MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Berlomba ke Bawah: Persaingan Perusahaan Platform Pesan-Antar Makanan untuk Membayar Murah Pekerja Gig

Aksi May Day 2022 di Jakarta (LIPS document)

Kompetisi untuk mengupah pengemudi transportasi online semurah mungkin saat ini tengah berlangsung di Indonesia. Dalam kompetisi ini, pesertanya adalah perusahaan platform di layanan transportasi online, seperti Gojek, Grab, Shopee Food, Maxim, dan InDriver. Beberapa peneliti berpendapat bahwa persaingan antar perusahaan platform ini akan menciptakan keseimbangan harga yang disebut race to the middle” (berlomba ke tengah), dan dinilai sebagai hal yang positif.

Penilaian positif terhadap persaingan antar-perusahaan platform ini berakar pada gagasan ekonomi neoklasik tentang persaingan sempurna (perfect competition). Dalam kerangka teori ini, diasumsikan bahwa kompetisi yang didorong oleh hukum permintaan dan penawaran akan menciptakan titik keseimbangan harga barang, upah, dan keuntungan; sehingga akan menciptakan keuntungan bersama. Prasyarat agar persaingan sempurna berjalan, maka ada penekanan berbagai hal penting dari sudut pandang kebijakan. Prasyarat ini salah satunya adalah adanya sistem hukum yang kuat untuk mendukung operasi pasar ‘bebas’ dan meminimalisir intervensi negara, yang dianggap akan mendistorsi (mengganggu) harga pasar.

Namun, persaingan sempurna pada kenyataannya tidak pernah terjadi. Tentu saja, karena kapitalisme tidak pernah berlangsung harmonis seperti yang dibayangkan oleh kerangka ekonomi neoklasik. Realita telah menunjukkan hal sebaliknya, yaitu terjadinya persaingan tidak sempurna. Stiglitz, misalnya, melihat bahwa pasar mungkin gagal bekerja dengan sempurna karena adanya informasi yang tidak berimbang. Ekonom Marxis, Anwar Shaikh, memberikan pandangan yang sama sekali berbeda tentang persaingan. Baginya, yang terjadi dalam kapitalisme bukanlah persaingan sempurna, melainkan persaingan nyata (real competition). Dalam kerangka persaingan nyata ini, terjadi persaingan antar perusahaan untuk memangkas biaya produksi sehingga memungkinkan mereka untuk menurunkan harga komoditas di bawah harga para pesaingnya. Dengan harga yang lebih murah dibandingkan pesaingnya,

komoditas mereka cenderung lebih dipilih oleh konsumen. Artinya, persaingan adalah pertarungan untuk saling mengalahkan antar-berbagai perusahaan di pasar, yang mana seringkali mengarah pada terjadinya sentralisasi modal: yang kuat semakin kuat dan yang lemah akan tersingkir dari pasar.

Persaingan di usaha pengiriman makanan

Perusahaan platform yang bergerak di bidang layanan pesan-antar makanan mulai berkembang pesat di Indonesia pada tahun 2015. Dua pemain besar di sektor layanan pesan-antar makanan ini adalah Gojek dan Grab. Keduanya mengembangkan apa yang disebut dengan Super-apps, yaitu layanan yang terhubung dalam satu aplikasi, seperti layanan pesan-antar makanan, pengantaran penumpang, pengiriman barang, dompet digital, pembayaran digital, dan lainnya. Jumlah pengemudi yang diklasifikasikan sebagai kontraktor independen dengan mekanisme kerja gig di Gojek mencapai 2 juta orang pada 2022. Grab juga diperkirakan memiliki jumlah pengemudi yang sama.

