MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Ada Buruh yang Diperas di Perusahaan Start-up

Sebagian besar kelas menengah kota dimanjakan oleh dunia Digital. Seperti di Jakarta, Bandung, Semarang dan kota-kota besar lainnya. Bagaimana tidak, mau makan atau berbelanja saja, tak perlu susah payah mendatangi gerai dengan segala hiruk pikuk dan kemacetan di jalanan. Cukup dengan bermain jempol kanan di layar smartphone, makanan atau barang yang dipesan dari toko online akan diantar ke rumah oleh seorang kurir atau driver ojek online (Ojol) dengan senyuman ramah.

Karena cenderung memanjakan, dunia digital merealisasikan istilah ‘pembeli adalah raja’. Pembeli bisa memesan barang sembari rebahan dan menentukan seberapa lama barang yang dibeli diterima. Tak hanya itu, pembeli juga diberikan ‘kuasa’ untuk menilai layanan yang ia pilih. Penilaiannya pun berdampak pada nasib pekerja toko online, driver ojol dan kurir yang melayaninya.

Sebagai orang yang dibesarkan di kampung, saya terbiasa dengan mengerjakan sesuatu sendiri. Apalagi untuk kebutuhan pribadi. Jika saya bisa mengerjakannya sendiri, kenapa harus menyuruh orang lain? Apalagi untuk sekedar urusan makan. Di kampung, orang selalu tampak menarik ketika bisa melakukan banyak hal untuk kebutuhan hidupnya. Biasanya orang dengan multitalenta, dijadikan contoh ‘teladan’ di kampung. Apalagi jika orang tersebut masih single, biasanya akan dilirik sebagian orang tua sebagai menantu idaman.

Melihat apa yang terjadi hari ini di kota, banyak sekali hal yang berbeda dengan konsep yang saya terima dari kampung. Orang semacam saya, di kota malah seringkali dicap ‘gaptek’, tidak mengikuti perkembangan zaman, ndeso, dan lain sebaginya. Padahal ini soal tren ekonomi digital yang dengan mudah dan cepat merubah cara hidup orang.

Ngomong-ngomong soal ekonomi, tak hanya soal bagaimana orang bisa memenuhi kebutuhannya. Tapi juga soal bagaimana ekonomi itu bekerja menyediakan layanan-layanan kebutuhan manusia. Termasuk ekonomi digital yang sekarang menjadi trend di berbagai negara.

Pertanyaan pentingnya siapa pemain dalam ekonomi digital ini, bagaimana ekonomi digital ini bekereja dan bisa merubah pola konsumsi masyarakat? Sebagai aktivitas ekonomi, dalam ekonomi digital tentu ada orang yang bekerja di dalamnya. Lalu bagaimana perusahaan platform digital memperlakukan buruhnya?

Bisnis Baru Pemain Lama

Dalam banyak referensi, bisnis model baru ekonomi digital ini disebut dengan bisnis start-up alias bisnis rintisan. Disebut bisnis rintisan selain karena mengandalkan teknologi (internet) untuk pertumbuhan bisnisnya, juga menawarkan ide-ide baru yang dianggap solusi bagi masyarakat konsumen dan individual. Selain itu, Start-up membedakan dengan usaha kecil menegah. Jika usaha kecil menengah dianggap bisnis yang tidak memfokuskan usahanya menjadi besar dengan jangkauan pasar yang terbatas, sebaliknya, melalui teknologi, start-up mesyaratkan memiliki ‘ambisi’ untuk menjadikan bisnisnya menjadi besar dan memiliki jangkauan pasar yang lebih luas.

