Tak pernah terbayang sebelumnya oleh Tarzi (bukan nama sebenarnya) menjadi transmigran di kotanya sendiri bersama isteri dan anak-anaknya. Tarzi lupa tahun persisnya, tapi ia menandai perjalanannya menjadi transmigran bermula saat ia bekerja pada perusahaan yang ditunjuk untuk melakukan land clearing lahan APL (Areal Penggunaan Lain) yang akan digunakan untuk penempatan program transmigrasi (Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan NTT) di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Program transmigrasi kala itu, yang diyakini oleh Presiden Soeharto, sebagai upaya pemerataan penduduk, peningkatan produksi pertanian sekaligus keamanan negara.
Setelah perusahaan tempatnya bekerja selesai membuka lahan. Tarzi yang berasal dari desa sekitar lokasi transmigrasi, memutuskan ikut dalam program transmigrasi lokal atau APPDT (Alokasi Penempatan Penduduk Daerah Transmigrasi) dari pemerintah daerah kabupaten Buol-Toli-toli (sekarang Kabupaten Buol).[1] Program transmigrasi tersebut, memberikan Tarzi dan keluarganya fasilitas rumah dengan pekarangan untuk bermukim dan lahan seluas 2 hektar bertani. Jarak dari rumah dengan lahan pertanian sekitar 3 kilometer.
Meskipun telah mendapatkan lahan, karena alasan modal, Tarzi tak langsung bisa menggarap lahannya. Lahan yang masih berupa hutan memerlukan modal besar untuk diubah menjadi lahan pertanian. Setahun pertama, untuk bertahan hidup, Tarzi dan keluarganya mengandalkan jatah hidup (Jadup) dari pemerintah, sembari sedikit-demi sedikit mencicil persiapan lahannya. Kesulitan modal membuat Tarzi membiarkan sebagian lahannya tak terawat menjadi semak belukar. Setelah Jadup tak lagi diberikan pemerintah, Tarzi pun bekerja sebagai ‘tukang senso’ alias tukang kayu jika ada warga kampung yang ingin menebang pohon di kebun, sembari berdagang di pasar.
Belum sempat mengelolah lahannya dengan baik, perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Hardaya Inti Plantation (HIP) datang bersama Pemerintah Daerah. Mereka menawarkan kerjasama mengelola lahan pertanian warga transmigrasi. Saat itu, Tarzi dan warga lainnya dikumpulkan di balai pertemuan oleh pemerintah desa untuk mendengarkan pemaparan program kemitraan plasma. “Kalau boleh lahan masyarakat mau dikerjasamakan sama perusahaan, mau ditanami sawit,” ucap Tarzi menjelaskan kerjasama yang ditawarkan perusahaan.
Tarzi ingat betul, kala itu pemaparan dari pihak perusahaan dipenuhi dengan bujuk rayu dan mitos-mitos kesuksesan. “… [D]aerah lain, yang punya tanah setengah hektar saja, bisa sampai menghasilkan dua mobil parkir di pinggir rumah,“ ucap Tarzi menirukan gaya perusahaan saat membujuknya. Tak hanya itu, janji manis pun diucap berkali-kali, dari penghasilan yang besar, penghidupan yang layak, bisa menyekolahkan anak hingga dapat menyejahterakan keluarga.
Setelah kesekian kalinya perusahaan bertemu warga, masyarakat mulai tergiur, sekitar 300 keluarga menyerahkan tanahnya. Padahal beberapa lahan petani sudah ada yang ditanami sayur-mayur, padi, coklat, lemon, dan segala macam jenis tanaman. Namun demi meyakinkan warga pihak perusahaan yang didampingi pemerintah daerah terus menebar janji akan mengganti biaya tanam bagi warga yang lahannya sudah digarap.
