MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Sawit, Serikat Buruh dan Reproduksi Sosial (Bagian 1)

Malam itu, saya menghadiri pertemuan dengan SBA (Serikat Buruh Anggota) Serbuk (Serikat Buruh Kerakyatan) perkebunan sawit PT Sawit Makmur (bukan nama sebenarnya) di Sijang,  Sambas, Kalimantan Barat. Ketika saya tiba, ruangan sekretariat sudah mulai dipenuhi oleh para buruh yang berkumpul.

Sekretariat serikat buruh sebenarnya merupakan perumahan buruh di perkebunan yang disediakan oleh perusahaan. Ruangan tamu yang kecil digunakan sebagai tempat pertemuan utama. Ada beberapa isu  penting yang menjadi agenda pertemuan pada malam itu. Salah satunya adalah isu kesehatan dan keselamatan kerja  (K3) dan lingkungan. Pertemuan kami dengan serikat buruh kali ini bertujuan untuk menelusuri dan membangun dialog antara isu perburuhan dan isu lingkungan.

Dalam pertemuan malam itu, para buruh duduk melingkar berdempetan. Sebagian besar buruh yang hadir adalah laki-laki, hanya tiga orang buruh perempuan. Meski para buruh laki-laki sudah memenuhi ruang sekretariat, mereka tetap memberikan tempat bagi ketiga buruh perempuan.

Ketiga buruh perempuan tersebut merupakan buruh harian lepas (BHL). Salah satunya adalah Bu Warsilah (bukan nama sebenarnya) yang sudah berusia lanjut. Karena kondisi kesehatan, Bu Warsilah meminta dipensiunkan dini. Sementara kedua buruh perempuan lainnya, Bu Siti dan Bu Marsih (keduanya bukan nama sebenarnya), menekankan agar status hubungan kerja mereka sebagai BHL dapat diperjuangkan menjadi buruh SKU (Syarat Kerja Umum).

Keesokan siangnya saya menghadiri pertemuan dengan Serbuk SBA perkebunan sawit PT Sawit Abadi (bukan nama sebenarnya). Lokasinya bersebelahan dengan perkebunan PT Sawit Makmur.[1] Pertemuan juga berlangsung di sekretariat serikat buruh.  Jumlah buruh perempuan yang menghadiri pertemuan lebih banyak dari malam sebelumnya. Ada tujuh orang buruh perempuan yang hadir dan semuanya berstatus BHL.            

Setelah berdiskusi cukup panjang mengenai K3 dan masalah lingkungan, para buruh perempuan menekankan agar status pekerjaan mereka sebagai BHL dapat diubah menjadi SKU. “Yang penting HK(Hari Kerja)-nya, Mbak.” Ujar salah satu buruh perempuan dengan nada yang tegas. Bagi buruh BHL, jumlah HK menentukan penghasilan yang mereka terima. Semakin banyak jumlah HK, semakin besar pula penghasilan yang mereka terima. Penekanan jumlah HK menunjukkan jaminan bagi buruh BHL akan kerja dengan penghasilan yang layak.

Malamnya adalah giliran pertemuan dengan Serbuk SBA perkebunan sawit PT Mitra Sawit (bukan nama sebenarnya). Serikat buruh di perkebunan tersebut belum mendapatkan sekretariat dari perusahaan. Akibatnya, rumah salah satu pengurus dijadikan tempat pertemuan. Jumlah buruh perempuan yang hadir kurang lebih sama dengan jumlah buruh perempuan yang hadir dalam pertemuan di perkebunan PT Sawit Abadi pada siang harinya. Seperti di kedua perkebunan lainnya (PT Sawit Makmur & PT Sawit Abadi), semua buruh perempuan yang hadir berstatus BHL. Para buruh perempuan ini juga melihat status kerja sebagai isu yang harus diprioritaskan oleh serikat buruh.       

