MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Buruh Siap Mudik 99 Persen, Tapi…  

Beberapa minggu lalu, saya ditelepon seorang kawan semasa kecil yang sedang merantau. Kami berbincang banyak hal, dari gosip kampung dan berbagai obrolan lainnya. Sebelum telepon disudahi, ia mengabarkan bahwa lebaran tahun ini ia tidak dapat pulang kampung. Uangnya tidak cukup untuk membeli tiket pulang. Lagi pula ia merasa malu jika pula tanpa tidak membawa uang yang dapat dibagikan kepada sanak saudara.

Bukan kali pertama dirinya tidak bisa mudik. Tiga tahun lalu ia tidak pulang karena terhalang pagebluk Covid-19. Tahun ini dihadang oleh kondisi keuangan.

Kawan saya bekerja di perusahaan konstruksi. Ia mengerjakan pembuatan pendingin udara untuk gedung-gedung mall dan kantor berskala besar. Jangan bayangkan teman saya mendapatkan upah yang cukup untuk hidup layak. Menurutnya, tempat tinggal sementaranya adalah mess yang disediakan perusahaan. Tempat tinggal alakadarnya yang cukup untuk menyimpan pakaian, menjaga dari hujan dan sengatan matahari serta relatif aman dari hewan buas.

Kawan saya menerima upah bersih per bulan tidak lebih dari Rp1,5 juta. Jumlah tersebut merupakan upah bersih setelah dipotong rokok sebulan, peralatan mandi dan berbagai keperluan lainnya. Jika ingin mendapatkan uang lebih besar ia harus lembur 6 jam. Jika tidak, uang yang ia dapat hanya pas untuk bertahan hidup.

Sebulan ini kondisi kesehatannya sedang tak baik, karena itu ia tidak pernah ikut lembur, yang artinya ia tidak memiliki tambahan pendapatan. Itu juga yang membuatnya tidak bisa pulang kampung.

Bagi orang-orang yang tidak pernah merasakan merantau meninggalkan tempat asalnya dalam tahunan, saya pastikan akan sulit mengimajinasikan bagaimana sedihnya tidak bisa pulang kampung. Walaupun teknologi hari ini mempermudah interaksi jarak jauh tapi tidak mampu mengobati rasa rindu bertemu dengan keluarga.

Mudik sendiri adalah istilah yang umum dipakai untuk menggambarkan kegiatan seseorang pulang ke kampung halaman. Tradisi ini berlaku bagi umat muslim di Indonesia yang ingin merayakan momen lebaran Idulfitri di tanah kelahirannya.

Dalam konsep mudik, terdapat makna kultural bahwa orang kembali ke kampung asal-usul leluhur. Mudik sendiri mengandung nilai yang kompleks antara nilai religius, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kompleksnya nilai mudik membuat minat dan semangat tradisi mudik seolah-olah tidak terbendung. Tentu saja, pulang kampung mengandaikan seseorang memiliki kampung halaman alias ruang hidup yang membesarkannya.[1]

Mudik adalah momentum yang ditunggu-tunggu oleh mayoritas penduduk terutama buruh-buruh di kota. Di bulan-bulan biasa, buruh sulit untuk pulang dalam waktu yang relatif lama. Hanya di waktu lebaran-lah para buruh dapat pulang kampung dan menikmati cuti massal.

Menurut Profesor Heddy Shri Ahimsa-Putra, antropolog UGM,[2] istilah mudik mulai dikenal luas di era tahun 1970-an, ketika rezim jagal Soeharto memusatkan pembangunan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan. Dalam kerangka pembangunan tersebut, rezim Soeharto mendorong program pengerahan tenaga kerja ke kota-kota besar.

Seperti diceritakan Muryanti dalam Buruh Menuliskan Perlawanannya. Pada 1993, ia diberangkatkan dari Klaten Jawa Tengah menuju Tangerang dengan sebuah bus milik perusahaan PT Hasi.[3] Saat itu ia mendapat informasi lowongan kerja dari siaran radio dan melamar kerja melalui yayasan di kampungnya. Menurutnya, di periode tersebut sudah lumrah jika melamar ke yayasan di kampung untuk bekerja di kota-kota besar di Jakarta dan sekitarnya. Proses melamar dan penerimaan kerja di era Muryanti tidak seribet zaman sekarang. Karena di zaman itu, pabrik sedang membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar. Di era itu, memang sudah ada calo tenaga kerja yang menjalankan pungutan liar, tapi tidak sebanyak zaman sekarang.            

Muryanti dan tetangga kampungnya diantarkan oleh bus menuju Tangerang. Sesampainya di Tangerang, ia dan calon-calon buruh lain dikumpulkan per kelompok. Kemudian diberikan pengarahan mengenai pekerjaan dan tempat tinggal. Ia ditempatkan di bagian assembling. Setelah itu, setiap kelompok dikirimkan ke tempat tinggal yang telah disiapkan oleh perusahaan.

***

Pengulangan

Bagi saya, ketidakmampuan kawan saya pulang kampung karena tidak memiliki ongkos merupakan cerita yang mengerikan. Tentu saja ketidakmampuannya pulang kampung bukan sebab boros dan tidak rajin menabung, melainkan tempat kerjanya tidak membayar upahnya secara layak. Cerita seperti kawan saya akan sangat mudah di temui di kota-kota besar. Buruh bekerja bertahun-tahun tapi terus-menerus dililit kemiskinan.

Di tengah musim mudik nasional tahun ini, saya pun menyaksikan cerita lain. Sebut saja namanya Kucrit (bukan nama sebenarnya). Kucrit bekerja sebagai kurir di salah satu perusahaan e-commerce yang memiliki jasa logistik.

Di perusahaan tersebut, Kucrit diupah berdasarkan satuan hasil setiap pengiriman barang. Setiap barang yang berhasil dikirim dihargai Rp 2100 ditambah tunjangan transportasi Rp50 ribu per hari dan jaminan kesehatan.[4] Harga tersebut tidak memperhitungkan jarak pengiriman. Setiap hari, Kucrit mengirim lebih dari 200 pesanan barang. Berarti pendapatan Kucrit tidak lebih dari Rp420 ribu per hari. Dalam sebulan, pendapatan Kucrit mencapai Rp5 juta. Sedikit lebih besar dibanding upah minimum Kota Bogor senilai Rp4,5 juta.  

Malam itu Kucrit memperlihatkan statistik pengiriman barang di aplikasi yang terdapat di telepon pintarnya. Statistik tersebut memperlihatkan keberhasilan dan kegagalan pengiriman barang per hari. Menurutnya, di bulan Ramadan volume pengiriman barang meningkat. Hari itu, ia baru saja menyelesaikan 266 paket. Sebanyak 98,12 persen pengiriman barang berhasil dan 1,88 persen gagal diterima pemesan barang.

Aplikasi pengiriman barang tersebut memperlihatkan performa kerja Kucrit. Jika dalam sebulan jumlah pengiriman barang lebih banyak gagal berarti Kucrit siap-siap mendapat surat peringatan, suspend bahkan pemecatan. Kucrit selalu mempertahankan performanya, bukan hanya karena takut disanksi. Namun, jika ia tidak berhasil mengantarkan paket kepada penerima pendapatannya tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.

Kucrit mengirimkan barang menggunakan sepeda motor. Dengan sepeda motor tersebut, ia membawa setumpuk barang dan dengan sabar menemui satu per satu pemesan barang di setiap lokasi.  Sebenarnya, kapasitas sepeda motor tersebut tidak layak untuk mengangkut barang terlalu banyak.

Mengenai kapasitas sepeda motor tersebut sebenarnya sudah diwanti-wanti oleh pembuat sepeda motor. Peringatan tersebut biasanya dicantumkan di buku panduan atau diberikan tanda khusus di bagian samping ban setiap jenis sepeda motor. Misalnya, di samping ban tertulis 80/90 14 TL 40S dan 90/90-14 TL. Kode tersebut menunjukkan bahwa beban maksimum adalah 140 kilogram hingga 310 kilogram. Jika pengendara mengangkut barang melebihi kapasitas dapat membahayakan keselamatan pengendara. Salah satu produsen ban merek FDR menyebutkan, setiap pengendara harus memerhatikan beban sepeda motornya dengan cara membandingkan kemampuan sepeda motor dan barang yang dibawanya. Misalnya, kapasitas maksimum motor matic total adalah 310 kilogram. Jika berat badan pengendara 60 kilogram maka sepeda motor tersebut hanya sanggup mengangkut 250 kilogram.[5]

Sayangnya peringatan kapasitas sepeda motor tersebut sering diabaikan oleh pengusaha logistik. Mereka hanya peduli dengan jumlah pemesanan yang dapat menambah keuntungan. Bukti ketidakpedulian tersebut diperlihatkan dengan sistem pengupahan yang didasarkan pada satuan hasil dan sistem penilaian berdasarkan pengiriman barang. Dua sistem tersebut memaksa setiap kurir memperbanyak barang yang diangkutnya. Para pengusaha logistik tentu saja akan berkilah jika sistem keji tersebut bersumber dari mereka. Mereka akan menyalahkan pemesan barang yang tidak tahu diri. Maka dibuatlah akun-akun media sosial yang memperlihatkan kurir membawa barang yang tidak sesuai kapasitas dengan caption menyalahkan pemesan barang.

