Judul Film: Move to heavean Rilis: 14 Mei 2021 Bahasa: Korea Subtitle: Indonesia Negara: Korea Selatan Jumlah Episode: 10 Kategori: TV Serial Orginal Netflix
Tidak ada alasan tertentu untuk menonton serial drama korea Move to Heavean selain saya mengalami insomnia setiap malam. Film menjadi kebutuhan saya sebagai sarana pengantar tidur. Biasanya saya memilih platform Youtube untuk menonton video dengan durasi panjang dengan alur cerita linier, mudah ditebak, ajek, dan tidak bermakna. Plot cerita tersebut akan membawa saya tertidur lelap. Tapi, karena iklan di Youtube semakin brutal, saya memilih Netflix untuk aktivitas streaming film tanpa iklan. Sederhana.
Sial, ketika menonton serial TV drama Korea berjudul Move to Heaven, saya justru semakin sulit tertidur. Lantaran, yang sebelumnya saya pikir film ini tidak menarik, karena judul TV serial ini membawa kata “Heaven” maka secara asosiatif pikiran saya menilai: TV Serial ini akan bercerita tentang perjalanan spiritual seseorang setelah kematian. Semacam film anime berjudul “Demon Slayer”; Ya, seorang pendekar pembasmi roh jahat yang bergentayangan.
Sudah jelas asumsi saya semua gugur, setelah menyelesaikan episode pertama. Mungkin memang perlu dilakukan uji asumsi statistik terlebih dahulu terhadap segala asumsi di kepala saya. Semacam uji asumsi klasik dalam analisis persamaan regresi. Syukurnya itu tidak terjadi. Kalau terjadi mungkin yang saya tuliskan bukan ulasan film, tapi disertasi.
Episode 1: kecelakaan kerja, belajar dari pengalaman Indonesia
Di episode pertama, scene dibuka dengan seorang buruh yang sedang mengoperasikan mesin pabrik pada waktu dini hari. Jika boleh saya taruh keterangan waktu, mungkin Kim Seon-u mendapatkan shift tiga dengan waktu kerja dimulai 23:00 sampai 07:00 jam operasional pabrik, seperti pada umumnya jam operasional shift di Indonesia.
Sosok buruh ini bernama Kim Seon-u. Di dalam film, ia tampak bekerja seorang diri. Kamera tidak memperlihatkan ada buruh lain di sekitar Kim Seon-u. Ketika memulai aktivitas kerja, hal yang pertama dilakukan memastikan semua mesin bekerja secara normal. Rupanya mesin mengalami gangguan, sontak Kim Seon-u menundukkan kepala untuk melihat bagian bawah mesin pabrik. Tiba-tiba mesin kembali bergerak. Dengan cekatan ia mengangkat kepala dan menggapai tombol mesin untuk segera dimatikan. Sayang, mesin bekerja diluar kehendak Kim Seon-u. Tombol yang semestinya bisa menghentikan laju mesin tidak berfungsi. Sementara, kaki Kim yang beralas sepatu tersangkut di dalam rel mesin. Mesin pun menggilas kaki Kim Seon-u. Akibatnya, kaki Kim Seon-u mengalami kerusakan dari lutut hingga pergelangan kaki.
Erangan Kim Seon-u yang disertai dengan black screen menjadi penanda dari pergantian scene menuju gambar pintu pabrik yang tertulis pada subtitle berbahasa Indonesia: “Membuat Lingkungan Kerja yang Aman”. Entah bagaimana cerita Kim Seon-u berhasil meloloskan diri dari gilasan mesin. Sutradara memberikan ruang interpretasi bagi penonton dengan bebas. Lepas meloloskan diri dari gilasan mesin, Kim Seon-u kembali ke kamar sewa dengan berjalan pincang. Tanpa melepaskan pakaian kerja, Kim bergegas menuju tempat tidur untuk segera berbaring. Wajah Kim Seon-u meringis kesakitan sementara tangan kirinya memegang lutut dengan wajah meringis kesakitan. Ia menelan semua kesakitan itu seorang diri.