Pada hari yang sama, buruh perempuan BHL ini mendapatkan pemberitahuan dari manajemen perusahaan bahwa HK mereka dikurangi menjadi empat hari. Tentu saja ini membuat para buruh perempuan BHL kaget dan kecewa. Alasan perusahaan mengeluarkan kebijakan penguranan HK adalah penurunan hasil produksi. Sementara itu, pengurangan HK tidak berlaku bagi buruh SKU. Para buruh perempuan BHL merasakan ketidakadilan dalam keputusan tersebut. Mereka berpendapat bahwa BHL perawatan pun turut berperan dalam memproduksi buah sawit, tetapi ketika produksi menurun, hanya mereka yang terdampak dari efisiensi perusahaan.

***

Sawit dan Reproduksi Sosial

Indonesia dikenal sebagai salah satu produsen minyak sawit mentah terbesar di dunia. Minyak sawit mentah ini diolah menjadi berbagai jenis produk, dari produk makanan hingga produk kosmetik. Sebagian besar produk yang kita gunakan sehari-hari mengandung minyak sawit. Salah satu penggunaan utama minyak sawit dalam industri dalam negeri adalah untuk memproduksi minyak goreng. Tidak hilang dari ingatan kita ketika Indonesia mengalami krisis minyak goreng yang diakibatkan oleh berbagai faktor yang terjadi dalam industri kelapa sawit.

Sebagai sektor perkebunan, sawit merupakan komoditas yang berperan penting bagi reproduksi sosial masyarakat. Sebagai komponen input untuk produksi bahan pangan, perkembangan komoditas sawit menjadi agenda penting bagi ketahanan pangan nasional. Secara khusus, komoditas sawit penting untuk kepentingan reproduksi sosial masyarakat kelas tertentu. Sawit memungkinkan masyarakat membeli gorengan, biskuit, margarin, detergen dan body lotion dengan harga yang terjangkau. Ini tidak hanya terjadi di negara berkembang seperti di Indonesia. Di negara maju pun, sawit memungkinkan kemampuan kelas pekerja untuk membeli produk makanan, kosmetik dan produk rumah tangga dengan harga yang murah.

Meski sawit berperan penting bagi reproduksi sosial masyarakat, sawit ternyata belum dapat menjamin reproduksi sosial para buruh yang secara langsung ikut dalam menghasilkannya. Terdapat perbedaan kondisi kesejahteraan antara masyarakat kelas buruh di negara-negara maju (baca: pusat) dan kelas buruh di negara-negara berkembang (baca: pinggiran, perbedaan kondisi kesejahteraan juga muncul antara kelas buruh di perkotaan (baca: pusat) dan kelas buruh di pedesaan (baca: pinggiran).

Salah satu jaminan reproduksi sosial buruh kebun berasal dari upah. Salah satu keluhan  yang muncul dalam pertemuan dengan para buruh kebun di atas adalah perhitungan Berat Janjang Rata-rata (BJR) yang semakin memberatkan buruh. Khususnya bagi para buruh panen, perhitungan BJR penting untuk menentukan penghasilan yang mereka terima. Sementara itu, para buruh perempuan yang umumnya bekerja sebagai BHL menerima upah yang rendah.

Dari ketiga kebun yang saya kunjungi, rata-rata upah yang diterima buruh BHL Rp110.000 per HK. Jika kita berasumsi bahwa HK adalah 5 hari dalam seminggu, maka buruh perempuan BHL hanya menerima Rp2.200.000 dalam sebulan. Sementara, Upah Minimum Kabupaten (UMK) tahun 2023 untuk wilayah Sambas (wilayah di mana kebun anggota serikat Serbuk berada), Kalimantan Barat, adalah sebesar Rp 2.792.599,31. Hal ini menunjukkan bahwa, bahkan dengan asumsi jumlah HK yang normal, upah yang diterima para buruh BHL masih di bawah UMK. Apalagi Upah jika jumlah HK yang ditetapkan PT Mitra Sawit hanya 4 hari dalam seminggu. Tentu saja upah yang diterima akan sangat jauh di bawah UMK.

Salah satu buruh perempuan di perkebunan PT Mitra Sawit sempat berujar, “…(upah kami)…terkadang hanya cukup untuk membeli bensin, jangankan untuk makan.” Para buruh perempuan PT Mitra Sawit mengaku bahwa porsi terbesar dari pengeluaran buruh adalah untuk belanja makanan dan cicilan motor.  Akibat kebijakan perusahaan menghentikan jemputan dalam operasi perkebunan, buruh perkebunan terpaksa harus membeli motor sebagai alat transportasi dalam kebun. Sebagian besar buruh kebun, motor hanya dapat dibeli dengan cara mencicil.  Dalam hal belanja untuk kebutuhan pangan keluarga, para buruh perempuan BHL harus memutar otak apabila penghasilan yang diterima tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.

Isu lain yang berkaitan dengan reproduksi sosial adalah K3. Para buruh perempuan BHL di perkebunan PT Sawit Makmur, PT Sawit Abadi dan PT Mitra Sawit yang saya temui mengungkapkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam K3. Isu utama yang mengemuka adalah rendahnya perlindungan yang diberikan perusahaan melalui ketersediaan APD (Alat Pelindung Diri), mengukuhkan berbagai laporan dan studi yang sudah ada mengenai kondisi K3 di perkebunan sawit.

Menurut para buruh perempuan BHL, perusahaan hanya menyediakan APD sekali. Jika APD rusak, buruh harus membeli APD dengan uang sendiri. Padahal APD yang dipakai buruh biasanya akan rusak setelah tiga bulan pemakaian. Dalam pertemuan dengan buruh perempuan BHL di perkebunan PT Sawit Abadi, mereka mengungkapkan bahwa tuntutan buruh agar perusahaan menyediakan APD paling tidak dua kali dalam setahun.

Lokasi perkebunan PT Sawit Makmur dan PT Sawit Abadi di daerah gambut juga sering membuat buruh sering terperosok ketika sedang bekerja di kebun. Salah satu buruh perempuan BHL di PT Sawit Abadi mengaku pernah terperosok ketika memupuk, yang diselamatkan pertama kali adalah ember pupuknya, bukan dirinya sendiri.

Lahan gambut memang menyulitkan buruh untuk bekerja. Sistem monokultur menyebabkan pekerjaan kebun harus dilakukan secara berulang di medan yang tidak mudah. Pekerjaan berulang dengan intensitas dan waktu yang panjang berdampak pada kesehatan buruh. Seperti yang diungkapkan di awal tulisan ini, salah satu buruh perempuan BHL di PT Sawit Makmur, Bu Warsilah meminta untuk dipensiunkan dini karena persoalan kesehatan. Bu Marsih, yang juga merupakan buruh perempuan BHL PT Sawit Makmur, mengaku bahwa suaminya semula adalah buruh pemanen yang kemudian bekerja sebagai buruh pemupuk dengan status BHL akibat persoalan kesehatan yang dialaminya. Salah satu buruh panen di PT Sawit Abadi mengungkapkan bahwa buruh panen biasanya akan merasa lelah setelah 3 jam bekerja. Kegiatan pemanenan yang berulang dengan target yang tinggi menyebabkan buruh panen rentan dengan sakit pinggang. Buruh perempuan BHL yang mengerjakan perawatan juga mengungkapkan berbagai persoalan kesehatan yang mereka alami, seperti gatal-gatal, sesak napas, tangan berkeriput.

Kondisi tangan Bu Marsih, yang merupakan buruh pemupuk, menarik perhatian kami pada saat pertemuan, kuku-kukunya menghitam akibat kegiatan pemupukan. Bu Leni (bukan nama sebenarnya), yang merupakan buruh perempuan BHL PT Mitra Sawit, mengungkapkan bahwa suatu kali pusarnya berdarah setelah melakukan pemupukan. Sementara perusahaan tidak selalu menyediakan layanan kesehatan bagi buruh. Buruh perempuan BHL pada umumnya tidak memiliki akses terhadap BPJS kesehatan. Beberapa buruh perempuan BHL di PT Mitra Sawit memiliki akses terhadap BPJS kesehatan karena pasangan mereka adalah buruh SKU di kebun tersebut.

