Hingga 2021, total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 15,08 juta hektar (ha). Sekitar 8,42 Juta ha (55,8%) dari total luas tersebut dikuasai oleh perusahaan-perusahaan swasta skala besar. Sisanya, 6,08 Juta ha (40,34%) merupakan perkebunan rakyat; dan hanya 579,6 ribu ha saja (3,84%) yang dimiliki oleh Perkebunan Besar Negara (Katadata Online, 31/01/2022).
Lahan seluas di atas digarap tak kurang dari 2.511 perusahaan sawit swasta dan negara, yang mempekerjakan 4.498.453 orang buruh. Kemudian, sekitar 60% buruhnya adalah buruh perempuan dan sebagian besar mereka bekerja pada bagian perawatan. Perawatan pohon sawit merupakan pekerjaan penting. Tanpa buruh bagian perawatan, perusahaan perkebunan sawit mustahil mengeruk keuntungan.
Buruh yang merawat kebun sawit tidak hanya dikenai beban kerja yang tinggi. Sehari-hari mereka juga diharuskan bekerja dengan beragam bahan-bahan kimia dalam jumlah besar. Melalui wawancara dengan beberapa buruh perempuan yang bekerja di perkebunan sawit, tulisan ini hendak memotret bagaimana kondisi kerja buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
***
Jingga: Risiko kerja, tanggung sendiri
Salah satu buruh perempuan yang ditemui, Jingga (36 tahun) adalah ibu dari dua orang anak. Jingga bekerja PT XX, perusahaan kelapa sawit yang membuka perkebunan di kampungnya, di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Suami Jingga pernah bekerja di kebun sawit, tapi berhenti sejak empat tahun yang lalu, dan sekarang membuat gula merah dari kelapa yang dipetik dari kebun milik keluarga.
Jingga mulai bekerja sejak 2014, saat perusahaan membutuhkan banyak buruh untuk menebas hutan dan membuka lahan perkebunan. Saat itu, untuk bekerja di PT XX cukup mudah. Hanya perlu mendatangi mandor untuk menyatakan kesediaan. Tidak ada syarat apapun bagi buruh yang ingin bekerja menebas hutan. Setelah mendapat penjelasan dari mandor tentang pekerjaan dan upah yang akan diterima, Jingga langsung dipekerjakan hari itu juga.
Keadaannya sekarang sudah berbeda. Calon buruh diharuskan mengisi formulir dan perusahaan sudah menetapkan penempatan calon buruhnya. Memang tidak ada syarat apapun, kecuali untuk jabatan mandor dan kerani.
Sesudah bekerja beberapa lama menebas hutan dan menanam benih, Jingga tetap dipekerjakan oleh perusahaan. Ia ditempatkan di bagian perawatan, tetap sebagai buruh harian lepas, meskipun sudah delapan tahun bekerja. Menurut Jingga, buruh di bagian perawatan, sebagian besar adalah perempuan, dan hampir semuanya buruh harian lepas. Sementara buruh laki-laki bekerja di bagian panen.
Kalau di sini yang SKU (Syarat Kerja Utama) hanya pemanen dan pekerjanya kebanyakan didatangkan dari luar Kalbar, Lombok”
Jingga,
Di bagian perawatan, Jingga bekerja sebagai chemist (penyemprot hama). Pekerjaannya berat, target kerjanya tinggi. Selain itu, berbahaya. Setiap hari ia harus berhadapan dengan berbagai bahan kimia yang terkandung dalam racun pembasmi hama tanaman atau herbisida. Setiap hari Jingga harus berjalan mengelilingi kebun seluas 2 hektar, sambil menggendong tangki bahan kimia di punggung. Pekerjaan menyemprotkan herbisida ke rumput yang tumbuh di sekitar pohon sawit mengharuskannya menyusuri blok demi blok kebun sawit.
Jika sedang tak beruntung, saat angin bertiup kencang, cairan herbisida bisa saja berbalik arah mengenai tubuhnya dan terhirup masuk saluran pernafasan. Meskipun sudah melindungi diri dengan masker, uap herbisida tetap terhirup. Ia sering mengeluh pusing dan mual. Menurut Jingga, bahkan ada temannya yang meninggal sesudah terpapar racun.