Dalam proses bujuk rayu perusahaan, pemerintah seolah memfasilitasi kepentingan PT HIP untuk program kemitraan plasma. Dengan narasi program pemerintah tentang revitalisasi perkebunan satu atap yang dicanangkan sejak 2007,[2] PT HIP mendapatkan ribuan hektar lahan untuk perluasan perkebunan sawit, tanpa harus mengeluarkan pembiayaan yang besar. Hanya cukup dengan mengarang cerita kesuksesan, janji-janji manis dan siasat merebut hati tokoh-tokoh masyarakat serta mendekati para pejabat negara.
Praktik kemitraan plasma dalam program revitalisasi perkebunan di tempat Tarzi mensyaratkan para petani menyerahkan lahan kepada PT HIP melalui koperasi yang didorong oleh pemerintah kabupaten.
Di bawah sistem kemitraan plasma, Tarzi dan para pemilik lahan dimasukan ke dalam koperasi yang menjalin ‘kerjasama resmi’ dengan perusahaan perkebunan. Namun Tarzi dan anggota koperasi lain tidak pernah melihat isi perjanjian kerjasama antara koperasi dengan PT HIP. Sebagai anggota, Tarzi pun tak mengetahui bagaimana mekanisme kerjasama dilakukan, apa peran masing-masing pihak dan bagaimana kesepakatan kerjasama itu dilakukan. “Saya cuma mendengar kalau sudah berhasil, akan bagi hasil, dorang bilang (pengurus koperasi) pembagiannya 70:30. Cuma ndak tau yang 70 siapa, yang 30 siapa,” jelas Tarzi sembari menggaruk kepala sembari mengingat-ingat tentang skema pembagian hasil yang disampaikan oleh pengurus koperasi.
Faktanya, sudah lebih dari 10 tahun pembagian hasil tak pernah dirasakan Tarzi. Sebaliknya, anggota koperasi justru disebut memiliki hutang ke bank sebesar Rp25 miliar dan ke perusahaan Rp16 miliar. Hutang koperasi kepada bank dituduhkan untuk membiayai pembukaan lahan, penanaman hingga perawatan selama pohon sawit belum berbuah. Sementara hutang ke perusahaan sebagai biaya talangan dari perusahaan untuk pembangunan kebun. Hutang-hutang itu pun tak pernah diperlihatkan rinciannya alias tidak transparan. Padahal, menurut Tarzi mestinya dalam kerjasama, apapun harus ditanggung bersama oleh kedua pihak. Namun kenyataannya tidak.
Tarzi masih ingat betul apa yang disampaikan oleh Hartati Murdaya sebagai pemilik PT HIP ketika bertemu warga pada acara peresmian pembukaan kebun plasma. Dalam sambutannya Hartati Murdaya yang didampingi oleh Bupati Buol kala itu, Amran Batalipu, mengatakan: “Saya datang ke Buol, untuk memperbaiki nasib masyarakat di Buol,” ujar Tarzi mengulang apa yang dikatakan salah satu pengusaha perempuan yang juga sebagai politisi pada salah satu partai besar di Indonesia. Tarzi pun kesal jika mengingat hal tersebut, yang dia rasakan bukan kesejahteraan, tapi malah kesengsaraan masyarakat yang tak ada habis-habisnya.
Melalui program plasma, masyarakat tak hanya kehilangan lahan untuk bertani, tapi juga kehilangan pekerjaan karena lahannya sudah tak bisa lagi diakses oleh petani. Jika harus bekerja pun harus melalui mekanisme perekrutan yang belum tentu diterima. Hal yang membuat banyak para pemilik lahan marah adalah ketika mereka menyaksikan PT HIP panen buah sawit yang berlimpah dari kebun di lahan mereka, tapi tak sedikit pun pemilik lahan menikmati hasilnya. Parahnya, mereka terjebak hutang yang entah dari mana asal-usulnya. Padahal, setelah sekian tahun mereka menanti pohon sawit berbuah, mereka berharap akan menikmati hasil dari kerjasama plasma. Disaat keuntungan yang besar dari dari penjualan hasil sawit di kebun plasma, para petani pemilik lahan dicampakan begitu saja.