Setiap pengirim barang, Kucrit memenuhi sepeda motornya dengan barang-barang. Di bagian depan dan belakang dipenuhi dengan barang yang melebihi kapasitasnya. Saya memperkirakan, Kucrit membawa barang lebih dari lebih dari 500 kilogram.

***

Malam itu saya membicarakan pengeluaran setiap bulan yang harus dikeluarkan kucrit. Dalam sebulan Kucrit harus mengganti oli sebanyak dua kali. Kucrit harus merogoh kocek sebesar Rp130 ribu. Kucrit pun secara rutin merawat sepeda motornya sebesar Rp200 ribu. Secara lebih rinci, berikut adalah pengeluaran Kucrit.

PengeluaranJumlah Rupiah
Ganti Oli motor30.000
Ongkos Service Motor200.000
Kuota internet150.000
Rokok750.000
Makan (Rp40 ribu per hari selama sebulan)1.200.000
Tanggungan orang tua dan adik1.000.000
Air mineral (Rp20 ribu per hari selama sebulan)600.000
Total4.030.000

Jumlah tersebut belum memperhitungkan pengeluaran untuk kepeluaran lain yang bersifat harian, bulanan tahunan seperti, membayar asuransi kesehatan, peralatan mandi, minyak wangi, dan sebagainya.

Dari gambaran di atas, tampak sekali bahwa hampir seluruh biaya produksi ditanggung Kucrit. Beberapa kebutuhan lain yang harus ditanggung Kucrit adalah alat pelindung diri saat mengendarai sepeda motor, seperti helm, sepatu, sarung tangan dan rompi dada. Tentu saja Kucrit tidak mendapat Tunjangan Hari Raya dan bonus tahunan.

Cerita lain saya dapat dari Agus, driver Ojol kelahiran 2000. Agus baru bekerja enam bulan. Sebelumnya, Agus adalah buruh pabrik sparepart printer di Karawang, kemudian dipecat. 

Agus bercerita tentang kesulitannya mendapatkan penumpang. Setiap hari, Agus hanya dapat order dua hingga tiga penumpang. “Boro-boro mikirin buat ongkos mudik, buat makan aja susah.” Ucap Agus dengan nada kesal.

Sebagai orang yang pernah bekerja di pabrik, Agus merasa tidak ada perbedaan proses melamar kerja di pabrik dan menjadi driver online. Dua-duanya menggunakan lamaran kerja dan menyetujui perjanjian. Setelah itu, driver online pun menyelesaikan orderan yang telah disaring oleh operator aplikasi, menerima upah dengan besaran yang telah ditentukan oleh operator aplikasi. Anehnya, driver online tidak sebut sebagai buruh tetap, apalagi kontrak, tapi mitra. Karena statusnya mitra, Agus pun tidak mendapat tunjangan hari raya. “Kita gak dapat THR,” ujar Agus.

Tahun ini, Agus memutuskan tidak pulang pulang kampung. Agus merasa malu jika pulang kampung dalam keadaan pengangguran, “Mending saya narik aja sembari masukin lamaran-lamaran ke pabrik”.

Tak bisa mudik juga dialami buruh-buruh pabrik. Menurut Direktur Bina Pemeriksa Norma Ketenagakerjaan Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Keselamatan, dan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Yuli Adiratna, yang telah membuka Posko daring THR, dari 28 Maret hingga 13 April 2023, telah masuk 452 pengaduan. Dengan rincian 242 aduan perusahaan tidak membayar THR, 185 aduan THR tidak sesuai peraturan perundangan, dan 25 aduan THR terlambar dibayarkan.[6] Sebenarnya, saya agak heran dengan tindakan Kemnaker. Setiap tahun mereka selalu membuka Posko pengaduan THR dengan jumlah pengadu yang begitu banyak. Tapi setiap tahun pelanggaran THR selalu terjadi. Para pengusaha pelanggar THR tak satu pun yang dikenai sanksi. Apakah Kemnaker sedang berusaha menyelesaikan persoalan atau mengumpulkan penderitaan buruh?

Seorang kawan yang bekerja di pabrik di wilayah industri baru Jawa Tengah bercerita. Per 6 April tempat kerjanya mengumumkan libur hari raya. Libur hari raya dimulai dari 21 April sampai 1 Mei 2023. Anehnya, sebagian dari libur massal tersebut dipotong dari cuti tahunan bagi buruh yang telah memiliki hak cuti. Bagi buruh yang belum memiliki hak cuti, libur tersebut dipotong dari upah. Waktu libur yang dipotong dari cuti dan upah sebanyak enam hari.

