MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Kekerasan dan Perlawanan

Di tulisan Praktik Perburuhan di Pabrik Wilayah Industri Baru saya menceritakan mengenai investasi ke Jawa Tengah tidak memperbaiki nasib hidup. Di bagian ini saya akan bercerita tentang proses perekrutan dan perlawanan di Jawa Tengah.

Ima, salah satu buruh di Jepara. Ia menceritakan prosesnya diterima bekerja di pabrik sepatu. “Aku tuh orang yang beruntung. Bisa masuk ke pabrik gak sulit dan gak bayar.”

Empat tahun lalu, selepas lulus Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Ima diajak saudaranya untuk bekerja di pabrik. Butuh beberapa hari ia mempertimbangkan ajakan saudaranya. Sejak kelas dua SMK, Ima membayangkan dapat bekerja di luar Jepara, seperti di Jakarta. Ia membayangkan dapat seperti saudara sepupunya yang bekerja di perantauan bisa mengirimi uang ke keluarga dan pulang saat hari-hari raya. Pengalaman saudara sepupunya tampak menyenangkan.

Bayangan Ima tentang perantauan pun hilang karena tawaran saudaranya. Saudara Ima menjanjikan, jika dirinya mengiyakan tawaran maka akan langsung diterima bekerja dan adapun tes hanya formalitas. Tawaran saudaranya diperkuat ibu Ima. “Jika bekerja di sini (Jepara) walaupun gajinya berbeda dengan Jakarta, kamu bisa pulang-pergi dari rumah dan tidak mengontrak.” Akhirnya, Ima pun mengiyakan tawaran saudaranya.

Mula-mula kerja di pabrik, Ima tidak betah karena sering kena marah oleh atasannya. Ima dianggap lambat dalam bekerja. Menginjak di usia empat bulan bekerja, Ima menganggap hardikan dan bentakan atasan sebagai angin lalu. Ima melawan kekerasan dari atasannya dengan cara misuh-misuh di belakang. Saya menangkap kesan, di bulan keempat-lah Ima menginternalisasi dan menormalisasi kekerasan di tempat kerja. Ima menganggap kekerasan sebagai bagian dari pekerjaan.

Ima bekerja pulang-pergi dari rumah. Karena pabrik tidak menyediakan fasilitas jemputan. Ia merasa banyak waktu terbuang jika menggunakan kendaraan umum. Ketika berangkat atau pulang kerja, ia sering merasakan ingin segera sampai di rumah untuk merebahkan badan.

 Akhirnya, Ima membeli sepeda motor dengan cara membayarnya dicicil. Karena ada pengeluaran baru, Ima mulai merasakan: upahnya tidak cukup. Agar tetap bisa menggunakan sepeda motor, Ima mengurangi uang jajan dan uang dapur untuk ibunya.

Kini, Ima merasa upah yang diterimanya tidak sesuai dengan tenaga yang telah ia curahkan di pabrik. Tapi Ima bertahan. Salah satu pertimbangannya, merasa malu kepada saudaranya yang telah berusaha memasukkannya bekerja. Karena ikatan persaudaran itu pula, ia tidak memiliki alasan untuk melawan atasannya yang kejam. Beberapa kali Ima dinasihati oleh saudaranya agar tidak menjadi anggota serikat buruh.

Ima sering menceritakan kekesalannya kepada teman sekerjanya. Kebetulan, teman sekerjanya pernah bekerja di pabrik di Jabodetabek. Temannya hanya diam. Tapi, kata Ima, sekali waktu temannya berkomentar bahwa kondisi kerja di Jabodetabek sama saja. “Upah pas-pasan, kena omelan terus,” jelas Ima menirukan perkataan temannya. “Untungnya saya tidak ngontrak rumah,” tambah Ima membesarkan hatinya sendiri.            

Dari cerita teman sekerjanya, Ima melupakan cita-cita ingin bekerja di Jabodetabek. “Ngapain saya, ke Jakarta kalau kondisinya kaya di sini. Mending disini bareng keluarga,” jelas Ima.

***

***

Di Jepara, untuk dapat diterima di pabrik tidak mudah. Kebanyakan harus mengandalkan uang pelicin atau memiliki ‘orang dalam’. Itulah yang dialami oleh Tata.

Sepengetahuan Tata (24 tahun), bagi warga sekitar pabrik memang diberikan kemudahan agar diterima bekerja. Tapi ‘hukum’ itu berlaku ketika pabrik baru beroperasi.