Sejak Kim Seon-u membuka pintu kamar hingga merebahkan tubuh di atas kasur, mata kamera mengambil shoot high angle. Awak produksi Move to Heaven ingin menunjukkan keseluruhan isi ruangan kepada penonton. Mata kamera mengajak penonton untuk menaksir ukuran luas kamar hunian yang berdesakan dengan barang-barang milik Kim Seon-u. Bila ditaksir luas kamar sewa milik Kim Seon-u sekitar tiga kali empat meter persegi dengan bentuk persegi panjang. Ukuran luasan kamar Kim Seon-u merupakan gambaran khas kamar sewa kelas buruh. Kamar sewa berukuran kecil ini bukan pemanis semata di dalam serial drama korea Move to Heaven. Gambaran yang mirip dan mudah ditemukan di sekitar daerah-daerah kawasan industri, seperti di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat dan Kawasan Berikat Nusantara Jakarta.
Tengok saja perkampungan area industri yang kenal dengan nama “Lorong Seribu Pintu” di daerah Cikarang, Kabupaten Bekasi. Dinamakan perkampungan seribu pintu, karena di sisi kiri dan kanan lorong merupakan deretan pintu kamar sewa yang dihuni oleh kelas buruh. Dalam satu kamar sewa ini biasanya dihuni satu keluarga. Sementara, bagi buruh lajang, kamar sewa dapat ditempati dengan jumlah orang kurang lebih satu orang. Fasilitas yang tersedia berupa satu ruangan yang sekaligus berfungsi sebagai ruang tidur, kamar mandi dan dapur yang disekat oleh tembok atau triplek. Selain itu, fasilitas air pancuran sumur bawah tanah yang kerap kali berwarna kuning dan berbau tidak sedap. Harga sewanya dibanderol Rp 350 ribu sampai Rp 500 ribu pada tahun 2014 lalu. Setiap tahun harga sewa kamar selalu naik dan dipastikan menghabiskan seperempat upah bulanan buruh.
Melakukan perbandingan scene antara serial Move to Heaven dengan film dokumenter berjudul “Bekasi Bergerak” besutan LIPS (Lembaga Informasi Perburuhan Sedane) & KoPI (Komunitas Perfileman Intertekstual) memang tidak adil. Pada segi kualitas video dan audio sangat jauh berbeda. Kemudian, pada kategori film juga jelas berbeda. Move to Heaven merupakan serial drama, sementara Bekasi Bergerak merupakan reportase fakta aktual atas kondisi kelas buruh. Tapi, keduanya memiliki kesamaan dalam teknik montase visual mengenai latar dan setting rumah huni kelas buruh. Artinya, film drama serial Move to Heaven menghitung cukup presisi latar dan setting dari penggambaran kehidupan kelas buruh.
Tidak hanya teknik montase visual yang kuat, serial drama Korea Move to Heaven juga memperhatikan substansi konflik pada isu kecelakaan kerja. Pada scene menghadiri hari duka Kim Seon-u, pihak manajemen tempat Kim bekerja berkilah kepada pihak keluarga, bahwa sebab kematian Kim Seon-u bukan karena kecelakaan kerja. Pihak perusahaan menekankan kalau kematian yang dialami oleh Kim Seon-u tidak terjadi di area tempat kerja, melainkan di kamar sewanya. Pihak manajemen juga mengatakan bahwa Kim bolos tidak masuk kerja. Namun, sebagai pemilik pabrik, pihak manajemen merasa punya kewajiban moral untuk memberikan uang kepada keluarga Kim Seon. Katanya, “sebagai bentuk rasa duka”.
Respons keluarga Kim pada waktu itu, hanya terdiam seraya kamera terus menyorot wajah Ibu Kim Seon-u dengan mata sembab. Usai percakapan dengan pihak manajemen, petugas Move to Heaven yang membersihkan kamar sewa jenazah Kim Seon-u menyerahkan kotak kuning berisi barang berharga peninggalan kepada keluarga. Tiba-tiba seorang perempuan datang menyela percakapan. Ia menerjemahkan ulang maksud dari kedatangan petugas Move to Heaven dengan menggunakan bahasa isyarat. Mendadak, tangis kedua orang tua Kim Seon-u pun pecah di antara percakapan.
Ibu Kim segera membuka kotak kuning yang berisi barang-barang peninggalan si anak. Sambil menahan isak tangis di dalam dada, Ibu Kim mendekap tas berwarna hitam yang biasa digunakan oleh Kim Seon-u. Usai mendekap tas milik jenazah, kini giliran Ibu Kim membuka isi telefon seluler peninggalan si anak. Ia menemukan pesan elektronik di dalam grup percakapan antara pekerjaan dan pihak manajemen. Bermula dari pesan pihak manajemen yang meminta salah seseorang memperbaiki mesin nomor 13 di lokasi pabrik. Namun, nama Kim Seon-u justru yang ditunjuk untuk segera memperbaiki mesin seorang diri. Tidak bisa menolak perintah atasan. Pada malam itu pula kecelakaan kerja pun terjadi.
