Toni (bukan nama sebenarnya) menggaruk-garuk kepala sesudah menerima upah bulanan. Ia terkejut ketika melihat jumlah potongan upah di bulan ini sangat besar pada slip gajinya. Dia bingung bagaimana menjelaskan kepada istri serta mertuanya. Terlebih lagi dia tinggal bersama keluarga mertuanya yang sedang melakukan renovasi rumah. Belum lagi tunggakan dua bulan pembayaran cicilan sepeda motor membuat Toni berfikir menyiapkan alasan agar motornya tidak ditarik depkolektor. Dengan sederet daftar yang harus dibayarkan dan daftar pengeluaran untuk menanggung anak, istri serta keluarga mertuanya, membuat Toni sebagai gambaran generasi sandwich di sebuah desa di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
Keseharian Toni bekerja sebagai buruh panen di PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP), sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit milik Hartati Murdaya, salah satu perempuan terkaya di Indonesia.1
Sebelum diangkat sebagai buruh tetap di PT HIP, Toni terlebih dahulu bekerja sebagai ‘buruh tempel’ sekira enam bulan. Buruh tempel adalah buruh yang hubungan kerjanya tidak secara langsung dengan perusahaan, melainkan dengan buruh perusahaan yang telah berstatus kontrak atau tetap di PT HIP. Biasanya, buruh tempel diajak oleh buruh perusahaan dengan persetujuan mandor. Karena statusnya menempel pada buruh tetap/kontrak inilah kemudian disebut dengan istilah buruh tempel. Praktiknya, buruh tempel tidak diakui atau tercatat dalam administrasi perusahaan atau hanya dianggap ‘bawaan’ alias tidak memiliki ikatan kerja dengan perusahaan. Istilah tempel atau bawaan ini membuat buruh tempel tidak memiliki hak-hak yang seharusnya melekat sebagai buruh.
Sistem kerja target di perkebunan PT HIP menyebabkan para buruh melibatkan teman, saudara atau anggota keluarganya sebagai buruh tempel agar dapat membantu menyelesaikan target yang telah ditentukan perusahaan. Semakin banyak hasil panen yang didapatkan semakin besar pula upah yang diterima. Hasil panen itulah yang kemudian dibagi dengan buruh tempel. Dalam penentuan upah buruh tempel biasanya berdasarkan kesepakatan antara buruh perusahaan dengan orang yang dia bawa.
UMK Buol pada 2023 sebesar Rp2,6 juta, agar upahnya bisa melebihi UMK, Toni harus memeras keringat, termasuk melibatkan buruh tempel. Di PT HIP upah buruh panen ditentukan berdasarkan satuan hasil dengan basis target Rp3.053 per janjang. Sementara hari kerja di PT HIP sebanyak 25 hari kerja. Agar dapat menyamakan dengan upah UMK Buol, setidaknya Toni harus memanen sebanyak 852 janjang atau 34 janjang per hari. Sementara perusahaan menargetkan panen harian sebanyak 50 janjang per hari.
Bagi Toni, jumlah target di atas sangat tidak masuk akal. Kondisi ketinggian pohon di Divisi I PT HIP yang hampir mencapai 25 meter, selain berisiko, juga tidak memiliki buah yang banyak, bahkan sering mendapatkan janjang buah kosong alias buah yang masih mentah. Mestinya perusahaan melakukan peremajaan kebun, namun entah kenapa itu tidak dilakukan.
Setiap hari, Toni bekerja selama sebelas jam. Dari pukul 06.00 pagi hingga 5 sore. “Sekarang kalau sudah dapat 25 janjang satu hari saja sudah bagus. Biasanya di bawah 30 janjang, apalagi kalau dapat buah mentah,” ungkap Toni. Apabila mendapatkan buah mentah maka upah buruh akan dipotong sebagai ganti rugi kepada perusahaan. “Kalau dapat buah mentah itu semua kena denda bahkan saya sampai atasan saya, kondaktur juga, kena,” terang Toni mengulangi perkataan mandornya.
Konsep denda yang diterapkan ketika memanen buah mentah dengan sistem tanggung renteng untuk buruh dalam satu regu kerja berdasarkan afdeling. Tidak hanya buruh panen melainkan mandor dan kondaktur. Apesnya, Toni selalu mendapatkan potongan tersebut tiap bulan. Dua bulan lalu saja, ia dikenai potongan sebesar Rp 9.400.
Buruh panen tidak mendapatkan upah lembur. Berbeda dengan upah bulanan mandor dan struktur atasnya yang mendapatkan lembur. Waktu kerja normal adalah pukul 06.00 pagi hingga 2.00 siang selama 5 jam. Sehingga kelebihan 3 jam kerja dari 11 jam bekerja tiap hari tidak dihitung sebagai lembur.
Ada pula ‘upah panen kontan’, yaitu para buruh panen bekerja di hari libur dengan upah yang dibayarkan di tempat. Panen kontan ini kemudian akan menjadi potongan upah. Nilainya akan terlihat di slip gaji. Jumlah potongan upah panen kontan termasuk potongan paling besar dibandingkan komponen potongan lainnya. Nilai kerja buruh yang bekerja di hari libur hanya dibayarkan sebesar Rp 105.000 per hari. Jumlah tersebut tidak diperhitungkan sebagai lembur. Pada dua bulan lalu, Toni mendapatkan potongan kontan sebesar Rp 896.600.
Di dalam perusahaan terdapat berbagai koperasi yang menyediakan kebutuhan harian para buruh, beberapa diantaranya Koperasi Mitra, Bunga Sawit, dan Hardaya. Koperasi-koperasi tersebut menyediakan sembako kering, susu, rokok, onderdil motor, pakaian, sepatu hingga kulkas. Buruh dapat membeli barang-barang tersebut dengan sistem angsuran. Harga barang yang dibeli dengan sistem angsuran disepakati dengan buruh. Sayangnya, harga dasar barang-barang tersebut 35 persen lebih mahal ketimbang di pasaran umum. Misalnya, untuk sebungkus rokok merek Pundimas (sebuah merek lokal yang sering diminati masyarakat Buol) harga pasaran Rp 10.000 di pasaran dijual seharga Rp 15.000. Koperasi-koperasi ini kemudian terkoordinasi dengan perusahaan untuk melakukan pemotongan gaji berdasarkan hutang buruh.
Merawat anak usia dua tahun beserta keluarga istrinya membuat kebutuhan Toni melambung. Toni menyandarkan kebutuhan harian tersebut dengan berhutang pada koperasi. Dari kebutuhan sembako keluarga, biaya renovasi, perawatan motor hingga kebutuhan anak. Dua bulan sebelumnya, potongan utang Toni ke koperasi sebesar Rp 451.500.
Perusahaan tidak menyediakan alat kerja untuk buruh. Akhirnya, buruh panen harus membeli peralatan dari perusahaan dengan cara mengangsur. Setiap bulan, upah buruh panen dipotong untuk membayar peralatan kerja. Kenapa harus membeli? Buruh panen dianggap sebagai buruh harian lepas dengan sistem pengupahan satuan hasil berbasis target harian. Jika tidak bekerja tidak mendapat upah (no work no pay) alih-alih status hubungan kerjanya tetap.
Mereka dipekerjakan saat panen. Namun, saat panen pun stok alat kerja terkadang tidak tersedia. Kadang buruh panen yang harus menunggu selama sebulan tidak bekerja akibat stok alat kerja di perusahaan kosong. Jenis hubungan kerja, sistem pengupahan satuan hasil dan pengkondisian perusahaan membatasi ketersediaan alat kerja yang mendorong para buruh panen membeli alat kerja. Harga alat kerja berupa pipa egrek yang digunakan di perusahaan harganya mencapai Rp1 juta. Untuk area kerja Toni, ia harus memakai dua pipa seharga Rp 600 ribu dan egrek seharga Rp 400 ribu. Harga tersebut tergantung merek/ketersediaan produk di perusahaan dan kadang bisa lebih mahal harganya.