Karena target yang tinggi, pekerjaan buruh penyemprot seakan tak ada habis-habisnya. Jika di tengah pekerjaan ada buruh yang sakit, mandor gemar mempersulit buruh untuk mendapatkan ijin untuk beristirahat atau berobat ke klinik. Mandor sering mencurigai buruh hanya mengada-ngada alasan, berbohong, atau hanya sakit sepele. Kalau buruhnya sudah kepayahan sampai pingsan atau terjatuh, barulah mandor mengijinkan buruh beristirahat. Jika sakit, surat ijin berobat biasanya sulit diperoleh. Tambahan lagi, biaya pengobatan di puskesmas semuanya ditanggung sendiri. Padahal, setiap bulan upah buruh sudah dipotong untuk pembayaran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
Setelah dua tahun bekerja di bagian penyemprotan, Jingga dipindahkan ke bagian Pengendalian Hama Tanaman (HPT). Beban kerjanya sama berat. Menurut jingga, di perkebunan sawit tidak ada pekerjaan yang ringan. Bertugas memeriksa setiap pohon, ia harus berjalan kaki memasuki setiap lorong pepohonan sawit seluas 10 hektar. Ada kalanya ia lakukan sendiri, tapi biasanya bersama dua atau tiga temannya, karena lorong-lorong kebun sawit yang sepi membuatnya takut. Lagi pula, di kebun sawit binatang liar seperti ular banyak berkeliaran.
Tidak seperti bagian chemist dan pemupukan, alat kerja di bagian HPT tidak banyak dan lebih ringan dijinjing. Buruh HPT hanya perlu membawa arit untuk menebas, kuas, cat dan kertas untuk mencatat. Berkeliling kebun dengan mengenakan sepatu boot dan sarung tangan plastik, Jingga akan menandai pohon yang terjangkit hama dengan cat merah. Kemudian, pohon yang terserang hama ditaburi belerang agar jamurnya hilang. Biasanya yang menebar belerang adalah buruh perempuan HPT. Seringkali juga pekerjaan tersebut dialihkan kepada buruh pamel atau buruh pemungut brondol buah sawit. Semua alat kerja (arit, sarung tangan, dan sepatu boot) harus diupayakan sendiri. Perusahaan tidak menyediakannya.
Karena jarak dari rumah ke tempat kerja cukup jauh, Jingga pernah memutuskan untuk membeli sepeda. Dengan bersepeda, perlu waktu satu jam lebih untuk perjalanan dari rumah ke tempat kerja, dan sebaliknya. Kemudian, Jingga memutuskan untuk membeli sepeda-motor. Dengan bersepeda-motor perjalanan ke tempat kerja bisa ditempuh lebih sedikit cepat, yaitu dalam waktu 20 menit.
Jam kerja di PT XX tujuh jam per hari, dari jam 07.00 pagi sampai jam 14.00 siang. Aturan absensi diterapkan cukup ketat. Buruh diharuskan menempelkan jari pada mesin pembaca sidik jari di kantor perusahaan setiap kali masuk dan pulang kerja. Jika alpa melakukannya saat pulang kerja, maka Hari Kerja (HK) dianggap hangus, dan upah kerja seharian tidak akan dibayarkan. Selain itu, semua buruh harian lepas diwajibkan mengirimkan bukti berupa foto ke mandor.
kirim foto ke mandor setiap jam 9 pagi, jam 12 dan jam 2 siang sebagai bukti kalau bawahannya bekerja.”
Jingga
Upah buruh harian lepas di PT XX adalah Rp 95 Ribu per hari. Sebelum pandemi Covid-19, dalam sebulan Jingga dapat mengumpulkan 15 hingga 16 Hari Kerja. Sejak pandemi hari kerja berkurang. Dalam sebulan Jingga hanya mendapat 8-12 hari kerja. Dengan perhitungan itu, pendapatan Jingga berkisar antara Rp 760 Ribu sampai Rp. 1,14 Juta per bulan.
Di PT XX, cuti haid, cuti melahirkan dan cuti tahunan tidak pernah diberikan kepada buruh harian lepas. Sewaktu melahirkan anaknya yang kedua, Jingga memutuskan berhenti bekerja selama satu tahun. Beruntung, karena salah satu mandor adalah saudaranya, ia dapat kembali bekerja. Lazimnya, buruh yang selama tiga bulan tidak ada kabarnya akan dianggap berhenti bekerja.
Paham risiko kesehatan yang harus ditanggung buruh perempuan di perkebunan sawit, Jingga menjaga kesehatan dengan minum pil Fatigon yang dibeli di warung dekat rumah. Perusahaan hanya memberikan vitamin sekali dalam sebulan. Itu pun tidak rutin.
***
Magenta: Upah kerap dipotong
Magenta dan suami merantau dari Samosir dengan memboyong dua anaknya ke Kota Pinang, Labuhanbatu. Semula untuk menjaga ladang sawit milik saudaranya. Namun, pekerjaan itu tidak memberikan cukup penghasilan. Karena itu, Magenta dan suaminya kemdian memutuskan untuk mencari pekerjaan di kebun sawit di sebelah lahan sawit saudaranya. Sejak itulah, 1997, Magenta bekerja sebagai buruh di perkebunan sawit PT YY, salah satu anak perusahaan dari perusahaan sawit raksasa terbesar.
Saat melamar kerja, tanpa dimintai syarat apapun, ia langsung diterima. Karena sudah berpengalaman menanam, memupuk dan memanen, ia ditempatkan di bagian perawatan sebagai buruh harian lepas. Suaminya sudah lebih dulu diangkat sebagai pekerja tetap. Magenta baru menjadi buruh tetap pada 2017, sesudah kurang lebih 20 tahun bekerja. Pengangkatan itu terjadi sesudah Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (SERBUNDO) mendesak perusahaan yang merupakan anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) seharusnya memenuhi hak-hak buruh.
Sebelum menjadi anggota SERBUNDO, Magenta bergabung di Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Anggota serikat tidak banyak, karena buruh harian lepas umumnya tidak punya informasi tentang serikat buruh. Dulu, perusahaan enggan memenuhi kebutuhan buruh. Segala peraturan dari perusahaan, meskipun merugikan buruh, dipatuhi saja tanpa protes. Sejak SERBUNDO berdiri di tempat kerjanya pada 2015, Magenta merasakan mulai banyak perbaikan kondisi kerja.
Setiap kali masuk kerja pada jam 07.00 pagi, Magenta perlu mendatangi kantor perusahaan untuk mencatatkan kehadiran di mesin pembaca sidik jari. Dia harus melakukannya lagi sehabis kerja pada jam 14.00 siang. Hingga hari ini Magenta bekerja di bagian perawatan sebagai pemupuk. Sering juga ia diminta untuk menyemprot, menggantikan yang sedang mengambi cuti, atau jika sedang terjadi kekurangan orang.
Buruh pemupuk dibebani target menaburkan pupuk di areal seluas 2-5 hektar dalam sehari. Jumlah buruh yang dikerahkan bergantung pada dosis pupuk yang diberikan. Jika dosisnya rendah, areal yang dikerjakan lebih luas. Dan, dosisnya tinggi maka buruh yang dipekerjakan lebih banyak pula. Meskipun target sudah tercapai sebelum jam kerja berakhir, perusahaan tidak membolehkan buruh pulang lebih awal. Jika terjadi demikian, Magenta bersama buruh lainnya biasanya beristirahat di gudang, menunggu waktu pulang tiba.
Pupuk yang biasa digunakan di kebun adalah jenis NPK, Urea, Dolomit, Za, Kiserit dan beberapa macam lagi, tergantung kebutuhan. Untuk memupuki kebun, buruh akan berjalan kaki menyusuri kebun sambil membopong ember besar di bagian depan tubuhnya. Ember berisi pupuk beratnya bisa mencapai kurang lebih 15 kilo gram.
Jadi, membungkuk dulu untuk mengisi embernya dengan pupuk, setelah itu diangkat, digendongkan di depan kayak gendong anak. Gendongnya pakai kain gendongan yang dilingkarkan ke badan dan ember sampai pas. Jadi ambil pupuknya di depan pakai mangkuk jadi gampang, lalu berjalan berkilo-kilo,”
Magenta
Berjalan kaki berkilo-kilo meter sambil menggendong ember pupuk di lahan perkebunan sawit bukanlah perkara mudah. Tiba musim hujan, jalan-jalan di perkebunan akan semakin berlumpur dan licin, sementara lubang bekas jalur kendaraan akan semakin dalam karena tergerus aliran air. Magenta pintar-pintar memilih jalan agar tidak terpeleset di medan yang berbukit.
Mengenai upah, meskipun semua berstatus buruh tetap, upah tetap ditentukan oleh kehadiran di tempat kerja. Buruh yang tidak masuk kerja karena sakit, tapi tidak mempunyai ijin sakit, upahnya akan dipotong. Sebagai pemupuk, upah yang diterima Magenta saat ini sebesar Rp.132 ribu per hari. Sudah tiga tahun upah tidak naik, padahal harga kebutuhan pokok terus naik.
Saat pandemi, karena hari kerja berkurang banyak, upah yang diterima buruh juga merosot. Perusahaan berdalih, pekerjaan berkurang karena perkebunan sedang melakukan penanaman ulang (replanting). Saat itulah perusahaan menganjurkan buruh untuk memanfaatkan program Bantuan Subsidi Upah (BSU), bantuan pemerintah untuk buruh yang penghasilannya di bawah Rp.3,5 Juta per bulan. Magenta merasa terbantu dengan BSU tersebut. Setidaknya ia bisa menutupi kekurangan upah berkat subsidi sebesar Rp. 600 ribu per bulan, meski ia hanya menikmatinya selama empat bulan.
Selain masalah pemotongan upah, Magenta mengeluhkan sulitnya mendapatkan cuti haid. Sekalipun buruhnya mengalami nyeri di masa haid, perusahaan tetap mengharuskan buruh untuk datang. Boleh beristirahat, tapi di klinik perusahaan, bukan di rumah. Haruskan tetap masuk kerja, walaupun tidak diharuskan bekerja.
Begitu juga dengan ijin sakit. Buruh hanya boleh beristirahat di klinik jika sakit, jika buruh yang jatuh sakit bersikeras pulang ke rumah, dia dianggap tidak masuk kerja dan perusahaan akan memotong upahnya.
Kalau sakit, (minta) ijin sama mandor, kemudian datang periksa ke klinik. Nanti diberikan obat dan istirahat di klinik sampai jam pulang kerja. Jadi tetap dihitung masuk tapi tidak istirahat di rumah melainkan istirahatnya di klinik”.
Magenta
Hal lain yang masih sulit didapatkan adalah ijin tidak masuk kerja (dispensasi) untuk mengikuti kegiatan serikat. Magenta merasa perusahaan membatasi kegiatan serikat buruh. Kalau ada kegiatan serikat buruh di luar kota, ijin tidak masuk kerja diberikan hanya untuk dua hari saja. Lebih dari itu, buruh dianggap mangkir dan cuti tahunannya dipotong.
Menurut Magenta, perusahaan menyediakan mess untuk tempat tinggal karena banyaknya buruh yang berasal dari luar daerah. Buruh yang membawa keluarga diberikan 1 mess, sementara yang masih lajang satu mess biasanya di isi 3 sampai 5 buruh. Sejak bekerja di PT YY, Magenta tinggal di mess bersama suami dan keempat anaknya. Sambil membuka warung kelontong di mess tersebut untuk pengisi waktu luang dan mencari tambahan penghasilan.
***
Tanah dicaplok, upah murah, hak perburuhan dilucuti
Pembukaan perkebunan sawit skala besar sering didahului oleh pencaplokan tanah ulayat, hutan dan kebun, tempat masyarakat setempat semula menggantungkan penghidupannya. Sesudah tanah dicaplok sebagian warga terpaksa menjadi buruh di perkebunan sawit, baik laki-laki maupun perempuan.
Melamar kerja di perusahaan sawit rupanya tidak sulit. Asalkan bersedia diupah senilai yang ditawarkan perusahaan. Banyak buruh bekerja perkebunan sawit hanya bermodalkan tawaran dari teman, saudara atau orang tua. Sesudahnya, mereka mendapati kerja upah harian dengan target kerja yang tinggi.
Meski melakukan pekerjaan yang sangat penting di bagian perawatan, tetap saja mereka bersatus buruh harian lepas. Magenta dan teman-temannya memang telah diangkat sebagai buruh tetap sesudah bekerja bertahun-tahun. Itupun setelah menempuh cara yang tidak mudah, melalui mekanisme pengaduan di RSPO (terlepas dari berbagai masalah yang melekat pada mekanisme ini). Bukan karena kebaikan-hati perusahaan. Melainkan melalui perjuangan serikat buruh.
Perkebunan sawit rupanya tidak hanya mempekerjakan buruh harian lepas. Malah, ada juga buruh borongan. Violet, narasumber yang bekerja di sebuah perkebunan sawit di Aceh, mengatakan bahwa di tempat kerjanya ada buruh borongan yang upahnya berdasarkan kesepakatan dengan pemberi kerja. Buruh borongan ini ditempatkan di bagian perawatan dan pengiriman. Hanya pekerja kantor dan pemanen yang dipekerjakan sebagai buruh tetap. Violet menambahkan, banyak anak setamat sekolah akan bekerja di perkebunan sawit pula, seperti orang tuanya.