Belum selesai memperbaiki mesin, Kim bergegas pulang karena kakinya tergilas oleh mesin pabrik. Sesampainya di kamar sewa, ia mengambil telefon untuk meminta izin kepada manajemen agar tidak masuk kerja pada esok harinya. Kim hendak berobat ke dokter keesokan harinya. Namun, pihak manajemen membalas dengan menyuruh Kim pada hari itu juga untuk segera berobat ke dokter. Kim juga diminta untuk tetap masuk keesokan harinya apa pun yang terjadi. Kim kemudian membalas pesan pihak manajemen dengan mengatakan, rumah sakit terdekat telah tutup, karena itulah ia meminta agar keesokan harinya bisa mendapatkan izin berobat. Bukan izin yang didapat malah mendapat ancaman pemecatan. Pihak manajemen mengatakan, “Kau bisa dipecat jika membahas kecelakaan kerja.” Karena takut dipecat, Kim akhirnya kalah dan mengatakan esok hari ia akan bekerja seperti biasanya. Rupanya pada malam itu pula Kim meregang nyawa.
Kasus kematian Kim Seon-u merupakan tragedi di dalam praktik buruk relasi perburuhan. Jelas kematian Kim disebabkan karena kecelakaan kerja.
Praktik buruk hubungan perburuhan yang mengakibatkan kecelakaan, bahkan kematian bukan hanya terjadi dalam film. Pada 24 Mei 2021 Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menerbitkan angka estimasi kematian akibat kerja. Setiap tahun setidaknya terdapat dua juta orang kehilangan nyawa karena kecelakaan kerja (work-related accident) dan penyakit akibat kerja (occupational diseases). Lebih dari 5.000 buruh dengan kasus kematian setiap hari. Sementara, kasus dengan kategori kecelakaan kerja yang mengakibatkan cedera fatal diperkirakan sebanyak 200-2.000 kasus setiap hari, tergantung jenis pekerjaannya. Sedangkan, 100 kasus lainnya dikategorisasi secara umum. Karena tidak teridentifikasi sebagai penyakit yang mengakibatkan seseorang tidak hadir kerja. Rilis pres ILO juga memaparkan, setiap tahun ditemukan kasus sebanyak 270 juta buruh mengalami kecelakaan kerja. Sementara, 160 juta buruh lainnya menderita Penyakit Akibat Kerja (PAK).[1]
Pada konteks Indonesia, kasus kecelakaan akibat kerja mengalami peningkatan dari yang sebelumnya 114.000 kasus pada tahun 2019 menjadi 117.000 kasus pada tahun 2020.[2] Sementara di Indonesia, hampir sulit menemukan data mengenai kasus penyakit akibat kerja. Keterangan Sub-Direktorat Pengawasan Norma Konstruksi Bangunan, Listrik dan Penanggulangan Kebakaran Kemenaker, yakni Sudi Astono pada 28 Juni 2019, menegaskan pemerintah memang dianggap kurang memberikan sosialisasi pada isu penyakit akibat kerja.[3] Padahal, penyakit akibat kerja dapat berujung pada kematian.
Pada 17 Mei 2021 World Health Organization dan International Labor Organization mempublikasikan laporan terbaru tentang “Jam Kerja Panjang yang Berujung Kematian”. Sampel yang digunakan terdiri dari 194 negara dengan data panel rentang waktu sepanjang 2000 – 2016. Hasil penelitian menyatakan sebanyak 488 juta orang bekerja dengan jam kerja panjang (overworked) lebih dari 55 jam per minggu. Diperkirakan sebanyak 745.184 (705.786 – 784.601) orang mengalami kematian karena jam kerja panjang dan 23,3 juta orang hidup dengan penyakit serangan jantung dan stroke akibat kerja.[4]
Melalui laporan ILO dan WHO kita dapat merefleksikan, sudah sepatutnya jam kerja panjang ditolak. Selain karena mengakibatkan timbulnya penyakit akibat kerja dalam jangka panjang, kematian adalah gambaran riil terdekat bagi kelas buruh. Sehingga, dibutuhkan tindakan kolektif di tingkat pabrik untuk menolak lembur atau jam kerja panjang. Begitu juga bila merujuk pada Undang-Undang tentang keselamatan kerja Nomor 1 Tahun 1970 Pasal 12 pada huruf e berbunyi pekerja atau buruh dapat, “Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggungjawabkan.” Artinya, kita dapat menolak instruksi pekerjaan, bila standar keselamatan dan keamanan pekerjaan dinilai rendah.