Masa penggunaan egrek tidak menentu. Masa pakai egrek paling lama sebulan atau tiga bulan. Tapi tidak sedikit egrek rusak setelah dua hari dipergunakan. Potongan gaji untuk alat kerja terus berulang tiap bulan sampai angsurannya lunas. Ketika angsuran lunas, datang lagi angsuran pembelian alat kerja baru. Sekali waktu, Toni sempat mematahkan egrek alat kerjanya yang dipakai untuk memanen buah sawit. Ia pun harus membeli alat kerja baru ke perusahaan. Dua bulan lalu merupakan angsuran terakhir egreknya sebesar Rp 282.700 dan angkong sebesar Rp 50.700.
Di slip gaji Toni tercantum potongan resmi BPJS. Tapi ada potongan misterius yang disebut simpanan sebesar Rp 3.500- Rp4.800 per bulan. Hingga kini, para buruh panen sama sekali tidak mengetahui potongan ini digunakan untuk apa dan didapat dari mana.
Upah Toni pada dua bulan lalu sebesar Rp2.400.000. Jauh di bawah UMK Buol. Nilai tersebut harus dipotong 75 persen alias sebesar Rp 1.800.000. Toni hanya mengantongi Rp600 ribu. Ia pun harus menyetor ke rentenir sebanyak Rp400 ribu per bulan untuk menutupi cicilan motornya. Total upah yang dibawa pulang ke rumahnya pada bulan itu hanya sebesar Rp200 ribu.
Rentenir di perkebunan berkeliaran. Mereka menawarkan kemudahan peminjaman uang dengan sistem tahan buku rekening serta kartu ATM. Jika buku dan ATM sudah ditangan rentenir maka kebutuhan penarikan uang harus melalui rentenir tersebut.
Di Buol beberapa spanduk-spanduk buaian layanan kredit seperti Mandala Finance banyak berseliweran di warung-warung dan toko masyarakat.
Sekali waktu mandor meminta Toni untuk menambah pekerjaan lain berupa loading buah dan pruning pelepah sawit. Sebagai buruh panen Toni pun tidak berani menolak permintaan mandor. Toni pun tidak habis akal, dengan bermodalkan angkong yang telah dicicil dapat memudahkan pekerjaan tambahannya seperti loading di kebun. Pikirnya pun dengan menambah pekerjaan ia pasti akan menambah pendapatan. Pendapatan bertambah tetapi besar juga potongan dari perusahaan.
Berikut Tabel perbandingan upah Toni bulan I dan II lalu :
Bulan I
Bulan II
Keterangan
Rp 2.400.000
Rp 3.150.000
Upah Hasil Kerja
Rp 9.400
Rp 17.800
Denda Panen
Rp 451.500
Rp 949.400
Potongan Koperasi (Kebutuhan harian)
Rp 333.400
Rp 0
Potongan Alat kerja (Egrek dan Angkong)
Rp 896.600
Rp 968.600
Potongan Panen Kontanan
Rp 3.500
Rp 4.800
Potongan Disimpan
Rp 105.000
Rp 105.000
Potongan Resmi BPJS (Jamsostek, Kesehatan dan Pensiun)
Rp 1.799.400
Rp 2.045.600
Total Potongan Perusahaan
Rp 400.000
Rp 400.000
Potongan Rentenir
Rp 600.600
Rp 1.104.400
Upah yang dibawa pulang
Upah di bulan kedua Toni dipotong hampir sama dengan sebelumnya yakni di angka >70 persen. Walaupun ada peningkatan upah, namun potongan juga meningkat. Jadi menambah pekerjaan tidak serta merta menyebabkan Toni mendapat upah yang layak.
Padahal, dalam ketentuan perundang-undangan, batas maksimal pemotongan upah buruh bulanan tidak boleh melebihi 50 persen.2 Dengan kata lain, besaran potongan di atas 70 persen sebagaimana yang Toni alami merupakan sebuah pelanggaran hak-hak buruh. Dampak pemotongan ini akan menjadikan buruh terus bekerja dalam jam kerja panjang, kondisi berbahaya dan terjerat hutang secara terus menerus.
Selain itu, penjualan dengan skema hutang alat kerja, koperasi, potongan kontan/lembur kepada buruh panen merupakan bentuk dari pelepasan tanggung jawab perusahaan terhadap pemenuhan fasilitas kerja bagi buruh.
Selain potongan-potongan tersebut, perusahaan juga memberlakukan pemotongan bagi para buruh lain yang menggunakan fasilitas kerja berupa mess karyawan. Mertua Toni yang sudah pensiun bekerja dari perusahaan mendapatkan potongan sebesar Rp 6.000.000 ketika dibayarkan pesangonnya. Potongan tersebut dianggap sebagai sewa mess termasuk listrik dan air dari buruh kepada perusahaan. Bahkan pemotongan tersebut tidak dituliskan secara rinci pada waktu pembayaran pesangon, hanya nominal yang tertulis dan pembicaraan dengan buruh. Dikarenakan alasan tersebut, maka Toni lebih memilih untuk tidak memakai mess dari perusahaan dan tinggal bersama dengan keluarga mertuanya.
Hutang Toni untuk kebutuhan harian di koperasi merupakan dampak kebijakan upah murah berdasarkan target yang dibuat oleh perusahaan. Buruh panen harus bekerja dengan target tinggi, menambah pekerjaan untuk mengejar upah layak. Sebaliknya perusahaan diuntungkan dengan sistem kerja tersebut.
Sistem kerja seperti ini termasuk pada indikator kategori kerja paksa (Forced Labour)3 yaitu Upah Murah (Underpaid) dan Jerat Hutang (Debt Bondage). Praktik-praktik ini harus dihilangkan karena semakin merantai buruh dalam kemiskinan dengan kerja-kerja upah murah serta menyebabkan ketergantungan terhadap perusahaan. Alasan hanya ada satu perusahaan sebagai tempat bekerja di Buol tidak layak dipakai untuk mengamini berbagai praktik pelanggaran ketenagakerjaan di dalamnya.
Dari kisah ini, demi bertahan hidup sosok pemuda seperti Toni tidak habis akal, hanya saja perusahaan terus saja mengakali Toni.[]
Footnote
Prima Wirayani. Hartati Murdaya hingga Tutut Masuk Daftar Perempuan Terkaya. CNBC Indonesia, 25 Juli 2018. Tersedia: https://www.cnbcindonesia.com/news/20180725143124-4-25292/hartati-murdaya-hingga-tutut-masuk-daftar-perempuan-terkaya. ↩︎
Pasal 65 Peraturan Pemerintahan No 36 tahun 2021 tentang Pengupahan ↩︎
Indikator ILO No 29 Tahun 1930 tentang Kerja Paksa ↩︎
Proses penangkapan ikan di Kepulauan Aru dilakukan oleh nelayan tradisional, nelayan lokal, dan kapal-kapal penangkap ikan industrial. Hulu dari proses produksi perikanan di Kepulauan Aru adalah kapal-kapal nelayan tradisional dengan mesin speed yang memiliki kemampuan berlayar lebih dari 12 mil, bahkan hingga mencapai batas negara Indonesia–Australia. Nelayan-nelayan ini beroperasi selama satu hari dan hasil tangkapan […]
Minggu pertama Agustus 2024, saya mengunjungi salah satu perkebunan sawit ternama di Kalimantan Barat. Perusahaan sawit ini memiliki nama prestisius karena dipandang lebih baik dalam aspek penyediaan fasilitas dan pemenuhan hak normatif, ketimbang perusahaan sawit lainnya di Kalimantan Barat. Ya, setidaknya begitulah pandangan buruh-buruh yang bekerja di perusahaan tersebut. Di perkebunan sawit ini, beberapa kebutuhan […]
Gerakan massa ‘Peringatan Darurat’ berhasil membatalkan revisi RUU Pilkada. Demonstrasi ‘Peringatan Darurat’ mengingatkan kembali mengenai pentingnya aksi massa, kampanye kreatif, pengorganisasian yang luwes dan pendidikan yang telaten. KAMIS 22 AGUSTUS 2024, Pukul 19.15. Lelaki kurus usia 60-an berkaos oranye-biru belel. Ia menggerakkan kakinya yang dibungkus sepatu bot dengan cepat. Lelaki itu menghampiri dan berbisik kepada […]