MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Dari Perekrutan Berbayar ke Pemogokan


Beberapa bulan lalu saya sampai di Kabupaten Subang. Sebuah tempat yang tersohor dengan buah nanas. Kabupaten yang dikepung oleh Kabupaten Indramayu, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang.

Dengan tujuan ke Desa Pabuaran Kecamatan Pabuaran, saya menaiki kendaraan umum jenis bus elf (microbus). Cara melayani dan mengatur penumpang hingga cara mengendarai elf jauh beda dengan microbus yang dioperasikan perusahaan travel. Elf bisa menaikan dan menurunkan penumpang di manapun. Bisa berlari kencang, sangat pelan dan tiba-tiba berhenti menanti penumpang.

Sepanjang jalan saya berbincang dengan pengemudi bernama Jajang. Jajang pemuda asli Subang. Obrolan dimulai saat saya meminta izin untuk ikut merokok juga, di dalam mobilnya. Saat itu saya duduk di bangku depan. Menurut saya, inilah salah salah satu kelebihan elf tradisional. Tanpa pendingin udara dan bebas merokok.

Penumpang yang berada di minibus itu hanya 4 orang. Menurut Jajang, elf yang ia kendarai selalu sepi penumpang semenjak pandemi Covid-19.

Obrolan terus mengalir ditemani dangdut koplo ala Pantura. Menurut Jajang, kebanyakan masyarakat Pabuaran adalah pembudidaya ikan mas, ikan lele dan juga bertani, tetapi ada juga yang menjadi buruh pabrik.  

Sepenglihatan mata saya, memang cukup banyak hamparan sawah dan kolam-kolam besar. Menyambung cerita Jajang, di daerah ini dalam satu tahun petani bisa tiga kali panen dalam satu musim.

Beberapa tahun ke belakang Subang dicanangkan menjadi lumbung padi. Karena panennya dari tahun ke tahun terus meningkat. Contohnya di tahun 2017 walaupun di masa paceklik beberapa wilayah di Kecamatan Pabuaran tetap panen. Banyak dari masyarakat berpuluh tahun menggantungkan hidupnya dari pertanian. Tidak jarang para petani itu mampu membiayai pendidikan anaknya.

Beberapa tahun terakhir tanah pertanian di Subang mulai terancam dengan kebijakan pemerintah melalui Proyek Strategis Nasional. Membawa Kabupaten Subang menjadi target incaran investor dalam menanamkan modalnya. Baru-baru ini Subang Smartpolitan resmi dibangun. Subang Smartpolitan adalah kawasan industri seluas 2,700 hektare. Pembangunan ini didukung dengan pembangunan jalan tol, bandara internasional, dan palabuhan di sekitar Subang.

***

Mafia Lamaran

Pukul 11 siang saya di depan pabrik pembuat pakaian outdoor dan fashion bermerek internasional, The North Face. Pabrik ini berada di Desa Pabuaran, Kabupaten Subang. Pabrik memperkerjakan 2300-2000 pekerja. Dengan luas pabrik kurang lebih 5 hektare. Pabrik dikelilingi persawahan warga. Pabrik ini mulai beroperasi tahun 2008.

Di sekitar pabrik berjejer warung-warung makan, penjual pulsa, koperasi pinjaman. Pedagang kaki lima yang menjual pakaian, jamu, makanan ringan dan alat-alat rumah tangga seperti panci, ember dan sebagainya.

Kala itu saya melihat buruh berlalu-lalang di depan pabrik untuk mencari makan di waktu istirahat. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan. Tak lama kemudian buruh-buruh perempuan tersebut telah memenuhi beberapa warung langganan mereka. Terlihat sekali mereka makan dengan terburu-buru. Mungkin karena terdesak waktu, harus membagi waktu untuk makan, beribadah dan kembali kerja.

Buruh perempuan ini tidak hanya berasal dari Subang. Ada juga yang berasal dari Karawang dan Jakarta. Banyak cerita menarik yang membawa para buruh bekerja di pabrik tas ini.

Ada teman yang bersedia bercerita, namanya Cinta. Cinta buruh asal Karawang yang sudah delapan tahun bekerja. Ia mendapatkan informasi dan tawaran pekerjaan dari karang taruna di desanya.

Rupanya, pabrik ini menyebarkan informasi rekrutmen dengan berbagai cara. Melalui kepala desa, salah satunya. Dari kepala desa, informasi lowongan kerja diteruskan ke karang taruna. Karang taruna mencari calon buruh ke kampung-kampung.

Ternyata informasi lowongan kerja itu tidak gratis. Seperti dikisahkan Cinta. Untuk dapat bekerja di pabrik tersebut, Cinta harus merogoh kocek Rp 450 ribu. Harga ini berlaku untuk semua orang yang ingin bekerja dan melamar melalui karang taruna tersebut.

Seiring waktu harga lowongan kerja berubah-ubah. Saat pabrik baru dibuka tarif paling murah Rp150 ribu. Perlahan tarif ini mengalami kenaikan, bahkan mencapai Rp6 juta. Kenaikan tarif tersebut seturut kenaikan upah di wilayah.

Walaupun mengikuti kenaikan upah, tetap tidak akan pernah sebanding patokan tarif yang ditentukan sepihak. Selain itu, tarif perekrutan ditentukan jenis kelamin. Jika jenis kelamin laki-laki harga lowongan kerja bisa mencapai Rp7 juta.

Menjadi buruh tetap tampaknya menjadi satu-satunya pertimbangan pengambilan keputusan bersedia membayar agar diterima bekerja. Gambarannya kurang lebih seperti ini: setelah membayar kemudian diterima bekerja. Setelah itu, buruh akan mengikuti training tiga bulan. Setelah training akan menjadi buruh tetap.

Namun itu adalah cerita lama. Tepatnya ketika pabrik mulai beroperasi. Ketika tulisan ini dibuat, pabrik pun merekrut buruh kontrak. Buruh kontrak pun harus membayar melalui calo.

Praktik percaloan untuk buruh kontrak ini menyisakan kerumitan. Pasalnya, untuk memiliki uang sebagai uang pelicin masuk kerja, calon buruh kontrak meminjam uang dari rentenir. Rupanya, ketika kontrak kerja habis utang kepada rentenir tidak lunas.

‘Kesuksesan’ kepala desa dan karang taruna sebagai penyalur tenaga kerja dibantu oleh orang-orang tertentu di dalam perusahaan yang memiliki jabatan penting.

Di runut lebih jauh. Ternyata karang taruna yang berperan sebagai penyalur tenaga kerja ini pernah memiliki pengalaman menolak keras keberadaan serikat buruh di dalam pabrik. Tapi, pada akhirnya, serikat buruh berdiri. Karang taruna itu sekuat tenaga menghalangi keberadaan serikat dengan berbagai cara. Ujungnya adalah salah satu pengurus serikat buruh mengalami pembacokan.

***

Orang-orang yang bekerja di pabrik pembuat tas ini kebanyakan buruh baru. Rata-rata tidak memiliki pengalaman bekerja. Ketika berada dalam displin kerja nan kejam, mereka tidak berbuat apa-apa. 

Disiplin kerja itu ‘makanan’ sehari-hari. Atasan mengomel, membentak, mengeluarkan kata-kata kasar dan melempar bahan baku. Kekerasan itu terjadi di ruang produksi ketika buruh tidak dapat mencapai target yang telah ditentukan oleh manajemen.

Tidak hanya teriakan dan bentakan, berlaku pula jenis hukuman lain, seperti disuruh berdiri melihat papan target, dicubit sampai berdarah. Ada kasus yang sangat terkenal. Salah satu buruh tidak dapat menjahit pola baru. Atasan memegang paksa tangan operator tersebut dan ditarik paksa didekatkan ke jarum jahit yang sedang bergerak-gerak. Tentu saja buruh itu menggigil ketakutan dengan muka pucat pasi. Bukan hanya karena paksaan tapi seluruh teman-temannya menyaksikan kejadian tersebut. Ia merasa ditertawakan oleh seluruh ruangan: menjadi manusia terbodoh di dunia.

Tak jarang ketika pula para buruh yang mengalami kekerasan tersebut memendam kemarahan dan melupakan isak tangisnya di rumah.

Kata buruh-buruh yang saya temui, saat ini jarang terjadi kekerasan fisik di pabrik. Tapi membentak dan memaki adalah kejadian sehari-hari. Ada pula jenis kekerasan lain, yaitu menggoda perempuan, ‘elus-elusan tangan’ laki-laki kepada bagian tubuh perempuan dan ada pula yang ‘jepretin’ tali BH-nya.

Jika dibanding dengan kota dan kabupaten tetangganya, upah di Subang jauh lebih kecil. Perbedaannya sangat mencolok. Pada 2021 upah Karawang 2021 Rp4,7 juta sementara Subang Rp3 jutaan. Untuk mengakali upah yang kurang kerap mereka meminjam uang ke bank keliling atau koperasi pinjaman.

Pada saat pandemi Covid-19 perusahaan ini pun melakukan kebijakan yang merugikan para buruh. Kebijakan yang diterapkan sistem no work no pay. Bentuknya, dalam sebulan buruh hanya bekerja 12 hari. Tapi yang diperhitungkan kerja hanya 6 hari kerja. Jadi yang dibayar hanya Rp600 ribu. Itu pun pembayarannya dicicil tiga kali. Sehingga setiap buruh hanya mendapatkan Rp200 ribu setiap bulannya. Bagaimana menjelaskan cara menghitungnya? Tidak ada yang tahu! Pokoknya no work no pay.

Juni, Juli, Agustus, September, per bulannya hanya bekerja tiga hari. Anehnya sama sekali tidak dibayar.

Buruh kesal. Mereka merasa tidak dihargai. Akhirnya, mereka mogok kerja.

Sebenarnya, pabrik pembuat tas ekspor ini telah membuka pabrik baru di Jawa Tengah, pada 2016. Jika dihitung kasar, pabrik ini beroperasi delapan tahun di Subang, tapi sudah mampu buka cabang baru di Jawa Tengah. Bagaimana ‘kesuksesan’ tersebut dibuat? Dengan kesungguhan dan ketekunan. Sungguh-sungguh dan tekun memaki dan membentak buruh setiap hari serta merampas upah buruh.