MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Perampasan Masa Depan Buruh Ibu di Masa Pandemi


Judul buku     : Bertahan Hidup dan Diabaikan: Pengalaman 10 Buruh Ibu dalam Pusaran Pandemi

Penulis           : Dian Septi

Penerbit         : FSBPI               

Halaman         : 174 halaman

Tahun Terbit  : 2022


Buku “Bertahan Hidup dan Diabaikan” menawarkan sepuluh pengalaman unik dari buruh ibu terkait keajaiban tubuh perempuan dalam fungsi reproduktifnya. Yaitu; kehamilan, melahirkan dan membesarkan bayi ketika buruh ibu harus bekerja di bawah rezim target, atau setelah mereka di PHK oleh perusahaan yang beralasan rugi karena pandemi.

Memahami bahwa kehamilan itu unik bagi setiap ibu, berarti memahami bagaimana penghayatan subyektif dibangun oleh masing-masing ibu dan orang sekitar. Utamanya tentang makna kehamilan dan apa yang seharusnya diperbuat untuk menjaga keselamatan ibu dan jabang bayi.

Seluruh buruh ibu dalam cerita ini memandang kehamilan mereka sebagai anugerah yang mendatangkan kebahagiaan tersendiri. Baik untuk diri mereka sendiri dan keluarganya. Meskipun dipenuhi ucapan syukur, nyatanya dihayati juga emosi negatif oleh para buruh ibu. Karena kondisi kehamilan yang berisiko, pengalaman keguguran, serta kondisi pandemi yang memicu rasa takut dan cemas akan keselamatan diri dan janin.

Selain bersandar nasehat turun-temurun orang tua, untuk memastikan keselamatan buruh ibu mengandalkan ilmu medis modern. Perbedaannya, jika saran orang tua gratis, sedangkan pengobatan modern berbayar mahal. Penanganan medis seperti USG, vitamin penguat kandungan, operasi caesar, susu formula selain dapat menguras tabungan mereka, jika ada, juga menambah kebutuhan hidup harian buruh ibu. Padahal di tengah pandemi, makin banyak perusahaan melakukan pemotongan upah.

Di sisi lain, terdapat keraguan dari kebanyakan buruh ibu atas layanan kesehatan yang dijamin BPJS. Keraguan tersebut kerap buruh ibu harus membayar berkali-lipat ketika memilih layanan kesehatan umum diluar BPJS.

Sebenarnya sebagian besar buruh ibu mengerti bahwa hal yang menjamin kesehatan diri dan anaknya adalah asupan gizi yang baik dan istirahat yang cukup. Hanya saja, di dalam latar pabrik, buruh ibu sulit untuk mendapat hal tersebut. Tingginya target kerja yang harus dicapai, memaksa para buruh ibu terus bekerja dan mengabaikan kehamilannya. Jauh dari rasa nyaman, buruh ibu harus bekerja dengan tubuh yang berbalut polybag plastic. Akal-akalan konyol pabrik untuk memaksa buruh tetap bekerja di masa pandemi. Jika tidak, mereka dihadapkan pada masa-masa dirumahkan tanpa upah, atau bahkan dipecat tanpa pesangon.

Di masa pandemi, buruh ibu dihadapkan pada pilihan yang serba sulit. Maryati, salah satu buruh ibu yang diceritakan dalam buku ini memandang, di masa pandemi buruh ibu tidak memiliki ‘keistimewaan’ untuk memilih. Buruh ibu hanya bisa “menerima realita dan berdamai dengannya”. Tentu saja penerimaan ini bukan tanpa resiko.

Buruh ibu berada dalam situasi trade off atau menukar potensi, kesempatan, dan sumber daya jangka panjang untuk pemenuhan kebutuhan bertahan hidup yang mendesak. Pertukaran seperti ini hampir selalu mengandung resiko. Misalnya, sering kali para buruh ibu terpaksa harus menahan kencing, menunda makan dan mengabaikan kebutuhan istirahat dengan terus bekerja dalam kondisi berdiri selama berjam-jam. Hal tersebut dilakukan para buruh ibu untuk dapat mempertahankan status, upah tetap utuh alias tidak dipotong, serta menghindari bentakan dan omelan dari atasan. Sebagaimana yang dialami Ratmi salah satu buruh ibu dalam cerita ini.