Melalui koperasi kuasai tanah petani
Sejak 5 tahun terakhir, para pemilik lahan yang merupakan anggota koperasi mulai mempertanyakan kerjasama tentang pembagian hasil dan beban hutang yang mereka tanggung. Pada 1 Januari 2023, Tarzi dan beberapa anggota koperasi didatangi oleh salah satu pengurus koperasi. Saat itu Tarzi diminta untuk menandatangani hasil keputusan rapat pengurus koperasi tentang rencana penghentian aktivitas PT HIP di kebun plasma. Keputusan yang tidak melibatkan seluruh anggota koperasi itu dipertanyakan dan menjadi polemik di anggota koperasi. Dua hari kemudian, Tarzi beserta anggota lainnya berinisiatif untuk membuat pertemuan antara pengurus dan seluruh anggota koperasi.
Dalam pertemuan tersebut, para anggota meminta pengurus menjelaskan maksud dan tujuan menghentikan aktivitas PT HIP di kebun plasma. Penjelasan dari pengurus pun cukup diterima oleh banyak anggota karena mewakili keinginan sebagian besar anggota. Yaitu, menuntut PT HIP untuk melakukan audit dan membicarakan kembali soal pengaturan sistem pengelolaan kebun plasma. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh seluruh anggota koperasi tersebut, mereka bersepakat untuk mendesakkan tuntutan mereka dengan cara aksi bersama menutup akses jalan menuju kebun plasma.
Mendengar pengurus dan anggota koperasi akan menutup akses perkebunan, dengan sigap pihak perusahaan mendatangi pengurus koperasi. Pihak perusahaan hanya ingin melakukan mediasi dengan pengurus koperasi. Pola seperti ini yang sering dilakukan oleh perusahaan sehingga keputusan-keputusan yang diambil pengurus koperasi kerap tidak berdasar pada kesepakatan anggota.
Singkatnya, pada 27 Januari 2023, mediasi pun terjadi, sebagai respons perusahaan atas aksi yang dilakukan anggota koperasi. Dari pihak koperasi dihadiri oleh pengurus koperasi dan tiga orang perwakilan anggota koperasi. Sementara dari pihak perusahaan, selain manajemen kebun PT HIP, turut hadir pula pemilik perusahaan Hartati Murdaya melalui zoom meeting. Namun pertemuan yang berlangsung di kantor kebun sentral PT HIP tersebut tidak diketahui hasilnya oleh Tarzi dan anggota lainnya. Pemberitahuan hasil pertemuan kepada anggota tak kunjung didengar, sehingga pada para anggota mendesak pengurus untuk mensosialisasikannya.
Untuk kali kedua pertemuan pengurus dan anggota dalam jumlah besar terjadi di koperasi. Pertemuan yang berlangsung di balai desa ternyata tak hanya dihadiri pengurus dan anggota koperasi, tapi juga pihak manajemen PT HIP. Pertemuan itu benar-benar membuat Tarzi dan sebagian besar anggota koperasi kecewa. Bukan karena kehadiran pihak manajemen PT HIP, tapi karena pengurus koperasi yang awalnya mengajak mereka melakukan aksi pemalangan jalan di kebun plasma, justru berbalik arah, Mereka malah memberikan tawaran kepada anggota untuk membuka akses kebun plasma yang ditutup paksa oleh anggota koperasi. Perusahaan pun mengiming-imingi akan dibayarkan hasil kebun plasma kepada petani plasma dan akan diberikan dana CSR kepada desa sembari berjanji akan tetap mempertimbangkan tuntutan para anggota.
Merasa sudah dibohongi berkali-kali oleh perusahaan Tarzi dan anggota lainnya pun mengambil sikap untuk menolak membuka akses kebun dan mengabaikan tawaran yang diajukan perusahaan. Para anggota koperasi tetap berpegangan kepada tuntutan yang diajukan. Audit dan pengelolaan kebun oleh petani alias dikembalikan tanah sepenuhnya kepada petani.