Ketika pabrik baru beroperasi, muncullah orang-orang yang menawarkan lowongan kerja. Biasanya aparat desa atau tokoh masyarakat. Tentu saja banyak yang berminat. Karena sebelum ada pabrik pun, penduduk Jepara sudah terlempar dari lahan. Lahan dimiliki segelintir orang.

Perekrutan pertama tampak sembarangan; siapapun dapat diterima bekerja. Modelnya mirip dengan cerita di Bekasi dan Tangerang ketika mulai membuka pabrik. Di dua wilayah tersebut sampai muncul guyonan: kambing pun ditawari kerja karena pabrik butuh yang menggerakan mesin.

Di Jepara, pabrik beroperasi. Penduduk sekitar melamar kerja dibantu oleh orang kuat setempat. Setelah diterima bekerja mereka akan memberikan uang kepada orang yang memberikan informasi dan memastikan pelamar diterima bekerja. Tapi, sifat uang tersebut sekadar tanda terima kasih. Jumlahnya tidak menentu. Jasa orang tersebut sebenarnya mempercepat perekrutan demi kelangsungan produksi.

Lima tahun setelah beroperasi. Untuk dapat diterima bekerja benar-benar harus membayar, bahkan tarifnya bisa mencapai jutaan.

Tata, satu dari ratusan anak muda pengangguran asal Jepara. Dia tidak berhasil bekerja di pabrik dan sekadar membantu orangtuanya. Tata menyebut butuh koneksi dengan ‘orang dalam’ agar diterima bekerja di pabrik. Karena melamar kerja melalui mekanisme normal kemungkinan diterimanya sangat kecil. “Kalau gak ada ‘orang dalam’, ya petinggi-lah, Mas,” kata Tata sembari menjelaskan bahwa yang dimaksud petinggi adalah kepala desa, petinggi di perusahaan, tokoh masyarakat atau preman yang memiliki koneksi langsung dengan perusahaan.

“Saudara saya termasuk orang yang bayar ketika ingin bekerja di pabrik. Itu lewat serikat pekerja,” tegas Tata menceritakan peran serikat buruh berubah menjadi calo lamaran kerja.

Tata merasakan makin sulit mendapat pekerjaan formal, walau jumlah pabrik terus bertambah. Selain calo lamaran kerja, persyaratan masuk kerja di pabrik makin ketat, seperti syarat pendidikan dan pengalaman kerja. Walaupun tidak dicantumkan syarat masuk pabrik berjenis kelamin perempuan, nyatanya yang diterima masuk kerja hanya perempuan. 

Rupanya pengalaman Tata dan Ima sedang membantah klaim pemerintah. Di media massa pemerintah tidak berhenti mengatakan, pabrik datang pengangguran akan berkurang. “Ada pabrik, tidak ada pabrik, pengangguran tetap banyak,” tegas Tata.

Tidak hanya di Jepara. Rekrutmen berbayar pun melanda di Brebes. Para pemain rekrutmen berbayar tidak jauh beda, yaitu karang taruna, organisasi kepemudaan dan perangkat desa

Di Brebes saya bertemu Hasim (30 tahun). Hasim satu dari warga asal Brebes. Ia baru pulang dari perantauan. Hasim mengikuti teman dan warga di Brebes lainnya, yang merantau ke provinsi lain, bahkan ada yang menjadi buruh migran. Keadaan itu terjadi sejak 1990-an. Sejak lulus SMP, ia bekerja di Jabodetabek.

Hasim pulang kampung karena didesak Covid-19. Covid-19 mempersulitnya mendapat pekerjaan baru di Jabodetabek. Rupanya di kampung pun tidak mudah mendapat pekerjaan. Hasim hanya mengandalkan kemampuannya menjadi buruh bangunan. Sisanya mengandalkan Istrinya yang bekerja di pabrik. 

Menurut Hasim, dulu perempuan-perempuan bekerja dengan memburuh di sawah atau mengupas bawang. Sejak lima tahun terakhir perempuan-perempuan pengupas bawang menjadi buruh pabrik.

Untuk mengisi waktu luangnya, Hasim pun menjadi pengurus penting organisasi vigilante. Ormas yang diikuti Hasim beroperasi sejak akhir 1960-an. Organisasi tersebut dibesarkan dan dirawat oleh rezim keji Soeharto. Saat ini organisasi tersebut mendapat saingan baru, yaitu organisasi vigilante lainnya. Mereka bersaing mendapat jatah dari pabrik, dari anggaran daerah dan mencari patron baru.