Dalam layanan pesan-antar makanan di Indonesia, saat ini penentuan tarif untuk pengemudi diserahkan kepada mekanisme pasar. Hal ini disambut positif oleh perusahaan platform seperti Gojek, misalnya, yang mengapresiasi adanya fleksibilitas biaya tenaga kerja sehingga memberi ruang bagi mereka untuk berinovasi. Sementara itu, bagi pemerintah Indonesia, kebijakan yang membiarkan penetapan tarif pengantaran makanan ke mekanisme pasar sudah tepat, karena dianggap akan menciptakan keseimbangan harga yang menguntungkan, baik bagi pekerja gig maupun perusahaan platform, dan juga akan menjaga tingkat penyerapan tenaga kerja agar tetap tinggi.

Persaingan layanan pesan-antar makanan di Indonesia saat ini berlangsung ketat dengan masuknya tiga perusahaan platform baru: Maxim, Shopee Food, dan Traveloka Eats. Menurut laporan terbaru, Air Asia—perusahaan raksasa yang sebelumnya bergerak di bisnis penerbangan—juga berencana untuk berekspansi ke pasar layanan pesan-antar makanan Indonesia dengan Air Asia Food-nya.

Memang banyak perusahaan platform yang mengincar pasar layanan pesan-antar makanan di Indonesia, karena potensi keuntungan yang sangat besar di sana. Pendapatan di industri Pengiriman Makanan Online di Indonesia diproyeksikan mencapai US$1.136 juta pada tahun 2022. Pendapatan ini diharapkan dapat menunjukkan tren pertumbuhan tahunan (2022-2026) sebesar 9,33%, menghasilkan proyeksi volume pasar sebesar US$1.623 juta pada tahun 2026, dengan target 35,8 juta pengguna. Sejak pandemi COVID-19, bahkan terjadi peningkatan 183% penggunaan layanan pesan-antar makanan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Gojek sendiri pada pertengahan tahun 2021 mencatatkan total transaksi di layanan GoFood mencapai 50 juta transaksi/bulan.

Meskipun Gojek dan Grab hampir memonopoli layanan pesan-antar makanan di Indonesia, kini mereka memiliki pesaing baru yang kuat. Perusahaan rintisan tersebut adalah Shopee Food dan Traveloka Eat yang mana saat ini sedang melakukan strategi “bakar-bakar uang”. Secara umum, strategi bisnis “bakar-bakar uang” dilakukan dengan memberi banyak diskon kepada konsumen dan bayaran yang cukup tinggi kepada pengemudi (tarif dasar + insentif). Hal ini merupakan strategi bisnis yang juga telah dilakukan oleh Gojek dan Grab pada 2015-2019, dengan tujuan untuk memperluas pangsa pasar dan memperoleh lebih banyak pengemudi, hingga pada akhirnya meningkatkan valuasi perusahaan. Atau dalam bahasa sederhana, strategi bakar-bakar uang adalah strategi bisnis untuk merugi guna mendapatkan keuntungan di masa depan.

Berlomba ke Bawah

Bisnis di bidang jasa pengiriman makanan memiliki potensi keuntungan yang besar dibandingkan dengan jasa pengiriman barang atau pengantaran penumpang. Perusahaan platform yang sebenarnya hanya berperan sebagai “perantara”—penghubung antara konsumen dan pengemudi—meraup pendapatan dari potongan biaya pengiriman yang diterima oleh pengemudi (20%), potongan biaya untuk makanan yang dipesan ke restoran (20- 25%), dari “biaya pemesanan/platform” (Rp2.000 – Rp8.000), dan dari kapitalisasi data di platform mereka.

Sebagai gambaran, ketika konsumen memesan makanan seharga Rp60.000 dengan ongkos kirim Rp20.000 dan biaya platform Rp4.000, konsumen harus membayar Rp84.000. Dari total Rp84.000, dalam perhitungan normal, perusahaan platform mendapatkan 20% dari Rp60.000 yaitu Rp12.000 (restoran menerima Rp48.000), 20% dari Rp20.000 yaitu Rp4.000 (pengemudi menerima Rp16.000), dan semua biaya platform masuk ke perusahaan, yaitu Rp4.000. Dengan demikian, perusahaan platform mengambil total Rp20.000 dari 84.000, restoran mendapatkan Rp48.000, dan pengemudi hanya mendapatkan Rp16.000.

