MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Sawit Datang, Tanah Hilang, Kerja pun Rugi

Perkebunan sawit menjadi mimpi buruk bagi masyarakat di Desa Suakong, Kutai Barat. Bukan hanya tanah yang hilang, namun nasib sebagai buruh juga digantung oleh perusahaan. Janji demi janji yang terlontar dari perusahaan, mengenai kesejahteraan; uang datang sendiri ke kantong pemilik plasma, upah bulanan untuk buruh hingga janji perbaikan infrastruktur untuk masyarakat.

Tiga belas tahun perkebunan sawit beroperasi, nyatanya janji tinggalah janji. Uang yang datang sekadar cukup membeli “terasi”. Pun bagi mereka “memburuh” di perusahaan, tidak memiliki jaminan pemenuhan hak-hak dasar, apalagi upah yang layak.

***

Knock-Knock, Maaf Tanahmu Kami Ambil: Cerita dari Ibu Karmila

Sudah sembilan tahunan Ibu Karmila tidak beraktivitas membantu suaminya di kebun miliknya. Semenjak memburuh di perusahaan, Bu Karmila tidak memiliki banyak waktu. Jam kerja di perusahaan terbilang ketat, mulai pukul 08.00 WIT dan berakhir pukul 16.00 WIT. Bu Karmila diharuskan menyelesaikan seluruh pembenihan bibit pohon sawit. Bu Karmila tidak mengerjakannya sendiri. Terdapat perempuan-perempuan lainnya yang menjadi pekerja di perusahaan yang sama, terutama di bagian perawatan dan pemanen.

Perusahaan sawit mulai masuk ke Desa Suakong di tahun 2007. Perusahaan tersebut bernama PT Kutai Agro Lestasi (KAL). Baik siang maupun malam, orang yang diperintahkan oleh perusahaan maupun “calo” perusahaan yang berasal dari orang desa ditugaskan untuk membujuk warga. Warga diminta menyerahkan tanah-tanahnya kepada perusahaan untuk dijadikan plasma sawit.

Plasma adalah sistem “kemitraan” antara perusahaan dengan pemilik tanah. Pemilik tanah diminta menyerahkan tanah kepada perusahaan. Perusahaan  akan mengelola lahan tersebut janji: pemilik tanah akan mendapatkan penghasilan ketika sawit mulai dipanen.

Proses perusahaan mendapat tanah warga dilakukan dengan cara yang halus. Berbagai iming-iming bakal diberikan rumah mewah, mobil hingga tidak harus bekerja namun mendapatkan uang. Sodoran imajinasi kesejahteraan tersebut ditopang dengan janji, “Masyarakat semua bisa bekerja di perusahaan ini, jadi tidak perlu khawatir itu,” kisah Bu Karmila.

Tanah Bu Karmila sendiri terpaksa dilepaskan. Menurutnya, tidak ada pilihan lain karena tanah sekeliling milik saudara-saudara Bu Karmila sudah dilepaskan semua. Saking terdesaknya: jika tanah tidak diberikan bisa saja tanah tersebut diakui oleh saudaranya dan diberikan ke pihak perusahaan tanpa sepengetahuannya. Tidak perlu dibayangkan bahwa tanah tersebut akan diganti dengan perhitungan harga per satu hektare. Perusahaan hanya memberikan tali asih sebesar Rp600 ribu per dua hektare.

Saat ini, tanah seluas 20 hektare milik Ibu Karmila telah diberikan kepada perusahaan. Di atas kertas Ibu Karmila hanya memiliki 4 hektare sebagai plasma. Angka tersebut berasal peraturan skema plasma, di mana pemilik tanah hanya memiliki 20 persen dari total tanah yang diserahkan ke perusahaan.

Setelah sawit mulai bisa dipanen, satu bulan sekali hasil dari lahan plasma tersebut diberikan kepada Bu Karmila. Besarannya tidak lebih dari Rp1 juta  per bulan. Bahkan, ketika harga CPO melambung tinggi angka bulanan plasma tidak berubah. Sampai saat ini, Bu Karmila tidak pernah tahu besaran panen dari kebun plasma miliknya. Semua gelap. “Hanya pihak koperasi dan perusahaan yang mengerti,” ucap Bu Karmila.

Lahan yang ditanami sawit oleh perusahaan. (Sumber dokumen pribadi)

Sebelum Perusahaan Tiba

Lahan kebun Bu Karmila dan suaminya jauh dari pemukiman. Sebelum diplasmakan, tanah tersebut diolah mandiri. Untuk mengolah lahan Bu Karmila dan suami akan menetap di gubuk sekitar kebun selama lima atau enam hari.

Kebun tersebut ditanami padi, sayuran, dan rotan. Padi dan sayuran ditanam guna memenuhi kebutuhan dapur, sedangkan rotan khusus untuk dijual. Tanahnya cukup subur. Dari jenis padi, Bu Karmila mampu panen setahun sekali. Sementara lokasi penanaman hanya bisa dikerjakan sebanyak dua kali musim panen. Sehingga jamak ditemui pola menanam dengan cara berpindah atau ladang berpindah. Misalnya, dengan kebun seluas 20 hektare dibagi menjadi: dua hektare ditanami padi ladang, dua hektare untuk sayur mayur, dan selebihnya dibiarkan untuk kebutuhan pokok lainnya, termasuk rotan untuk kebutuhan uang tunai.

Ada banyak jenis rotan yang tumbuh di Desa Suakong. Namun hanya jenis rota sega yang paling sering diperjualbelikan. Selain itu, jenis rotan ini banyak digunakan oleh masyarakat lokal sebagai bahan dasar pembuatan perkakas rumah tangga. Dari tas, tikar sampai kerajinan tangan lainnya. Menjadi penting bahwa rotan tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan cash namun secara ekologis rotan sangat bergantung dengan kondisi lingkungan sekitar. Tumbuh kembangnya rontan menuntut ekosistem alam yang baik, dari air, rumput, sampai pada tanaman keras lainnya. Satu kali masa panen rotan membutuhkan waktu lama. Waktunya sekitar 8 sampai 10 tahun. Oleh karena itu, memelihara rotan sama saja menuntut warga Suakong untuk memelihara lingkungan, memelihara hutan beserta ekosistem di dalamnya.

***

Kerja, Kerja, Kerja, Pecat

Kedatangan perusahaan layaknya sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Bagaimana tidak, sembari memperluas konsesi lahan, perusahaan juga memperkerjakan warga untuk menyiapkan bibit-bibit pohon sawit. Tidak terkecuali Bu Karmila. Selain pemilik plasma, Bu Karmila juga memburuh di perusahaan. Walapun sudah sembilan tahun Karmila bekerja di PT KAL, jenis hubungan kerja Bu Karmila hanya sebagai Buruh Harian Lepas (BHL). Dengan alasan itulah, perusahaan memperlakukan Bu Karmila dan para pekerja lain dengan ikatan harian lepas tidak memiliki jaminan sosial, kesehatan dan jaminan upah yang layak.

Menjelang tahun 2020 Bu Karmila diberhentikan oleh perusahaan. Tidak ada penjelasan dan alasan yang memadai kecuali efisiensi perusahaan. Tidak pernah terlintas di pikiran Bu Karmila bahwa dia akan mendapatkan perlakuan yang begitu buruk dari perusahaan. Seorang Ibu rumah tangga yang menghabiskan hidupnya di kampung, dengan sembilan tahun bekerja di perusahaan yang telah menggunakan lahannya dan berharap diangkat jadi buruh tetap serta mendapat upah yang layak, diberhentikan secara tiba-tiba oleh perusahaan.

Pertama mendengar kabar tersebut, tidak banyak kata terucap kecuali sakit hati yang mendalam yang dirasakan Bu Karmila. Bu Karmila tidak sendirian, terdapat lebih dari 120 buruh dari dua perusahaan termasuk di dalamnya pekerja yang berasal dari luar Kalimantan. Mereka diberhentikan tanpa pesangon. Bapak Aliando misalnya, buruh yang dari Flores menceritakan. Setelah diberhentikan ia terpaksa mencari pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan untuk terus menyambung hidup. Menurutnya tidak ada pilihan lain selain bertahan. Pilihan untuk pulang sudah tidak terbayangkan karena biayanya cukup mahal dan kondisi kampung yang tidak memungkinkan mendapatkan penghasilan.

Tiga tahun lamanya perusahaan tidak memberikan respons pada Bu Karmila maupun buruh lainnya yang mengalami pemecatan. Sementara plasma yang dimiliki juga tidak banyak membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bu Karmila, saat ini merasa bahwa usaha untuk tetap melanjutkan hidupnya berasal dari tanah yang tersisa. Tanah warisan yang sampai saat ini tidak terjamah oleh sawit. Luasnya sekitar 10 hektare. Belajar dari masa lalu, Bu Karmila benar-benar kapok untuk melepaskan tanah tersebut pada perusahaan atau pun orang lain yang ingin membelinya. Bu Karmila berucap,“Melepas tanah berarti melepas hidup. Kalau pun tidak ada sawit masih tetap bisa hidup.”[]