong Tjiang, dll.”,[8] di kantor SMH di Jakarta. Dari pertemuan itu, diberitakan bahwa:
Sin Ming Hui sedang mendidik kader2 oentoek menjoesoen gerakan boeroeh di daerah2 pendoedoekan Belanda. … Selanjoetnja sdr. Soeparna atas nama Sentral Biro SOBSI menjerahkan beberapa boeah boekoe, antaranja tentang 1 Mei oentoek perpoestakaan Sin Ming Hui dan seboeah paloe rapat sebagai lambang persaudaraan dan kerdja.[9]
Diketahui pula dalam pertemuan itu disepakati untuk mengadakan perayaan 1 Mei 1947 dengan parade bersama dan pertandingan olahraga (Lihat: Lampiran dan Gambar 5). Juga, SOBSI mengundang wakil SMH untuk hadir di dalam Kongres pendirian organisasi SOBSI di Malang pada 18 Mei 1947. Nampaknya, Oh Bian Hong, wakil SMH yang hadir dalam Kongres SOBSI, belajar banyak dari pengalaman organisasi SOBSI yang mampu menghimpun berbagai serikat buruh dari beragam lapangan industri di pulau Jawa. SMH afdeling kaum buruh di kemudian hari, pada 1 September 1947, berkembang menjadi serikat buruh tersendiri yang lepas dari organisasi sosial induk SMH, yaitu: Sin Ming Lao Kung Hui (Organisasi Buruh Cahaya Baru 新明勞工會). Sin Ming Lao Kung Hui kemudian di April 1948, juga berupaya menghimpun berbagai serikat buruh Tionghoa yang tersebar di Jawa, Sumatera, dan juga Makassar dalam satu induk: Federasi Perkumpulan Buruh Seluruh Indonesia. Mereka bisa dengan bangga mencantumkan nama “Indonesia” dalam induk organisasi baru itu. 
Demikianlah, bahwa upaya konsolidasi lintas batas ini menumbuhkan rasa solidaritas dan persatuan di antara masing-masing serikat yang saat itu baru mulai tumbuh kembang dalam alam kemerdekaan menghadapi pemerintahan negara muda Indonesia. Serikat buruh melihat ada kepentingan jangka panjang yang mesti diperjuangkan, tidak hanya persoalan sesaat, dan ini memerlukan sinergi bersama dalam satu induk organisasi. Tanpa adanya persatuan gerakan buruh, perayaan 1 Mei menjadi kesia-siaan belaka. Karenanya, persatuan di kalangan buruh merupakan cita-cita dan juga langkah yang terus diupayakan kaum buruh Indonesia, tanpa mendahulukan identitas kesukuan ataupun agama. Persatuan di dalam SOBSI dipandang sebagai kekuatan kelas buruh. SOBSI pada masa itu dipandang cukup mampu menampung aspirasi kepentingan serikat buruh dalam membela kepentingan buruh anggota, di tingkat pusat. Dalam konteks ini, dapat dimengerti bahwa perkembangan SOBSI di kemudian hari di tahun 1948 dalam persetujuannya atas Perdjanjian Renville, yang menjadikannya sebagai identitas politik kelompok tertentu, adalah yang membuka keretakan persatuan buruh ini. Bahwa ketika kekuataan kelas buruh dicucuk oleh kepentingan politik kelompok tertentu, dengan sendiri persatuan gerakan buruh menjadi kemustahilan. Dalam terang sejarah kita tahu bahwa kebersamaan gerakan buruh ini memang berumur pendek. Namun demikian, perayaan 1 Mei 1947 membuktikan bahwa upaya-upaya persatuan telah berhasil ditanamkan. Dan SOBSI, sampai di akhir 1948, terbukti mampu menyusun kekuataan kaum buruh menjadi satu kekuatan sosial masyarakat yang diperhitungkan oleh pemerintah negara baru Indonesia.
4. Perayaan 1 Mei Dalam Rumusan Hukum UU No.12/1948
Upaya-upaya persatuan dari gerakan buruh memperoleh gaungnya di dalam perumusan UU No. 12/1948.  Satu “Rancangan oendang-oendang sosial” seperti yang diungkapkan Maria Ulfah sudah berhasil disusun selama masa Kabinet Sjahrir kedua, dan hingga akhir 1946 telah terdapat satu naskah awal rancangan undang-undang. Namun rancangan undang-undang itu tidak pernah diajukan ke BP-KNIP untuk dibahas.
Pada saat itu, di awal 1947, Presiden Soekarno memperluas keanggotaan BP-KNIP dengan memberikan sejumlah kursi tambahan yang didominasi oleh Sayap Kiri agar dapat mendukung posisi pemerintah, sebagai bagian dari krisis politik akibat Perdjandjian Linggadjati. Dari sini, beberapa aktivis buruh memasuki ranah politik praktis, duduk sebagai “wakil golongan boeroeh” di dalam parlemen transisi negara muda Indonesia tersebut. Keterwakilan ini menjadi insentif tersendiri bagi upaya persatuan gerakan buruh di tingkat lokal. Mereka adalah: Asraroedin (aktivis serikat buruh PTT Bandung), Koesnan (aktivis Gaboengan Serikat Boeroeh Vertikal) dan K. Werdojo (Persatoean Goeroe Repoeblik Indonesia). 
Sejak penunjukkannya sebagai wakil golongan buruh di dalam BP-KNIP di Maret 1947, Asraroedin mendesakkan pembahasan rancangan “oendang-oendang sosial” susunan Kementerian Sosial. Pada 26 April 1947, Asraroedin mengajukan mosi pembahasan “oendang-oendang sosial” di BP-KNIP yang didukung oleh 10 anggota lainnya – kesemuanya dari Sayap Kiri.[10]
Menanggapi mosi tersebut, rancangan “oendang oendang sosial” tersebut baru diajukan oleh pemerintah pada 7 Mei 1947. Pembahasan di BP-KNIP cukup berlarut-larut seiring dengan memburuknya situasi politik yang menghantar kejatuhan kabinet Sjahrir kedua pada Juli 1947, dan digantikan oleh Amir Sjarifoeddin. Dalam kabinet Amir, Kementerian Perburuhan untuk pertama kalinya terbentuk, dengan dipimpin oleh seorang perempuan muda S.K. Trimoerti. Beliau melanjutkan program kerja Maria Ulfah, termasuk tentang soal pembahasan rancangan “oendang-oendang sosial” dalam rapat-rapat BP-KNIP. Tujuannya, agar rancangan “oendang-oendang sosial” ini bisa diterima, sebab ini dapat menjadi bukti penting sebagai klaim keberpihakan pemerintah atas kelas buruh.  
Di dalam perjalanan rapat-rapat pembahasan “oendang-oendang sosial” ini, ternyata terjadi penambahan 4 pasal baru atas naskah awal: tentang penetapan batas usia 14 tahun anak-anak, tentang buruh wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid, tentang hak istirahat 3 bulan bagi buruh yang telah bekerja 6 tahun berturut-turut, dan tentang hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajibannya bekerja. Penambahan 4 pasal baru ini dilakukan oleh panitia pembahas dari Sayap Kiri dalam rapat BP-KNIP pada 18-19 September 1947. Penambahan ini baru disepakati pemerintah enam bulan kemudian – dikarenakan jatuhnya kabinet Amir di awal 1948, yang kemudian digantikan oleh Hatta, sehingga pihak pemerintah agak terlambat mengambil sikap dalam rapat pembahasan yang kerap ditunda. 
Sementara itu, memburuknya situasi sosial-ekonomi negara muda Indonesia (salah satunya disebabkan oleh blokade Belanda), dan juga naiknya harga beras dan bahan pakaian sepanjang 1947, menimbulkan kegelisahan di kalangan buruh anggota. Persoalan kesejahteraan menjadi titik perhatian utama Serikat Buruh. Untuk meredam gejolak tuntutan dari gerakan buruh, kabinet Hatta tanpa ragu sedikitpun menyetujui penambahan 4 pasal baru usulan Sayap Kiri. Hatta menyadari perlunya dukungan politik dari gerakan buruh, karena minim mendapatkan sokongan dari partai politik lain. Namun, Hatta juga mengambil sikap hati-hati menghadapi potensi gerakan buruh sebagai kekuatan sosial. Menteri Perburuhan yang ditunjuknya adalah Koesnan, seorang aktivis moderat yang sebelumnya duduk di dalam BP-KNIP dan mengetahui proses pembahasan rancangan “oendang-oendang sosial” itu. Ini memberinya sedikit kekuatan tawar untuk dapat mengalihkan tuntutan buruh akan kesejahteraan dengan pencapaian dalam rumusan hukum. Kurang dari dua bulan sejak terbentuknya kabinet Hatta, Koesnan langsung menyetujui penambahan 4 pasal baru tersebut dan mengirim nota persetujuannya pada 10 Maret 1948.[11] Sebulan kemudian, rancangan “oendang oendang sosial” itu disetujui dan disahkan sebagai “oendang oendang kerdja” pada 20 April 1948. Undang-undang ini kemudian dikenal sebagai pencapaian tertinggi bagi gerakan buruh – walau sesungguhnya, beberapa pasal di dalamnya belum sempat dilaksanakan penuh, bahkan sampai hari dihapuskan keberlakuannya oleh UU Ketenagakerjaan No. 13/2003.  
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa masuknya perumusan jaminan hukum bagi buruh untuk “dibebaskan dari kewajiban bekerja untuk merayakan hari kemenangannya” bukanlah semata-mata hadiah cuma-cuma dari pemerintah negara muda Indonesia, yang berbaik hati tanpa pamrih mendukung gerakan buruh. Ada pertautan antara kepentingan negara (yang memerlukan dukungan gerakan buruh bagi perjuangan kemerdekaan dan dukungan politik bagi stabilitas pemerintahan) dengan perjuangan tuntutan gerakan buruh (baik di dalam parlemen maupun di tingkatan basis anggota). Dinamika pertautan kepentingan negara dengan tuntutan kesejahteraan buruh ini dipengaruhi konteks sosial-politik-ekonomi Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. Gerakan buruh memang mendukung kemerdekaan Indonesia, sebagaimana merupakan cita-cita umum sebagai bangsa yang terjajah dan memandang kemerdekaan itu sebagai alat bagi perjuangannya. Namun, gerakan buruh tidak serta-merta tunduk akan segala keputusan pemerintah. Gerakan buruh berani mengajukan inisiatif perayaan 1 Mei dan juga tuntutan kepentingan buruh anggota, terhadap pemerintah. Bagi pemerintah sendiri, gerakan buruh memiliki potensi kekuatan sosial yang tidak bisa disepelekan begitu saja. Walau tidak semua tuntutan buruh dapat dipenuhi, pemerintah juga melakukan manuver-manuver politik dalam upaya meredam gejolak gerakan buruh.
Penutup
Catatan awal ini telah memberikan gambaran tentang bagaimana hari 1 Mei dipersepsikan, dimaknai dan dirayakan serikat buruh pada masa-masa awal kemerdekaan 1946-1947, hingga pada pengakuannya oleh negara dalam aturan hukum di tahun 1948. Terbitan-terbitan serikat buruh dari masa itu memberikan petunjuk-petunjuk dasar dalam rekaman sejarah buruh tentang perjuangan buruh dalam pemaknaan perayaan 1 Mei sebagai hari kemenangan dan juga ekspresi keprihatinan gerakan buruh akan keadilan sosial. Jaminan hukum bagi buruh dalam merayakan hari kemenangannya merupakan satu bentuk kemenangan kecil gerakan buruh dari masa 1946-1947. Kemenangan ini dapat dinikmati tanpa kendala ancaman negara sepanjang tahun 1948-1950 hingga di tahun 1952. Ini juga merupakan masa bagi perkembangan gerakan buruh Indonesia menjadi satu kekuatan sosial di dalam masyarakat. Demonstrasi dan pemogokan yang dilancarkan serikat buruh sepanjang 1948 hingga 1950 menyingkap tuntutan akan pemenuhan kesejahteraan bagi masyarakat luas.
Sayangnya, perjuangan buruh ini dipandang sebagai ancaman serius oleh pihak militer yang mulai menyusun kekuatan internal. Gubernur Militer Jawa Tengah, Gatot Soebroto, menetapkan pada 25 Februari 1950 larangan pemogokan di perusahaan-perusahaan vital negara dengan ancaman pidana 3 tahun penjara. Perjuangan gerakan buruh akan kesejahteraan, terutama diorganisir serikat buruh perusahaan negara, yang dilancarkan lewat pemogokan, dipandang sebagai ancaman bagi stabilitas politik. Setahun kemudian, pada 13 Februari 1951, Perdana Menteri yang juga Menteri Pertahanan ad-interim, Mohammad Natsir, menetapkan Peraturan Kekuasaan Militer Pusat nomor 1 yang melarang segala bentuk pemogokan di perusahaan-perusahaan vital, kantor-kantor jawatan dan lembaga negara. Walau sepanjang 1952 sampai 1957 tidak ada hambatan bagi gerakan buruh dalam merayakan 1 Mei, namun bayang-bayang ancaman pidana dari berbagai peraturan pelarangan pemogokan itu menghantui kerja-kerja pengorganisasian serikat buruh di tingkat basis. Peraturan pelarangan pemogokan itu menjadi keprihatinan utama serikat buruh dalam perayaan 1 Mei 1951, dan ramai diperdebatkan sepanjang 1952, sampai akhirnya dicabut di tahun 1957.
* Penulis mengucapkan terima kasih kepada Fahmi Panimbang yang bersedia membaca dan memberikan komentar dan kritik atas naskah awal tulisan ini. Segala kesalahan adalah tanggung jawab penulis. 
** Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Kajian Perburuhan Sedane, Vol. 8 No. 2 2009. Bogor. Lembaga Informasi Perburuhan Sedane.
___________________
[1] “Soeara Boeroeh,” No. 52, Tahoen ke 4, 1 Mei 1949, hal. 1
[2] Bandingkan cermin Filipina ini dengan kisah tokoh Minke dalam novel Anak Semua Bangsa karangan Pramoedya Ananta Toer, 1980
[3] Boeroeh, 29 April 1946
[4] Boeroeh, 13 April 1946
[5] Lihat: Merdeka, 27 April 1946
[6] Merdeka, 2 Mei 1946
[7] Merdeka, 2 Mei 1947; Lihat juga: Lampiran
[8]Merdeka, 29 April 1947
[9]Ibid..
[10] Lihat: Arsip No. 103, Inventaris Arsip Badan Pekerdja Komite Nasional Indonesia Poesat 1945-1950. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.
[11] Lihat: Arsip no. 194, Inventaris Arsip Sekretariat Negara Republik Indonesia 1945-1949. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.
_____________
Referensi
Adisoemarta. (ed.) Revoloesi Nasional dan 1 Mei. Jogjakarta: Badan Penerbitan – Oesaha Kaoem Boeroeh, 1947. 
Anderson, Benedict. Java in A Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946. Ithaca: Cornell University Press, 1972.
Hadiz, Vedi. Workers and the State in New Order Indonesia. London/ New York: Routledge, 1997.
Sandra. Satoe Mei: Hari Kemenangan Boeroeh Sedoenia. Djokja: Pendidikan Boeroeh, 1947.
______. Sedjarah Pergerakan Boeroeh Indonesia. Djakarta: PT Pustaka rakjat, 1961.
Suprapti, I.N. Djedjak Dynamica Masjarakat. Poestaka Boeroeh. Djakarta: Barisan Boeroeh Wanita. 1946 (?)
Suryomenggolo, Jafar. “Sejengkal menjadi Sehasta: THR dalam Dinamika Hukum dan Gerakan Buruh Indonesia,” dalam Sulistyowati Irianto (ed.), Hukum yang Bergerak: Tinjauan Antropologi Hukum, hal. 197-218. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009.
Trimurti, S.K.  ABC Perdjoangan Boeroeh. Jogjakarta: Poesat Pimpinan Partai Boeroeh Indonesia, 1948.

Penulis

Jafar Suryomenggolo
Penulis buku Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal (Marjin Kiri, 2015) dan Rezim Kerja Keras dan Masa Depan Kita (EA Books, 2022).