Dalam lima tahun terakhir, bisnis start-up mulai ramai, berbagai layanan mulai dari pendidikan, transportasi, online shop hingga menyediakan semua kebutuhan sehari-hari alias SuperApps. Di Indonesia, Grab dan Gojek adalah contoh superApps yang menyediakan layanan ride hailing. Saat ini, keduanya sudah masuk dalam kategori decacorn alias perusahaan kelas atas. Start-up Gojek asal Indonesia didirikan oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim. Sedangkan Grab didirikan oleh pengusaha asal Singapura, Antony Tan. Grab pertama kali dioperasikan di Malaysia. Perkembangan bisnisnya membawa kedua start-up ini menjadi perusahaan terbuka (Tbk). Di mana Gojek masuk di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Grab masuk dalam Nasdaq atau bursa saham Amerika khusus elektronik.

Bank asal Singapura, Softbank, memimpin pendanaan seri A dari Grab. Softbank juga mempertemukan dua pemain startup Gojek dan Tokopedia melalui pendanaan ke GoTo. Funding lain yang sama-sama menaruh uangnya ke dua raksasa ride hailing ini adalah East Ventures, perusahaan yang berisi komplotan investor yang telah mendanai 400 perusahaan start-up. Diantaranya, Tokopedia, Traveloka, Ruangguru, Sirclo dan Katadata.

Sejak 2017 perusahaan platform semacam Gojek dan Grab, sudah lebih dari sepuluh yang hadir di Indonesia. Seperti ShopeeFood, Nujek, Traveloka Eat, Shejek, Air Asia Food dan masih banyak lainnya. Sebagian orang menyebut bisnis ini adalah bisnis baru, bisnis rintisan, yang jauh berbeda dengan bisnis konvensional sebelumnya.

Namun, di balik ekonomi baru yang dimainkan Grab dan Gojek, ada pemain-pemain lama. Pemain yang menguasai industri manufaktur, perkebunan dan pertambangan. Gojek misalnya, diantaranya didanai oleh PT Astra Internasional, Mitsubishi Corporation, dan Temasek Holdings. Sementara Grab didanai oleh PT Djarum, Sinar mas, dan Temasek Holdings. Dengan demikian, meskipun jenis bisnisnya baru, tapi pemain di dua perusahaan platform terbesar di Indonesia ini adalah pemain lama yang menguasai pasar finansial.

Modal Menumpuk, Drivernya Terpuruk

Jika melihat dari pendanaan, secara tidak langsung Grab dan Gojek memiliki hubungan yang kuat. Tampaknya pendanaan ini yang menandai berakhirnya periode ‘bakar uang’ atau burn rate di kedua perusahaan start-up tersebut. Akibat yang ditimbulkan dari berakhirnya periode ‘bakar uang’ ini, skema bonus dan program promo gede-gedean di kedua start-up Gojek dan Grab hilang. Padahal skema bonus inilah yang menarik banyak orang bekerja sebagai driver ojol. Dari sisi konsumen atau pengguna aplikasi berakhirnya periode bakar uang ditandai dengan berkurangnya diskon untuk custumer. Seperti voucer, potongan harga, hingga gratis ongkos kirim sudah tak sebesar dan semasif sebelumnya.

Strategi ‘bakar uang’ menjadi ciri khas dari bisnis start-up. Tujuannya selain untuk memperluas dan mencuri perhatian pasar sebagai valuasi perusahaan dalam periode tertntu, juga untuk menciptakan loyalitas konsumen, dengan saling berlomba menurunkan harga semurah mungkin untuk dapat merebut pasar diantar para pemain start-up.

Periode ‘bakar uang’ ini tergantung sumber modal. Ada yang sumber modalnya organik alias kecil, ada juga yang dari awal disuntik dengan modal besar-besaran. Ada yang terburu-buru ingin dapat untung, ada pula yang rela merugi dahulu demi keuntungan yang lebih besar di kemudian hari. Kita bisa menerka lama periode berakhirnya bakar uang Gojek dan Grab kurang lebih antara 5 sampai 6 tahun atau ketika pandemi covid-19 melanda Indonesia. Akan tetapi hilangnya skema bonus untuk driver, berkurangnya diskon untuk custumer dan segala macam tawaran promo yang menggiurkan dari Gojek dan Grab bukan sepenuhnya karena pandemi, tapi lebih kepada berakhirnya periode ‘bakar uang’ dan pasarnya sudah tumbuh dan meluas.

