MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Eksploitasi Buruh Berkedok Kemitraan


Hampir sebulan, di awal tahun 2022, seorang kawan sering datang ke rumah saya untuk menumpang bekerja. Pekerjaannya bergantung pada jaringan internet dengan kecepatan tinggi dan stabil. Di rumahnya belum memasang jaringan internet. Sementara, jika harus menggunakan kuota internet dari smartphone-nya akan menghabiskan data internet yang cukup besar alias boros kuota.

Sebut saja namanya Nia. Ia bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta yang menyediakan layanan informasi terhadap perkembangan pasar dengan memanfaatkan kecanggihan dari teknologi informasi.

Ketika lulus dari perguruan tinggi setahun yang lalu, Nia mengadu peruntungan melamar di beberapa perusahaan. Nia beruntung, dari 5 lamaran yang ia buat, Nia diterima di perusahaan tempat ia bekerja sekarang. Bagi Nia, ini adalah pengalaman pertamanya bekerja untuk upah setelah keluar dari bangku kuliah.

Meskipun sudah hampir setahun Nia bekerja, namun tidak lebih dari hitungan jari ia datang ke perusahaan. Itu pun karena urusan mengambil alat kerja berupa laptop yang disediakan perusahaan atau sekedar mendengarkan “harapan dan keinginan” atasannya atas hasil pekerjaan yang akan dikerjakan Nia dari rumah. Sejak pandemi Covid-19 perusahaan-perusahan jasa seperti ini banyak mengharuskan pekerjanya bekerja dari rumah atau  Work from home (WFH).

Bukan tanpa kendala mengerjakan pekerjaan kantor di rumah. Jika terjadi kendala seperti mati lampu, kehabisan kuota internet atau tidak stabilnya jaringan internet, tak jarang Nia kelabakan mencari tempat bekerja yang tersedia jaringan internet dan listrik. Kadang, ia harus pergi ke café atau ke rumah teman yang tersedia jaringan internet untuk bekerja. Bagi Nia, jaringan internet dan listrik menjadi penentu nasibnya ketika ia sedang bekerja.

Biasanya, Nia bekerja dengan menggunakan kuota internet dari kartu pascabayarnya. Nia enggan memasang jaringan internet berlangganan di rumahnya, karena upahnya tidak akan cukup. Meskipun perusahaan memberikan uang pengganti data internet, tapi hanya sebesar Rp 100.000 per bulan. Sementara, jika berlangganan jaringan intenet seperti wifi fiber optic yang paling murah bisa mencapai Rp 250.000 per bulan.

Nia bekerja dari pukul 9 pagi sampai pukul 6 sore. Sebelum mulai bekerja, Nia akan ‘di-briefing’ terlebih dahulu oleh atasannya. Menanyakan laporan perkembangan pekerjaan sebelumnya, beban pekerjaan dan hal-hal lain yang dianggap perlu.

Jam kerja resminya memang 8 jam. Kenyataannya, Nia sering tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu 8 jam. Sekali waktu, ia pernah menyelesaikan pekerjaanya hingga pukul 11 malam. Setiap hari rata-rata untuk menyelesaikan pekerjaannya Nia bekerja selama 10 jam. Selama bekerja ia hanya duduk dan berhadapan dengan cahaya layar laptopnya. Kelebihan jam kerja itu dianggap sebagai bagian dari tugas dan tanggung jawab yang harus ditanggung Nia untuk menyelesaikan pekerjaan alias tidak akan dihitung sebagai lembur.

Selain jam kerja yang panjang. Jenis pekerjaan Nia cukup rumit dan membutuhkan tingkat konsentrasi yang tinggi. Ia harus memeriksa file-file mentah satu persatu, kemudian mengolahnya kedalam aplikasi, memastikan file-file tersebut compatible dan tidak terjadi error. Setelah itu, ia pun membuat instruksi program, mengkonversi gambar, dan sebagainya. Karena membutuhkan tingkat konsentrasi yang tinggi dan intensitasnya melototin layar laptop, Nia sering mengalami sakit kepala ketika bekerja.

Dengan beban kerja seperti itu, Nia hanya dibayar perusahaan sebesar Rp 3 juta per bulan. Jika beruntung, kadang Nia mendapat tambahan insentif kehadiran dan lainnya, upah Nia bisa mencapai Rp 4 juta. Itu pun ia harus bekerja lebih dari 10 jam. Selain itu Nia tidak mendapat uang makan, apalagi didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.

Upah yang diterima Nia jauh dari kebutuhan. Agar dapat bertahan hidup dan tetap bisa bersosialisasi dengan teman-temannya, Nia menempuh strategi ‘gali lubang tutup lubang’ atau mengurangi konsumsi agar bisa memembeli sesuatu yang sedang nge-trend sebagai anak muda masa kini.

Pada bulan ketiga Nia bekerja, ia merasa resah. Pasalnya ia belum sama sekali menandatangani kontrak kerja dengan perusahaan. Nia pun memberanikan diri menanyakan kepada atasannya. Jawaban dari atasannya membuatnya kaget. Atasannya mengatakan bahwa hubungan kerja Nia adalah sebagai mitra perusahaan. Nia dianggap mitra yang terikat oleh peraturan perusahaan.

Tak hanya itu, perusahaan juga secara sepihak mengubah sistem pengupahan.  Sebelumnya, upah Nia dihitung berdasarkan jumlah hari ia masuk kerja. Dengan hitungan per jamnya sebesar Rp 18.000. Perusahaan mengubah peritungan upah berdasarkan target pekerjaan yang ia selesaikan. Jika biasanya satu pekerjaan dapat selesai dalam sehari, perusahaan mengubahnya menjadi 5 jam atau waktu perkiraan yang ditentukan oleh atasannya. Akibatnya, jika Nia menyelesaikan satu pekerjaan lebih dari 8 jam atau lebih upah yang diterima hanya 5 jam kerja saja.

Alih-alih mengatasi biaya operasional perusahaan membengkak, perusahaan sebetulnya sedang memotong upah Nia. Padahal dengan system WFH, perusahaan justru mengurangi biaya operasional kantor. Karena biaya urusan perkantoran seperti listrik, internet dan lain-lain kemudian ditanggungkan oleh pekerjanya dengan bekerja dari rumah.

Selain memotong upah dan membebankan operasional pekerjaan kepada pekerja, Perusahaan juga merumahkan beberapa teman Nia tanpa upah sama sekali dan sampai waktu yang tak jelas. Mereka yang dirumahkan adalah buruh yang telah bekerja tiga bulanan. Buruh-buruh yang dirumahkan tersebut dijanjikan akan dipekerjakan kembali jika perusahaan mendapatkan proyek baru.

Pernyataan “jika ada pekerjaan akan dipanggil kembali” ketika hendak merumahkan pekerjanya adalah cara perusahaan memecat pekerja sembari memberikan harapan palsu. Faktanya, semua teman Nia yang dirumahkan sampai hari ini tidak ada yang dipanggil kembali untuk bekerja. Istilah kemitraan hanyalah kedok untuk menghindari tanggung jawab perusahaan atas hak-hak buruh untuk kemudian dengan leluasa mengekploitasinya. Buruh diperlakukan seperti tisu: habis pakai lalu buang.

Karena perubahan sistem pengupahan tersebut, Nia dan beberapa temannya menolak kebijakan perusahaan. Mereka melihat ketidakadilan dalam sistem pengupahan tersebut. Mereka berinisiatif membuat kelompok diskusi. Sebagai generasi milenial, langkah pertama yang mereka lakukan adalah membuat grup Whatsapp. Dari diskusi-diskusi tersebut muncul gagasan untuk melakukan audiensi dengan Atasan perusahaan. Di grup Whatsapp itulah terjadi diskusi hangat dan ramai. Para buruh saling menguatkan dan saling mendukung, bahkan muncul ide untuk mengajak divisi lain bergabung.

Sebenarnya, di tempat kerja Nia sudah ada serikat buruh. Namun, Nia dan kawan-kawannya tidak yakin jika serikat buruh tersebut akan bersedia dan mampu menyerap dan memperjuangkan aspirasi Nia dan teman-temannya. Apalagi dari perubahan kebijakan pengupahan tersebut, serikat pekerja tidak memiliki respon apapun dan memperlihatkan kesan serikat pekerja telah ‘ditundukkan’ terlebih dahulu oleh perusahaan.  

Ternyata bukan hanya Nia. Saya bertemu dengan kawan seangkatan saya yang telah bekerja dan mengaku bekerja sebagai ‘mitra sebuah perusahaan’.  Istilah mitra dapat kita temukan juga dengan para pengemudi dan pengirim barang yang diatur melalui aplikasi seperti Gojek, Grab, J&T, dan lain-lain.

Sebenarnya, pengertian kemitraan yang ditetapkan pemerintah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Ketentuan umum peraturan tersebut menyebutkan bahwa kemitraan adalah hubungan langsung dan tidak langsung antar jenis perusahaan. Identitas jenis usaha tersebut dibuktikan dengan izin usaha. Lalu, bagaimana bisa seorang individu yang mendapat perintah dari sebuah perusahaan dapat dikatakan sebagai mitra? Lagi pula dalam hubungan yang disebut kemitraan tersebut tidak ada prinsip-prinsip kemitraan seperti saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan saling menguntungkan.

Istilah kemitraan semakin hari semakin banyak dipakai seiring berkembangnya gig economy. Dengan menggunakan istilah ‘mitra’ relasi buruh dan pengusaha menjadi kabur. Alih alih sebagai mitra kebijakan atas pekerjaan secara sepihak ditentukan oleh perusahaan. Dengan demikian, para pengusaha akan mudah berkelit ketika pekerja menuntut hak.

Pertanyaan tentang “mitra dan kemitraan” mengantarkan pada kenyataan lain. Para buruh yang bekerja dengan sebutan mitra tersebut bekerja di sektor baru, bukan pabrik sebagaimana dikenal di Abad-18. Jenis pekerjaanya pun tidak mewujud dalam barang yang dipakai. Negara menamainya sebagai industry kreatif, sementara sebagaian orang menyebut pekerjanya dengan sebutan pekerja milenial atau pekerja generasi Z yang cenderung skeptis dengan bangunan organisasi yang dirancang di abad-19. Bahkan sebagian besar mereka enggan disebut buruh.