MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Buruh Sawit: Melawan Kendali?!

Sekilas, saat awal tiba di Perkebunan Sawit Sarana, Kalimantan Tengah, pemukiman buruh nampak seperti perkampungan; terdapat rumah berderet, lapangan, mesin ATM, warung, klinik, mesjid, gereja, dan lainnya . Hanya sekilas. Persoalan demi persoalan  lalu bermunculan setelah sekian lama tinggal di pemukiman buruh ini: mandi air keruh, listrik mati setiap jam 11 malam, jauh dari jalan raya dan perkampungan lainnya. Serikat buruh pernah menuntut air bersih dan listrik bisa nyala sepanjang malam, tapi tidak digubris oleh perusahaan. Kalau pun bisa, perusahaan meminta biaya tambahan dengan potong gaji. Buruh tidak sanggup, karena upahnya pas-pasan. Ini pemukiman yang terisolasi; berada dalam kendali perusahaan.

**

Masalah Harian, Hutang, dan Kabur

Masalah makan pun cukup rumit. Kalau tidak masak sendiri, satu-satunya pilihan hanya membeli mie ayam di warung dekat lapangan–pedagang mie ayam yang menyewa tempat ke koperasi perusahaan.  Kalo masak sendiri, buruh perlu melengkapi peralatan masak dan bahan-bahan sembako dengan membelinya dari koperasi perusahaan; boleh berhutang, tapi dicicil dengan dipotong upah. Hutang merupakan salah satu masalah  yang banyak menimpa buruh sawit.  Maklum, mayoritas buruh berasal dari seberang pulau  timur Indonesia, dan hanya difasilitasi dengan kamar kosong ; terserah mencari cara bertahan hidup sendiri atau berhutang ke koperasi perusahaan.

Kebanyakan buruh tidak betah tinggal di perkebunan sawit Sarana. Seorang buruh panen bercerita bahwa dia bersama 22 orang sekampung di Nusa Tenggara Timur (NTT) diajak “orang perusahaan” untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan Sarana pada tahun 2016, tapi hanya dia dan istrinya saja yang bertahan, sedangkan orang-orang sekampung lainnya tidak bertahan lama, memilih pulang kampung atau mencari  pekerjaan lain, di tempat lain. Seorang buruh jangkos bercerita bahwa dia bersama sekitar 100-an buruh sawit di Malaysia diajak untuk pindah ke perkebunan sawit Sarana pada tahun 2017, tapi yang bertahan hingga saat ini hanya 6 keluarga.

Di masa awal masuk kerja di perkebunan sawit, buruh mengalami ujian berat: ketika masih beradaptasi sebagai buruh perkebunan dan rentan mengalami kecelakaan kerja, buruh dituntut menemukan solusi subsistensi. Namun apa daya, mata pencaharian di kampung asalnya tidak menentu, gagal panen, dagang rugi, sulit dapat kerjaan, pendapatan terlalu kecil, dan sebagainya.

Agar dapat bertahan di perkebunan sawit, beberapa cara dilakukan buruh untuk menekan biaya hidup keluarganya. Misalnya, mencari jamur yang tumbuh di tumpukan jangkos (janjang kosong atau tandan yang sudah diambil buah sawitnya), mancing di anak sungai yang lumayan jauh, membuat pekarangan dan beternak ayam atau bebek di lahan terbatas belakang pemukiman. Meski demikian, tak hanya sangat terbatas, berbagai kendala dan tantangan juga  sering ditemui. Pernah beberapa buruh membuat pekarangan di sekitar jalan masuk ke pemukiman, tetapi pihak perusahaan menggusurnya. Nampaknya, buruh hanya bisa membuat pekarangan yang tersembunyi dari pihak perusahaan dan tentu saja tidak menggangu pohon sawit. Di pekarangan buruh, beberapa kandang ayam kosong. Kata seorang buruh, tahun lalu banyak ayam dan bebek mati karena terkena penyakit. Yang paling memungkinkan bagi buruh untuk bertahan setiap hari mereka berburu  jamur di sela-sela tumpukan janjang kosong.

Tak heran, hutang menjadi pilihan buruh untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Seorang anggota serikat buruh membenarkan bahwa banyak buruh yang tidak bertahan lama di perkebunan sawit karena terjerat hutang, bahkan beberapa pengurus serikat  buruh pun memilih kabur karena tidak bisa membayar hutang. Ketika kabur, tentu  saja tidak ada pesangon yang didapatkannya. Sementara perusahaan tidak sulit mencari penggantinya. Cerita tentang buruh yang datang dan pergi di perkebunan sawit sudah menjadi hal yang biasa.

**

Sistem Penghisapan, Kontrol Kerja, dan Resistensi

Masa awal kerja di perkebunan sawit merupakan ujian yang sangat berat bagi buruh. Selain tidak ada jaminan untuk memenuhi kebutuhan harian, buruh juga masih dalam proses mempelajari teknik-teknik dan aturan-aturan yang dibutuhkan untuk pekerjaanya. Misalnya, panen dan pruning memiliki teknik tersendiri agar tidak mengalami kecelakaan kerja, belum lagi soal aturan-aturan manajemen yang perlu dipenuhi agar tidak terkena denda karena dianggap salah dalam bekekerja. Kecelakaan kerja sering menimpa buruh di masa awal bekerja di perkebunan sawit. Begitu pula bagian kerja lainnya, teknik dan aturan perlu dikuasai terlebih dahulu untuk bisa bertahan dan memenuhi target yang ditetapkan manajemen perusahaan. Anehnya, saat buruh sudah menguasai teknik-teknik di bidang kerjanya, aturan penghitungan target dapat diganti sepihak oleh perusahaan. “Kemarin dihitung per pokok, padahal udah nyaman, ini malah diganti jadi per karung targetnya. Aturannya diubah-ubah, tambah berat,” ungkap seorang buruh jangkos. Nampaknya, perusahaan tidak mau buruh bekerja santai, pengaturan target pun diganti dan ditingkatkan. 

Sistem pencapaian target dan aturan-aturannya sangat berat bagi buruh, apalagi di musim hujan. Buruh tidak selalu memaksakan diri untuk mencapai target setiap hari, terutama saat kondisi tubuhnya kurang sehat. Namun, saat kondisi tubuhnya sedang bugar, buruh akan berupaya melampaui target, untuk tambahan, meski tanpa ada perhitungan premi atau lembur. Bahkan, kecurangan perhitungan manajemen kerap ditemui oleh buruh. Misalnya, hasil panen yang dikumpulkan ke gudang sering lebih banyak ketimbang yang ditimbang dan dihitung oleh pihak manajemen per bulannya. Alasan manajemen, banyak buah restan atau busuk. “Padahal itu karena kelamaan disimpan digudang, makanya banyak yang busuk,”  ungkap pemanen. Nampaknya, manajemen perusahaan selalu punya cara untuk menekan pembayaran buat buruh. “Buruh paham loh, gak bodoh. Perusahaan kalau dituruti, makin nginjak-nginjak,” ungkap seorang buruh panen dengan nada gusar.

Dengan demikian, sistem penghisapan dibentuk dalam dua sisi: di satu sisi aturan-aturan terkait teknik-teknik kerja diberlakukan secara ketat melalui penerapan denda untuk memaksimalkan produktifitas sawit, namun di sisi lain pengaturan target produksi dan pembayaran buruh dibentuk lebih longgar melalui penetapan target harian yang punya kecenderung digonta-diganti pengaturan sekaligus denda-dendanya untuk memaksa buruh bekerja lebih keras sembari menekan pembayaran upah dengan ragam alasan yang tidak bisa dipahami oleh buruh. Buruh-buruh sawit nampaknya sudah menyadari kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Namun, kondisi dan posisi mereka lemah saat berhadapan dengan pihak perusahaan. Perlawanan-perlawanan buruh sawit masih tersembunyi dalam percakapan harian. Buruh-buruh sawit kebingungan bagaimana caranya melawan kendali perusahaan. Potensi-potensi perlawanan itu sering muncul dalam percakapan sehari-hari namun punya kecenderungan tergerus kembali dalam rutinitas kerja untuk tetap bertahan hidup.