Lima tahun terakhir muncul inisiatif-inisiatif untuk mencegah kekerasan dan pelecehan berbasis gender (KPBG) baik dengan membuat plang ‘zona bebas dari kekerasan dan pelecehan’, membentuk tim monitor pekerja, membuat pasal khusus dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), ataupun dokumen terpisah dari PKB dalam bentuk PB namun tetap menjadi satu kesatuan yang utuh dengan PKB. Tapi upaya-upaya tersebut tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Akhirnya, plang atau pasal khusus dalam peraturan di tingkat perusahaan tersebut belum berjalan efektif.[1]
Atas dasar itulah kami melaksanakan riset mengenai praktik KPBG. Riset yang dilaksanakan April hingga Mei 2023 tersebut menggunakan metode survei lapangan dan diskusi terfokus dengan buruh perempuan di sektor garmen, tekstil, dan sepatu di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat dan Jawa Timur.
Riset kami memperlihatkan temuan penting. Pertama, KPBG merupakan peristiwa sehari-hari yang dialami oleh buruh perempuan di berbagai sektor. Kejadiannya berulang, terus-menerus dan dilakukan secara terbuka dan tertutup sejak berangkat kerja, ketika melamar kerja, saat bekerja, pulang kerja hingga pemutusan hubungan kerja. Para pelaku KPBG merupakan aktor-aktor yang menduduki posisi penting dalam hubungan kerja dan struktur sosial. Itulah temuan utama hasil riset yang dilaksanakan oleh Komite Perempuan dan Bidang Perempuan dan Anak DPP SPN.
Kedua, sebanyak 69 persen dan 64 persen dari total responden masing-masing mengalami dan menyaksikan kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Dengan demikian, penyintas KPBG bersifat massal dan tindakan KPBG seringkali dipertontonkan di depan buruh lainnya, yang dianggap sebagai ‘bahan pelajaran’.
Ketiga, pengalaman dan kesaksian kekerasan dan pelecehan berbasis gender mewujud dalam beragam jenis dan bentuk. Dari kekerasan verbal, fisik, psikologis dan ekonomi. Responden mengalami sedikitnya satu jenis dengan beragam bentuk KPBG, seperti, seperti disiul-siul atau diomelin; fisik seperti dilempar dan didorong; psikologis seperti didiamkan tanpa alasan yang jelas dan dipermalukan di muka umum; ekonomi seperti dipotong upah, dipaksa bekerja di luar jam kerja. Contoh konkret masalah tersebut diperlihatkan dalam bentuk keharusan bekerja di luar jam kerja tanpa diperhitungkan sebagai jam lembur alasan harus memenuhi pesanan buyer atau di waktu ekspor. Model kerja yang disebut ‘SS (sampai selesai)’, ‘jam loyalitas’, ‘jam skorsing’ merupakan praktik umum di pabrik garmen, tekstil dan sepatu. Praktik keji tersebut melibatkan jenis dan bentuk kekerasan dan pelecehan berupa ancaman, manipulasi jam kerja, jam lembur yang tidak dibayar dan bekerja di luar batas kemampuan.
Riset di atas mengonfirmasi berbagai temuan penelitian KPBG yang pernah dilakukan oleh organisasi lain. Riset Perempuan Mahardika (2017) mengenai pelecehan seksual di pabrik garmen di Kawasan Berikat Nusantara Jakarta Utara menemukan sebanyak 56,5 persen dari 437 buruh perempuan garmen perempuan mengalami pelecehan seksual. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa bentuk-bentuk pelecehan seksual memiliki relasi kuat dengan mekanisme kerja di industri garmen. Menurut riset tersebut, tingginya angka pelecehan seksual terhadap buruh perempuan garmen disebabkan pengabaian negara dan pengusaha serta ketidaktersediaan mekanisme penanganan pelecehan seksual.
Riset Solidarity Center, SPN, GSBI dan Garteks (Solidaritycenter.org, 2019), menemukan fakta bahwa dari 75 responden sebanyak 71 persen perempuan mengalami kekerasan berbasis gender di tempat kerja. Penyintas KPBG rata-rata mengalami empat jenis kekerasan, yaitu verbal, fisik, psikologis dan seksual. Survei tersebut pun menemukan bahwa KPBG telah menyebabkan stress, depresi hingga pengunduran diri dari pekerjaan. Riset tersebut memperlihatkan bahwa buruh perempuan dengan status kontrak lebih rentan mengalami kekerasan dan pelecehan berbasis gender.
Riset CCC Koalisi Indonesia (2019) mengenai praktik dan dampak relokasi di Jabodetabek dan Jawa Tengah memperlihatkan bahwa kekerasan dan pelecehan merupakan mekanisme perusahaan-perusahaan pemasok untuk menaklukan buruh agar tidak melakukan protes terhadap praktik-praktik pengurangan hak buruh. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa kekerasan dan pelecehan berbasis gender terjadi pada saat perusahaan akan melakukan relokasi dari industri lama ke industri baru, saat melamar kerja, saat perpanjangan kontrak kerja dan pengakhiran hubungan kerja.