Dari tiga perkebunan yang saya sambangi, hanya perkebunan PT Sawit Makmur yang memiliki klinik. Buruh perkebunan PT Sawit Abadi biasanya dirujuk ke klinik di perkebunan PT Sawit Makmur apabila memerlukan layanan kesehatan karena kedua perkebunan ini masih berada dalam manajemen yang sama dan letaknya berdekatan. Sementara klinik di PT Mitra Sawit sudah beroperasi lagi. Layanan kesehatan di klinik dalam perkebunan juga sering kali terbatas. Buruh perempuan BHL PT Sawit Makmur mengungkapkan bahwa  persediaan obat di klinik dalam perkebunan tidak lengkap.

Para buruh perempuan pada umumnya menanggung beban ganda, yaitu beban pekerjaan di kebun dan beban pekerjaan reproduktif, seperti kerja domestik di rumah tangga buruh. Yang belakangan merupakan aspek penting bagi reproduksi sosial rumah tangga buruh. Rumah tangga buruh menerima penghasilan untuk reproduksi sosial buruh. Tetapi tetap perlu ada pihak yang mengerjakan pekerjaan yang mengubah penghasilan yang diterima rumah tangga buruh menjadi hal-hal  untuk kebutuhan sehari-hari rumah tangga buruh, misalnya makanan dan minuman yang dikonsumsi.

Penghasilan yang diterima rumah tangga buruh tidak serta-merta berarti kebutuhan sehari-hari rumah tangga buruh dapat muncul begitu saja. Harus ada pihak yang membelanjakan penghasilan tersebut. Lalu, harus ada pihak yang mengolah bahan pangan yang sudah dibeli untuk dapat dikonsumsi oleh rumah tangga buruh. Pihak ini pada umumnya adalah buruh perempuan. Dalam hal ini, para buruh perempuan umumnya bertanggung jawab terhadap kebutuhan pangan rumah tangga buruh. Ketika penghasilan rumah tangga buruh tidak cukup untuk belanja kebutuhan sehari-hari, maka buruh perempuan harus memiliki banyak akal.

Pengakuan beberapa buruh perempuan mereka mengandalkan tanaman yang tumbuh di sekitar perkebunan. Mencari tanaman pakis dan jamur adalah salah satu cara para buruh perempuan untuk mencukupi kebutuhan pangan. Beberapa buruh perempuan mengakui kesulitan untuk membuka usaha sampingan berjualan makanan dan kue, karena modal yang dibutuhkan paling tidak buruh harus memiliki penghasilan yang teratur.

Bagi buruh perempuan yang lain, berjualan makanan, baik jamur atau pakis yang dipetik dari lingkungan sekitar, maupun makanan yang dimasak dan diolah, menjadi sumber penghasilan tambahan yang penting. Karena buruh perempuan yang melakukan kegiatan ini memiliki pasangan yang menjadi pencari nafkah utama dengan bekerja sebagai buruh di perkebunan sebagai buruh SKU. Akses dan kapasitas buruh perempuan untuk mencari tambahan penghasilan dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi rumah tangga buruh. Jika kondisi sosial ekonomi rumah tangga buruh tidak memungkinkan akses bagi buruh perempuan untuk berjualan makanan, maka buruh perempuan pada umumnya bergantung pada lingkungan sekitarnya yang menyediakan tumbuhan seperti jamur dan pakis.

Lingkungan sekitar yang menyediakan tumbuh-tumbuhan yang dapat dikonsumsi buruh adalah bentuk kerja reproduksi sosial yang dilakukan oleh lingkungan. Kerja ini tidak dibayar. Air yang dikonsumsi oleh buruh dan perusahaan perkebunan;  tanah yang ditanami oleh sawit oleh perusahaan atau tanaman pangan oleh buruh;  adalah contoh dari kerja reproduktif lingkungan yang tidak dibayar.

Kerja-kerja reproduktif yang tidak dibayar yang dilakukan oleh buruh perempuan dan lingkungan seperti yang dipaparkan di atas menunjukkan komponen reproduksi sosial dalam perkebunan yang tidak kelihatan, atau lebih tepatnya, sengaja dibuat tidak kelihatan. Dalam ilmu ekonomi, komponen ini sering disebut eksternalitas.

Eksternalitas pada umumnya diartikan sebagai dampak yang dialami oleh pihak ketiga yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Namun sebenarnya istilah eksternalitas ini adalah upaya untuk membuat komponen reproduksi sosial tidak kelihatan. Dengan membuatnya tidak kelihatan, kelas kapitalis/pemilik modal dapat mengalihkan biayanya kepada pihak lain. Akibatnya, selalu ada kerja-kerja reproduktif yang tidak dibayar. Kerja-kerja tersebut menjadi tulang punggung ekonomi secara umum, dan ekonomi perkebunan sawit secara khusus. Apabila terjadi perubahan dalam proses produksi dalam perkebunan, misalnya efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan, rumah tangga buruh sawit menjadi unit yang harus  mengerjakan hal-hal yang tidak lagi disediakan atau dikerjakan baik oleh perusahaan maupun negara. Contohnya adalah pengurangan HK yang menyebabkan berkurangnya penghasilan rumah tangga buruh. Beban ini kemudian ditanggung oleh buruh perempuan karena beban ganda perempuan yang meletakkan di pundak buruh perempuan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga buruh. 

Isu air dalam perkebunan sawit juga menunjukkan kerja reproduktif lingkungan yang dibuat menjadi kasat mata. Dampak negatif operasi perkebunan sawit terhadap air terlihat melalui terjadinya polusi air.  Permasalahan airu juga mengemuka dalam pertemuan dengan serikat buruh Serbuk dan buruh perkebunan di Sambas, Kalimantan Barat. Bagi buruh perkebunan PT Sawit Makmur, isu air yang utama adalah terkait wacana akan masuknya PKS (Pabrik Kelapa Sawit) dan dampaknya terhadap air.  Sementara itu para buruh perempuan di perkebunan PT Sawit Abadi mengungkapkan bahwa perusahaan tidak menyediakan air untuk penyemprotan, terutama pada musim kemarau. Hal ini menyulitkan mereka dalam bekerja. Sering kali mereka harus berjalan jauh atau malah harus naik motor untuk mencari parit dengan air yang cukup sebagai bahan campuran untuk menyemprot. Setelah menyemprot, air dari parit itu juga yang mereka gunakan untuk membersihkan tubuh mereka karena khawatir dengan bahan kimia yang menempel pada tubuh mereka setelah menyemprot.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh para buruh perempuan PT Mitra Sawit.  Ketika masih ditugaskan untuk melakukan penyemprotan,[2] para buruh perempuan harus mengambil air dari parit sebagai campuran bahan penyemprotan. Selain itu, sumber air mes buruh perkebunan PT Mitra Sawit tercemar dikarenakan tempat pembuangan sampah  yang terletak tidak jauh dari sumber air.  Salah satu buruh perempuan BHL mengaku pernah mengalami kulit korengan ketika baru pindah ke perkebunan PT Mitra Sawit.[]


[1] PT Sawit Abadi memiliki manajemen yang sama dengan  PT Sawit Makmur.

[2] Pada waktu pertemuan dengan buruh diadakan, para buruh perempuan BHL tersebut bekerja sebagai pemupuk. Kegiatan penyemprotan sudah dialihkan perusahaan kepada buruh borongan dengan alasan efisiensi.

Penulis

Hariati Sinaga