Hasim menyadari mendapat pekerjaan di Brebes tidak mudah. Untuk memastikan diterima bekerja, pencari kerja harus mengeluarkan kocek setidaknya Rp1 juta, yang setengah dari upah minimum Brebes. Karena banyak yang memperjualbelikan lowong kerja, Hasim merasa prihatin. “Kita bantu masuk (kerja),” kata Hasim sembari menjelaskan bahwa ormasnya tidak menjadi calo lamaran kerja.

Meski Hasim tidak menerima bayaran ketika memasukan pelamar kerja ke pabrik, namanya kerap disebut untuk meraup untung dari lamaran kerja. Hasim diisukan menerima uang Rp200 ribu per orang untuk memasukan pelamar ke pabrik. Hasim menolak isu tersebut.

Tidak dimungkiri, organisasi kepemudaan di mana Hasim bernaung memiliki koneksi langsung dengan pabrik. Koneksi tersebut terbangun sejak pabrik membeli tanah, membangun pabrik dan merekrut tenaga kerja di awal pabrik beroperasi. Relasi historis itulah yang membuat nama Ormas Hasim diperhitungkan oleh manajemen pabrik.

“Saat tes masuk pabrik ada pertanyaan yang unik. Pertanyaan yang ditanyakan oleh atasan adalah: ‘bawaan siapa, dan siapa ketua PAC (Pengurus Anak Cabang) Pemuda Pancasila’,” terang Hasim menirukan pewawancara yang merekrut buruh di pabrik. “Kalau ga kenal, ga bisa masuk (pabrik),” tegasnya.

Menurut Hasim tindakan perekrut pabrik itu salah. Karena mempersulit pelamar kerja. Selain itu, masalah calo lamaran kerja tersebut menjadi pangkal persaingan di antara anggota ormasnya. Misalnya, ketika anggota Ormas menerima persenan dari lamaran kerja, uang itu disetor ke kas organisasi. Orang yang berhasil menyetor uang ke kas organisasi nanti akan mendapat persenan dari organisasi. Sementara anggota yang lain tidak mendapat jatah. Kemudian sesama anggota akan bersaing mendapatkan pelamar kerja.

Tidak hanya OKP. Rekrutmen berbayar pun dilakukan oleh para pemuka dan pejabat desa serta karang taruna.

Praktik-praktik calo lamaran bukan hanya terjadi di wilayah industri lama, namun juga terjadi di lokasi-lokasi industri baru. Karena pabrik memiliki relasi kuasa antara pabrik dengan otoritas lokal.

Saya memerhatikan alur pemainnya hampir sama. Calo lamaran biasanya mereka yang dapat mengakses informasi langsung dari pabrik. Aktor-aktor yang memiliki power di tengah masyarakat. Relasi calo lamaran dengan pemilik pabrik biasanya berlangsung lama sejak pembebasan lahan, pengoperasian pabrik hingga berubah menjadi calo lamaran kerja. Ada pula jenis aktor langsung di dalam pabrik, yaitu serikat buruh. Pemilik pabrik memberikan jatah perekrutan kepada pengurus pabrik dengan tujuan menjinakan serikat buruh.

***

***

Bagi Tata pabrik hanya mendatangkan keruwetan baru. Pabrik yang saya amati terletak di Dusun Banyuputih. Mulanya merupakan lahan yang ditanami tebu dan jagung. Setelah pabrik beroperasi muncul persoalan air, apalagi di musim kemarau. Umum terjadi, ketika pabrik beroperasi akan dibangun bangunan-bangunan lain berupa kamar kosan dan pertokoan. Tak jarang, warga sekitar memanfaatkan rumahnya atau petak kamarnya untuk disewakan.

Harga sewa kosan bervariasi. Kosan yang memanfaatkan kamar rumah warga seharga Rp350 ribu. Sedangkan kos-kosan khusus seharga Rp500 hingga Rp700 ribu. Para pemilik kosan dengan bangunan baru biasanya berasal dari luar desa. Umumnya, desa tua dihuni oleh satu keluarga besar atau memiliki ikatan darah yang tidak jauh berbeda. Ketika semakin banyak orang mengontrak kamar, jumlah warga pun kian heterogen. Tiap pendatang membawa kebiasaan baru yang relatif berbeda dengan kebiasaan warga yang telah lama menetap.

Senada dengan Tata, tentang keruwetan tentang adanya pabrik. Ima menyoroti banyaknya di daerah tempatnya tinggal akhir-akhir ini banyak kasus perselingkuhan dan juga kasus perceraian di beberapa tahun terakhir. Ima pun menenggari munculnya tempat-tempat prostitusi.

Hasim pun menceritakan hal yang sama. Seiring kedatangan pabrik angka perceraian makin meningkat di daerahnya. Sementara jumlah orang yang menganggur tidak juga tidak teratasi. Hasim melihat beberapa kawannya semakin sulit mendapat pekerjaan baru, karena pabrik lebih suka merekrut buruh perempuan.

Ketika banyak perempuan bekerja dan laki-laki sekadar mengantar istri ke pabrik dan anak ke sekolah, muncullah istilah ternak teri alias anter anak anter istri. Tentu saja akronim tersebut sebagai ejekan terhadap laki-laki yang tidak memiliki pekerjaan stabil. Jika diamati lebih dalam aktivitas mengantar, yang di dalamnya terkandung makna menjaga dan merawat berarti sedang melaksanakan sebuah pekerjaan. Tentu saja mengantar istri ke tempat kerja dan anak ke sekolah adalah aktivitas kerja, karena pabrik dan sekolah adalah komoditas.

Sekali waktu Hasim bercerita. Istrinya selalu menangis setiap pulang kerja. Ketika ditanya, istrinya mengatakan hanya masalah pekerjaan. Namun kejadian tersebut selalu berulang. Akhirnya, Hasim pun mencari informasi mengenai kesedihan yang menimpa istrinya. 

Selidik punya selidik, ternyata istrinya dan sembilan orang temannya bermaksud mendirikan serikat buruh di tempat kerja di luar serikat buruh yang didirikan oleh perusahaan. Rencana pendirian serikat buruh sudah bulat, bahkan sudah diregistrasikan ke dinas tenaga kerja.

Dalam proses pendirian serikat buruh itulah istri Hasim dan teman-temannya mengalam tekanan berlebihan dari atasan di perusahaan: beberapa teman dekatnya menjauh dan kerap mencibir, atasannya pun menjadi lebih galak, sampai salah satu temannya mengundurkan diri dari perusahaan. 

Hasim pun mendengar kabar, tekanan terhadap istrinya dan teman-teman istrinya berkaitan dengan daftar nama yang disetorkan dalam proses registrasi ke dinas tenaga kerja.

Ternyata, proses pembuatan serikat buruh itulah yang membuat istri Hasim menangis. Istri Hasim pun menduga bahwa rekayasa ketidaknyaman yang ditujukan kepada para pendiri serikat buruh berkenaan dengan daftar nama yang dicantumkan dalam proses pendaftaran ke dinas tenaga kerja. Akhirnya cerita, serikat buruh gagal berdiri.

Setelah menerima informasi yang cukup, Hasim membujuk istrinya untuk bercerita. Istrinya pun akhirnya bercerita. Tentu saja Hasim tidak terlalu kaget karena informasi yang ia dapatkan hampir persis dengan yang ia dapatkan. Namun, emosi Hasim terbakar. Hasim memutuskan mendatangi manajer pabrik.

Hasim sadar tindakannya akan berdampak terhadap istrinya: dikeluarkan atau malah mendapat tekanan lebih berat. Hasim menceritakan kisah istrinya kepada teman-temannya di kampung dan teman-temannya yang aktif organisasi kepemudaan.

Manajer pabrik berhasil ditemui. Hasim menceritakan keadaan yang menimpa istrinya. Tak lupa, Hasim pun mendesak manajer pabrik membuat pernyataan tertulis: agar tidak mengulangi perbuatan intimidasinya kepada istrinya dan teman istrinya. Hasim pun mengancam manajer pabrik: jika perbuatannya terulang akan mendatangi pabrik dengan masa yang lebih banyak.

Rupanya Hasim berhasil menekan manajer pabrik. Setelah kejadian tersebut istrinya tidak lagi terlihat menangis ketika pulang kerja.

Hasim pun terus menguatkan istrinya agar bertahan di tempat kerja dan menghadapi secara langsung tekanan dari pabrik.            

Begitulah sepenggal kisah perburuhan di dua lokasi: Brebes dan Jepara, di periode 2021. Di akhir 2021, media massa ramai memberitakan buruh di Jawa Tengah berdemonstrasi menuntut kenaikan upah minimum. Di barisan aksi massa adalah buruh-buruh muda berusia muda memenuhi jalanan. Sebagian dari mereka tergabung di serikat buruh, namun lebih banyak tidak bergabung di serikat buruh. Mereka lebih bergembira melawan pemilik kapital ketimbang berorganisasi yang tidak bertujuan.[]