MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Pengadilan Bukan Jalan Membahagiakan Buruh

Pengadilan itu untuk memperjuangkan keadilan bagi setiap warga negara, termasuk buruh di dalamnya. Tapi, perjuangan keadilan melalui pengadilan (dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial) bukanlah jalan membahagiakan bagi kaum buruh.

Beberapa waktu lalu, saya mencoba inteview buruh secara acak dari beberapa perusahaan di beberapa Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Baik yang sedang berproses di PHI -Pengadilan Tingkat Pertama-, maupun yang sedang berproses di Kasasi Mahkamah Agung, serta yang sudah diputus kasusnya dan tidak ada lagi upaya hukum.

Sampel atau orang yang saya wawancara memang tidak terlalu banyak, hanya 12 orang dari 8 perusahaan yang berbeda. Hampir semua buruh yang saya wawancarai mengajukan gugatan ke PHI terkait perselisihan hak, yakni terkait soal Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK dan Pesangon.

Dari 12 orang yang saya wawancarai, 7 orang dari 5 perusahaan kasusnya telah diputus inkracht oleh pengadilan, sedangkan sisanya masih berproses di pengadilan. Bahkan ada 3 orang yang diwawancara, menyatakan kasusnya sudah hampir 4 tahun belum jelas, karena perusahaannya pailit dan sedang menunggu proses lelang aset yang tidak kunjung usai.

Ada cerita pilu yang terungkap saat saya mewawancarai mereka secara informal. Di mana ada beberapa temannya sesama buruh yang ikut berperkara di pengadilan, ada yang sudah meninggal dunia, ada yang sudah bercerai karena masalah ekonomi karena suami tidak lagi punya penghasilan, ada juga yang terbaring sakit, bahkan tidak sedikit yang akhirnya mengalah menerima tawaran pesangon perusahaan yang nilainya jauh dari aturan yang ditentukan.

Bukannya untung, ada sebagian diantara mereka malah menjadi semakin terbebani hidupnya karena harus hutang kanan-kiri hanya untuk biaya bolak-balik ke pengadilan. Baik hanya sekedar ikut diajak oleh serikat pekerja atau serikat buruh yang jadi kuasa, maupun untuk ongkos atau biaya sekedar ikut ajakan aksi-aksi solidaritas terkait kasusnya yang diperkarakan.

Ketika sudah diputus pun tidak serta merta pekerja atau buruh mendapatkan apa yang sudah diputuskan pengadilan tapi harus bersabar lagi menunggu proses berikutnya sampai proses eksekusi yang dilakukan pengadilan. Semua proses itu bukan waktu yang sebentar, tapi memerlukan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit.

Agak mending jika pihak pengusahanya kooperatif, mau langsung menjalankan putusan pengadilan. Tapi kebanyakan pengusaha selalu mencari cara untuk menghindar atau memperlama menjalankan putusan pengadilan melalui berbagai cara, baik melalui upaya hukum maupun di luar upaya hukum.

Kebetulan ada 3 orang dari 2 perusahaan yang berbeda yang saya wawancarai kasusnya sudah selesai dan hasil putusan pengadilannya sesuai dengan tuntutan pihak pekerja atau buruh, yaitu mewajibkan perusahaan membayar pesangon pekerja atau buruhnya dengan 2 kali ketentuan Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003.

Pada kasus perusahaan pertama, buruhnya sampai saat ini masih belum dibayarkan oleh pengusaha, bahkan pengusaha berusaha mempengaruhi buruh tersebut agar menerima besaran pesangon di bawah nilai yang diputuskan pengadilan, dan ada juga buruh yang akhirnya menerima tawaran perusahaan yang lebih rendah tersebut karena sudah tidak sabar dan terdesak kebutuhan ekonomi.

Sementara kasus pada perusahaan kedua perusahaan telah membayarkan hak buruh sesuai putusan pengadilan.

Pada saat diwawancara lebih lanjut dengan metode bertanya yang lebih detil, buruh yang sudah menerima pesangon sesuai putusan pengadilan tersebut berkeluh kesah bahwa uang yang diterima hanya sedikit saja yang bisa ditabung dan dijadikan cadangan untuk biaya hidup selama tidak bekerja. Sisanya, habis untuk membayar hutang kanan kiri. Baik untuk ongkos-ongkos ketika proses mengurus kasus, maupun kebutuhan lain karena selama berproses di pengadilan mereka sudah tidak tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan.

Berangkat dari sekilas hasil wawancara di atas, setidaknya bisa disimpulkan Bahwa ketika buruh berperkara di Pengadilan Hubungan Industrial, jangankan kalah, menang sekalipun tetap saja buruh rugi. Rugi waktu, rugi biaya dan kerugian lainnya. Artinya, saat menang di pengadilan pun, ujungnya apa yang diterima tetap rugi secara ekonomi maupun sosial.

Dari pengalaman tersebut, jelas bahwa pengadilan bukanlah hal yang membahagiakan bagi buruh untuk memperjuangkan keadilan.

Barangkali, menyelesaikan perselisihan pada tingkat perundingan bipartit dengan meningkatkan kemampuan negosiasi, bisa dijadikan pilihan yang ideal dan memberikan bargaining atau posisi tawar yang lebih baik bagi buruh, diantara pilihan-pilihan lain yang tersedia, berdasarkan koridor hukum yang tersedia. Walaupun sangat disadari, tidak semua kasus dan tidak semua kondisi perusahaan bisa dan mau menyelesaikan kasus perselisihan pada tingkat bipartit.

Bahkan, ada juga, pengusaha yang inisiatif atau bahkan senang ketika pihak buruh mengajak berperkara ke pengadilan, karena dianggapnya bisa melokalisir kasus tanpa harus mengganggu kondusifitas perusahaan atau memang dianggap sebagai bagian dari strategi untuk menghindar atau mengulur-ulur waktu memenuhi kewajiban normatif terhadap pekerja atau buruh.

Begitupun dari sudut buruh dan serikat, tidak semua buruh dan serikat mempunyai kemampuan sosial dialog dan punya daya tahan untuk menyelesaikan perselisihan pada tingkat bipartit dengan baik.

Memang tidak adil, hanya untuk memperoleh hak normatifnya yang sudah diatur jelas oleh undang-undang buruh harus berjibaku di pengadilan. Karena semestinya, hak normatif itu bukan untuk diperselisihkan, tapi harus dijalankan pengusaha, sebagai kewajiban yang sudah digariskan oleh hukum atau undang-undang.

Negara mestinya belajar dari ketaatan warga negara dan termasuk buruh di dalamnya ketika harus menjalankan kewajiban membayar pajak. Mereka atau warga negara dengan tanpa syarat dipaksa untuk membayar pajak tanpa harus memperselisihkan terlebih dahulu terkait adanya kewajiban atau tidaknya membayar pajak beserta jumlah atau besaran pajak yang dibayarkan, karena sudah diatur dalam undang-undang.

Ke depan, dalam pemenuhan hak normatif pekerja atau buruh, karena aturannya sudah jelas diatur dalam undang-undang yang dibuat negara, mestinya harus ada intervensi negara untuk memastikan pemenuhan hak normatif buruh, bukan malah dilempar pada pertarungan pasar bebas baik di dalam pengadilan maupun diluar pengadilan.

Berangkat dari kondisi di atas, nampaknya kita harus mulai memikirkan perlu tidaknya Jaminan pesangon yang dibayarkan pengusaha, yang terpisah dari program jaminan pensiun yang sudah berlaku selama ini.

Bersambung..

Penulis

Mochamad Popon
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI