MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Menjadi Buruh Migran Tanpa Dokumen di Malaysia

Ilustrasi proses buruh migran tanpa dokumen. Sumber: https://pixabay.com/id/illustrations/migran-pekerja-migran-393130/


Pada 2000, aku bekerja di Sawmill PT Semarak Sdn Bhd Bintulu, Sarawak, Malaysia. Pertama masuk, aku bekerja di bagian mesin proskat. Mesin proskat ini adalah mesin pemotong kayu. Kerjaku memotong kayu yang sudah setengah jadi dari mesin bandsaw, untuk dijadikan kayu jadi yang siap disusun dan di-packing.

Aku bekerja 12 jam. Masuk jam 6 pagi dan pulang jam 6 petang. Kadang-kadang aku bekerja sampai jam 10 malam karena barang yang dipesan harus segera dikirim.

Di situ, aku baru kerja beberapa minggu. Aku tidak kenal siapa-siapa kecuali Mali dan Dodo. Mereka berdualah yang mengajakku dan menyelamatkanku dari kejaran Polisi Diraja Malaysia. Pertama kerja, aku dibayar per hari sebanyak RM 6,70, dengan jam kerja yang panjang dan harus menanggung risiko yang sangat besar.

Tidak sedikit orang yang meninggal dan cacat akibat kecelakaan kerja di tempat kerja ini. Sering kali aku melihat pekerja terpotong tangannya dan tertimpa balokan kayu, tertabrak forklift.

Belum lagi ketika mereka menerima perlakuan yang tidak manusiawi dari atasan mereka. Dari situlah aku tidak pernah bertegur sapa dengan buruh yang lain. Aku hanya diam dan mengamati saja, karena aku belum begitu paham tentang lingkungan kerja di sini. Kadang aku emosi sendiri melihat perlakuan, sikap, makian yang dilontarkan atasan ke pekerjanya, dan aku sempat berpikir kenapa mereka tidak pernah melawan.

Hari, bulan, tahun akhirnya kulewati di sini. Sekarang aku paham dan mengerti kenapa mereka tidak melawan waktu itu, yakni karena mereka sama denganku: buruh yang tidak punya identitas atau bisa disebut pekerja tanpa dokumen atau migran gelap.

Dari satu tahun pertama di sini, aku sudah banyak berkenalan dengan orang dari geng Bugis, Jawa, Lampung, Nusa Tenggara, Sambas, Pontianak dan berbagai suku lainnya dari Indonesia. Dari setiap hari bertemu, sering ngobrol dan nongkrong bareng dengan Om Domi dari NTT. Dari situlah aku banyak berkawan dengan orang dan aku diperkenalkan dengan satu orang yang berpengaruh di geng Jawa namanya Suraji asal Nganjuk Jawa Timur. Kadang orang yang berpengaruh ini mendapat julukan sebagai lurah.

Suraji punya kelompok yang bernama Ganja ( Gabungan Anak Rantau Jawa) yang rata-rata didominasi orang Jawa Timur, Jawa Tengah Kendal dan Pekalongan. Tidak lama kemudian aku disuruh pindah mess oleh Suraji dan suruh bekerja di bagian ikat lais. Ikat lais kerjanya menunggu kayu kupasan atau kulit kayu yang dipotong dari mesin bensaw. Ketika kulit kayu sudah penuh langsung diikat dengan lais/seling dan si buruh langsung memanggil forklift untuk mengangkatnya. Kupasan kayu atau kayu yang sudah diikat itu akan dibawa ke tempat penghancuran. Sebagian dijual, sebagian lagi dibakar untuk tenaga listrik. Yang dijual biasanya disetorkan ke tempat pabrik arang. Kayu itu akan dihancurkan dan dicetak menjadi arang.

Aku sempat heran kenapa Suraji bisa semudah itu meminta dan mengambilku dari bagian proskat ke ikat lais, dan orang yang bernama Andrian kepala pabrik di PT Semarak kelihatan takut dengan dia.

Ternyata setelah aku mencari informasi dan tanya sana-sini, Suraji selain kepala kelompok di situ dia juga Tauchu/Tukang di salah satu mesin bandsaw. Kebayang sih kalau Suraji dan kelompoknya mogok kerja karena bandsaw-lah yang menjadi ujung tombak dari pembuatan kayu atau produksi yang paling diutamakan di pabrik Sawmill. Tidak semua buruh bisa menjalankan mesin bandsaw itu. Karena butuh kekompakan, keahlian cara gendong kayu serta pasang dan melepas gergaji yang panjangnya 4 meter, bisa mengetahui cara membentuk kayu, mengambil kayu mana yang bagus dan menjadi ukuran yang sudah dipesan.

Satu tim bandsaw berjumlah 4 orang, yaitu :

  1. Tauchu/Tukang (RM 10 per tan/kibik): yang membuat dan mengetahui cara mengambil kayu bertanggung jawab penuh dengan semua produksi yang dibuatnya dan timnya.
  2. Tarik (RM 8 per tan/kibik): bertanggung jawab menarik kayu dan menggendong kayu. Kayu itu sudah jadi atau tidak, buruk atau tidak, kalau buruk kembalikan ke tukang suruh membuat size yang lain. Dia juga bertanggung jawab atas gergaji yang bagus karena yang mengambil gergaji adalah Tarik. Kalau gergajinya jelek bisa-bisa nyawa tim yang jadi taruhannya. Karena gergaji bisa putus kapan saja maka Tarik dan Tukang harus bisa mendengarkan gergaji yang rusak. Mereka bisa mengetahui kualitas gergaji bagus dan tidak, dari suaranya.
  3. Tolak (RM 6 per tan/kibik): menggendong kayu bergantian dengan tukang, biasanya lebih banyak tolak yang menggendong kayu karena tukang juga memikirkan ukuran dan cara untuk mengambil kayu mau jadi berapa bagian dari satu batang kayu utuh bulet. Tolak juga bertanggung jawab melepas gergaji dan mengembalikannya ke tempat pengasahan gergaji. Tapi harus diingat melepas gergaji sepanjang itu tidaklah mudah. Kita harus punya skill-nya. Tidak asal lepas. Kalau tidak mengetahui caranya bisa-bisa tanganmu yang sobek terkena mata gergaji.
  4. Susun (RM 6 per tan/kibik): menyusun kayu yang sudah jadi yang dikasihkan Tarik ke Susun. Susun bertanggung jawab menyusun kayu sampai rapi. Kalau gak rapi bisa roboh dan menimpa dirinya sendiri. Tarik juga harus mengetahui mana kayu jadi dan mana kayu yang belum jadi. Selain itu dia juga bertanggung jawab ketika solar habis. Makanya Susun harus memastikan solar harus full.

Setiap bulan pendapatan kami tidak tetap. Kadang cuma 50 tan. Itu kayu buruk. Kalau kayu yang kami potong bagus, bisa mendapat 100 lebih. Kalau kayu sedang bisa dapat 70 sampai 80 tan per bulan.

Dari semua yang aku jelaskan di atas makanya tidak semua buruh yang baru masuk Sawmill bisa ikut bandsaw. Makanya orang yang bisa Susun, Tolak, dan Tarik itu sangat dicari kala itu. Apa lagi Tauchu/Tukang dia akan pegang mesin sendiri. Maka dari itu pabrik tidak akan berani macam-macam kalau si buruh mogok kerja.

Karena sistem pengupahannya di-bandsaw borongan, cara menghitungnya per tan atau kibik. Maka dari itu kalau tidak cepat kerjanya dan si tukang tidak pandai membuat kayu kita akan tertinggal dengan mesin yang lain serta pendapatan kita juga akan kurang. Karena itu kerjasama tim sangatlah penting. Kerja harus fokus tidak boleh melamun karena bisa mencelakai tim dan diri sendiri.

Dari tahun 2000 sampai 2002 dari proskat jadi ikat lais sekarang jadi buruh bandsaw. Dari Susun naik ke Tolak dan naik lagi ke Tarik. Aku juga lebih mengenal semua yang ada di sekitarku. Banyak kejadian yang sudah aku alami dari tidur di hutan sampai berpindah-pindah kerja karena Polisi Diraja kalau menggrebek pabrik biasanya di malam hari. Saat itu, Tokai akan ngasih informasi untuk pergi sementara dari pabrik untuk mencari perlindungan sementara.

Kejadian penggerebekan biasanya terjadi setiap 31 Agustus bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Malaysia. Di hari itu akan terjadi operasi. Buruh-buruh yang tidak memiliki dokumen akan dibersihkan. Kalau di Indonesia, mirip dengan operasi kendaraan bermotor. Saat operasi pembersihan itulah kami keluar dari Malaysia mencari perlindungan, bahkan bersembunyi di hutan.

Banyak sekali kejadian kekerasan yang aku alami dari konflik antar suku, ditusuk orang hingga masuk rumah sakit, ke-tangkep polisi kemudian ditahan tiga bulan dan dibuang di perbatasan (Intikong).

Di perbatasan, aku menyaksikan praktik penjualan orang, bertemu dengan perempuan yang merasa takut bertemu dengan manusia setelah mengalami kekerasan. Dari kejadian-kejadian tersebut aku banyak ditolong oleh kawan-kawan yang dulu tergabung di Ganja. Salah satunya Suraji. Dialah yang mengirimku ke rumah sakit ketika aku ditusuk orang dari belakang. Kawan-kawan yang lain iuran untuk menyewa agen untuk menjemputku di perbatasan.

Setelah aku dijemput oleh agen, aku ditemui Suraji, Tarom, Kamsari, Marsono, Bapak Ucok, sekalian Suraji berpamitan mau pergi ke Afrika. Kami berempat mengantar Suraji sampai KLCC. Agen itu pula yang mengantarkan kami bisa memasuki Malaysia Barat tanpa paspor.

Pada 2004 aku dan Suraji berpisah. Suraji dan temannya, Bapak Ucok sudah pergi ke Afrika. Setelah itu kami pun tercerai-berai. Aku, Tarom, Kamsari, Marsono dan kawan-kawan yang berasal dari Kendal ke Kualala Tatau Bintulu. Sementara kawan-kawan Jatim ada yang pergi ke Miri atau Kucing. Ada juga yang keluar dari Sarawak ingin membuat paspor.

Kerjaanku tidak pernah bertahan lama karena statusku yang tidak ada identitas dan pelarian. Tidak susah mencari kerja di sana, bahkan aku sering ditawarin kerjaan oleh mandor-mandor Bugis. Karena aku punya skill sapsai (Tarik, Tolak, Susun). Tidaklah susah mencari kerja di Sawmill. Bukan orang yang cari kerja tapi kerjaan yang nyari orang, karena waktu itu sangat sedikit orang yang bisa bandsaw. Terkadang, aku, Tarom dan Kamsari sering mengambil kerjaan yang bayarannya chas money.

Dari pabrik satu ke pabrik yang lain dari daerah Bintulu, Kualatatau, Sibu, Miri, Kucing, Sungai Asap, keluar masuk Malaysia dari Sambas, Rasau Jaya, Siantang, dan lain-lain, sampai akhirnya aku ke Badau. Kami dari kelompok Ganja terpecah lagi, soalnya Tarom dan Kamsari ingin pulang ke Jawa. Katanya, kangen dengan keluarga dan membuat paspor untuk pergi ke Selangor. Kalau Tarom ingin pergi ke Putra Jaya Malaysia Barat. Tinggal-lah aku, Rian, Marsono dan kawan-kawan Bugis dan Nusa Tenggara Timur. Setelah Tarom dan Kamsari pergi untuk jumpa keluarga, Rian dan Marsono pergi ke Bintulu ke pabrik Maoulin. Tinggalah aku sendiri dari suku Jawa.