Hilangnya skema bonus, tentu saja berdampak pada pendapatan driver ojol. Jika sebelumnya pendapatan seorang driver ojol tinggi, pasca berakhirnya periode ‘bakar uang’ pendapatan mereka terjun bebas.

Sebelum pandemi, ketika periode ‘bakar uang’ belum berakhir saya masih sering mendengar cerita orang naik Gojek atau Grab dengan hanya membayar seribu rupiah. Juga saya tak pernah mendengar keluhan dari driver tentang pendapatannya. Justru sebaliknya, meski tariff yang dibayarkan penumpang sangat murah tapi penghasilan driver Gojek atau Grab saat itu jauh lebih besar ketimbang buruh pabrik. Beberapa driver menyatakan pendapatan mereka sebelum pandemi sekurang-kurangnya Rp.300 ribu hingga Rp.500 ribu setiap harinya.

Berbeda dengan sekarang, setelah periode ‘bakar uang’ berakhir, para driver banyak mengeluh tentang pendapatannya yang terus acak-acakan. Untuk mendapatkan uang Rp.100 ribu per hari saja para driver ojol harus bekerja dari pagi hingga malam. Turunnya pendapatan tersebut menurut mereka karena skema bonus dihapus oleh aplikator. Diganti dengan skema pendapatan yang  mensyaratkan kerja lebih panjang dengan pendapatan yang minim dan tanpa jaminan apapun.

Dari sisi konsumen, tariff pun mulai kembali normal alias lebih mahal dari sebelumnya. Meski demikian periode bakar uang telah membuat konsumen menjadi ketergantungan dengan layanan dari Gojek dan Grab. Apalagi konsumen seolah dimanjakan dan diberikan ‘kuasa’ untuk menilai driver. Sehingga, banyak para konsumen menggunakan ‘kuasa’ nya ketika layanan yang ia terima tidak memuaskan. Dan tentu saja ditujukan ke drivernya, bukan ke pihak aplikator.

Korporasi Perusak Lingkungan di Perusahaan Platform

Turunnya pendapatan driver ojol direspon dengan aksi protes yang dilakukan driver ojol menuntut dikembalikannya skema bonus seperti sebelumnya. Aksi protes tidak ditanggapi dengan baik oleh aplikator, dengan dalih pandemi dan hubungan kemitraan, protes driver ojol makin tak didengar.

Di tengah aksi protes yang terus meningkat setiap tahunnya, pihak aplikator malah sibuk dengan isu tentang bisnis motor listrik yang mulai diuji coba di Grab dengan cara menyewakan kepada para driver. Isu ini beriringan dengan momentum rencana Konfrensi Tingkat Tinggi negara-negara G20 tahun ini di Indonesia. Salah satu isu yang diusung di G20 adalah transisi energi melalui percepatan pengembangan ekosistem kendaraan listrik.

Menyambut G20, Grab menyatakan mendukung isu lingkungan yang ditargetkan pada 2030 zero emisi melalui penggunaan motor listrik. Hal yang agak aneh, ketika Grab mendukung kelestarian lingkungan, Grab menerima suntikan dana dari perusahaan pertambangan emas di Martabe yang jelas-jelas adalah perusak lingkungan. Dukungan yang sama juga dinyatakan oleh platform aplikasi karya anak bangsa, Gojek. Dukungan Gojek ditandai dengan kerjasama antara Gojek dan TBS Energi Utama melalui perusahaan patungan Electrum. Diketahui TBS Energi utama merupakan perusahaan tambang batubara, kelapa sawit dan listrik PLTU yang juga salah satu korporasi perusak lingkungan. Grab dan Gojek menyatakan mendukung pelestarian lingkungan tapi dibaliknya berdiri perusahaan perusak lingkungan. Lalu bagimana kita bisa percaya dengan Grab dan Gojek ketika ngemeng soal lingkungan?