Mereka dipaksa menukar kesehatan jangka panjang mereka demi mempertahankan pemasukan harian yang secara akumulatif dibayar sedikit demi sedikit dan tak terasa berujung pada kondisi berikut: “tak sedikit dari buruh ibu yang jatuh sakit, dengan penyakit kronis mulai dari sakit ginjal hingga harus cuci darah, sakit jantung, paru–paru, kista dan tentu saja tertular Covid-19.”

Dalam kasus buruh ibu yang hamil dan menyusui, menahan untuk tidak makan, beristirahat atau memompa ASI beresiko pada optimalisasi tumbuh kembang janin. Sebagian besar buruh ibu dalam buku ini mengalami berat badan yang rendah yang tidak kunjung naik selama kehamilan serta HB darah yang selalu rendah akibat kurang tidur dan kelelahan bekerja di pabrik seperti yang dialami oleh Susan, salah satu buruh ibu dalam cerita ini.

Kondisi kesehatan yang dialami para buruh ibu seperti di atas mirip dengan gejala terjadinya stunting pada bayi atau lahir kontet. Stunting merupakan kondisi balita gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis yang terjadi sejak dalam kandungan. Dampak jangka pendek stunting adalah kerentanan pada penyakit dan kematian. Sedangkan dampak jangka panjangnya adalah penurunan kesehatan reproduksi, kapasitas belajar dan bekerja. Dampak  turunannya berpotensi membahayakan generasi buruh ibu. Mereka tidak akan lepas dari pusaran kesulitan hidup, karena modal dasar mereka sudah dirampas sejak awal. Generasi stunting sangat mungkin menghasilkan generasi stunting berikutnya. Siklus ini bersifat downward spiral atau kondisi pemburukan yang tak kunjung henti.

Lalu bagaimana buruh ibu bisa kehilangan pilihan yang menjaminkan keamanan dan keselamatan mereka? Tentunya ini tidak terlepas dari desain pabrik yang mode utamanya mengeluarkan semua biaya-biaya yang tidak terkait langsung dengan proses produksi. Salah satunya adalah hak maternitas.

Di masa pandemi Covid-19, ancaman dan risiko buruh ibu yang hamil, melahirkan atau menyusui bayi semakin meningkat tajam karena dibolehkannya pabrik untuk berkelit dari tanggung jawabnya dengan alasan pandemi. Dengan demikian, bagaimana para buruh ibu ini bisa bertahan dalam kondisi kerja yang jelas-jelas mengancam keselamatan diri dan janin mereka? Melawan dan berserikat adalah salah satu pilihan selain menarik simpati beberapa pihak pabrik yang secara diam-diam meloloskan makanan masuk ke area pabrik atau membiarkan buruh ibu untuk mengambil istirahat di tengah-tengah jam kerja meskipun dengan cara ngomel. Sedangkan serikat, membantu mereka untuk dapat merebut hak-hak buruh perempuan yang diabaikan pabrik. Termasuk saat mereka terancam kehilangan pesangon ketika dipecat atau kehilangan upah ketika mereka mengambil cuti melahirkan.

Selain itu, jaringan pertemanan di pabrik sesama buruh memungkinkan dilakukannya penggalang dana solidaritas untuk meringankan beban buruh ibu yang terkena musibah. Saat pilihan-pilihan di atas tak tersedia, melawan sendirian adalah hal dapat mereka lakukan. Kebanyakan dari mereka akhirnya merelakan untuk tidak terlalu memaksa diri mencapai target. Seperti yang terjadi pada Ratmi, yang baginya si janin telah memberinya keberanian untuk mengatakan “tidak” bila perintah lembur datang, beristirahat bilamana dibutuhkan, dan ke toilet bila sudah saatnya.

Keberanian dan ketangguhan buruh ibu, dipercaya muncul dari keinginan yang kuat untuk melindungi janin dalam kandungan mereka dan bukanlah suatu hal yang heroik. Situasi ini menandakan bahwa sistem kerja di pabrik hingga detik ini belumlah ramah pada perempuan dengan berbagai potensi tubuh yang dimilikinya. Teman, pengawas yang simpati dan keberadaan serikat tidaklah cukup untuk menjamin dan melindung buruh ibu utamanya di saat hamil dan persalinan jika belum ada sistem kerja di pabrik yang menjamin keselamatan ibu dan janin. Demikianlah buku ini menawarkan pembaca suatu pengalaman intim mengenai penghayatan subyektif buruh ibu terkait kondisi kehamilan, persalinan dan membesarkan buah hatinya di masa pandemi, termasuk perjuangan dan perlawanan yang harus dilakukan demi melindungi buah hati mereka.