Penolakan tersebut seperti ancaman bagi perusahaan. Hal itu ditunjukkan dari respon perusahaan yang mengirimkan aparat kepolisian sebanyak 2 pleton di areal kebun. Iring-iringan mobil polisi dan pihak manajemen perusahaan beserta rombongan buruh panen perusahaan sengaja melewati rumah pemilik lahan sebagai teror terhadap warga. Rombongan tersebut dipimpin langsung oleh Kapolres Kabupaten Buol. Mereka menuju lokasi penutupan akses kebun plasma dengan tujuan membongkar paksa pemalangan dan memanen buah yang sudah hampir sebulan tak dipanen karena akses jalan ditutup oleh para petani.
Meskipun demikian Tarzi dan anggota koperasi lainnya tetap bertahan sampai perusahaan sampai tuntutannya dipenuhi. Bukannya memenuhi tuntutan, pihak perusahaan justeru menambah aparat kepolisian dari satuan Brimob dibawah kordinasi Polda Sulteng. “Kita orang hanya menuntut hak. Kita orang bukan untuk merampok atau mencuri, kenapa sampai dibawakan Brimob. Setahu saya, ini alat-alat yang bapak-bapak bawa ini cuman ada di medan peperangan.” Ucap Tarzi ketika hendak meminta keterangan kepada aparat keamanan.
Hingga sampai saat ini mobil truk polisi masih di parkir di area perkebunan PT HIP. Tarzi dan kawan-kawannya terus berusaha mendapatkan tanahnya kembali. Dan mendapatkan hak atas lahan yang dimilikinya. Sementara para pengurus koperasi seakan tak punya beban amanah dari anggota.
Menempel agar tetap hidup
Terhimpit kebutuhan yang terus mencekik, Tarzi yang sudah tidak memiliki apa-apa, terpaksa bekerja menjadi buruh serabutan di desanya. Hal itu satu-satunya yang bisa dilakukan untuk bisa menghidupi keluarganya.
Beberapa kali Tarzi melamar sebagai buruh kebun di PT HIP, ditolak. Sekira 10 tahun lalu Tarzi sempat mendaftar sebagai buruh di PT HIP. Janji perusahaan akan mempekerjakan pemilik tanah di perkebunan plasma tidak juga dipenuhi oleh mereka. Dengan berbagai alasan, perusahaan menolak Tarzi untuk bekerja di lahan yang sebenarnya miliknya sendiri. Berbagai alasan dilontarkan, dari faktor usia, pengalam, pendidikan hingga kebutuhan buruh sudah full. “Kami mau masuk jadi karyawan, tidak bisa. Sedangkan kami tidak punya apa-apa lagi. Karena tanah yang kami punya hanya itu saja,” ujar Tarzi menjelaskan situasinya saat ini.
Agar dapat menutupi kebutuhan hidup sehari-hari Tarzi dan beberapa teman pemilik lahan secara terpaksa menjadi buruh tempel. Buruh tempel adalah istilah sehari-hari untuk mengatakan seseorang yang bekerja di PT HIP tapi tidak memiliki hubungan kerja langsung dengan perusahaan, melainkan dengan buruh perusahaan yang berstatus kontrak atau tetap. Karena posisinya mengikuti orang atau menempel pada buruh yang berstatus kontrak/tetap serta jumlahnya yang cukup besar, penyebutan buruh tempel menjadi istilah yang familiar yang digunakan masyarakat sekitar perkebunan PT HIP.
Pada dasarnya, buruh tempel tidak diakui oleh perusahaan apalagi tercatat dalam administrasi perusahaan. Buruh tempel hanya dianggap tenaga bantuan yang dibawa oleh buruh perusahaan agar dapat mengejar target kerja. Walaupun pada kenyataannya buruh tempel mengerjakan pekerjaan yang sama seperti buruh perusahaan, buruh tempel tidak memiliki hak-hak yang seharusnya melekat pada buruh. Statusnya dikaburkan melalui istilah tempel alias tidak memiliki ikatan kerja sebagaimana mestinya.
Meskipun sudah ditolak berkali-kali, Tarzi tetap mencobanya. Hal itu ia lakukan karena situasi yang terdesak. Kali ini Tarzi diterima bekerja, namun bukan menjadi buruh yang memiliki hubungan langsung ke perusahaan, melainkan sebagai buruh tempel. Tarzi pun mencetitakan percakapan singkat dengan salah satu mandor ketika meminta pekerjaan salah satu mandor kebun:
Tarzi : Saya mau bekerja, bisakah hasil kerja saya dititipkan ke orang lain?
Mandor : bisa saja, memang mau kerja apa?
Tarzi : Saya mau jadi penurun buah (pemanen), saya mau belajar.
Mandor : Boleh, nanti dimasukkan ke peron si A saja.
Sampai saat ini Tarzi sudah bekerja sebagai buruh tempel selama 5 tahun. Awalnya Tarzi menempel ke siapa pun yang ia kenali yang bekerja di perusahaan. Namun kali ini ia menempel kepada anak menantunya yang bekerja sebagai buruh panen di perusahaan. Tidak berarti nasib menantu Tarzi lebih baik.[3]
Besaran upah yang diterima Tarzi bergantung pada hasil panen yang didapat. Namun, Tarzi tidak diupah oleh perusahaan.. Melainkan oleh menantunya, di mana Tarzi menempel. Tarzi mengilustrasikan bagaimana ia mendapatkan upah. Setiap hasil panen dikumpulkan kepada menantunya. Tarzi mencatat setiap hasil panen yang telah dikumpulkan setiap hari. Begitupun menantunya. Setelah satu bulan total hasil panen Tarzi dan menantunya dihitung satu paket. Total hasil panen itu-lah yang untuk menentukan besaran upah yang diberikan perusahaan kepada menantunya. Tentu saja, dalam pembukuan perusahaan yang tercatat hanya jumlah hasil panen dengan nama menantu Tarzi. Tarzi tidak tercatat sebagai buruh di perusahaan tersebut. Setelah menantunya menerima upah dari perusahaan, ia ‘membagi’ upah tersebut kepada Tarzi. Upah Tarzi ditentukan dari hasil panen yang disetor dan dicatat oleh Tarzi setiap hari selama sebulan.
Pendapatan buruh tempel tidak menentu. Baru-baru ini, ia mendapatkan 950 tandan dalam satu bulan. Dengan begitu ia mendapatkan upah Rp900 ribu. Dengan segala risiko ditanggung sendiri. Dari risiko bertaruh dengan bahaya kecelakaan kerja yang tidak dijamin perusahaan, hingga risiko alat kerja yang harus ia sediakan sendiri.
Landscape perkebunan yang berbukit juga menjadi tantangan tersendiri bagi Tarzi dalam bekerja. Tidak jarang ia terpeleset saat memikul buah sawit yang dipanennya. Tarzi cukup beruntung karena hanya terpeleset. Beberapa kawan buruh tempelnya juga pernah mengalami kecelakaan yang lebih parah hingga mengalami luka yang membutuhkan perawatan khusus.
Di kaki kanan bagian tulang kering Tarzi terdapat bekas luka yang menandakan pekerjaan sebagai buruh panen memiliki risiko yang tak dijamin oleh perusahaan. Risiko itu ia hadapi sehari-hari di kebun. Bekas luka itu akibat terkena duri dari pelepah sawit yang jatuh menimpanya. Tarzi mengalami luka cukup parah, ia dan keluarganya pun mencoba untuk berobat ke klinik perusahaan agar menangani lukanya dan mengeluarkan duri yang terselip di daging kakinya. Setelah tiba di klinik, ia tidak direspons dengan baik oleh dokter. Bukannya menangani luka Tarzi, sang dokter malah memberikan ‘ceramah’ untuk mengurus administrasi terlebih dahulu. Karena tak punya uang dan merasa tak memiliki jaminan, hanya karena ia sebagai buruh tempel, Tarzi pun memutuskan pulang dan membiarkan duri yang berada di kakinya tertanam. Saat ditemui Tarzi mengatakan duri sawit yang masuk ke dalam kakinya sudah dibiarkan hampir dua tahun. Kondisi kakinya terus membengkak dan dia memberanikan diri mengeluarkan sendiri duri sepanjang 1 sentimeter tersebut dengan sebilah pisau tajam.