Padahal, jika melihat peraturan perundang-undangan, cuti massal adalah hak buruh. Tidak boleh memotong cuti tahunan dan memotong upah. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan Pasal 40 Ayat (2) menyebutkan, “Perusahaan tetap wajib membayar gaji/upah karyawan/pekerja yang menjalankan hak waktu istirahat atau hak cutinya”.

***

***

Lima tahun terakhir kita diperkenalkan dengan istilah daily workers, freelancer dan mitra. Mereka bekerja di perusahaan-perusahaan raksasa, yang menyebut diri start up. Di sektor manufaktur dan jasa muncul istilah lain, seperti buruh kontrak, harian lepas, outsourcing dan borongan.[7] Jika menilik peraturan perundangan semua peristilahan hubungan kerja tersebut tidak semestinya mengurangi hak buruh sebagai manusia: berhak upah layak, hak beristirahat, jaminan sosial, hak pesangon dan hak cuti lebaran. Tapi dengan istilah-istilah baru tersebut, hak buruh dipangkas dan dipapas.[8]  

Sambil mendengar lagu anyar Majelis Lidah Berduri bertajuk, Pulang Kampung, saya membayangkan ribuan orang yang tidak bisa pulang kampung dan merayakan hari raya Idulfitri dengan khidmat. Stigma menjadi orang boros dan kalah di parantauan akan disematkan kepada mereka yang gagal untuk mengikuti ritual sosial yang sudah menahun. Sementara itu, tiga hari menjelang akhir Ramadan tahun ini, para pemuka agama berdebat mengenai waktu lebaran Idulfitri: ru’yatul hilal danhisab. Namun, tak satu pun pemuka agama yang mempersoalkan perampasan hak THR, perampasan hak cuti dan perampasan upah buruh menjelang lebaran.[]


[1] CNN Indonesia. Mengapa Mesti Pulang Kampung: Mengulik Akar Tradisi Mudik. 13 Apr 2023. Tersedia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230403205606-20-933118/mengapa-mesti-pulang-kampung-mengulik-akar-tradisi-mudik, diakses pada 19 April 2023.

[2] Gusti Grehenson. Mengenal Tradisi Mudik. 27 April 2022. Tersedia: https://sahabat.ugm.ac.id/fo/berita/detail_berita/JQ_1m3XHPHBcVoLTgma2r7YhjdPRSg0wJRGRAUDQcudiaoA_N5KRPMoj849itSXDefaAHfS_2gOXQzO2BI5PGfP1524KFt747DazzPOvkA0OTa6JjB-pe0lJKKGszEXPp6Uoz-NeOcDbXNAvTa5E1GTrBXzZMogi1Bfxq3_PseY=, diakses pada 20 April 2023

[3] Muryanti. 12-16 Juli 2012: Saya, Pemogokan, dan Serikat, dalam Buruh Menuliskan Perlawananya. Bogor: LIPS dan TAB. 2015.

[4] Lukman Ainul Hakim. Ketika Pesanan Barang Anda Tiba. 9 Juni 2022. Tersedia: https://majalahsedane.org/ketika-pesanan-baraang-anda-tiba/, diakses pada 19 April 2023.

[5] Bagaimana cara menghitung beban maksimum motor?. 22 Januari 2018. Tersedia: https://fdrtire.com/article/view/1040/bagaimana-cara-menghitung-beban-maksimum-motor, diakses pada 20 April 2023

[6] Hidayat Salam dan Stephanus Aranditio. THR Lebaran Belum Cair, Ratusan Pekerja Mengadu ke Kemenaker. Kompas.com, 14 April 2023. Tersedia: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/04/13/thr-lebaran-belum-cair-ratusan-pekerja-mengadu-ke-kemnaker, diakses pada 19 April 2023

[7] Lukman Ainul Hakim. Ketika Pesanan Barang Anda Tiba. Majalah Perburuhan Sedane, 9 Juni 2022. Tersedia:https://majalahsedane.org/ketika-pesanan-baraang-anda-tiba/, diakses pada tanggal 20 04 2023

[8] Syarif Arifin. ‘Upah Piece-rate’, Kolonialisme Data dan Pemiskinan Ojol. Majalah Perburuhan Sedane. Tersedia: https://majalahsedane.org/upah-piece-rate-kolonialisme-data-dan-pemiskinan-ojol/3/, diakses pada tanggal 20 April 2023

***

Sumber foto: Twitter/@txtdrikurir

Penulis

Lukman Ainul Hakim
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane