“Besok kita akan bekerja dengan menggunakan helm, sepatu, sarung tangan lengkap yang sudah dibagikan pada hari ini,”
Perintah salah satu mandor kepada para buruh-buruh panen saat apel pagi.
Bagi Suwarno (bukan nama sebenarnya), buruh panen yang bekerja di PT Hardaya Inti Plantation, hal tersebut merupakan kejadian yang tidak biasa. Selama bekerja 15 tahun di perusahaan, baru kali ini ia diberi Alat Pelindung Diri (APD) dari perusahaan. Biasanya untuk APD seperti helm, sepatu boot diberikan gratis sebagai bonus kepada buruh panen apabila mencapai target panen harian sebanyak seratus tandan. Sebuah target yang tidak masuk akal bagi buruh panen pada kondisi sekarang. Jika tidak mencapai target harian, para buruh panen harus membeli sendiri alat pelindung diri. Alat-alat tersebut dijual di koperasi perusahaan.
Usut punya usut, ternyata perintah menggunakan alat pelindung lengkap itu berkaitan dengan adanya kunjungan petugas ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil/Kebijakan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan) ke perusahaan. Karena alasan itulah para buruh diwajibkan menggunakan APD sewaktu bekerja.
Menurut Suwarno, penggunaan APD yang diberikan perusahaan dikategorikan cukup mengganggu kerja. Kebun sawit merupakan area kerja yang cukup panas untuk bekerja dengan waktu kerja selama 5 jam per hari, belum termasuk kelebihan jam kerja yang tidak masuk hitungan lembur. “Jangankan menggunakan helm, menggunakan ikat kepala atau topi saja bikin tambah panas di kepala dan lama dipakai akan bikin pusing kepala,” ucapnya.
APD tersebut bukannya memperlancar pekerjaan, malah menghambat. Misalnya, sarung tangan, yang terbuat dari bahan kain dan karet yang licin. Ukurannya pun terlalu longgar di tangan sehingga menyulitkan untuk bekerja. Sementara untuk sepatu boot paling awet digunakan selama tiga bulan. Setelah itu, sepatu boot akan sobek di bagian telapak sepatu. Karena sepatu boot dibutuhkan untuk bekerja di perkebunan sawit, Suwarno pun merogoh kocek untuk sepatu boot baru. Harganya Rp120 ribu di koperasi. Dengan kondisi tersebut para buruh terpaksa harus memakai APD butut, paling tidak setelah kunjungan ISPO selesai. Setelah itu, para buruh melepas semua APD dan bekerja dengan “normal” tanpa menggunakan perlindungan diri.
Selain APD, alat kerja yang digunakan seperti egrek dan angkong tidak disediakan secara cuma-cuma kepada buruh panen. Para buruh pun harus membeli peralatan tersebut. Egrek seharga Rp 350 ribu, pipa per meter seharga Rp300 ribu dan angkong seharga Rp 400 ribu. Cara belinya dengan berhutang dan dibayar dengan potong upah setiap gajian. Suwarno menuturkan, kualitas alat kerja yang disediakan perusahaan menurun ketahanannya jika dibandingkan awal-awal dia bekerja di perusahaan. Alat kerja dan kualitas APD yang gampang rusak tampaknya sebagai salah satu strategi perusahaan untuk merampas upah buruh. Pada akhirnya, buruh semakin tergantung dan mudah dikendalikan oleh manajemen. Dengan kata lain mengalihkan tanggung jawab perusahaan kepada buruh panen itu sendiri.
Mess buruh
Sebagian buruh panen memilih tinggal di mess buruh perusahaan yang terdiri dari bangunan semi permanen berbahan kayu. Sebanyak 6 divisi area kebun di perusahaan. Masing-masing divisi memiliki mess buruh. Khusus untuk buruh panen, mess berbentuk seperti kos-kosan dengan ukuran 3×5 meter, terdiri dari 2 ruangan dan 1 teras. Mess itu diisi oleh para buruh beserta keluarganya.