Menunda Keuntungan, Menghisap Kemudian

Di tahun-tahun awal, kehadiran Gojek dan Grab dengan ‘strategi bakar’ uangnya seolah-olah membantu perekonomian masyarakat. Padahal, ‘bakar uang’ tersebut adalah bagian dari strategi bisnis. Namanya juga strategi bisnis, sudah tentu tujuan utamanya adalah bagaimana meraih pasar yang menguntungkan untuk bisnisnya. Alih-alih ‘bakar uang’, sebenarnya Gojek dan Grab sedang menunda keuntungan yang lebih besar. Keuntungan besar tentu saja beriringan dengan pemerasan dan eksploitasi yang besar pula.

Benar saja, di tengah situasi pendapatan driver Gojek dan Grab yang makin hancur, Gojek dan Grab malah mendapatkan suntikan dana dari para investor di pasar saham. Gojek masuk BEI pada 11 April 2022, sementara Grab masuk di pasar saham Nasdaq pada 2021 ketika pandemi covid 19 sedang berada pada puncak krisis. Di bursa saham, Gojek dan Grab menawarkan para investor ketergantungan pasar dan keuntungan yang menjanjikan dari valuasi yang ia ciptakan selama periode ‘bakar uang’. 

Sementara yang dialami para driver, mereka kehilangan bonus yang selama ini menjadi andalan pendapatan. Menurut para driver ojol, pendapatan mereka besar karena bonusnya lebih besar ketimbang tariff. Ketika bonus hilang, mereka hanya mengandalkan tariff yang kecil dan malah mengalami penurunan dari yang awalnya Rp.8000 per kilo meter berkurang menjadi Rp.7.200 per kilo meter. Tak hanya itu, pemecatan (PM-Putus Mitra) driver pun secara besar-besaran dan dilakukan secara serampangan. Pemecatan yang dimaksud adalah dengan cara menonaktifkan sepihak akun driver secara permanen oleh perusahaan platform tersebut.

Ditengarai pemecatan atau PM secara besar-besaran driver ojol pada 2021 ditujukan untuk memperbaiki sistem kontrol mereka terhadap driver. Akun menjadi sarana kerja sekaligus alat kontrol aplikator terhadap driver. Melalui akun, aplikator dapat memerintahkan driver untuk menjalankan order dari konsumen, setiap order aplikator memotong 20 persen hingga 25 persen. Melalui akun pula aplikator dapat ‘menghukum’ jika driver melakukan kesalahan, seperti ‘menganyepkan’ akun atau mendelay order, mensuspend atau menonaktifkan sementara akun, hingga menonaktifkan akun atau putus mitra.

Salah satu bentuk kontrol dari kerja driver baik pada Gojek maupun Grab adalah dengan membagi jenis atau level akun. Di platform Gojek misalnya, akun dibagi menjadi empat, basic, silver dan platinum. Level tertinggi adalah platinum. Level-level ini selain untuk membedakan driver yang rajin dengan yang malas, juga sebagai cara memacu driver agar terus bekerja lebih banyak dengan memberikan sejumlah target dan capaian yang diinginkan oleh pihak aplikator. Makin tinggi level akun, makin tinggi pula target yang harus diselesaikan. Level-level akun ini ditentukan dari point, performa, serta rating.

Point adalah jumlah penyelesaian order yang menjadi target per bulan. Makin tinggi level akun makin tinggi pula target point per bulannya. Selanjutnya performa adalah perhitungan dari jumlah order yang diterima oleh driver. Malalui performa driver ojol dituntut harus menerima order yang diberikan oleh aplikator, kapan pun, kemana pun dan dalam situasi apapun. Jika menolak akan dihukum. Bentuk hukumannya men-delay 10 hingga 30 menit order alias ‘digaguin’ hingga benar-benar tak diberikan order sama sekali atau ‘anyep’.