Dalam situasi persaingan, perusahaan platform tidak serta merta memotong persentase pendapatan mereka seperti yang digambarkan di atas, yang dipotong justru tarif pengiriman makanan, di mana 80%nya masuk ke kantong pengemudi. Dengan kata lain, pihak yang dikorbankan dalam adu penurunan biaya antar-perusahaan platform ini adalah pengemudi atau pekerja gig. Perusahaan memanfaatkan tidak adanya peraturan yang melindungi pekerja gig (pengemudi) dengan menurunkan bayaran ke tingkat yang serendah-rendahnya. Begitulah cara kerja persaingan di pasar bebas.

Persaingan untuk memangkas pendapatan pengemudi, dimulai ketika Gojek dan Grab saling bersaing untuk mengurangi insentif bagi pengemudi hingga hampir tidak ada insentif sama sekali di tahun 2020. Insentif ini, tidak termasuk dalam besaran tarif, diberikan kepada pengemudi ketika mencapai jumlah target penyelesaian pengiriman pesanan. Misalnya, jika pengemudi mampu mengantarkan 12 pesanan dalam 12 jam, mereka akan mendapatkan insentif sebesar Rp80.000. Setelah insentif dikurangi hingga hampir tidak ada, mereka kemudian menargetkan pemotongan tarif bagi pengemudi.

Gojek mulai menurunkan tarif bersih untuk pengemudi pada Oktober 2021, misalnya di kota Jakarta, dari Rp9.600 (0-4 km) menjadi Rp8.000 (0-4 km). Pada Februari 2022, pesaingnya, Grab, juga menurunkan tarif bersih yang masuk ke kantong pengemudi, dari Rp9.600 (0-4 km) menjadi Rp8.000 (0-4 km). Di Indonesia, pendapatan yang diterima pengemudi online hanya dari tarif dasar yang dihitung per km, tidak ada biaya waktu tunggu atau biaya pembatalan pesanan. Kedua perusahaan platform tersebut beralasan bahwa penurunan tarif kepada pengemudi merupakan upaya menarik konsumen untuk menggunakan layanan mereka. Pesan yang diberikan oleh perusahaan Grab kepada para pengemudinya adalah: “Penyesuaian tarif GrabFood ini agar semakin banyak orang yang menggunakan GrabFood sehingga Anda (pengemudi -ed) akan mendapat lebih banyak pesanan”.

Baik Gojek maupun Grab saat ini sedang bertarung melawan Shopee Food dan Traveloka Eats, yang saat ini sedang menjalankan strategi bakar-bakar uang. Sedangkan Maxim tidak mengikuti strategi menghambur-hamburkan uang, sehingga dari awal mereka mematok tarif rendah untuk pengemudi, yaitu Rp3.000 untuk 0-2 km. Persaingan antara perusahaan platform ini merupakan “perlombaan ke bawah (Race the bottom)”, di mana setiap perusahaan platform beradu menurunkan biaya upah pengemudi sebagai amunisi untuk bersaing dengan perusahaan lain.

Gambar 1: Pendapatan kotor Pengemudi Online Per Hari Tahun 2018 – 2020 (dalam Rupiah) di platform Gojek, Grab, dan Maxim

Catatan. Yang dimaksud dengan “sepeda motor” (motorcycle) adalah pengemudi yang menggunakan sepeda motor roda dua, dan bekerja di bidang pengantaran penumpang, pengantaran barang, dan pengantaran makanan. Sedangkan yang dimaksud dengan “mobil” (car) adalah pengemudi yang menggunakan mobil dan bekerja di jasa pengantaran penumpang. Survei dilakukan pada bulan Juni – Oktober 2020 di tiga provinsi di Indonesia: DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Bali (Sumber: Keban et al., 2020).
Catatan. Yang dimaksud dengan “sepeda motor” (motorcycle) adalah pengemudi yang menggunakan sepeda motor roda dua, dan bekerja di bidang pengantaran penumpang, pengantaran barang, dan pengantaran makanan. Sedangkan yang dimaksud dengan “mobil” (car) adalah pengemudi yang menggunakan mobil dan bekerja di jasa pengantaran penumpang. Survei dilakukan pada bulan Juni – Oktober 2020 di tiga provinsi di Indonesia: DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Bali (Sumber: Keban et al., 2020).