Sementara toilet disediakan kamar mandi umum. Kamar mandi umum terdiri dari satu bangunan dua pintu, di tiap lorong atau gang. Sejak beroperasi pada 1995, perusahaan baru menyediakan kamar mandi umum bagi mess buruh panen di tahun 2019. Hal ini dapat dilihat bentuk bangunan dan porselen WC yang terlihat masih bersih/ baru. Sebelumnya, buang hajat dilakukan di kebun atau sungai.
Untuk satu mess buruh terdiri dari 6 pintu/kamar, dan terbentang sepanjang gang menuju jalan utama ke kebun. Selain mess buruh panen, ada pula mess lainnya dengan berbeda tipe bangunan, berupa bangunan permanen dengan menggunakan semen. Setidaknya untuk bangunan permanen ada tiga tipe yaitu:
Satu mess terdiri dari enam pintu/kamar yang berhadap-hadapan dengan mess buruh lainnya. Ukurannya lebih besar dibandingkan mess buruh dan masih satu lorong/gang. Di depan kamar terlihat terparkir motor.
Terdiri dua pintu/kamar yang terpisah dengan lorong/gang mess tipe A dan mess buruh panen dengan ukuran lebih besar berhadap-hadapan dengan mess yang sama (satu lorong hanya terdiri dari dua mess). Akan terlihat parkir mobil di depan rumah.
Terdiri satu pintu/rumah yang terpisah dengan lorong/gang mess A, B dan buruh paling besar ukurannya dibandingkan mess yang lain. Akan terlihat adanya kendaraan mobil di depan rumah tersebut.
Mess mandor di dalam perusahaan pun hampir sama dengan mess buruh panen: menggunakan kayu bangunan semi permanen. Bedanya, mess mandor ruangannya lebih luas dengan toilet di dalamnya. Apabila buruh panen ingin memiliki toilet dalam mess maka ia dapat menambah dengan memasang sendiri dan biaya yang harus ditanggung sendiri. Tidak hanya toilet saja, apabila ingin menambah ruangan lainnya juga diperbolehkan oleh perusahaan dengan biaya sendiri. Apabila nanti buruh panen pensiun maka dari pesangonnya dikenakan potongan untuk penyewaan mess sebesar Rp6 juta. Potongan ini tidak ditulis sebagai rincian potongan pada jumlah pesangon. Hanya tertulis nominal dan diberitahukan secara verbal. Hal ini berlaku juga kepada suami istri yang sama-sama bekerja di perusahaan dan tinggal dalam satu mess. Keduanya akan dikenakan potongan ketika sudah pensiun meskipun tinggal bersama dalam satu mess.
Air dalam mess diambil dari sungai menggunakan pompa dan bergiliran tiap sore mengalir ke gang-gang mess, khusus disediakan dari perusahaan. Tidak full mengalir. Biasanya mengalir pada pukul 1 siang hingga sore hari. Pada malam hari aliran air mati total. Jadi para buruh harus mempersiapkan tempat penampungan air. Hal ini berlaku ke semua mess baik buruh panen hingga mess officer perusahaan.
Aliran air tidak serentak tapi bergilir. Misalkan, pada hari ini menyala di jam pertama maka besok akan menyala di jam kedua, kemudian akan pindah ke jalur lain. Durasi air menyala dalam satu jalur lorong/gang mess setengah jam. Maka ketika air mengalir harus langsung secepatnya mengisi ke tempat penampungan.
Untuk listrik di mess juga tidak seharian menyala. Hanya dari pukul 6 sore hingga pukul 6 pagi. Sisanya, pagi hingga siang, mati total.
Untuk hiburan, perusahaan menyediakan lapangan sepakbola dan sepak takraw. Lapangan jarang dipergunakan karena waktu dan energi buruh sudah tersedot untuk bekerja di perkebunan. Waktu luang kerja seringkali dipergunakan istirahat dengan menonton televisi untuk persiapan pagi bekerja kembali. Dalam kondisi listrik mati, “Kalo siang paling nyanyi-nyanyi sendiri saja,” ucap buruh yang tinggal di dalam mess, dimana akses internet dan sinyal juga masih sulit.
Mess di kebun beberapa terlihat kosong. Apabila akan menggunakan memakai mess caranya dengan memberitahu security. Security akan mengaturnya. Tentu saja yang diperbolehkan mengisi mess adalah masyarakat yang bekerja di perusahaan. Pekarangan mess diperbolehkan untuk bercocok tanam dan ternak, bahkan banyak ternak milik buruh yang berkeliaran. Seperti para buruh yang dari Desa Yuhut rata-rata memiliki ternak di kebun sawit dan dilepas berkeliaran di area kebun.
Beberapa mess juga dimanfaatkan oleh para buruh untuk membuka warung kelontong. Biasanya dilakukan oleh istri dari buruh yang bekerja di perusahaan dengan membeli barang-barang dagangan dari pasar di kota Buol. Rata-rata warga desa yang bekerja di perusahaan memiliki kebun tani di desa. Mereka menggarap lahan kebun setelah pulang kerja siang hari atau di hari libur. Upaya-upaya ini dilakukan para buruh untuk menopang kebutuhan harian yang tidak cukup diakomodasi dari upah yang didapat selama bekerja.
Untuk konsumsi bahan pokok para buruh dapat mengambil melalui koperasi mitra perusahaan dengan cara angsuran. Koperasi seperti Bunga Sawit, Mitra, Hardaya dapat diakses mudah oleh para buruh. Namun, harganya lebih mahal dibandingkan dengan harga di pasar. Berbagai barang yang tersedia di koperasi adalah sembako kering seperti beras, minyak goreng, gula dan garam.
Setiap harinya pun para tukang sayur sering lewat di sekitar mess untuk menjual sayur, telur, ikan, daging dan pangan lainnya dengan kisaran harga tidak jauh dari pasar di luar dari mess. Perbedaan jika dibandingkan dengan beli sendiri di pasar adalah kuantitas yang lebih sedikit dengan harga yang sama jika membeli di pasar di kota Buol. Di akhir bulan setelah gajian muncul pasar dadakan yang sering menjual kebutuhan para buruh seperti bahan pangan, perabot rumah tangga, baju, hingga perhiasan emas.
Jam kerja
Suwarno berangkat kerja dari rumahnya pukul 4 pagi. Ia mengejar tiba di lokasi kerja sebelum pukul 6 pagi. Tiba di lokasi kerja, dia mengisi presensi dengan cara melakukan fingering ke mandor. Pulang kerja biasanya pada pukul 13.30 siang diakhiri dengan melakukan fingering pulang.
Walaupun sudah mencapai target harian sebelum jam pulang, ia tidak bisa langsung pulang dan harus menunggu jam pulang, Suwarno biasanya duduk-duduk saja menunggu jam pulang di kebun.
Berbeda dengan Suwarno, Toni harus bekerja di kebun selama 11 jam yaitu dari pukul 6 pagi hingga 5 sore. Karena kondisi buah sawit di lokasi kerja Toni sedikit. Kelebihan jam kerja tersebut tidak terhitung lembur pada buruh panen, dikarenakan upah berdasarkan target harian. Selain jam kerja buruh panen yang tidak diperhitungkan sebagai lembur, buruh yang mengerjakan loading pun bekerja hingga pukul 11 malam.
Lain cerita dengan mandor di perusahaan. Mereka harus berangkat lebih pagi dari buruh panen karena harus briefing dulu bersama dengan atasannya yaitu kondaktur. Briefing yang dilakukan seputar permasalahan kerja, teknik kerja dan yang paling penting adalah target kerja.
Ketika langit masih gelap, para mandor sudah berada di lokasi kerja dan kondaktur biasanya harus datang lebih pagi lagi dibandingkan mandor. Rata-rata mandor akan pulang kerja pukul 09.30 malam. Untuk menyelesaikan panen buah sawit termasuk loading buah dan kondaktur pun biasanya akan pulang lebih malam lagi.
Meskipun semuanya bekerja lebih pagi. Kelebihan jam kerja mandor dan kondaktur diperhitungkan sebagai lembur. Jam lembur dihitung dari jam pulang, yaitu di atas pukul 2 siang. Sedangkan kedatangan mereka lebih pagi dari buruh panen yaitu sebelum pukul 6 pagi dihitung sebagai loyalitas terhadap perusahaan.
Kecelakaan kerja dan cuti sakit
Beberapa kecelakaan kerja yang sering dialami oleh para buruh panen adalah ketiban pelepah atau buah, terkena duri sawit, dan terkena egrek. Baru-baru ini pun ada kejadian seorang buruh panen kejatuhan egrek yang patah hingga menembus ke dada. Betapa mengerikan kerja di perkebunan sawit.
Apabila mengalami kecelakaan kerja maka buruh panen atau rekannya harus melaporkan kepada mandor. Lalu mandor akan membawanya ke klinik untuk membuat berita kecelakaan. Lalu langsung diantarkan sendiri karena apabila menunggu ambulans perusahaan akan memakan waktu lama.
Di klinik nanti akan diberikan Surat Keterangan Sakit/SKS yang berlaku selama tiga hari. Setelah tiga hari belum bisa bekerja maka buruh bersangkutan harus mengurus kembali ke klinik untuk mengurus SKS kembali.
Sebenarnya, masa berlaku SKS dari klinik tidak tentu. Buruh panen yang mendapatkan SKS berlaku selama sehari. Jika masih sakit, esoknya harus mengurus kembali. Selama masih mendapatkan SKS, buruh terhitung masih bekerja atau tidak ada pengurangan hari kerja.
Untuk pengurusan SKS tidak dapat diwakilkan. Harus buruh bersangkutan yang mengurus dan datang ke klinik. Bagi para buruh yang menggunakan klinik tidak dikenakan biaya cukup membawa slip gaji/payroll bulanan. Para buruh pun dapat memeriksakan keluarganya yang sedang sakit ke klinik perusahaan tanpa dipungut biaya, yang penting didampingi buruh yang memiliki slip gaji.
Fasilitas UGD, obat, ambulans, rawat inap, rujukan faskes hingga melahirkan dapat diakses secara gratis. Buruh yang sakit pun dapat berobat ke klinik, namun mereka lebih memilih untuk cuti. Dikarenakan ketika masuk ke klinik maka akan dihitung juga 7 jam kerja durasi di dalam klinik. Sehingga jika masuk klinik pukul 7 pagi maka buruh yang bersangkutan akan pulang harus pukul 2 siang. Buruh yang sakit pun harus bawa perbekalan makan sendiri di klinik agar tidak kelaparan. Begitu pun ketika masuk klinik pada pukul 10 pagi misalnya, harus menunggu hingga pukul 6 sore baru kemudian dia dapat Surat Keterangan Sakit (SKS) dan dapat pulang.
Cuti sakit masih menjadi permasalahan di perusahaan. Ada kasus seorang mandor yang sedang sakit panjang kemudian disuruh ambil cuti tahunan oleh perusahaan dan ketika cutinya habis maka ia harus masuk bekerja kembali.
Untuk mendapat cuti sakit syarat utamanya adalah selama tiga bulan berturut-turut harus mencapai target hari kerja sebanyak 24 hari kerja per bulan. Jika yang sakit/terkena kecelakaan kerja belum mencapai 24 hari kerja maka akan mendapatkan Surat Keterangan Izin (cuti) di mana berdampak pada tidak dihitungnya hari kerja alias upahnya akan berkurang.
Pengaturan cuti sakit tersebut secara tidak langsung melarang buruh untuk sakit sebelum mencapai target kerja. Praktik tersebut merupakan pelanggaran hak buruh. Sesuai peraturan perundangan, mestinya perusahaan memberikan hak cuti sakit dan upah buruh tidak boleh dipotong.
Perusahaan hanya memiliki sebuah klinik yang terdapat di Divisi I dengan fasilitas satu dokter, satu ambulans dan ruang UGD. Sebelumnya pernah ada dua klinik di perusahaan. Salah satunya di Divisi II. Karena dokter di klinik tersebut tidak lagi bekerja maka klinik ditutup.
Diperkirakan sebanyak 3.000 buruh di dalam perusahaan tersebar di 6 divisi kebun. Satu pabrik pengolahan dan satu divisi plasma. Tapi hanya memiliki satu klinik dan satu dokter. Dari perbandingan jumlah buruh ditambah risiko kerja perkebunan serta derajat pemilik perusahaan sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia, fasilitas kesehatan tersebut tidak memadai untuk menjamin kesehatan buruh.