Penelitian LIPS, DPP SPN, WRC (2022) di DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah menemukan bahwa praktik kekerasan dan pelecehan berbasis gender merupakan peristiwa yang terjadi dalam waktu dan ruang yang spesifik, yaitu praktik produksi. Dengan membandingkan praktik kekerasan dan pelecehan di wilayah pabrik lama dan baru ditemukan bahwa kekerasan dan pelecehan, termasuk yang berbasis gender bertujuan untuk menjinakan buruh dan melipatgandakan keuntungan. Karena itu, praktik kekerasan dan pelecehan berbasis gender melekat dalam mekanisme produksi dan pengendalian buruh seperti ‘kerja target’, jam molor, dan ‘jam ekspor’.
Riset lain yang dilaksanakan di Jabodetabek menemukan bahwa kekerasan dan pelecehan berbasis gender terjadi di sektor publik maupun swasta baik manufaktur, jasa, pekerja kreatif dan rumah tangga (Nurhajati dan Arifin, 2023). Penelitian tersebut menyebutkan bahwa kekerasan dan pelecehan termasuk yang berbasis gender memiliki relasi dengan peneguhan kekuasaan dan mengakumulasi keuntungan. Penelitian tersebut pun memperlihatkan bahwa kekerasan dan pelecehan berbasis gender terjadi di dunia kerja sejak melamar, ketika berangkat kerja, saat bekerja hingga kepulangan kerja.
Meskipun berbagai upaya dilakukan oleh serikat buruh untuk mencegah dan mengakhiri KPBG masih terjadi. Salah satu persoalannya karena pengusaha belum memahami korelasi antara kekerasan dan produktivitas. Mereka cenderung tidak menganggap penting budaya kerja yang bermartabat dan sikap mental yang positif merupakan hal yang penting dalam memengaruhi produktivitas dan keuntungan perusahaan. Akhirnya sampai sekarang belum ada kerjasama antara pengusaha dan serikat pekerja/buruh dalam kerja-kerja pencegahan kekerasan dan pelecehan berbasis gender.
Menurut saya, persoalan kekerasan dan pelecehan berbasis gender (KPBG) berkaitan dengan cara pandang dan mekanisme penyelesaian. Selama ini kekerasan dan pelecehan berbasis gender hanya dimaknai kalangan buruh sebagai tindakan kasar yang menyebabkan luka fisik. Sementara pemerintah menganggap KPBG sekadar kekerasan seksual. Dua pemahaman tersebut tidak cukup. Karena kekerasan dan pelecehan merentang dari yang bersifat fisik, verbal, ekonomi hingga fisik. Sebagai sebuah kenyataan sosial, mengakhiri dan mencegah KPBG memerlukan perubahan cara pandang dan mekanisme penyelesaiannya.
Dengan demikian, berarti ada dua persoalan. Pertama, pendidikan-pendidikan yang dilaksanakan serikat buruh belum cukup kuat mengubah cara pandang tentang kekerasan dan pelecehan. Untuk itu serikat buruh perlu memikirkan metodologi pendidikan yang efektif. Sisi lain pengusaha harus ditarik sebagai pihak yang diberi tanggungjawab untuk memfasilitasi pendidikan kepada semua buruh pada semua level, terkait nilai-nilai yang terkandung dalam mewujudkan budaya kerja yang bermartabat dan sikap mental yang positif.
Kedua, kita harus mendesak negara agar segera meratifikasi Konvensi ILO 190 dan Rekomendasi 206. Karena Konvensi ILO dan Rekomendasi 206 memberikan definisi dan kerangka yang cukup untuk mengatasi dan mencegah KPBG. Terlebih, Konvensi ILO merupakan pranata yang diakui secara internasional.
Dua kesimpulan di atas yang saya simpulkan dari riset ini. Melalui riset ini kita diperlihatkan bahwa kekerasan dan pelecehan berbasis gender di dunia kerja merupakan persoalan yang nyata dan masih berlangsung. Riset ini mengungkapkan bahwa kekerasan dan pelecehan berbasis gender terjadi di tempat kerja dan di luar tempat kerja.
Di tempat kerja jenis dan bentuk kekerasan dan pelecehan pun dialami dan disaksikan oleh para buruh perempuan tingkat operator. Pelakunya adalah atasannya baik laki-laki maupun perempuan. Di luar tempat kerja kekerasan dan pelecehan dialami dan disaksikan oleh perempuan yang dilakukan oleh laki-laki yang menduduki posisi lebih tinggi dalam struktur sosial.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa masih banyak persoalan untuk segera kita diatasi. Serikat buruh di berbagai jenjang organisasi perlu mengambil langkah konkret untuk mengakhiri dan mencegah praktik kekerasan dan pelecehan berbasis gender (KPBG) di dunia kerja. Selain mendesak pemerintah, serikat buruh perlu memperbanyak pendidikan dan mengorganisasikan buruh, terutama perempuan, agar dapat segera menghentikan dan mencegah KPBG.
Para narasumber dalam penelitian ini menyebutkan bahwa serikat buruh perlu memperbanyak pengurus perempuan dalam struktur organisasi, melibatkan perempuan dalam perundingan serta memperkaya metode dan media pendidikan. Usulan tersebut memang sudah lama menjadi bahan pembicaraan para pengurus serikat buruh tingkat nasional agar program-program pencegahan KPBG dapat terlaksana dengan baik.
Serang, 9 Juni 2023
[1] Sebagian besar tulisan ini merupakan bagian pengantar untuk laporan penelitian Luka Tak Berdarah: Laporan Riset Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender di Dunia Kerja Garmen, Tekstil dan Sepatu di Empat Provinsi (Bidang Perempuan dan Anak DPP SPN, 2023).