Cerita tentang perluasan kebun sawit yang menghabisi hutan dan wilayah kelola masyarakat, sekaligus menghancurkan ekosistem sungai, sudah banyak ditemukan di berbagai laporan penelitian. Begitu juga dengan cerita pemburukan kondisi kerja, berjibunnya masalah kesehatan dan upah murah yang dialami buruh perkebunan kelapa sawit, juga sudah banyak ditulis. Namun, belum banyak tulisan yang berupaya mengulas kisah perjalanan buruh sawit serta beragam aspek yang mendorong mereka menjadi buruh sawit: terjerembap dalam kehidupan penuh masalah yang tidak terkendali. Tulisan ini akan mencoba mengulas lintasan perubahan ruang hidup yang berperan membentuk dinamika perburuhan dan menguatnya penguasaan lahan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kampung Suakong.
Perubahan kampung dari waktu ke waktu
Kampung Suakong berada jauh di pedalaman Kutai Barat, Kalimantan Timur; sekitar 296 km dari Kota Samarinda; sekitar 15 jam perjalanan baik menggunakan jalur sungai Mahakam maupun jalur darat yang jalan porosnya rusak parah. Kerusakan jalan poros diakibatkan oleh lalu lalang truk-truk besar milik perusahaan yang mengangkut sawit dan kayu.
Jalan poros tersebut baru dibentuk pada tahun 1990-an setelah pembukaan jalan logging. Perkebunan sawit sendiri mulai dibuka pada tahun 2006, saat kebun karet masyarakat tidak lagi menguntungkan dan mulai ditinggalkan. Sebelum masuknya logging dan terbentuknya jalur darat, pada 1980-an masyarakat Kampung Suakong menyusuri Sungai Lawa untuk menjual rotan sehingga bisa membeli kebutuhan sehari-hari.
“Sekali tebas rotan aja saya bisa jual pake perahu ke Muara Lawa buat beli gula dan bahan-bahan lainnya … itu bisa bertahan sebulan lebih,” .
Pak Di, warga Kampung Suakong, 2023.
Masyarakat Suakong masih menyimpan kebanggaan dan kenangan terkait produksi rotan, lanjong dan anjat (wadah dari anyaman rotan) di masa lalu. Bu Karmili misalnya, masih menyimpan lanjong kecil yang diberi dan dibuat sendiri oleh bibinya. Selain rotan, masyarakat Suakong juga membanggakan pohon banggeris, pohon besar yang dulunya menjadi tempat mengambil madu. Konon pohon ini hanya bisa dipanjat oleh orang dengan keahlian tertentu.
Madu pohon banggeris ini, selain dikonsumsi sendiri untuk kesehatan juga dijual oleh masyarakat. Karena banyaknya manfaat yang dihasilkan dari pohon banggeris ini, masyarakat Kampung Suakong memiliki kesepakatan adat yang melarang penebangan pohon banggeris.
Sayangnya, fakta mengatakan lain. Setelah kebijakan pemberian HPH (Hak Pengusahaan Hutan) kepada perusahaan-perusahaan logging pada 1990-an, berbagai pemanfaatan lahan terjadi secara beruntun di Kampung Suakong. Pohon banggeris banyak ditebang dan madu banggeris pun tinggal kenangan. Aktivitas masyarakat yang sebelumnya menggunakan jalur sungai juga mulai ditinggalkan setelah terbentuknya jalur darat.
Pada 2000-an, masyarakat Suakong mulai mengenal karet. Permintaan pasar global yang tinggi terhadap karet, berhasil merayu masyarakat Kampung Suakong berbondong-bondong menanam karet. Meski tetap mempertahankan sebagian pohon buah lainnya, seperti cimpedak, rambutan, dan sebagainya. Namun, mahalnya harga karet tidak bertahan lama. Banyak masyarakat yang tergiur menanam karet mengalami kekecewaan, sebab setelah pohon karetnya sudah tinggi dan siap disadap justru harga karet jatuh. Hingga saat ini banyak ditemui beberapa ladang karet yang dibiarkan begitu saja.
Keuntungan tak kunjung datang dari ladang karet, sebaliknya, masyarakat Suakong kesulitan memperoleh uang untuk membeli kebutuhan harian. Dalam situasi yang terdesak pada 2006 PT Wahana Kutai Kencana (WKK), yang kemudian berganti nama PT Kutai Agro Lestari (KAL), datang dan menjanjikan pendapatan tinggi bagi masyarakat melalui perekrutan tenaga kerja dan “kerja sama plasma”. Banyak masyarakat tergiur dengan janji-janji perusahaan dan terdorong untuk menyerahkan lahannya.
Saat itu, sebenarnya tidak ada lahan kepemilikan pribadi; lahan-lahan dikuasai dan dikelola bersama oleh keluarga besar, yang mereka sebut sebagai “hutan warisan” karena kakeknya yang pertama kali membuka hutan itu. Namun, karena tergiur oleh janji perusahaan sawit, akhirnya beberapa anggota keluarga memasangan patok-patok lokasi, tanpa sepengetahuan anggota keluarga lainnya, untuk diserahkan ke PT KAL. Hal ini memicu perselisihan di antara anggota keluarga.
Selain itu, sesuai yang dijanjikan, perusahaan sawit merekrut banyak masyarakat lokal sebagai buruh harian lepas (BHL). Keberadaan perusahaan sawit saat itu cenderung disyukuri sebagai solusi untuk memperoleh uang setelah karet dan rotan tidak lagi bisa diandalkan.
Kampung di HGU perusahaan sawit
PT KAL nampaknya tidak sembarangan menyerobot lahan masyarakat meski sudah mengantongi Hak Guna Usaha (HGU). Salah satu cara untuk bisa menguasai lahan masyarakat adalah pembentukan koperasi untuk merealisasikan “kemitraan plasma” dengan masyarakat. Berbeda dengan perkebunan sawit lainnya yang memiliki batas yang jelas antara lahan inti dan plasma, di Kampung Suakong lahan inti dan plasma bercampur di dalam area HGU.
Plasma hanyalah cara menguasai lahan tanpa bersitegang dengan masyarakat yang menguasai dan mengelolanya lebih dulu. Kemitraan plasma pun saat itu disyukuri, sebab selain mendapatkan upah sebagai buruh sawit, juga memperoleh pendapatan dari plasma. Dengan lancarnya dua sumber pendapatan ini, masyarakat tidak banyak mempermasalahkan perusahaan sawit meski di kemudian hari ditahui kalau ladang dan pemukiman yang mereka tinggali berada di dalam area HGU PT KAL.
HGU PT KAL merentang melewati empat kampung (Jelmu Sibak, Suakong, Dilang Puti, dan Penarung), berikut Sungai Lawa yang melintasi keempat kampung itu. Namun, baru sekitar sepertiga dari area HGU yang sudah ditanami sawit. Sebagian lahan di area HGU masih dipertahankan oleh pemiliknya untuk tidak diserahkan kepada PT KAL yang sebenarnya tidak berkutik kalau ditentang oleh masyarakat.
PT KAL pernah menanami sawit di lahan dekat pemukiman atas dasar HGU tanpa sepengetahuan pemiliknya, namun setelah ditentang, PT KAL mengembalikan lahan itu. Keberadaan kampung di dalam HGU, serta tarik menarik penguasaan lahan di dalamnya, memunculkan banyak pertanyaan di benak penulis: Kok bisa ada kampung di dalam HGU? Apakah pemerintah pusat tahu kalau ada pemukiman dan lahan masyarakat di situ? Apakah sejarah kampung dan orang-orangnya memang sudah dianggap tidak ada? Atau jangan-jangan, “kampung, lahan dan orang-orang-nya” di area HGU memang diserahkan oleh pemerintah pusat untuk “dikuasai” oleh perusahaan sawit?
Saat ini PT KAL belum bisa melakukan pembebasan lahan sepenuhnya di area HGU. Lahan yang sudah dibebaskan dan ditanami sawit pun tidak semua terurus, hanya sebagian lahan sawit yang dirawat dan dipanen. Mungkin, PT KAL belum cukup modal untuk melakukan pembebasan lahan dan pengerahan buruh untuk mengelola keseluruhan area HGU. Berdasarkan pernyataaan Presiden Direktur CT Agro (Perusahaan Induk PT KAL), sebagaimana diberitakan oleh jurnalis media Kontan pada 3 Desember 2013, bahwa hanya menunggu waktu perusahaan akan melakukan penanaman sawit di jumlah lahan (land bank) yang “dimilikinya”. Meski di tingkat lokal terjadi tarik menarik penguasaan lahan, namun di tingkat nasional perusahaan menganggap sebagai penguasa lahan dengan mengantongi HGU.
Seiring perjalanan waktu, krisis demi krisis mulai terasa; banyak pohon banggeris yang ditumbangi, kalau pun masih ada yang tersisa tapi tidak lagi menghasilkan madu; air sungai menjadi keruh dan tidak bisa lagi dikonsumsi, bahkan ikan-ikan di sungai pun sudah banyak mati. Ketika ruang hidup tidak lagi memberikan kemudahan untuk memenuhi konsumsi sehari-hari, kebutuhan untuk memperoleh uang semakin tinggi; ketergantungan untuk menjadi buruh juga semakin menguat. Karenanya, pemecatan buruh sawit lokal (PHK) secara massal pada awal pandemi Covid-19 atau pertengahan tahun 2020 benar-benar mengguncang masyarakat Kampung Suakong.