Kecelakaan akibat paparan bahan kimia masih ditemukan kasusnya di perusahaan. Buruh bagian perawatan khususnya pemupukan paling rentan mendapati risiko kerja. Ketika persiapan untuk melakukan pemupukan, seorang buruh terkena percikan kimia ke matanya menyebabkan buta permanen. Pada akhirnya ia pun pensiun bekerja serta mendapatkan SKS panjang pada waktu kejadian.
‘Buruh tempel’ lebih rentan mengalami kecelakaan ketika bekerja karena tidak ada perlindungan dari perusahaan. Mandor selalu berkata kepada buruh panen yang ingin memakai ‘buruh tempel’, “Kalau mau yang suka ambil helper (buruh tempel) boleh, tapi hati-hati kalau kecelakaan karena perusahaan tidak menanggung karena tidak ada payroll-nya”. ‘Buruh tempel’ merupakan buruh yang dibawa oleh buruh panen. Hasil kerjanya dinikmati, tapi haknya tidak dipenuhi dan tidak terlindungi.
Penghukuman
Batas keterlambatan bekerja bagi buruh panen adalah pukul 06.15 pagi. Apabila terlambat maka tidak akan dihitung hari kerja oleh mandor. Biasanya, kalau buruh panen terlambat, mandor akan mengeluarkan pernyataan intimidatif, “Tergantung dari kamu mau bekerja apa tidak. Karena ketika terjadi kecelakaan kerja pun perusahaan tidak tanggung jawab dan hasil kerja hari ini akan dimasukan ke hari kerja esok”. Karena ketika bekerja tidak akan dihitung di hari tersebut serta tidak ada perlindungan kecelakaan kerja, rata-rata banyak yang memilih untuk pulang. Keterlambatan kerja dan tidak bekerja sehari berarti sama-sama tidak mendapat upah.
Sistem paraf/tanda tangan dahulu diberlakukan untuk mencatat kehadiran buruh. Sekarang lebih ketat dengan menggunakan sistem finger. Pagi masuk kerja wajib finger dan kemudian sore pulang kerja (7 jam kerja) harus finger kembali. Apabila tidak melakukan finger maka tidak akan dihitung bekerja atau hari kerjanya hilang dan tidak dihitung hasil hariannya.
Para buruh yang baru masuk bekerja akan dikontrak kerja selama 6 bulan (PKWT), sebelum diangkat sebagai buruh tetap. Aturan yang diterapkan kepada mereka lebih ketat dibandingkan beberapa tahun kebelakang, seperti harus full mencapai hari kerja sebanyak 24 hari dalam satu bulan. Beberapa di antara mereka sudah ada yang mendapatkan Surat Peringatan (SP), baik SP II maupun SP III. Dalam aturan perusahaan jika tiga hari tidak masuk tanpa keterangan maka akan mendapatkan surat peringatan.
Prosedur peringatannya dengan memberikan SP I. SP I berlaku tiga bulan. Jika dalam dalam tiga masih melakukan hal kesalahan yang sama maka akan diberikan SP II. Terakhir akan diberikan SP III lalu buruh tersebut akan dipanggil ke kantor dengan ancaman PHK secara tidak terhormat/mati payroll apabila masih mengulangi.
Di dalam perusahaan banyak buruh yang memilih mengundurkan diri dibandingkan PHK, diakibatkan tidak tahan dengan sistem kerja di perusahaan.
Apabila mandor mendapati panen ‘sawit angin’ yang dilakukan oleh salah satu anggota buruh panennya, ia akan memarahi buruh panen di depan buruh-buruh lainnya di dalam apel pagi. Panen ‘sawit angin’ adalah ketika laporan panen dari buruh tidak sesuai dengan catatan mandor atau buah sawit yang dipanen seperti mengaku panen 80 ternyata hanya 50. Selain dipermalukan di depan buruh lainnya, buruh yang melakukan hal tersebut mendapatkan pemecatan langsung tanpa pesangon apabila dilaporkan ke atasan oleh mandor. ‘Sawit angin’ merupakan istilah untuk menunjukkan hasil panen yang tercatat tidak sesuai dengan yang di panen. Hal ini bisa dilihat sebagai praktik perlawanan bagaimana buruh memanipulasi hasil panennya. Dengan kata lain kecurangan perusahaan yang kemudian dilawan secara alamiah dengan kecurangan oleh buruh.
