MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Politik Rerantai Produksi di Balik Gadget Elektronik (Bagian II)


Menelisik beberapa kecenderungan dalam politik jaringan produksi global

Pertama-tama, dalam rantai pasok ini, kompetisi terjadi antar berbagai perusahaan dalam tiap lapisan hirarki.

Yang pertama kompetisi antar perusahaan pemilik merek (buyer), misalnya Apple dengan Samsung. Untuk memenangkan kompetisi ini, mereka tentunya terus mencari cara untuk dapat memberikan produk yang paling berkualitas tinggi dengan harga yang paling oke kepada konsumen. Belum lagi melakukan itu semua di bawah tekanan pasar elektronik yang memiliki siklus produk sangat cepat. Untuk itu, perusahaan-perusahaan ini kerap menekan para manufakturnya untuk menurunkan ongkos dan meningkatkan efisiensi dan kecepatan.

Yang harus diingat adalah bahwa korporasi-korporasi besar ini bisa beranjak kemana saja, dan akan menempuh jarak sejauh apapun jika jalan itu adalah jalan yang paling menguntungkan. Samsung pertama kali melakukan offshoring ke Cina karena potensi pasar yang sangat besar, kebijakan pajak yang menguntungkan, dan ongkos yang murah (terutama ongkos buruh). Namun sebulan kemarin Samsung baru saja menutup pabrik smartphone terakhirnya yang masih tersisa di Cina. Sejak beberapa tahun belakangan, kalau tidak salah memang banyak manufacturing hubs dan FDI sektor tertentu bermigrasi dari Cina ke Vietnam, yang dilihat lebih menguntungkan (karena ongkos buruh di Cina dan hambatan-hambatannya sudah semakin naik, sedangkan di Vietnam menjadi lebih murah).

Memang awalnya Samsung punya market share yang oke sekali di pasar Cina, sebanyak 20 persen pada 2013. Namun lama kelamaan telah semakin menurun, hingga tinggal 1,1 persen awal tahun ini. Sekarang share market di Cina, di bidang smartphone, memang telah dikuasai merek lain seperti Huawei, Oppo, Vivo, Xiaomi. Juli kemarin, Samsung memang baru saja mengumumkan telah membuka pabrik smartphone terbesar di dunia di India.1

Ada juga kompetisi antar para manufacturer. Manufaktur besar dapat dilihat lebih ‘aman’ karena cenderung punya “relasi jangka panjang” dengan kontraktor-kontraktor utamanya sendiri, seperti Apple yang sejak dulu mengalihdaya manufaktur produk elektroniknya ke Foxconn. Namun perusahaan teknologi sebagai buyer terkadang bisa (sesukanya) memindahkan kontraknya ke manufaktur lain, ketika ada manufacturer atau supplier lain yang dapat memberikan kualitas produk yang lebih baik dengan ongkos lebih rendah.

Ini dasar yang jadi kompetisi antar manufacturer-manufacturer elektronik di dunia—untuk mendapat kontrak yang oke, dan jika sudah mendapatkannya, mempertahankan posisinya sebagai produsen elektronik tertentu. Kontrak yang oke misalnya kontrak dengan perusahaan-perusahaan teknologi dengan merek ternama seperti Apple dan Samsung, yang memiliki prestige dalam pasar global.

Para manufacturer dan supplier harus berkompetisi satu sama lain untuk memenuhi spesifikasi harga yang ketat, kualitas produk, dan time-to-market, yang akhirnya menimbulkan tekanan kepada upah dan K3 pekerja di tingkat pabrik. Seluruh spesifikasi ini harus ditepati, agar posisi dia sebagai produsen kontraktor tidak tergeser.

Mengapa mengejar kontrak dengan merek ternama? Selain karena kontrak untuk produk Apple itu besar volumenya, contract manufacturer yang pernah menjadi supplier merek ternama seperti Apple juga lebih mudah membuka peluang bisnis lain. Mereka menjadi supplier yang diminati brand lain juga.

Dalam fenomena ini, terlihat lagi kemudahan yang dimiliki perusahaan elektronik multinasional yang telah mendominasi dan memiliki prestige. Dalam memilih contract manufacturer, brand ternama seperti Apple punya keuntungan lewat ‘prestige’ yang dibawanya. Karena prestige ini, contract manufacturer bisa melakukan hal yang normalnya tidak akan ia lakukan jika dikontrak brand lain, seperti memproduksi komponen yang benar-benar belum pernah ada, atau memproduksi komponen yang dikostumisasi dengan spesifikasi yang sangat khusus, dalam waktu yang sangat sangat cepat. Untuk buyer-buyer yang spesial seperit Apple, para engineers dalam contract manufacturer bahkan biasanya disuruh bekerja terus-terusan, pagi malam hingga weekend, agar lebih cepat mengejar tenggat produksi.

Di bawah skema produksi seperti ini, seperti kompetisi dalam sektor-sektor lainnya, perusahaan multinasional yang memang sudah mendominasi dan memiliki ukuran skala raksasa akan sering lebih menang dalam kompetisi dengan merek-merek teknologi lain yang lebih kecil.

Misalnya, karena mereka punya sumber daya yang besar, perusahaan/buyer besar seperti Apple juga punya cara-cara tertentu untuk “memiliki” pabrik supplier mereka tanpa benar-benar memiliki pabrik tersebut, misalnya lewat investasi besar-besaran, memberikan pinjaman besar untuk produksi di masa mendatang, dan berbagai benefit lainnya.

Mereka juga punya kendali yang jauh lebih komprehensif dan luas akan supplier-supplier mereka. Samsung, yang dekat dengan retailer dan distributor, membuat mereka pintar bereaksi cepat terhadap permintaan pasar dan dinamika-dinamika kecil di tiap-tiap wilayah pemasaran mereka—hal ini tidak dimiliki perusahaan-perusahan merk elektronik yang lebih kecil, karena tidak memiliki sumber daya atau infrastruktur secanggih Samsung.

Atau, karena perusahaan besar seperti Apple punya cara-caranya sendiri untuk mem-booking bahan baku atau sumber daya langka tertentu dari jauh hari, Apple tidak akan mengalami delay apapun dalam produksinya, seperti yang kadang dialami merek-merek lain.

Ada kasus dimana HTC merencanakan launching smartphone terbarunya di Maret 2013. Namun, karena ada komponen kamera yang jumlahnya tidak memadai di bagian supplier, rilis produk tersebut harus ditunda. Akhirnya mereka diserobot oleh Samsung Galaxy S4 yang berhasil merilis produk serupa dengan lebih cepat, dan berhasil menarik perhatian pasar dan konsumen lebih dulu. HTC, ketika akhirnya merilis produk baru mereka, menjadi tidak terlalu sukses karena berada di bawah bayang-bayang produk Samsung yang sudah rilis terlebih dahulu. Mereka pun akhirnya melaporkan pemasukan balik yang cukup rendah, dan bahkan mengalami rugi, meski katanya smartphone baru milik HTC lebih bagus daripada Galaxy S4.

Hal ini tentunya tidak akan (atau lebih kecil kemungkinan) terjadi kepada Apple, misalnya, yang sudah bisa mem-booking bahan baku rare earth untuk gorilla glass iPhone mereka (kalau tidak salah, mohon koreksi).

Merek-merek elektronik yang lebih kecil juga tidak bisa meraup profit sebesar Apple dan Samsung karena volume produksi mereka lebih kecil. Pesanan dalam volume yang besar ke contract manufacturer biasanya membuat merek tersebut bisa mendapatkan diskon atau potongan harga tertentu. Selain itu, ongkos produksi memang cenderung semakin menurut, seiring jumlah produksi meningkat. Belum lagi prestige yang dibawa merek-merek tersebut, yang memang dikejar para manufaktur. Dari proses produksi saja, Apple dan Samsung sudah menang dalam berkompetisi dengan merk lain yang lebih kecil.