Setelah dipecat: lahan lenyap, janji menguap
Kekecewaan masyarakat terhadap PT KAL mulai meningkat ketika dua sumber pendapatan yang bergantung pada perusahaan sawit mulai lenyap dan menguap. Pendapatan dari kebun plasma semakin tidak menentu. Dengan dalih merugi, koperasi plasma PT KAL menunda dan mengurangi pembayaran kepada petani pemilik lahan plasma. Para pemilik lahan tak bisa berbuat banyak karena mereka tidak pernah dibiberitahu, apalagi dilibatkat terkait cara perhitungan untuk pembayaran hasil sawit dari lahan plasma.
Saat pagebluk Covid-19 melanda pada pertengahan 2020, kekecewaan masyarakat meledak, warga kampung yang bekerja di perusahaan mengalami pemecatan massal tanpa pesangon. Saat itu, korban-korban PHK membangun kekuatan, bahkan meminta bantuan pengurus serikat buruh dari Samarinda, untuk menggugat PT KAL. Meski begitu, PT KAL punya caranya sendiri untuk menghadapi situasi tersebut: elite lokal yang awalnya terlibat dalam menggugat PT KAL, tiba-tiba berbalik posisi mendukung PT KAL. Masyarakat terbelah, perlawanan masyarakat ke PT KAL pun mereda.
Dalam situasi tanpa pendapatan, banyak masyarakat kebingungan dan akhirnya memutuskan mencari pekerjaan ke luar kampung di pertambangan, logging, atau kebun sawit lainnya. Sementara PT KAL yang terus-terusan mendaku rugi, pada kenyataannya terus berkembang dengan merekrut dan mempekerjakan buruh migran asal Indonesia Timur dan Jawa. Mereka dipekerjakan sebagai buruh borongan atau buruh harian lepas. “Hampir semua buruh PT KAL itu sekarang dari timur,” ujar salah satu pemuda kampung. Hal itu pula yang menjadi alasan Kampung Suakong menjadi sepi; yang banyak terlihat adalah orang-orang berusia lanjut atau ibu-ibu yang sedang mengasuh anak kecil sambil menjaga warung.
Janji-janji kesejahteran yang digembar-gemborkan oleh PT KAL pada awal pembebasan lahan seolah-olah menguap begitu saja. Masyarakat Suakong pun sudah tidak memedulikan janji-janji itu. PT KAL tetap menguasai dan mengelola lahan yang dirampas dari masyarakat, dan kemungkinan besar juga akan mencoba beragam cara untuk bisa menguasai dan mengelola seluruh area HGU, seperti yang dinyatakan presiden direktur perusahaan induknya.
Meski demikian, masyarakat yang tetap tinggal di Kampung Suakong tidak menyerah. Beberapa orang mencoba melakukan penanaman sawit mandiri; beberapa orang membangun usaha jasa pengangkutan baik untuk kebun sawit perusahaan maupun kebun sawit mandiri; bahkan ada yang mencoba bernegosiasi dengan perusahaan untuk bisa memanen di kebun sawit perusahaan yang tidak terurus. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang pemilik lahan plasma:
“Kebun sawit itu dulunya menghabisi tanaman rotan kita tapi tidak terurus semua, malah dijadikan alasan untuk mengurangi pendapatan plasma, kan sebaiknya kita yang panen sawitnya,”
Pemilik lahan plasma, 2023.
Memang pilihan sulit bagi masyarakat untuk memperoleh pendapatan: membuka warung di kampung yang sepi atau terlibat dalam rantai produksi/pasok sawit. Hanya satu keluarga, yang ditemui penulis, yang fokus mengelola ladang buah-buahan bersama saudara-saudaranya pasca pemecatan massal. Beruntung keluarga ini tidak menyerahkan ladang buahnya ke PT KAL. Beruntung ladang buahnya masih subur dan memiliki mata air yang tidak bersinggungan dengan pencemaran kebun sawit. Beruntung pula buah-buahannya yang dihasilkan laris terjual kepada orang-orang yang melintasi jalan poros karena nampaknya memang tidak ada lagi ladang atau penjualan buah lainnya di sepanjang jalan poros.
Namun, apakah keberuntungan satu atau dua keluarga cukup untuk menghadang upaya sistemik perusahaan sawit untuk menguasai dan mengendalikan Kampung Suakong? Sementara kolektivitas kampung sudah terberai dan semakin menyusut pada keluarga-keluarga kecil. Dalam kondisi inilah masa depan generasi selanjutnya di Kampung Suakong dipertaruhkan!
Penulis
-
Akiel
-
Sekretariat Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS)