Di tulisan sebelumnya, Jerat Hutang, Mengegrek Upah Buruh ala Perusahaan Sawit PT Hardaya Inti Plantation (2023), saya telah mendiskusikan mengenai kondisi kerja buruk perkebunan PT Hardaya Inti Plantation. Di benak pembaca mungkin mengira, “Pasti gara-gara tidak ada serikat makanya kondisi kerja di sana buruk”. Tidak semudah itu Ferguso!
Di perkebunan tersebut terdapat tiga serikat buruh, yaitu Serikat Pekerja Hardaya (SPH-SPSI), Serikat Pekerja Perkebunan Sawit (SPPS), dan Serikat Pekerja Karyawan Hardaya (SPKH).
Serikat pertama yang berdiri di perusahaan adalah Serikat Pekerja Hardaya Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPH–SPSI). Kemunculan serikat ini oleh para buruh kebun dirasa tidak mewakili kepentingan mereka, kemudian muncul-lah organisasi Kerukunan Pionoto (Kuonoto). Pionoto adalah salah satu nama desa di Kabupaten Buol Sulawesi tengah. Organisasi etnis ini diinisiasi oleh Abdullah Rahman, salah satu buruh di perusahaan hingga 2009. Setelah tidak lagi bekerja ia kemudian pernah menjabat sebagai anggota DPRD pada periode 2014-2019 dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
Dengan estimasi jumlah anggota kurang dari 2.000 orang, Ormas ini beranggotakan masyarakat desa-desa Buol termasuk para buruh di perusahaan. Ormas ini juga pernah melakukan aksi massa hingga melakukan pendudukan kantor DPRD dan Bupati. Ketika terjadi permasalahan di perusahaan, Ormas ini pun ditunjuk sebagai perwakilan untuk menyelesaikan permasalahan buruh di perusahaan. Tidak diketahui musababnya Ormas ini tidak lagi beroperasi.
Setelah organisasi itu tidak aktif maka dirintis-lah Serikat Pekerja Perkebunan Sawit (SPPS) pada 2005, didirikan dan diketuai oleh Abdullah Rahman yang bekerja di Perusahaan. Setelah berdirinya SPPS, kemudian muncul-lah Serikat Pekerja Karyawan Hardaya (SPKH) yang dibentuk oleh Ali U. Ndala dan Ramli Lampedu. Ramli Lampedu sendiri merupakan anggota DPRD Buol pada periode 2019-2024 dari Partai Golkar.
Mengorganisasikan Buruh Kebun
“Pada waktu itu pertemuan serikat dilakukan secara sembunyi-sembunyi,” kenang Robi (bukan nama sebenarnya), sebagai mantan buruh dan pengurus serikat SPPS. Ia bekerja sebagai sopir tangki minyak sawit di perusahaan semenjak 1996. Pada 2007, ia bergabung dengan SPPS, motivasinya hanya ikut-ikutan serikat di bawah kepemimpinan Abdullah Rahman. Kegiatan di serikat pada waktu itu adalah pertemuan rutin per satu bulan di tiap divisi perkebunan.
Struktur serikat buruh ini diorganisasikan berdasarkan divisi. Di tiap divisi, serikat menunjuk koordinator. Satu afdeling akan ditunjuk dua koordinator yaitu koordinator panen dan koordinator perawatan. Untuk Divisi II yang memiliki 7 afdeling/kebun (Afdeling A-G), terdapat 14 koordinator. Hal ini dilakukan untuk mengorganisasikan kerja-kerja buruh perkebunan yang memiliki tugas berbeda, seperti buruh panen dan buruh perawatan. Jika ada masalah maka serikat akan langsung turun dan mengundang manajer untuk berunding.
“Jadi kita semacam pengacara ditunjuk oleh serikat untuk mendampingi sejauhmana itu kasusnya, karena penjatuhan sanksi suka semena-mena perusahaan. Seperti buah mentah 2-3 tandan yang dikirim ke pabrik saja langsung dapat Surat Peringatan/SP, tidak pernah melalui mekanisme teguran dulu, tapi langsung SP,” papar Robi.
Apabila ingin berkumpul bersama dengan anggota serikat, akan diinstruksikan oleh pengurus serikat agar para koordinator berkumpul terlebih dahulu. Perkumpulan para koordinator tersebut untuk menentukan tempat dan waktu pertemuan. Biasanya, pertemuan dilakukan di mess divisi dan pada malam hari.
Jarak dan lokasi antarmess divisi jauh satu sama lain sekitar 11-15 KM, dengan estimasi perjalanan mencapai 1- 3 jam. Paling dekat adalah perjalanan dari mess Divisi I dan II yang memakan waktu sekitar 1 jam. Untuk mess Divisi II ke III memakan waktu antara 1-2 Jam. Sedangkan paling jauh mess Divisi VI ke Divisi I bisa memakan waktu hingga 3 Jam. Kondisi jalan serta cuaca yang buruk seperti hujan akan menambah waktu tempuh semakin lama. Ditambah sinyal telepon yang buruk, tidak semua mess divisi mendapatkan sinyal telepon. Sehingga cara mengumpulkan koordinator dari tiap divisi dengan menggunakan/meminjam handy talky/radio HT milik perusahaan. “Pak kita mau ketemu ada masalah,” ucap Robi menirukan ketika meminjam HT dari perusahaan. Biasanya serikat meminjam ke security di tiap Divisi.
Pada waktu itu upaya memperlancar pertemuan serikat difasilitasi oleh perusahaan dan setelah itu menentukan waktu untuk bertemu. Biasanya pertemuan dilakukan untuk melakukan pembahasan kasus seperti PHK, sanksi perusahaan, dan masalah tenaga kerja lainnya.
Sekretariat SPPS berada di area Divisi II perusahaan. Tiap kali serikat mengadakan pertemuan bisa mencapai 30 peserta yang datang dan koordinator-koordinator dari tiap divisi diundang semua. Tidak semulus yang diperkirakan, pertemuan sering dimata-matai oleh aparat baik kepolisian maupun militer. Ia masih ingat ucapan dari aparat Babinsa dan Babinkamtibmas pada waktu itu, “Apa ini? Kalian bikin-bikin pertemuan, ini semua pemberontaknya HIP nih!”.
“Kalau saya bagian di sopir tangki. Jadi kalau tiap rapat (serikat) saya parkir truknya dulu dan ikut rapat,” ucap Robi. Semasa bekerja ia pernah juga merasakan bekerja menjadi supir General Manager (GM). Menurutnya menjadi supir GM lebih nyaman dibandingkan sopir tangki selain kendaraan yang full AC, ketika manager makan ayam atau daging ia pun dikasih makan juga. Tetapi ia diancam agar tidak menjadi pengurus serikat apabila masih mau menjadi sopir GM.
Tidak hanya itu, Robi pun pernah ditawari posisi mandor logistik di pabrik bagian pengolahan, ia tolak, “Karena kalo saya pilih itu nanti takutnya berubah tidak mengurus serikat lagi,” ucapnya. Padahal ia juga menceritakan beberapa kader serikatnya yang sudah berhasil mencapai puncak karir di perusahaan menjadi officer hingga kepala bagian laboratorium. Mereka semua memulai dari bawah dan meninggalkan serikat (SPPS) untuk mengambil beberapa jabatan tersebut.
Sewaktu di serikat ia sering mengidentifikasi permasalahan yang terjadi kepada anggotanya. Beberapa permasalahan seperti jumlah buruh yang harus dipensiunkan, buruh yang harus mendapatkan cuti, jumlah mess yang tidak layak, minimnya jumlah toilet di mess, ketersediaan air bersih, hingga penerangan di mess. Hal-hal tersebut yang kemudian akan digunakan pertemuan perundingan dengan manajemen. Ia menyebutkan semenjak perusahaan berdiri toilet baru dibangun pada mess buruh oleh perusahaan pada 2019 dan penerangan seperti lampu di mess baru dibangun pada 2013. Itu pun harus didorong-dorong oleh serikat, baru perusahaan mau membangun fasilitas dasar setelah selama puluhan tahun beroperasi.
Salah satu isu yang pernah diperjuangkan juga adalah extra foodie, karena pertimbangan jam kerja lembur di atas 2 jam bahkan bisa lebih hingga 3 jam. “Di lapangan yang kerja loading sampai pukul 11 malam itu bagaimana?”ucap Robi. Penting adanya perhitungan kalori, dari pisang sampai ke susu, hitungan kalori harus mencukupi. Serikat pun berhasil, sehingga ketika buruh kerja lembur itu dapat extra foodie berupa nasi bungkus dan susu.
Di tahun 2012, menurutnya, serikat juga berhasil mendorong kenaikan upah sebesar Rp 450.000. “Kita blok itu pabrik, biar cuma ada 30 orang kita blok semua!” ucapnya sewaktu melakukan pemogokan dalam rangka perundingan upah, karena seringnya deadlock dengan perusahaan. Biasanya upaya mogok dilakukan pada awal bulan pada tiap tahun yaitu di bulan Maret untuk menuntut kenaikan upah. Karena serikat sering rapat maka ada kesepakatan bersama dengan anggota untuk bergerak sama-sama melakukan pemogokan. Upaya serikat masuk door to door ke tiap divisi-divisi untuk mengajak para buruh mogok kerja pada waktu itu dapat dilakukan akibat perundingan yang deadlock dengan perusahaan baik bipartit hingga tripartit.
Pada era itu juga sudah dibentuk Dewan Pengupahan Kabupaten Buol yang diketuai oleh Wakil Bupati bernama Syamsudin Koloi. Bersama-sama dengan dinas, beberapa aktivitas serikat juga melakukan survei di masyarakat mengenai harga-harga Sembako di pasar untuk menentukan UMK Buol. Robi menjelaskan besaran UMK, sebenarnya tidak berpengaruh kepada buruh dengan perhitungan upah satuan atau harian, seperti buruh panen dan perawatan, walaupun statusnya adalah buruh tetap (PKWTT). Sistem pengupahan buruh kebun berbasiskan target ini kemudian bergabung dengan serikat dengan mengangkat isu keselamatan kerja bagi buruh kebun.
Pada 2010, Robi pernah terlibat dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan perusahaan sebagai perwakilan dari SPPS. Selain SPPS, serikat lainnya pun diundang seperti SPH-SPSI dan SPKH. Untuk membawa isu-isu yang akan dituangkan ke PKB, SPPS terlebih dahulu melakukan pertemuan bersama anggota untuk menentukan pasal-pasal mana saja yang akan ditambahkan ataupun dikurangi di PKB. Sehingga serikat pada waktu itu memasukan ketentuan-ketentuan seperti cuti bersalin, tunjangan beras dan cuti panjang ketika sudah 5 tahun bekerja.
Perundingan alot pada PKB biasanya mengenai hak pensiun para buruh, seperti pesangon serta jangka waktu kerja pensiun. Sementara untuk untuk hak-hak buruh perempuan cukup alot tetapi untuk cuti bersalin dan cuti haid 2 hari berhasil masuk dalam PKB. Padahal sebelumnya cuti bersalin hanya mendapatkan jatah 15 hari namun sudah berubah mengikuti ketentuan normatif menjadi 3 bulan, 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Namun Penerapan PKB banyak terkendala di lapangan dan tidak berjalan sesuai kesepakatan yang dibuat. Dalam hal ini perusahaan tidak komitmen menjalankannya dengan ragam alasan. Seperti untuk masalah fasilitas perusahaan selalu berdalih kekurangan uang.
Perusahaan selalu melakukan pertemuan untuk pembahasan PKB di luar Buol seperti di Gorontalo, Palu hingga ke Bogor. Alasan dari perusahaan salah satunya adalah agar bisa healing atau mengajak jalan-jalan ke luar kota serikat, petugas dinas ketenagakerjaan dan tentu saja buruh perusahaan yang ditugaskan. Penentuan tempat ditentukan dengan cara voting bersama dengan serikat lainnya juga. Alhasil SPPS selalu kalah dalam penentuan tempat karena serikat lainnya menyetujui kebijakan perusahaan tersebut. Buntutnya perundingan PKB pada 2015 dilakukan tanpa dihadiri oleh SPPS.
Alasan SPPS tidak mengikuti pertemuan tersebut karena bisa menjadi hal yang sensitif bagi anggota lainnya. Hal tersebut dapat menimbulkan kecurigaan yang cukup tinggi antaranggota, karena tidak semuanya dapat ikut serta bagaimana memutuskan yang akan pergi. Tetapi hal yang paling fundamental adalah serikat merasa tidak perlu melakukan perundingan jauh-jauh karena perumusan bersama anggota dilakukan di Buol. SPPS pun memberikan batas kalau pun di luar wilayah Buol paling jauh adalah di Toli-Toli agar masih bisa terhubung dengan anggotanya. Namun pada waktu itu SPPS mengirimkan draft PKB yang sudah dirancang bersama anggota dan diberikan kepada serikat lainnya untuk dibahas dalam pertemuan. PKB pun dibahas tanpa serikat SPPS, disepakati oleh perusahaan dan 2 serikat lainnya, ditandai dengan tidak ada tanda tangan serta kesepakatan dari SPPS pada PKB tersebut.
“Keras pada waktu itu namun dengan niat, kita tetap berjalan walaupun saya harus kehilangan pekerjaan di sana. Pernah rusuh di sentral (Divisi I), kami dianggap seperti teroris dikawal dengan aparat,” ucap Robi menceritakan kejadian PHK-nya oleh perusahaan.
Masih di tahun yang sama yaitu 2015, ia bersama beberapa buruh lainnya akan di-PHK tanpa pesangon. Menanggapi itu, beberapa buruh beserta serikat melakukan aksi dengan memblokade truk buah sawit masuk ke pabrik pengolahan. Hal ini dilakukan agar perusahaan menyelesaikan permasalahan buruhnya terlebih dahulu sebelum menjalankan kegiatan produksinya. Namun perusahaan tetap memaksakan untuk memasukan buah melewati jalur belakang pabrik. Perusahaan juga mengerahkan aparat militer dan Brimob bersenjatakan lengkap untuk mengawal buah sawit masuk ke dalam pabrik.
Konfrontasi dengan aparat pun tidak terhindarkan dan letusan senjata ditembakan oleh aparat. Para buruh yang panik pun berteriak kaget dengan letusan tersebut, kemudian dilanjutkan dengan rentetan tembakan oleh aparat.
Agus (bukan nama sebenarnya) salah satu pengurus serikat SPPS terkena tembakan di bagian kaki dan perutnya. Untungnya ia tidak terluka parah hanya mendapati luka ringan. Ia sempat menghadang penembakan dengan memegang senjata Brimob agar tidak meletus. Di saat itu ia juga terprovokasi oleh ejekan kedaerahan mengenai orang Buol di tempat kejadian.
Yani (bukan nama sebenarnya) istrinya yang berada di aksi tersebut pun mengira suaminya, Agus, sudah tidak bernyawa akibat tembakan-tembakan yang dilepaskan oleh aparat. Abdullah ketua serikat SPPS pada waktu itu pun mengumpulkan selongsong peluru di tempat kejadian, setidaknya terdapat 15 selongsong peluru tajam bekas penembakan dibawa dan disimpan olehnya. Sewaktu didatangi aparat di rumahnya Abdullah pun memperlihatkan peluru-peluru tersebut untuk memberitahu kekerasan yang telah mereka lakukan. Selebihnya, seperti cerita yang sudah-sudah, melalui represivitas aparat perusahaan berhasil meredam pemogokan, serikat kalah Robi pun dipecat oleh perusahaan.
Selama di serikat, Robi bertugas sebagai Koordinator Umum, tugasnya untuk mengondisikan para koordinator di tiap divisi untuk tiap pertemuan. Tidak hanya itu, ketika serikat sedang melakukan aksi ia pun bertugas sebagai Koordinator Lapangan.
Kepengurusannya di SPPS kemudian dilanjutkan oleh Wiwin Salakea, dan terakhir dipegang oleh Andi Taha. Menurutnya kondisi serikat sekarang sudah vakum dan sama sekali tidak memiliki idealisme. Terlebih lagi perusahaan menerapkan sistem kontrak 6 bulan (PKWT) bagi para buruh kebun yang baru-baru bekerja. Baru diterapkan pada tahun 2019 hingga sekarang, padahal sebelumnya hal ini ditolak oleh serikat karena sistem ini merugikan para buruh.
“Kondisi buruh sekarang yah dinyaman-nyamankan saja kerja di perusahaan, mau ngadu ke siapa sekarang? Bagaimana mau bersuara keras kalau pengurus serikat pekerjanya dari level humas perusahaan/manajemen?,” ucapnya untuk menggambarkan kondisi serikat di dalam perusahaan sekarang.
Sedikit menghibur diri sendiri, tuntutan tunjangan beras sebanyak 9 kg untuk satu keluarga yang dituangkan dalam draft PKB lalu berhasil. Ia menyusunnya bersama dengan anggota serikat, namun Robi tidak bisa menikmatinya karena terlanjur dipecat.[]