Di sisi lain, menjadi manufacturer atau supplier merek ternama seperti Apple tidak selamanya indah. Sisi buruknya menjadi supplier Apple, misalnya, adalah ketergantungan. Karena pesanan dari Apple biasanya volumenya begitu besar, satu contract manufacturer biasanya menjadi sangat bergantung terhadap Apple. Pesanan produksi Apple bisa memakan setengah (atau lebih) dari seluruh bisnis contract manufacturer itu sendiri. Jika tiba-tiba Apple memutus kontraknya (misal karena produknya tidak laku, dll.), supplier bisa menjadi bangkrut, atau stock price-nya bisa jatuh drastis.

Hal ini terjadi kepada Shicoh Co., manufacturer Jepang yang memproduksi komponen mesin-mesin kecil (small motors) untuk iPhone dan mengajukan perlindungan pailit pada 2012, setelah pabrik tersebut terlalu tinggi menaksir pesanan Apple untuk di masa mendatang dan menghabiskan terlalu banyak resource untuk meningkatkan produksi.

Di sisi lain, Apple juga memiliki ketergantungan terhadap Foxconn. Foxconn adalah satu-satunya supplier yang bisa memproduksi produk Apple dalam volume yang dibutuhkan Apple dalam waktu singkat, dan dalam kualitas yang dibutuhkan Apple juga. Inilah mengapa mayoritas iPhone diproduksi oleh Foxconn.

Foxconn bisa mencapai target produksi seperti ini karena Foxconn adalah perusahaan swasta terbesar di Cina, yang mempekerjakan lebih dari 1 juta buruh. Dia juga beroperasi di sebuah kompleks industrial yang disebut sebagai pabrik terbesar sedunia, sebuah facility di Shenzhen yang disebut orang-orang sebagai Foxconn City.

Bagaimana dampaknya terhadap buruh?

Untuk mengilustrasikan bagaimana semua hal ini memengaruhi kondisi buruh, perlu didudukkan terlebih dahulu bagaimana hirarki dalam rantai produksi ini memengaruhi relasi kuasa antara tiap pihak dalam rantai pasok yang sama.

Seperti telah dijelaskan di bagian sebelumnya, semakin tinggi posisi suatu perusahaan dalam hirarki prouduksi tersebut, semakin tinggi kuasa yang ia miliki untuk memengaruhi mereka yang berada di bawahnya. Misalnya brand firm macam Apple yang bisa menekan manufaktur untuk memprouduksi komponen tertentu dalam harga lebih murah atau time-to-market lebih cepat. Manufacturer/supplier cenderung akan menuruti tuntutan tersebut, agar mengamankan posisinya sebagai produsen Apple. Manufacturer yang berada di tingkat kedua atau ketiga, misalnya, juga memiliki kuasa lebih untuk memengaruhi supplier di bawahnya, dan seterusnya.

Ketimpangan relasi antara buyer dengan supplier dapat dilihat juga dalam margin profit yang diterima ini. Dalam produksi iPhone, distribusi profit yang diterima Apple sangat besar (58,5%) dibandingkan supplier-nya (dan profit yang diterima pekerjanya jauh lebih sedikit lagi). Perlu diingat kembali disini bahwa meski Apple merancang dan memasarkan produk, seluruh kegiatan manufaktur dilakukan oleh kontraktor/supplier.

Distribusi nilai untuk iPhone pada 2011. Sumber: Chan, et al. (2013), diadaptasi dari Kraemer, et al. (2011)

Margin operasi (proposi pemasukan yang tersisa setelah membayar ongkos operasi seperti upah, bahan baku dan ongkos administratif) Foxconn telah menurun secara stabil dan terus menerus selama 2007 hingga 2012, dari 3,7 persen pada awal 2007 hingga 1,5 persen pada pertengahan 2012, meski pendapatan total Foxconn meningkat di periode yang sama karena semakin banyaknya pemesanan yang masuk dari buyer.2