Perusahaan pun memberikan denda kepada buruhnya apabila sewaktu panen mendapatkan buah mentah ataupun buah hitam. Denda ini ditanggung renteng bersama dari buruh panen, mandor hingga kondaktur (atasan mandor) di dalam satu afdeling dalam sebuah divisi dengan cara melakukan pemotongan upah per bulan. Ketika 2-3 tandan mentah terkirim menuju pabrik pengolahan di perusahaan, mandor pun akan mendapatkan SP langsung tanpa ada teguran dari perusahaan terlebih dahulu. Selain itu apabila tidak memenuhi target yang diberikan oleh perusahaan atau panen tidak beres seperti banyak buah tertinggal maka mandor pun akan mendapatkan SP. Hal inilah yang kemudian menyebabkan saling menekan antarstruktur kerja dari atas hingga ke bawah. Sama-sama mendapatkan sanksi namun yang paling dasar di struktur kerja adalah buruh panen yang semakin tereksploitasi dalam hal kejar target panen.
Jaminan sosial
Selama Suwarno bekerja, ia belum mendapatkan kartu BPJS Kesehatan. Tetapi kartu Jamsostek. Tidak hanya Suwarno, Toni sebagai buruh panen pun belum memegang kartu BPJS, walaupun tiap bulan upahnya dipotong untuk pembayaran. Setidaknya dalam slip gaji terdapat tiga potongan untuk jaminan sosial yaitu potongan Jamsostek, potongan BPJS kesehatan dan potongan BPJS pensiun.
Permasalahan BPJS di perusahaan pernah meledak pada tahun 2020 ketika ada protes besar-besaran buruh akibat dirumahkan. Pada saat itu beberapa buruh pensiun tidak dapat mengambil manfaat uang pensiun. Ternyata, perusahaan tidak menyetorkan pembayaran BPJS baik kesehatan maupun pensiun. Padahal tiap bulannya upah para buruh dipotongkan untuk pembayaran BPJS.
Struktur kerja kebun
Buruh panen bekerja untuk melakukan panen di kebun sawit. Selain itu ia dapat mengambil pekerjaan lain seperti helper/buruh tempel seperti loading barang. Adapun buruh perawatan yang bertugas membersihkan kebun dan melakukan pemupukan, rata-rata adalah perempuan. Tak jarang keluarga yang saling bekerja di perusahaan, suami sebagai buruh panen dan istri sebagai buruh perawatan. Adapun helper/buruh tempel yang bekerja membantu buruh panen untuk loading buah maupun panen buah.
Buruh tempel tidak terikat hubungan kontrak dengan perusahaan. Tapi menjadi tanggung jawab buruh yang membawa mereka. ‘Buruh tempel’ biasanya saudara atau teman yang bekerja sebagai buruh panen dari perusahaan. Mereka merupakan struktur kerja paling bawah di perusahaan yang mengalami eksploitasi dari sistem kerja perusahaan.
Buruh-buruh ini kemudian diawasi oleh mandor dalam melakukan pekerjaannya, tugas mandor diantaranya:
Mengecek kinerja buruh dan melaporkan kepada atasannya.
Bertanggung jawab atas kecelakaan kerja yang menimpa buruh.
Mengecek hasil panen buruh termasuk buah mentah, buah yang tertinggal, laporan dari buruh dan perhitungan total buah panen.
Apabila seorang buruh kebun prestasi, kerjanya rajin dan loyalitasnya bagus maka akan dimagangkan terlebih dahulu sebelum menjadi mandor.
Dalam satu afdeling kebun terdapat tiga jenis mandor yaitu mandor panen, mandor perawatan yang bertugas mengawasi kerja buruh dan mandor rekording yang bertugas menghitung hasil panen/kerja para buruh. Mandor panen membawahi rata-rata 15 buruh panen. Jumlah buruh panen sangat bergantung pada produktivitas dari afdeling/kebun tiap divisi.
Mandor rekorder yang paling sering keliling kebun. Ia mengecek hasil buah yang sudah dipanen/jatuh. Ia lebih mirip sebagai asisten mandor panen. Target panen mandor seperti area Divisi II, per bulan harus mencapai 500 ton yang akan dibagikan ke lima afdeling atau untuk satu afdeling harus memanen 100 ton per bulan. Mandor-mandor ini kemudian diawasi oleh kondaktur. Kondaktur akan melakukan briefing kepada mandor seputar pekerjaan dan target kerja.
Di setiap afdeling terdapat dua kondaktur yang membawahi mandor panen dan mandor perawatan. Kondaktur bertugas untuk mengurus administrasi mandor termasuk mengecek laporan dari bawah baik kinerja dari buruh dan target kerja. Wilayah kerjanya hanya satu afdeling. Tidak diperbolehkan kondaktur afdeling A mengerjakan pekerjaan di afdeling B.
Untuk menjadi kondaktur biasanya melalui seleksi dari para mandor-mandor yang telah bekerja di perusahaan. Setelah menjadi kondaktur dapat naik tingkat menjadi officer/kepala afdeling yang bertanggung jawab sebuah afdeling dalam divisi. Di atasnya lagi adalah manajer divisi yang mengawasi dan mengatur divisi beserta afdeling-afdeling di dalamnya. Manajer divisi bertanggung jawab kepada GMO/manajer operasional.
Terakhir posisi paling atas dalam perusahaan adalah direktur yang mengatur manajerial perusahaan.
Adapun bagian quality control (QC) yang sering turun mengecek seluruh afdeling di 6 divisi perusahaan per bulan. Ketika mereka menemukan masalah, officer dan manajer divisi akan dikenakan sanksi. Bagian penanganan masalah di perusahaan yaitu General Manager Supported diisi oleh Udung. Menurut informasi yang kami kumpulkan, Udung adalah mantan pejabat di kepolisian.
Struktur kerja dalam afdeling/kebun yang digunakan oleh perusahaan memiliki kemiripan (baik istilah maupun hirarki kerja) dengan struktur kerja perkebunan yang digunakan pada era kolonialisme atau penjajahan belanda, berikut perbandingannya:
Struktur Kerja Kebun PT HIP
Struktur Kerja Perkebunan Kolonial
Manager Operasional (GMO)
Administratur (administrateur)
Manager Divisi
Wakil Administratur (employe atau kepala tanaman atau kepala personalia)
Officer/ Kepala Afdeling
Kepala Bagian (sinder afdeeling)
Kondaktur
Pengawas (opzichter) dan Asisten atau mandor kolonial
Mandor : a. Mandor Panen b. Mandor Perawatan c. Mandor Rekorder
Ketua Regu (ploegbass) atau mandor pribumi: a. Mandor (mandor besar) b. Wakil mandor
Buruh Kebun: a. Buruh Tetap b. Buruh Kontrak c. Buruh Tempel
Buruh (kulie) kebun dan pabrik: a. Buruh tetap b. Buruh lepas
Kondisi kebun
Perusahaan memiliki enam divisi kebun (Divisi I-VI). Satu kebun plasma dan satu pabrik pengolahan minyak yang areanya tersebar di berbagai desa di kabupaten Buol. Dalam satu divisi rata-rata terdiri dari lima hingga tujuh afdeling/kebun dengan penamaan kode berupa huruf A-G.
Satu afdeling/ kebun merupakan area kerja buruh, mandor, kondaktur, officer sedangkan divisi dikelola oleh manajer divisi.
Luasan tiap afdeling berbeda-beda. Untuk afdeling C Divisi III misalnya estimasi kurang lebih sebesar 500 hektare. Luasan wilayah kerja mandor di tiap afdeling pun berbeda-beda tergantung luasan bloknya. Dalam satu blok terdiri dari beberapa saf dengan estimasi satu saf mencapai lebih dari 10 hektar.
Produktivitas kebun sangat berpengaruh pada kondisi kerja para buruh. Kebun yang tidak produktif akan menyebabkan pengurangan upah serta kondisi kerja yang semakin rentan bagi buruh. Divisi I misalnya area kerja Toni merupakan kebun tertua perusahaan dan perusahaan belum melakukan revitalisasi pohon sawit/replanting. Buruh bagian perawatan juga jarang melakukan pemupukan terhadap pohon sawit tua tersebut, akibatnya Toni harus bekerja lebih keras dan ekstra hati-hati karena ketinggian pohon sawit menyerupai pohon kelapa yaitu 20-25 meter.
Jumlah panen Toni pun berkurang karena pohon sawit tua buah pun berkurang. Selain target harian menurun sering juga mendapatkan buah kosong dalam janjangan. Hal yang sama dirasakan oleh Suwarno, dahulu ketika musim buah banyak upah buruh panen dapat mencapai Rp 8 juta. Sekarang rata-rata upah hanya mencapai Rp2-Rp3 juta. “Itupun hitungannya dipaksa-paksa kalo janjang tidak dibongkar-bongkar juga tidak dapat buah,” ucap Suwarno.
Para buruh akan menggunakan buruh tempel/helper apabila musim sedang lagi banyak-banyaknya serta ketika sedang bekerja di perkebunan sulit seperti rawa-rawa. Penggunaan ‘buruh tempel’ di saat musim buah yang sedikit tentu saja akan merugikan buruh karena pembagian upah yang harus dibagikan.
Area divisi III tempat kerja Suwarno terdapat pohon-pohon sawit yang tumbuhnya melengkung diakibatkan ditanam di tanah gambut. Area tersebut juga sering terdampak banjir apabila diguyur hujan deras. Beberapa ruas jalan diberikan penanda dari bambu untuk memudahkan kendaraan tetap di jalan pada saat banjir terjadi.
Kondisi kerja ini kemudian menunjukan perusahaan lari dari tanggung jawab dan semakin membuat buruh bekerja dalam situasi rentan: dari fasilitas dasar, pemenuhan kesehatan dasar hingga struktur kerja yang menekan para buruh untuk bekerja.
Lingkungan kerja seperti kebun yang tidak dirawat pun hanya membebankan risiko kerja terhadap buruh. Sementara kerusakan lingkungan seperti banjir pun terjadi tidak hanya di dalam perusahaan tetapi berakibat pula terhadap warga desa di sekitar kebun. Kerugian-kerugian ini tidak dihitung secara nyata dan hanya berlindung di balik penciptaan lapangan kerja di masyarakat yang bersifat eksploitatif.[]
Di Kota Semarang, terdapat beberapa perusahaan yang memproduksi berbagai furnitur berbahan dasar olahan kayu. Hasil produksinya dipasarkan ke berbagai kota di Indonesia, bahkan untuk ekspor ke luar negeri. Produk yang dihasilkan berupa meja, kursi, lemari dengan desain yang tampak mewah, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun perkantoran. Namun, dibalik kemegahan produk furnitur yang memanjakan mata […]
Begitu banyak petani yang datang dari daerah, mengorbankan biaya dan tenaga sekeluarga demi perjuangan di ibukota. Entah kenapa harus di ibukota. Begitu sedikit dari mereka berorasi dari atas mobil komando, tahta bergerak para raja dan brahmana khas gerakan Nusantara. Dihantam hujan deras dan terik cahaya, datang dari ribuan kilometer jauhnya, hanya untuk berbaris dan duduk […]
Proses penangkapan ikan di Kepulauan Aru dilakukan oleh nelayan tradisional, nelayan lokal, dan kapal-kapal penangkap ikan industrial. Hulu dari proses produksi perikanan di Kepulauan Aru adalah kapal-kapal nelayan tradisional dengan mesin speed yang memiliki kemampuan berlayar lebih dari 12 mil, bahkan hingga mencapai batas negara Indonesia–Australia. Nelayan-nelayan ini beroperasi selama satu hari dan hasil tangkapan […]