Kita dapat melihat gambaran kasus kecelakaan kerja yang alami Kim Seon-u di episode pertama. Meski sakit, Kim Seon-u ketakutan menolak perintah kerja, karena diancam pemecatan oleh pihak manajemen. Sementara, rumah sakit di area pabrik tidak tersedia. Artinya standar K3 perusahaan tersebut tidak layak diperdebatkan.
Kita boleh menoleransi rasa takut yang dialami oleh semua orang, tidak terkecuali Kim Seon-u yang tak sanggup menolak perintah untuk bekerja karena diancam PHK. Rasa takut ini dialami semua orang. Tentu bagi kita yang menjadi tumpuan keluarga atau memiliki tanggungan hidup. Karena itu, perlu dipikirkan bahwa relasi hubungan kerja dalam perspektif hak, di mana mendapat pekerjaan yang aman, nyaman dan bebas dari ancaman merupakan hak buruh. Misalnya, dalam peraturan perundangan dapat ditemukan dalam Pasal 151 dan Pasal 153 Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 atau Pasal 151 dan Pasal 153 Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Pasal-pasal tersebut akan memiliki daya guna sebagai instrumen untuk melindungi hak buruh dalam hubungan kerja.
Begitu juga dengan kategori penyakit akibat kerja yang mengakibatkan gangguan mental atau psikis kelas buruh. Dengan melihat Peraturan Presiden (PP) Nomor 7 Tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja, pada bagian lampiran gangguan mental merupakan bagian dari penyakit akibat kerja. Lantas adakah yang pernah melakukan perjuangan pada kasus PHK sepihak karena penyakit akibat kerja? Tentu ada! Perjuangan mengenai tindakan PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan, pernah dilakukan oleh mantan wartawan Pikiran Rakyat, Bandung, yakni Zaky Yamani pada 2017.
Zaky Yamani mengalami gangguan mental yang disebabkan oleh beban kerja dan risiko kerja tinggi selama ia menjadi jurnalis di kantor berita Pikiran Rakyat, Bandung, Jawa Barat. Hasil pemeriksaan klinis pada 26 April 2016 yang dilakukan oleh BPIP Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung, menyatakan Zaky mengalami depresi yang disebabkan pekerjaan. Hasil konseling juga mengusulkan agar Zaky berhenti bekerja.[5] Karena alasan kondisi Kesehatan yang semakin memburuk dan pertimbangan agar tidak ingin mengganggu pekerjaan redaksi di Pikiran Rakyat, Zaky mengajukan pensiun dini. Namun, pasca pergantian pimpinan redaksi, surat pengajuan Zaky ditolak. Justru, Zaky memperoleh Surat Peringatan (SP) satu, dua, dan tiga hingga berakhir pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
PHK sepihak yang dilakukan oleh Pikiran Rakyat dinilai tidak sesuai dengan nilai kompensasi yang mesti diterima oleh Zaky. Alhasil, tanpa didampingi oleh serikat buruh tempat ia bekerja, Zaky justru menggugat Pikiran Rakyat di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) bersama koalisi advokat bernama TAJI (Tim Advokad Jurnalis). Singkat cerita, sidang yang dimulai sejak 11 September 2017 berakhir dengan putusan mengabulkan setengah dari total nilai gugatan yang diajukan. Belajar dari kasus Zaky Yamani, semua tempat dapat menjadi medan petarungan, entah dilakukan atas inisiatif individu atau melalui tindakan secara kolektif.
Saya akan kembali pada cerita serial drama Korea Move to Heaven. Dengan menonton film serial Move to Heaven sampai dengan sepuluh episode kita akan menemukan kompleksitas isu sosial yang hendak dijahit oleh regu pembuat film Move to Heaven. Pertama, paksaan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam cerita keluarga Yoon Na Mu sebagai sebuah pekerjaan ideal bagi orang tua. Kedua, kisah percintaan sesama jenis yang mendapat pengekangan dari keluarga Jung Soo Hyun yang merupakan seorang dokter, dengan lelaki bernama Ian Park seorang pemain cello. Ketiga, kisah kematian Matthew Green di kamar kos yang disebabkan oleh serangan jantung. Selama hidup kembali ke Korea Selatan untuk mencari sosok ibu, lantaran sejak kecil ia dikirim ke Amerika Serikat untuk diadopsi.
Keempat, kisah Cho Sang Gu yang sejak kecil terlempar di jalanan dan berusaha hidup sebagai street boxer. Kelima, kasus kematian guru perempuan Seon-Yeong yang dibunuh oleh pacarnya. Sebelum tragedi kematiannya, Seon telah beberapa kali mengalami kekerasan seksual oleh pacarnya. Karena rasa takut atas teror sang pacar, pada akhirnya ia memilih untuk keluar dari pekerjaannya sebagai guru di taman bermain anak-anak.
Keenam, kisah kedua pasangan lansia, bernama Kim In-su yang memutuskan untuk mati bersama dengan sang istri Lee Mi-Seon di dalam kamar sewa. Keputusan untuk mati bersama setelah Kim In-su mendapatkan surat pemecatan. Dengan kondisi Kim In-su yang mengidap kanker pankreas stadium akhir dan istri juga mengalami sakit dan membutuhkan biaya perawatan rumah sakit, maka keputusan untuk mati bersama dengan bahagia adalah cara yang tepat.
Terakhir, tentu kisah Han Geu-Ru sebagai aktor utama di dalam film Move to Heaven yang tidak dapat kita tinggalkan. Sebagai anak berusia 20 tahun dengan memiliki kemampuan berbeda—asperger[6]— penonton diminta untuk melazimkan kecerdasan bawaan yang melekat di dalam diri Han Geu-Ru. Betapa tidak, hampir semua benda peninggalan jenazah dapat menjadi utas cerita kehidupan seseorang sebelum menuju kematian. Karena kecerdasan inilah, Han Geu-Ru dapat membuka kebenaran peristiwa pembunuhan guru Seon. Han Geu-Ru menemukan kamera pemantau, yang sebelumnya ketika olah TKP oleh kepolisian tidak berhasil ditemukan.
Semua kisah serial drama Move to Heaven mengandung kompleksitas isu. Relasi institusi sosial seperti keluarga, tempat kerja, lembaga negara tidak bisa terpisahkan dalam setiap episodenya. Problem yang bermunculan sepatutnya tidak hanya dilihat sebagai catatan kasus semata. Melainkan, problem struktural yang membutuhkan pemulihan dari seluruh keterlibatan institusi sosial.
Film Korea selalu identik dengan keromantisannya. Hal ini membuat penonton baper (bawa perasaan) saat masuk ke setiap scene adegan yang seolah dialami penontonnya. Tak jarang para penggemar film Korea Selatan senyum-senyum atau menangis saat menonton. Barangkali ini yang membuat film korea banyak penggemar fanatik yang selalu menantikan film terbaru atau seri drama berikutnya. Salah satu […]
Judul Buku: Berpencar, Bergerak!: Pergolakan Perlawanan Harian Buruh di Delapan Sektor Industri Tahun Terbit: Mei 2024 Penerbit: Tanah Air Beta dan Lembaga Informasi Perburuhan Sedane Prolog: Hari Nugroho Penutup: Jafar Suryomenggolo Penulis: Ai Rusmiati, Sudiyanti, Jumiyem, Giyati, Ida Fitriyani, Yuni Fitriyanti, Zaenal Rusli, Vindra Whindalis, Corneles Musa Rumabur, Rahmat Jumaedi, Rojali. Jum’at 28 Juni 2024, […]
Judul Film : Film Autobiography Sutradara : Makbul Mubarak Produser : Yulia Evina Bhara Penulis Naskah : Makbul Mubarak Pemeran : Kevin Ardilova, Arswendy Bening Swara, Yusuf Mahardika, Lukman Sardi, Yudi Ahmad Tajudin, Rukman Rosadi, Haru Sandra, Gunawan Maryanto. Perusahaan : Kawan Kawan Media Kaninga Pictures Tanggal rilis : 2 September 2022 (Venesia), 29 […]