Terakhir, Rating, yang merupakan penilaian dari konsumen ke driver Gojek. Rating ini yang membuat banyak perselisihan antara driver dan konsumen lantaran konsumen memberikan penilaian yang buruk kepada driver ojol. Beberapa kasus terjadi karena kesalahan teknis, misalkan karena order makanan yang tak sesuai dengan yang dipesan konsumen. Padahal soal makanan bukan tugas dari driver, melainkan resto yang bekerja sama dengan Gojek, tapi karena yang mengantarkan pesanan adalah driver konsumen, penilaian pun jatuh ke driver.

Cerita lain driver ojol yang salah mengirimkan makanan lantaran maps kurang akurat membuat waktu penghantaran makanan menjadi lama dan berujung pada penilaian konsumen yang buruk. penilaian buruk dari konsumen tak jarang berdampak pada di-suspend-nya akun driver oleh aplikator, sehingga driver tidak dapat bekerja selama beberapa hari karena tak diberikan order oleh aplikator. Rating ini merupakan bentuk kontrol aplikator terhadap driver yang diberikan kepada konsumen. Alih-alih merealisasikan ‘pembeli adalah raja’ sebenarnya aplikator menjadikan konsumen sebagai alat kontrol driver secara langsung. Dengan membangun asumsi penilaian buruk dari konsumen akan berpengaruh pada kelancaran order dan performa dari driver yang akhirnya bermuara pada terganggunya pendapatan, terganggunya hidup driver beserta keluarganya.

Dari Rente Hingga Ekspoitasi

Peran perusahaan platform digital sebagaimana Gojek dan Grab menurut pendapat banyak orang sebagai penghubung antara driver dan konsumen. Di mana pihak aplikator menarik rente dari setiap transaksi antara penumpang dan driver. Biaya rente tersebut  sebagai biaya jasa aplikasi.

Suatu waktu teman saya memesan makanan melalui layanan Gofood. Makanan yang dipesan berikut jasa penghantaran seharga Rp.28.000. Padalah jika memesan langsung ke gerai hanya Rp.9.500. Saya pun iseng mencari tau kenapa bisa lebih mahal. Berikut ini adalah rincian komponen harganya:

Simulasi Keuntungan Aplikator

Dari rincian transaksi di atas, sangat jelas aplikator mendapatkan lebih banyak ketimbang driver. Aplikator mendapatkan Rp.9000, sementara driver hanya mendapatkan Rp.8000, itupun harus dipotong lagi untuk biaya parkir sebesar Rp.2000  dan resiko yang dialami driver lebih besar. Seperti kecelakaan, diomelin konsumen atau mengganti uang pemesanan makanan jika terjadi kesalahan. Belum lagi jika penilaian buruk yang dilakukan konsumen dapat berpengaruh pada nasib driver.

Rincian tersebut membawa saya ingin tahu lebih jauh berapa penghasilan Gojek jika memiliki driver 2 juta orang. Katakanlah rata-rata order dalam sehari 1 juta order, dengan uang yang didapat aplikator sebesar Rp.9000 untuk setiap transaksi. Setelah saya menghitung di kalkulator, 9000 x 1.000.000 hasilnya tak dapat saya baca, layar kalkulator hanya menunjukkan angka 9e9, yang menunjukkan angka miliaran. Nilai itu hanya dari satu layanan aplikasi food saja dan nilai transaksi yang kecil dalam sehari. Bayangkan jika dalam sehari 2 juta driver Gojek tersebut dipaksa oleh berbagai skema kontrol yang mengatasnamakan algoritma menjalankan order setiap harinya, dengan rata-rata order 6 sampai 10 pesanan. Dapat dipastikan ini bukan sekedar ekonomi rente, tapi juga mengandung hubungan kerja yang super eksploitatif. Sementara jika hubungan kerja bersifat eksploitatif hanya ada pada hubungan perburuhan bukan mitra!!!