Cerita kecelakaan kerja yang dialami Tarzi lainnya adalah bibirnya yang sobek karena terkena alat kait sawit ketika memikul beban buah sawit yang berlebih. “Dua tandan dipikul, nah tandan yang di belakang terlepas. Jadi, ganco (kaitan sawit) terlepas. Nah, ganconya itu yang bapukul (menimpa) bibir saya,” terang Tarzi saat menceritakan kejadiannya.
Saat kejadian tersebut salah satu kondaktur mengetahuinya dan menyuruh Tarzi untuk segera ke klinik. Namun Tarzi tak ingin kecewa untuk kedua kalinya ketika datang ke klinik perusahaan. Tarzi pun mengatakan kepada kondaktur tersebut untuk memastikan bahwa ia punya hak untuk berobat ke klinik dengan mengatakan, “Kalau saya ke klinik tapi karena saya bukan karyawan, Pak. Saya tidak ada uang untuk membayar”. Sayangnya kondaktur hanya terdiam, yang menandakan bahwa memang Tarzi tak memiliki hak atas kesehatannya hanya karena buruh tempel. Tarzi hanya menahannya dan membawa rasa sakit itu ke rumah, dan membeli obat pereda nyeri dan Betadin di kios warung. Dengan sangat terpaksa itu ia lakukan.
Jika terjadi kecelakaan kerja pada buruh tempel kebun, pihak perusahaan benar-benar tidak bertanggung jawab. Mereka selalu beralasan karena buruh tempel bukan-lah buruh perusahaan. Mereka dibiarkan begitu saja. Perusahaan hanya menginginkan tenaganya yang diukur dari hasil panen yang didapatkan.
Baru-baru ini pun tetangga Tarzi ada yang meninggal di kebun karena tertimpa buah sawit, yang beratnya puluhan kilo. Menurut Tarzi tetangganya itu meninggal di tempat. Dan, tidak ada tanggung jawab apapun dari perusahaan. Perusahaan merampas tanah dan memperbudak manusianya agar bisa terus mengambil keuntungan dari tanah dan tubuh Tarzi agar terus bergantung dalam situasi yang serba sulit ini.
Di usianya yang sudah 50 tahun, Tarzi terus berjuang untuk hidup walaupun bahaya kerja terus mengintai. Sembari terus berjuang bersama kawan-kawannya agar tanah dan sertifikat tanahnya kembali kepadanya dan bisa diwariskan kepada anaknya. Walaupun ia tahu perjuangan ini panjang. []
[1] Pada 1999 wilayah Buuol menjadi kabupaten yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Buol-Toli-toli, berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai Kepulauan. Undang-ungang ini disahkan pada 16 September 1999 dan diresmikan pada 27 November 1999.
[2] Revitalisasi perkebunan merupakan kelanjutan dari program Perkebunan Inti Rakyat (PIR), yang diluncurkan pada 1978. Dapat dilihat: Syarif Arifin. Ekspansi Bisnis Pasangan Murdaya dan Perampasan Lahan Melalui Plasma. 29 Agustus 2022. Tersedia: https://majalahsedane.org/ekspansi-pasangan-murdaya-dan-perampasan-lahan-melalui-plasma/, diakses pada 18 September 2023
[3] Reza rumakat. Jerat Hutang, Mengegrek Upah Buruh ala Perusahaan Sawit PT Hardaya Inti Plantation. 21 September 2023. Tersedia: https://majalahsedane.org/jerat-hutang-mengegrek-upah-buruh-ala-perusahaan-sawit-pt-hardaya-inti-plantation/, diakses pada tanggal 23 September 2023
Penulis
-
Lukman Ainul Hakim
-
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane