Akhir-akhir ini ramai diperbincangkan soal pentingnya buruh memiliki partai tersendiri. Beberapa orang mendesak perlunya dibentuk Partai Buruh. Buruh mesti terjun dalam politik nasional.[1]
Ada pula yang berpendapat partai tersebut harus lahir dari serikat buruh dan punya pemimpin yang mumpuni. Ada juga disebut satu-dua nama di dalamnya. Entah apakah itu sebagai suatu hasil musyawarah atau hanya asal sebut nama.
Semua perbincangan ini sungguh menarik. Meski demikian, tampaknya ada satu hal yang luput dibicarakan. Yakni: tidak dijelaskan apa yang sesungguhnya menjadi kebutuhan politik kaum buruh. Ini kiranya hal yang penting dan tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Apakah semua langkah-langkah politik selama 5 kali Pemilu (tahun 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019) sudah merupakan cermin kebutuhan politik buruh?
Belajar dari Sejarah
Sejarah Indonesia bisa jadi punya pengalaman yang berbeda. Kiranya ada pentingnya juga melihat kilas balik sejarah guna menimbang jawaban atas pertanyaan tersebut.
Pada masa 1945-1946, ada berdiri Partai Buruh Indonesia (PBI). Ia lahir dari Barisan Buruh Indonesia (BBI). BBI resmi terbentuk 15 September 1945, hampir sebulan sesudah proklamasi. Meski menyandang kata “buruh”, BBI lebih mirip sebagai organisasi aktivis kaum muda yang peduli soal perburuhan, dan punya maksud menggiring buruh guna perjuangan kemerdekaan. Maklum saja, pada bulan-bulan awal kemerdekaan, semua lapangan masyarakat penuh gairah dan merasa perlu menyumbangkan tenaga dan pikiran (dan apa saja!) bagi bangsa yang baru saja merdeka. BBI sendiri bermarkas di Jakarta, di kalangan aktivis pemuda perkotaan.
Di dalam perjalanan BBI, ternyata terdapat perbedaan pendapat di kalangan para aktivisnya. Salah seorang aktivis, yaitu Sjamsu Harja Udaja, merasa BBI perlu mengubah organisasi menjadi Partai. Ini terutama karena adanya resolusi November 1945, yang memungkinkan dibentuknya partai politik.
Sejak proklamasi bulan Agustus, Sutan Sjahrir sudah mendesak perlunya dibikin partai-partai politik di kalangan rakyat. Lewat pamflet Perdjoeangan Kita (1945), Sjahrir menilai UUD 1945 masih jauh dari semangat demokrasi. Ia mengusik pemerintahan Soekarno-Hatta untuk betul-betul membentuk sistem pemerintahan parlementer, bukan hanya pemerintahan yang dipimpin oleh dua orang belaka. Ini juga sebagai bukti bahwa negara Indonesia sebagai negara yang demokratis, bukan negara boneka bikinan Jepang sebagaimana dituduhkan oleh penjajah Belanda yang hendak berkuasa kembali.
Menanggapi desakan Sjahrir itu, Presiden Soekarno menerbitkan resolusi November 1945 guna membuka keran demokrasi sehingga partai-partai politik dapat terbentuk. Sejak itu pula, mulai berdiri banyak partai politik – seperti pada masa 1999-2004 usai tumbangnya Orde Baru.
Peluang Politik
Sjamsu Harja Udaja melihat hal tersebut sebagai peluang yang baik bagi aktivis buruh BBI untuk masuk terjun ke dalam politik. Saat itu, ia berusia 32 tahun (masih muda!), dan ia memang cepat membaca situasi politik. Maklum, ia pernah bekerja sebagai wartawan pada masa 1930-an.
Meski demikian, usul Sjamsu ini tidak sepenuhnya diterima oleh para aktivis BBI. Beberapa dari mereka merasa buruh belum benar-benar siap. Ditanggapi dingin, Sjamsu tidak tinggal diam.
Oleh karena itu, ia berkelana ke Surabaya dan Madiun. Ia memang punya banyak pendukung di dua kota itu. Di Madiun ini akhirnya dibentuk Partai Buruh Indonesia (PBI) pada tanggal 15 Desember 1945. Dan seperti dapat pembaca duga, Sjamsu terpilih sebagai ketua umum.
Meski demikian, ternyata PBI tidak mendapat sambutan hangat di kalangan aktivis buruh dan buruh pada umumnya. PBI lebih cenderung menjadi organisasi papan nama dan elitis.
Terlebih, PBI mesti juga menghadapi saingan di kalangan partai-partai lainnya. Partai yang cukup kuat pada masa itu adalah Partai Sosialis pimpinan Sjahrir. Sjahrir punya banyak pengikut di kalangan kelompok kiri, dan juga dianggap lebih punya nama dan “bersih” karena tidak mendukung penjajahan Jepang (Sukarno, Hatta dan beberapa nama lainnya dianggap “kolaborator” Jepang karena mendukung penjajahan). Jadi, PBI tidak memiliki basis yang cukup kuat, bahkan di kalangan buruh sendiri.
Sjamsu berupaya mengatasi hal ini. Namun, ia cenderung bertindak sebagai pemain tunggal dan akibatnya pula, mengandalkan lobi-lobi politik. Mesti dicatat pula, pada bulan-bulan awal kemerdekaan, sampai sekitar akhir 1946, banyak tersebar serikat buruh di tingkat lokal di penjuru pulau Jawa. Serikat buruh-serikat buruh ini umumnya berdiri dari bawah dan independen.
Pada masa itu, buruh juga diupah murah dan sering kekurangan (karena perang kemerdekaan di beberapa daerah) sehingga mereka sering melakukan pemogokan. Oleh Sjamsu, mereka dimanfaatkan untuk menaikkan posisi PBI. Akibatnya, pemerintah mencurigai pemogokan para buruh. “Jangan-jangan, mogok buruh hanyalah bola panas mainan PBI!”, begitu mungkin kecurigaan pemerintah. Pemerintah juga tidak punya waktu cukup untuk melihat apa sesungguhnya yang menjadi keluhan para buruh.
Tudingan politis
Terlebih pula, pada masa itu para buruh sering dituding sebagai bagian dari kelompok “anarko-sindikalis,” atau ditunggangi oleh kaum anarkis (Kondisi yang sama seperti yang kita alami akhir-akhir ini juga!). Tudingan ini sendiri mulai muncul di awal tahun 1946.
Apapun arti istilah itu, para buruh yang mogok dianggap sebagai “anti-pemerintah.” Tentu saja tudingan ini berbahaya dan merugikan. Sebab, buruh diharapkan tidak melakukan mogok, dan tetap bekerja saja – apapun keluhannya.
Jadi, siapa yang mau/rela dianggap sebagai “anti-pemerintah”? Terlebih, pada saat awal kemerdekaan itu, buruh di tingkat basis punya semangat nasionalisme yang tinggi. Mereka merasa dicurangi, merasa tidak dianggap tulus karena adanya tudingan tersebut.
Tak urung pula banyak aktivis buruh di tingkat nasional (seperti S.K. Trimurti) merasa perlu “meluruskan” perjuangan buruh jangan sampai menjadi “anarko-sindikalis”. Tudingan demikian dan sejumlah label lainnya memang selalu merugikan kaum buruh. Kita yang hidup di zaman sekarang juga mengalami hal serupa.
Kita menyadari pula bahwa di balik tudingan tersebut, selalu ada pihak yang memanfaatkan dan membelokkan perjuangan buruh. Mereka menunggangi buruh guna memperlancar lobi-lobi politik di tingkat nasional agar dapat menaikkan posisinya sendiri.
Bagi buruh anggota, akibatnya jelas terasa. Yaitu: buruh dimanfaatkan belaka. Mereka ibarat pion-pion di dalam pertarungan catur elite politik. Keluhan dari buruh anggota tidak pernah benar-benar didengarkan, malah mungkin mereka dikorbankan dalam pertarungan politik elit.
Maknanya bagi kita saat ini
Oleh karena itu, jelaslah bahwa Partai Buruh Indonesia (PBI) bukan merupakan kebutuhan politik buruh pada saat itu. Ia lebih merupakan permainan di kalangan elit politik di tingkat nasional. Mereka hanya berusaha mengambil untung dalam situasi demokrasi awal kemerdekaan yang belum stabil. Juga, PBI hanya ambisi perorangan belaka. Akibatnya, tidak disambut hangat di kalangan buruh di tingkat basis. Kiranya, ini butir penting yang bisa kita lihat dari sejarah.
Apakah perbincangan akhir-akhir ini tentang partai buruh sudah mengambil cermin sejarah? Seberapa kuat dukungan buruh di tingkat basis dan kebutuhan politik buruh perlu dipertimbangkan masak-masak. Bagaimana pengalaman kita selama Pemilu 1999, saat salah satu partai juga menyandang nama “buruh”? Juga, bagaimana di saat Pemilu 2014 dan 2019 yang lalu? Kita perlu mengolah semua pengalaman ini. Jangan nanti nasibnya sama seperti PBI di tahun 1946-1947.
Penasaran dengan nasib PBI? Di penghujung 1947, PBI mati suri. Lalu, bagaimana kabar Sjamsu? Ya, tentu pembaca bisa duga. Ia pandai membaca peluang-peluang politik. Sebagai petualang sejati, ia pindah ke partai lain yang bisa memberinya posisi! Demikianlah, petualang politik memanfaatkan suara buruh anggota.[]
[1] Tulisan ini merupakan salah satu tulisan dari kumpulan tulisan yang terdapat dalam Jafar Suryomenggolo, Rezim Kerja Keras dan Masa Depan Kita. Yogyakarta. EA Books. 2022. Diterbitkan ulang untuk kepentingan pendidikan atas seizin penulis dan penerbit.
Penulis
-
Jafar Suryomenggolo
-
Penulis buku Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal (Marjin Kiri, 2015) dan Rezim Kerja Keras dan Masa Depan Kita (EA Books, 2022).