MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

 Legasi Otoriterianisme, Mati di Ladang Jagung

Judul Film            : Film Autobiography

Sutradara            : Makbul Mubarak

Produser             : Yulia Evina Bhara

Penulis Naskah : Makbul Mubarak

Pemeran             : Kevin Ardilova, Arswendy Bening Swara, Yusuf Mahardika, Lukman Sardi, Yudi Ahmad Tajudin, Rukman Rosadi, Haru Sandra, Gunawan Maryanto.

Perusahaan        : Kawan Kawan Media Kaninga Pictures

Tanggal rilis         : 2 September 2022 (Venesia), 29 November 2022 (JAFF), 19 Januari 2023 (Indonesia)

Durasi                   : 115 menit

Bahasa                  : Indonesia

***

Film berjudul Autobiography mulai ditayangkan di berbagai bioskop di Indonesia pada 19 Januari 2023. Film ini menegangkan secara merangkak tanpa harus menghadirkan setan dan banjir darah.

Secara singkat, film ini menceritakan tentang upaya seorang pensiunan bernama Jenderal  Purna yang berambisi hendak menjadi bupati. Sang Jenderal mempekerjakan seorang bernama Rokib sebagai penjaga rumah. Rokib juga merangkap sebagai asisten kampanye politik sang Jenderal. 

Hubungan keduanya yang sempat mendekat, lalu menjauh setelah sang Jenderal membunuh seorang anak muda yang merobek posternya. Rokib tidak bisa menerima tindakan tersebut, ia berusaha kabur dari rumah tapi digagalkan tentara. Lalu rencana diubah dengan membunuh sang Jenderal di ladang jagung. Berhasil. Rokib menjadi manusia bebas.

***

Pesan Film

Usai menonton gala premiere  film autobiography di Epicentrum XXI beberapa malam lalu, saya melihat film ini dari dimensi relasi kuasa legasi otoriterianisme Orba  yang direpresentasikan oleh tokoh pensiunan Jenderal Purna. Film ini menunjukan bahwa legasi otoriterianisme ini masih hidup di tengah masyarakat.

Film Autobiography  adalah potret kecil residu relasi kuasa pasca runtuhnya otoriterianisme Orde Baru (Orba) di bawah Soeharto yang masih menggeliat. Pasca reformasi Mei 98, para penguasa oligarki  Orba yang bersarang di Angkatan Bersenjata Republik Indoneisa (ABRI), Birokrat dan Golkar (oligarki ABG) kehilangan dominasinya dan terpecah dalam berbagai faksi yang menyebar di berbagai parpol.

Khusus bagi institusi militer dan para pensiunan Jenderal, hal paling menyakitkan dari reformasi adalah  hilangnya hak-hak istimewa para perwira dan pensiunan Jenderal dalam politik, sosial dan ekonomi yang menjadi doktrin Dwi Fungsi ABRI.

Dengan dihapusnya Dwi Fungsi ABRI maka para jendral dan pensiunan tidak lagi dapat duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau menjadi kepala daerah secara diangkat, juga tidak dapat lagi berbisnis. Namun politisasi militer melalui doktrin Dwi Fungsi ABRi selama 32 tahun Orba telah mewariskan dua legasi dalam tubuh para Jenderal dan pensiunan yang tak bisa dihilangkan setelah puluhan tahun reformasi. Film Autobiography ini menunjukan dua legasi otoriterianisme tersebut secara simbolis.

Pertama, film menunjukan bahwa para Jenderal tetap mempunyai nafsu kuasa dan naluri berpolitik  untuk mendapatkan posisi dalam legislatif maupun eksekutif. Tokoh utama dalam film ini adalah Jenderal (purn) Purna adalah simbol dari representasi post power syndrome kekuasaan militer.

Sang Jenderal mengisi masa pensiun dengan ikut serta dalam pilkada untuk mendapatkan kuasa politik lokal. Dalam film ditunjukan tradisi politik otoriterian yang masih berlanjut, menggunakan institusi negara oleh sang Jenderal dengan kendalinya atas aparat negara seperti polisi dan TNI (Kodim).

Kedua, legasi kekerasan sebagai budaya yang terinternalisasi dalam lembaga negara dan menjadi prilaku sang  Jenderal (purn) Purna. Tradisi kekerasan ini berlanjut sebagai prilaku personal ketika menyiksa hingga membunuh anak muda bernama Agus yang merobek posternya sebagai ekspresi penolakan atas penggusuran. Kebiasaan merasa di atas hukum ditunjukan dengan menghukum pelaku perobekan bukan ditangani oleh kepolisian.

Pesan kuat dalam film ini adalah, bahwa kekerasan terus berlanjut, karena negara tidak pernah  memberikan sanksi atau hukuman pada personil militer yang melakukan kekerasan. Akibatnya, praktik kekerasan terus berulang dan dilakukan oleh aparat negara hingga sekarang tanpa pernah merasa bersalah. Padahal tujuan pengadilan dan pemberian sanksi hukum adalah agar kekerasan tidak berulang di masa depan.

Sosok penting dalam film adalah Rokib, seorang penjaga rumah, sopir dan pembantu sang Jenderal. Rokib adalah representasi relasi kuasa rakyat kecil yang awalnya patuh & takut pada majikanya – sang  Jenderal (purn). Relasi kuasa itu secara ekstrim ditunjukan ketika sang Jenderal menyuruh Rokib minum kopi panas yang baru dia seduh dari air mendidih.

Kepatuhan Rokib sepertinya terbentuk karena  pencarianya akan figur ayah yang tidak hadir dalam hidupnya karena dipenjara. Sikap itu lalu berubah menjadi ketakutan, ketika dia melihat sisi kejam sang Jenderal yang menyiksa hingga mati seorang anak Sekolah Menengah Umum (SMU) di rumahnya sendiri dengan tangan dingin. Ketakutan itu lalu bertransformasi menjadi kemarahan untuk memusnahkan sumber ketakutan itu sendiri, membunuh majikanya sang pensiunan Jenderal Purna.

Tokoh  lain yang menarik bagi saya dalam film ini adalah sosok Agus, pelajar SMU yang membacakan surat dari ibunya yang menolak tanahnya digusur untuk pembangunan infrastruktur pembangkit listrik.  Kejadian seperti ini adalah legasi dari pembangunan ala Orde Baru di mana rakyat dipaksa untuk menerimanya atau akan di-stigmanisasi anti pembangunan yang ujungnya di-cap anti pemerintah. Kasus-kasus pemaksaan atas nama pembangunan infrastruktur atau investasi yang didukung pemerintah ternyata masih terjadi hingga sekarang.

Paling berkesan buat saya dalam Film Autobiography pada ending film. Saat adegan Rokib menembak mati pensiunan Jenderal Purna di tengah ladang jagung yang gelap. Putus sudah relasi kuasa antara Rokib dan majikan. Rokib menjadi manusia merdeka. Kematian sang Jenderal  juga sebuah pesan moral, bahwa legasi kuasa  otoriterianisme yang masih tersisa tidak punya masa depan, akan musnah, karena tidak bisa beradaptasi dengan jaman baru atau dimusnahkan secara paksa.[]

Penulis

Wilson Obrigados