Kenapa aku masih bertahan di Badau? Karena aku sudah berhubungan dengan seorang perempuan Kalimantan (Dayak) namanya Maylina. Kita berdua bersepakat untuk menikah dan pulang ke Tenggarong meminta izin dan restu dari kedua orangtua Maylina.

Pada 2005 setelah mengumpulkan uang masing-masing, aku kerja di Sawmill; Maylina kerja di playwood. Aku masih ingat betul. Bulan Desember 2005 kita berencana pulang ke Indonesia. Kita sempat bingung ketika mau pulang dikarenakan aku buruh tanpa dokumen, Maylina punya dokumen. Tapi keinginan May ingin pulang bersama; gak mau pulang masing-masing. Terpaksa aku pergi ke Bintulu sambil May aku ajak. Aku temuin Marsono dan Rian di Moulin untuk mencarikan agen secepatnya.

Setelah minta bantuan mereka aku dan May istirahat di mess Rian. Setelah menunggu dua hari, Rian mengabari bahwa agen akan segera datang. Namanya Gepeng dari Jogja. Kami bersiap. Gepeng pun datang dan mengajak kami untuk pergi ke perbatasan.

Sebelum kami pergi banyak yang ngasih uang, rokok dan makanan untuk perbekalan di jalan. Karena dari Bintulu ke perbatasan lumayan jauh.

Dari Bintulu menuju ke Sibu dengan pemberangkatan naik bus malam. Sesampainya di Sibu kami berpindah lagi naik mobil kecil. Setelah naik mobil kecil kami diturunkan entah di mana, karena tidak ada yang bisa aku baca. Tulisan pun tidak ada. Di situ sepi. Kanan-kiri hutan semua. Setelah kami turun dari mobil itu sudah ada kontainer biru yang menunggu kami.

Agen pun menyuruh kami lari cepat-cepat masuk ke kontainer biru itu. Setelah di samping kontainer ada suara anak kecil menangis. Astaga! ketika pintu samping dibuka di dalam sudah ada 25 sampai 30 orang yang berhimpit-himpitan; tua, muda, remaja dan anak-anak. Ada semua di dalam. Dari kontainer cuma ada lobang-lobang kecil untuk udara masuk. Ya Tuhan ngenes banget. Itu anak harus merasakan panas dan sesaknya suasana di dalam. Pantesan anak-anak pada nangis. Setelah kami masuk dan pintu ditutup betapa panas dan sesaknya di dalam. Aku berpikir, ini anak bisa mati.

Kurang lebih satu jam perjalanan kontainer pun berhenti. Ada suara-suara yang ingin memeriksa kontainer. Tidak beberapa lama pintu kontainer dibuka. Kontainer itu bermuatan gula di belakang, tapi hampir setengahnya diisi manusia. Saat pemeriksaan, mulut anak-anak dibungkam oleh tangan orangtua masing-masing. Tentu saja supaya tidak ada suara dan kita tidak ketahuan oleh petugas perbatasan.

Setelah selesai diperiksa dan menurut mereka tidak ada keganjalan, pintu ditutup kembali. Mobil mulai jalan lagi. Setelah melewati perbatasan dan aman, mobil berhenti dan kami semua turun dari kontainer gula itu. Entah kenapa aku merasakan sensasi: sangat bahagia, rasanya seperti baru terbebas dari kekangan yang bertahun-tahun membelenggu diriku. Astaga gini rasanya orang bebas. Luar biasa senangnya. Hal konyol pun aku lakukan dikeramaian orang. Aku berteriak sekencang-kencangnya: Bebaaaaas! Aku Bebas! Semua orang dalam rombonganku pun saling berpelukan dan menangis saking bahagianya. Beberapa di antara mereka lebih lama dari aku di Malaysia. Tentu saja sebagai buruh tanpa dokumen dan selalu was-was setiap hari di tempat kerjanya.

Setelah selesai dengan mereka aku dan May menuju ke rumah May yang ada di Tenggarong. Tepatnya di Batu Lima Kalimantan Selatan. Menuju Tenggarong kami naik speed boat dari Pontianak selama 8 jam. Setelah melakukan perjalanan selama dua hari dan sehari lagi ke Tenggarong sampai-lah kami di rumah May. Kedua orangtua May sangat bahagia melihat anak perempuannya pulang. Aku pun disambut dengan baik. Kami pun berkenalan dan saling berbicara panjang lebar.

Setelah itu aku disuruh istirahat di kamar. Tapi sebelum beristirahat aku pun diajak makan dulu dengan keluarga May. Aku masuk ke kamar dan beristirahat karena sangatlah lelah diperjalanan. Keesokan harinya aku bilang sama May, aku tidak sabar lagi membawa May pulang ke Jawa. May pun bilang ke orangtuanya.

Berkumpullah aku, May dan orangtuanya. Tanpa basa-basi aku langsung bilang ke orangtua May bahwa aku ingin menikah dengan anak perempuannya dan akan aku bawa ke Jawa untuk berkenalan kepada orang tuaku. Tapi tak disangka orangtua May tidak memperbolehkan aku membawa May ke Jawa. Mereka menyarankan aku menikah dan tinggal di kampung May.

Aku bilang tidak bisa. Karena aku sudah lama tidak bertemu dengan orangtua. Aku dan May sudah bersepakat untuk hidup di Jawa. Kalau nikahnya aja di sini gak apa-apa. Orangtua May bersikeras tidak memperbolehkan aku pulang ke Jawa dan nikah di sini. Apa boleh buat dengan berat hati dan penuh rasa kecewa aku pun bergegas pamit. Aku marah dan tak berpikir panjang. Aku langsung berdiri untuk berpamitan. Tidak beberapa lama aku membereskan barang-barangku dan berpamitan secara baik-baik dengan May dan keluarganya.

Aku pun melihat May menangis sambil menunduk. Dia tidak bisa melakukan apa-apa dan merasa bersalah. Setelah berpamitan, tidak lama May menyusulku dan ingin mengantarku untuk terakhir kali. Setelah menunggu speed boat cukup lama, kami pun menuju Pontianak. Setelah sampai Pontianak, aku melihat jadwal kapal ke Semarang ternyata baru besok.

Aku pun menyuruh May pulang ke Tenggarong lagi. ”Sudah cukup sampai sini saja ya May nganterin aku. Ternyata kita belum berjodoh. Kau pulanglah jalani hidupmu seperti biasa. Aku juga akan pulang ke Jawa berjumpa dengan keluargaku. Kalau kita masih ada jodoh kita akan berjumpa lagi suatu hari nanti.” Dia menangis sambil memelukku dan kita berpisah di dermaga Pontianak. Setelah kita mengucapkan salam perpisahan dia pergi pulang ke Batu Lima. Di situlah terakhir kali aku melihat Maylina perempuan Kalimantan yang hampir aku nikahi.

***

Apakah hidupku berakhir? Tentu saja tidak! Aku masih menunggu kapal satu hari satu malam di Pontianak. Di dalam hati penuh dengan rasa kecewa tetap aku harus pulang. Aku ingin tahu juga kondisi keluargaku yang hampir tujuh tahun tak jumpa. Selama pergi aku tidak pernah berkomunikasi dengan keluarga, bahkan kepulanganku keluargaku tidak ada yang tahu.

Keesokan harinya, kurang lebih jam 5 sore, kapal pun tiba. Aku siap-siap untuk pulang ke Semarang.

Akhirnya setelah semua yang aku lalui di berbagai kota dan daerah, aku berjumpa dengan banyak orang, suku, agama, ras, kejadian demi kejadian yang aku lalui, bahkan hampir mati pula. Lucu juga hidup ini. Aku tersenyum sendiri di atas dak kapal sambil memandang lautan. “Oh Tuhan! ternyata aku masih bisa pulang juga ke Semarang berjumpa dengan keluargaku,” ucapku sambil menikmati desir angin laut dan lautan yang membiru.

Tulisan ini terbit pertama di laman di sini dengan sedikit perubahan redaksi. Dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.

Penulis

Rudi Haryanto
Anggota Konfederasi Serikat Nasional