Dalam beberapa tahun terakhir ini, kelas buruh Indonesia terus dihimpit berbagai kebijakan dan regulasi yang merugikan. Meskipun perlawanan terus dilakukan oleh kelas buruh, namun negara tidak bergeming dan tetap menerbitkan regulasi-regulasi tersebut. Dimulai dari PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan terakhir terbit PP No 35 tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat serta PHK.
Hingga hari ini, kelas buruh terus melanjutkan perlawanannya untuk melawan regulasi-regulasi tersebut, baik dalam bentuk aksi demonstrasi maupun gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Bagaimanapun, strategi untuk menghadapi pelaksanaan regulasi-regulasi tersebut juga harus dilakukan. Karena faktanya, hampir seluruh pengusaha telah siap untuk memberlakukan regulasi-regulasi tersebut di perusahaan masing-masing.
Salah satu jalan yang dapat ditempuh kelas buruh untuk melakukan perlawanan terhadap himpitan regulasi-regulasi tersebut adalah melalui Perjanjian Kerja Bersama (PKB), hal yang tentunya tidak asing lagi bagi serikat buruh di Indonesia. Namun PKB yang dimaksud adalah bukan perjanjian kerja yang dibuat di lingkungan tempat kerja, yaitu antara serikat dan perusahaan, melainkan PKB antara beberapa serikat buruh dengan beberapa pengusaha di bidang industri yang sama. PKB yang demikian dimungkinkan dalam aturan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan walaupun bukan hal yang mudah diwujudkan di Indonesia.
Tidak mudah membuat PKB yang demikian karena banyak faktor, misalnya perbedaan kebijakan masing-masing serikat buruh, juga perbedaan kebijakan masing-masing perusahaan. Dan tentu masih banyak lagi hambatannya, akan tetapi mari melihat pada apa yang mungkin dicapai melalui strategi ini.
Pertama, PKB jenis ini meningkatkan daya tawar kelas buruh dalam perundingan pembuatan PKB. Umum diketahui oleh serikat buruh bahwa tidak mudah membuat kesepakatan dalam perundingan PKB, sehingga tidak jarang ditemui, isi dari PKB yang dihasilkan sama atau bahkan lebih rendah dari peraturan hukum ketenagakerjaan yang berlaku. Salah satu masalah utamanya adalah rendahnya daya tawar serikat buruh di hadapan pengusaha. Dengan bersatunya beberapa serikat buruh di sektor industri yang sama, maka kekuatan masing-masing serikat buruh dapat digabungkan untuk meningkatkan daya tawarnya.
Penting untuk diingat bahwa rendahnya daya tawar ini tidak semata disebabkan oleh faktor internal serikat buruh itu sendiri, tetapi juga oleh sistem perjanjian kerja waktu tertentu atau lebih dikenal dengan sistem kerja kontrak dan alih daya (outsourcing). Dengan sistem yang menghilangkan kepastian pekerjaan ini, maka secara alami, para buruh akan lebih terfokus pada usaha mempertahankan pekerjaannya, alih-alih berusaha untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Kedua, memperkuat persatuan kelas buruh hingga di tingkatan akar rumput. Slogan “bersatulah kaum buruh sedunia” merupakan cita-cita bagi kelas buruh dalam perjuangannya meningkatkan kesejahteraan. Meski demikian hal ini tidak mudah diwujudkan, bahkan di tingkatan pimpinan serikat-serikat buruh. Dari perbedaan cara pandang, strategi perjuangan hingga perbedaan pandangan politik maupun afiliasi politik sebuah serikat buruh menjadi faktor penyebabnya.
Dengan strategi PKB antara beberapa serikat buruh di sektor industri yang sama ini, maka upaya untuk membangun persatuan dapat dibangun yang dimulai dari tingkat perusahaan, dengan bagaimana mengidentifikasi persamaan persoalan, mencari titik temu, menemukan jalan keluar hingga membuat strategi perjuangan bersama. Ketiga, membangun landasan yang lebih kuat terkait politik kelas buruh. Manfaat dari strategi PKB jenis ini salah satunya adalah pemahaman yang lebih komprehensif akan situasi sebuah sektor industri, baik dalam skala nasional maupun global. Apa yang terjadi pada sektor industri garmen di Indonesia hari ini, tentu berbeda dengan apa yang terjadi pada sektor industri elektronik.
Pengetahuan yang mendalam dan luas terhadap berbagai sektor industri akan memperkaya strategi perjuangan kelas buruh di tingkat nasional. Juga dapat menghindari kekeliruan dalam mengambil keputusan di tingkat nasional, misalnya saja penetapan upah sektor padat karya di beberapa daerah di Jawa Barat.[1] Dalam keputusan ini upah pada industri UMKM disamakan dengan upah industri tekstil dan garmen yang mayoritas adalah perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing).
Ketiga hal diatas merupakan manfaat secara umum dari strategi PKB jenis ini, di mana manfaat ini dapat dikembangkan lebih luas pelaksanaannya. Misalnya, dalam jangka panjang, serikat-serikat buruh dapat memunculkan program pendidikan bersama untuk meningkatkan keterampilan dan program membangun badan usaha bersama.
Catatan kaki [1] https://majalahsedane.org/upah-padat-karya-pemasok-menang-buyer-senang/
Pada 2013, saya mengikuti perpindahan suami ke Sukabumi. Kepindahan itu mengantarkan saya kenal daerah berbudaya Sunda. Tinggal di tengah desa yang sehari-hari mengunakan bahasa Sunda dengan dialek Sukabumi. Perlahan saya beradaptasi meski masih susah berkomunikasi. Saya dikelilingi orang-orang Sunda baik itu di lingkungan rumah, di tempat kerja maupun di pengajian. Di Sukabumi saya melihat pepohonan […]
Rabu, 18 Desember 2024, di Hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta, Septia Dwi Pertiwi membacakan pledoi sebagai pembelaan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Septia adalah buruh perempuan yang dikriminalisasi oleh mantan bosnya, Jhon LBF atas tuduhan pencemaran nama baik. Septia dituntut satu tahun penjara dan denda Rp.50 juta. Dalam pledoinya Septia menegaskan komentarnya di media […]
Selamat pagi kawan-kawan BWI yang saya cintai! Salam perjuangan! Perkenalkan, nama saya Sabri Bin Umar, buruh migran Indonesia dari Bone Sulawesi Selatan. Umur saya 30 tahun. Saya menempuh perjalanan 6.500 kilometer untuk hadir di sini[2], bertemu dengan anda semua. Melelahkan, tapi saya bahagia dan bersyukur. Saya masuk ke Tawau, Sabah, Malaysia ketika lulus sekolah dasar. […]