Kontras dengan hal ini, margin operasi Apple memuncak pada 39,3 persen di awal 2012, dari hanya 18,7 pada 2007. Perubahan ini mengindikasikan kemampuan Apple untuk menekan Foxconn agar mau menerima margin yang semakin sedikit, ketika di saat yang bersamaan terus mengikuti tuntutan Apple untuk produksi volume raksasa dan segudang kesulitan-kesulitan perubahan teknis yang menyertainya. Saat itu, Foxconn juga semakin memperluas pabrik-pabriknya di berbagai wilayah Cina dan negara lain, dan karenanya keuntungan yang diterima Foxconn juga makin ditekan ongkos berekspansi dan upah yang semakin naik. Hal inilah yang juga terjadi pada manufacturer lainnya—margin profit mereka terus-terusan ditekan oleh perusahaan-perusahaan teknologi raksasa.

Dalam rantai pasok global kontemporer, peneliti telah menyorot timpangnya kekuasaan antara pembeli dan kontraktor. Hal ini tentu ikut memengaruhi posisi para pekerjanya. Meski buruh-buruh Apple, Foxconn dan Cina sama-sama merupakan stakeholder dalam produksi elektronik, relasi antara mereka tidaklah sama atau setara, karena berada di posisi yang berbeda-beda dalam hierarki rantai produksi tersebut.

Dalam jaringan produksi global ini, supplier-supplier elektronik berkompetisi satu sama lain untuk memenuhi spesifikasi harga yang ketat, kualitas produk, dan time-to-market, yang akhirnya menimbulkan tekanan kepada upah dan K3 pekerja di tingkat pabrik. Terlebih, mereka juga menghadapi profit margin yang semakin kecil dan harus semakin banyak dipotong, membayar ongkos tambahan lebih banyak, yang kemudian tutupi lewat semakin parah mengeksploitasi tenaga kerjanya sendiri. Berbeda dengan brand firms, manufacturer/produsen komoditas high-tech karenanya lebih memfokuskan permasalahan tenaga kerja mereka kepada ongkos, availability, kualitas, dan controllability untuk meningkatkan profit dalam pasar ekspor. Peluang mereka untuk menggenerasi profit banyak berada di kemampuan mereka untuk menemukan tenaga kerja yang murah dan mudah dikendalikan.

Hal ini terutama sangat kentara di sektor-sektor yang punya rantai suplai kompleks (yang punya hirarki antar perusahaan induk, subkontraktor, dkk). Buruh-buruh yang berada di tingkat paling bawah hirarki mengalami eksploitasi yang sangat parah (menerima upah murah, kondisi kerja buruk, forced labor, K3 mengerikan, dll.).

Untuk mengurangi ketergantungan terhadap satu manufacturer (dan untuk meningkatkan kompetisi antar supplier), beberapa brand firms punya strategi diversifikasi rantai pasok. Misalnya Samsung, yang dalam satu kawasan industrial/negara, terdapat beberapa pabrik supplier fourth-layer yang memproduksi komponen untuk produknya. Jadi, bukan cuma satu pabrik yang dijadikan supplier, ada beberapa.

Antar pabrik supplier ini, tidak semuanya memiliki kekuatan leverage/bargaining yang sama kuatnya terhadap Samsung. Hal tersebut tergantung pada skala order yang berbeda-beda. Misalnya, perusahaan supplier yang tingkat dependensinya lebih tinggi (karena mayoritas hasil produksi mereka dikasih langsung ke Samsung untuk dirakit) bisa menyebabkan Samsung lebih gampang mendikte dan menekan perusahaan supplier tersebut untuk hal-hal tertenu, seperti mengubah pengaturan tertentu dalam produksi (yang akhirnya berpengaruh terhadap kondisi kerja buruh), hingga memberangus kegiatan serikat.

Semakin bawah posisi suatu perusahaan dalam hirarki (seperti yang dijelaskan sebelumnya), semakin kecil juga kekuatan negosiasi buruhnya kepada brand.

Strategi “diversifikasi resiko” yang digunakan untuk menegakan kendali tertentu terhadap para manufacturer salah satunya dilakukan oleh Apple juga sekitar 2010. Pada 2010, dilaporkan banyak fenomena bunuh diri yang dilakukan pekerja Foxconn.3 Peristiwa ini diberitakan dengan cukup masif; Apple dan Foxconn menerima banyak kecaman dari para konsumen, NGO dan kelompok lainnya.

Beberapa saat kemudian, Apple melimpahkan sebagian proses manufakturnya ke Pegatron “untuk mendiversifikasi resiko”. Apple yang sebelumnya sangat bergantung kepada Foxconn, menjadi lebih punya kendali ketat terhadap Foxconn lewat praktik split-contract ini.

Apple menduduki posisi dominan dalam pasar global dan dideskripsikan sebagai ‘merek yang paling bernilai tinggi di dunia’. Besarnya sukses komersil Apple berdasar pada skala produksi dalam pabrik-pabrik rantai pasoknya, seperti Foxconn. Foxconn adalah perusahaan Cina yang mempekerjakan 1,4 juta buruh di negara tersebut, dan Apple adalah klien mereka yang paling besar, yang berada di balik 40% dari keseluruhan revenue Foxconn. Kekayaan Foxconn berkaitan dengan kesuksesan Apple, yang berhasil memfasilitasi kebangkitan Foxconn menjadi kontraktor elektronik terbesar di dunia, namun kesuksesan Apple juga berada di balik beban manufakturisasi yang semuanya telah dilimpahkan ke buruh-buruh (upah murah) di Foxconn itu sendiri.4

Apple bisa saja membuat pernyataan berbelasungkawa atau berduka. Mereka bisa saja menanggapi peristiwa ini dengan klaim, mereka akan melakukan penyelidikan intensif dan sebagainya, atau melimpahkan sebagian beban manufaktur ke Pegatron. Namun Apple sendirilah yang juga turut menciptakan buruknya kondisi kerja Foxconn itu sendiri. Baik lewat kompetisi antar manufacturer (dan ancaman hilang kontrak, jika Foxconn tidak dapat memenuhi tuntutan produksi Apple), atau lewat spesifikasi dan tuntutan ketat Apple yang harus dipenuhi Foxconn. Bukan berarti Foxconn tak bersalah, tapi Apple memang merupakan pihak yang secara langsung dan tidak langsung punya kuasa besar dalam memengaruhi kondisi kerja para buruh di Foxconn. Lebih jauh lagi, Apple bisa menggenerasi keuntungan yang begitu besar persis karena eksploitasi mengerikan yang dialami para buruh di contract manufacturer mereka.

Sebelumnya, Politik Rerantai Produksi di Balik Gadget Elektronik (Bagian I)


1 Vishwam Sankaran, “Samsung opens world’s largest mobile phone factory in India,” The Next Web 10 Juli 2018, https://thenextweb.com/asia/2018/07/10/samsung-opens-worlds-largest-mobile-phone-factory-in-india/

2 Financial Times, “Samsung’s departure is new blow to Chinese manufacturing,” Financial Times 18 Oktober 2019, https://www.ft.com/content/4d8285a2-eff0-11e9-ad1e-4367d8281195

3 Mimi Lau, “Struggle for Foxconn girl who wanted to die,” South China Morning Post 15 Desember 2010, https://www.scmp.com/article/733389/struggle-foxconn-girl-who-wanted-die; “The Link Between Employment Conditions and Suicide: A Study of the Electronics Sector in China,” Electronics Watch, 2018. http://electronicswatch.org/en/links-between-working-conditions-and-employee-suicide-study-of-the-electronics-sector-in-china_2550232

4 Cissy Zhou, “Foxconn, a tale of slashed salaries, disappearing benefits and mass resignations as iPhone orders dry up,” South China Morning Post 1 Maret 2019, https://www.scmp.com/economy/china-economy/article/2188162/foxconn-tale-slashed-salaries-disappearing-benefits-and-mass