Status kerja tidak tetap, upah harian, dan target kerja yang tinggi; seluruhnya merupakan biang keladi munculnya buruh anak di perkebunan sawit, sebagaimana temuan Amnesty International tahun 2016. Agar target tercapai, orang tua membawa serta anaknya untuk bekerja di kebun sawit. Jingga menceritakan, di tempat kerjanya ia melihat beberapa buruh anak, yang masih duduk dibangku Sekolah Menengah Atas (SMA).
Apapun status kerjanya, baik buruh tetap ataupun buruh harian lepas, semua menanggung beban dan risiko kerja hampir tidak ada bedanya. Target kerja yang tinggi, diukur dari luasnya lahan yang harus dirawat, membuat mereka sangat kelelahan. Belum lagi berbicara tentang beban ganda yang diemban para buruh perempuan.
Kemudian, semua buruh perempuan di kebun sawit menghadapi risiko terpaparnya bahan-bahan kimia berbahaya. Celakanya lagi, ketika jatuh sakit, buruh tidak dapat dengan mudah mengakses fasilitas kesehatan. Alih-alih memberikan jaminan atas kesehatan melalui BPJS, perusahaan enggan memberi ijin pada buruh untuk berobat ke rumah sakit.
Jika keluhaan akibat kelelahan dan keracunan bahan kimia saja tidak digubris, apalagi hak reproduksi. Buruh harian lepas dianggap sama sekali tidak berhak atas cuti haid dan cuti melahirkan. Perempuan hamil terpaksa berhenti bekerja, dan akibatnya mereka kehilangan upah. Seperti diungkap di atas, bahkan buruh tetap tidak diperbolehkan beristirahat di rumah dan mengambil cuti haid. Hanya boleh beristirahat di klinik perusahaan. Artinya, mereka harus tetap masuk kerja. Dalam jangka panjang, pengabaian hak ini berdampak buruk bagi kesehatan reproduksi buruh perempuan.
Sebahagian besar buruh sawit adalah perempuan yang bekerja di bagian inti produksi. Merekalah yang setiap hari membanting tulang merawat pohon sawit. Dari setiap pohon sawit yang mereka rawat, meneteslah minyak sawit, yang kemudian diolah menjadi amat banyak produk yang kita nikmati setiap hari.
Dalam lezatnya makanan yang kita nikmati, pada setiap oles kosmetik, dan pada setiap buih sabun mandi yang menyentuh tubuh kita setiap hari, ada hasil kerja buruh perempuan yang merawat, memupuk, dan melindungi pohon sawit dari hama tanaman.
Jingga, Magenta dan Violet adalah buruh-buruh yang tak terlindungi. Mereka terpapar bahan kimia berbahaya, menghadapi risiko serangan binatang liar, menahan sakit saat bekerja di masa haid, didera kelelahan yang sangat, dan upahnya kerap dipotong. Dari keringat mereka pulalah, pengusaha industri sawit mendapatkan kekayaannya.[]
***
*Tulisan ini sebelumnya pernah diterbitkan di website mahardhika.org dengan judul “Ada Keringat Buruh Perempuan di Setiap Produk Sawit yang Kamu Nikmati. Untuk kepentingan pendidikan Majalah Sedane menerbitkan ulang.
Di Kota Semarang, terdapat beberapa perusahaan yang memproduksi berbagai furnitur berbahan dasar olahan kayu. Hasil produksinya dipasarkan ke berbagai kota di Indonesia, bahkan untuk ekspor ke luar negeri. Produk yang dihasilkan berupa meja, kursi, lemari dengan desain yang tampak mewah, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun perkantoran. Namun, dibalik kemegahan produk furnitur yang memanjakan mata […]
Begitu banyak petani yang datang dari daerah, mengorbankan biaya dan tenaga sekeluarga demi perjuangan di ibukota. Entah kenapa harus di ibukota. Begitu sedikit dari mereka berorasi dari atas mobil komando, tahta bergerak para raja dan brahmana khas gerakan Nusantara. Dihantam hujan deras dan terik cahaya, datang dari ribuan kilometer jauhnya, hanya untuk berbaris dan duduk […]
Proses penangkapan ikan di Kepulauan Aru dilakukan oleh nelayan tradisional, nelayan lokal, dan kapal-kapal penangkap ikan industrial. Hulu dari proses produksi perikanan di Kepulauan Aru adalah kapal-kapal nelayan tradisional dengan mesin speed yang memiliki kemampuan berlayar lebih dari 12 mil, bahkan hingga mencapai batas negara Indonesia–Australia. Nelayan-nelayan ini beroperasi selama satu hari dan hasil tangkapan […]