Berdasarkan penelitian yang saya lakukan dengan Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) di Universitas Gadjah Mada pada tahun 2020, menemukan bahwa sebelum penurunan tarif untuk pengemudi, ada tren penurunan pendapatan pengemudi online (lihat Gambar 1). Hal ini terjadi karena insentif bagi pengemudi mulai ditiadakan, sejak strategi bakar-bakar uang di Grab dan Gojek diakhiri. Penurunan pendapatan ini telah menciptakan kerentanan bagi pengemudi, karena mereka harus bekerja lebih keras dan lebih lama untuk mendapatkan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi kerja seperti itu meningkatkan potensi kecelakaan di jalan karena kelelahan dan menempatkan pengemudi pada posisi yang rentan.

Mengapa pengemudi dikorbankan?

Pengemudi di Indonesia berada dalam posisi tawar yang lemah karena dua alasan.

Pertama, ada kondisi struktural yang melemahkan posisi tawar driver online, seperti besarnya cadangan pekerja di Indonesia – atau jumlah pengangguran atau setengah menganggur dan pekerja informal dalam perekonomian. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah tenaga kerja informal di Indonesia pada Februari 2021 sebanyak 78,14 juta atau 59,62% dari total angkatan kerja produktif. Pekerja informal ini sering disebut sebagai pekerja rentan, karena jam kerjanya yang panjang, upah yang cenderung rendah dan tidak menentu, serta tidak adanya perlindungan sosial. Sementara itu, sektor formal Indonesia yang rapuh (upah jauh dari layak) dan keberadaan pasar tenaga kerja yang fleksibel telah menyebabkan pekerja informal dan formal saling berebut untuk mencari pekerjaan yang lebih baik.

Di tengah melimpahnya “tentara” cadangan pekerja, adalah mungkin bagi perusahaan platform untuk menurunkan pendapatan pengemudi dan mendepolitisasi kekuatan pengorganisasian pengemudi. Hal ini dimungkinkan karena banyaknya masyarakat yang mengantri untuk masuk ke industri jasa pesan-antar makanan, terutama di tengah PHK massal akibat pandemi COVID-19. Bagi pekerja formal, mereka menggunakan sektor jasa antar makanan sebagai pekerjaan sampingan, untuk memberikan penghasilan tambahan untuk mengimbangi rendahnya upah di sektor formal. Antrian pekerja yang panjang dan sedikitnya lapangan pekerjaan membuat para pekerja akhirnya terpaksa bekerja walaupun dengan upah sangat murah.

Kedua, tidak adanya organisasi pengemudi online atau pekerja Gig yang kuat berarti posisi tawar pekerja di hadapan perusahaan platform pun lemah. Tidak adanya organisasi pengemudi online yang kuat juga membuat para pengemudi tidak mampu memenangkan berbagai tuntutan, dan gerakan yang

dilakukan kebanyakan menggunakan strategiwildcat strike, yakni pemogokan dengan metode aksi yang dilakukan secara spontan, sporadis, tidak memiliki kepemimpinan, dan tidak terkait dengan serikat pekerja tradisional yang mapan, aksi ini cenderung tidak dapat mengubah kebijakan perusahaan platform.


Arif Novianto Peneliti Muda di Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) di Universitas Gadjah Mada, Indonesia. Akun twitter: @arifnovianto_id.

Tulisan ini sebelumnya telah diterbitkan di developingeconomics.org dalam format bahasa Inggris. Diterjemahkan oleh Irfan Pradana Putra, anggota Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (Pembebasan) ke bahasa Indonesia.