Tulisan saya sebelumnya, Jerat Hutang, Mengegrek Upah Buruh ala Perusahaan Sawit PT Hardaya Inti Plantation (2023), memperlihatkan pengupahan berdasarkan hasil pekerjaan merupakan salah satu ciri utama pengupahan buruh kebun. Di bagian ini, saya akan menceritakan mitos seputar giat bekerja yang berpengaruh terhadap hasil pekerjaan tapi memiliki dampak langsung terhadap besaran upah.
“Dodi, uang THR tahun ini jangan sampai kurang ya, kayak tahun kemarin,” ucapan disertai kemarahan istrinya adalah pengantar ia berangkat kerja di hari minggu. Hari itu di bulan puasa. Terlepas berpuasa, Dodi (bukan nama sebenarnya) harus bekerja lebih giat agar mendapatkan THR (Tunjangan Hari Raya) dengan jumlah lumayan karena sebentar lagi akan menyambut lebaran Idulfitri. Hasil kerja tiga bulan inilah yang akan menentukan besaran THR yang diterimanya di bulan depan.
Hampir dua tahun Dodi bekerja sebagai buruh kebun di PT Hardaya Inti Plantation.
Pemilik PT HIP menghitung besaran THR buruh kebun berdasarkan jumlah pencapaian target pekerjaan. Pengupahan berdasarkan target hanya diterapkan kepada buruh kebun di bagian pemanenan dan perawatan. Perhitungan tersebut berbeda dengan struktur kerja di atasnya seperti mandor hingga manajer yang mendapatkan upah bulanan dengan besaran di atas UMK disertai THR sesuai upah pokok per bulannya. Bagi buruh di atas mandor, setidaknya, tidak perlu was-was dengan besaran THR karena rumus penghitungan THR sudah pasti mengikuti peraturan perundangan. Mereka pun tidak perlu menghabiskan tenaga, waktu dan membiarkan tubuhnya di bawah terik matahari, apalagi berpanas-panasan di bulan puasa mengejar target dengan mengegrek pohon sawit.
Para buruh panen dan perawatan bekerja di hari libur. Bekerja di hari libur tidak disebut sebagai lembur. Lagi-lagi, hanya mandor hingga struktur kerja di atasnya yang memiliki keistimewaan bahwa kerja di hari libur akan diperhitungkan sebagai lembur. Sebaliknya, buruh panen jika bekerja di hari libur menggunakan perhitungan ‘panen kontan’. Artinya, mereka akan dibayar pada hari tersebut dengan dengan cara perhitungan berdasarkan jumlah hasil panen di hari tersebut. Kemudian upah ‘panen kontan’ akan dipotongkan ke upah bulanan untuk mengganti pembayaran yang sudah dilakukan di hari libur tersebut. Kawan sekerja Dodi pernah mengalami hal demikian. Sekali waktu, kawan sekerjanya mendapati upahnya dipotong lebih dari 45 persen dari total upah bulanan.
Menurut kita, cara perhitungan upah buruh panen di hari libur tersebut memang aneh. Tapi di benak Dodi dan buruh panen lainnya terdapat narasi kuat; jika hari kerja bertambah maka upah juga bertambah; jika upahnya bertambah berarti tunjangan akan makin besar. Jika demikian, berarti mereka akan dapat cuti kerja. Cuti dari pekerjaan berarti akan lebih banyak waktu bersama keluarga. Meskipun dalam kenyataannya tidak demikian.
Dalam percakapan sehari-hari, para buruh panen mengatakan:
“Si X itu gak giat kerja makanya upahnya sedikit.”
“Untuk kerja di sini (di kebun sawit) semuanya tergantung dari kita juga. Kalau orangnya tahan ya nyaman-nyaman saja. Selama ini sudah aman dan nyaman bekerja di sini.”
“Karena kelakuan kita sendiri kenapa hari kerjanya sedikit. Kan perusahaan sudah kasih peringatan. Jadi sebenarnya kita sendiri yang bikin salah.”
“Kata mandor, itu semua tergantung dari kita (para buruh) untuk menentukan besaran THR. Makin giat, berarti makin besar dapatnya (THR).”
Di balik pikiran dan percakapan sehari-hari, diam-diam perusahaan merampas upah buruh dan mengarahkan para buruh agar menyalahkan diri sendiri: miskin karena tidak giat bekerja.
Giat bekerja adalah mitos, yang diproduksi di perkebunan untuk menyalahkan para buruh terjerembab dalam praktik upah murah. Tidak hanya melalui ungkapan mandor, yang berulang-ulang, penguatan mitos giat bekerja diperkuat oleh media-media lain, seperti spanduk di sekitar perkebunan. Salah satu spanduk itu berbunyi, “Kita satu, kita bisa, kita jaya, untuk mencapai produktivitas agar bisa tetap jaya”.
Gambar spanduk yang dipasang di pintu gerbang masuk PT HIP (Sumber: dok LIPS)
Dodi bekerja di perkebunan sawit perusahaan yang sudah berusia tua sehingga tidak produktif. Pohonnya tinggi dan minim buah. Akibatnya, Dodi harus bekerja ekstra agar dapat mencapai target panen. Dodi bekerja di Divisi I area kebun, bersama Toni. Keduanya secara tidak langsung berkompetisi di kebun mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya. Kisah Toni sudah saya ceritakan di tulisan saya sebelumnya (Rumakat, 2023). Sementara Toni berusaha keras menghasilkan jumlah panen demi membayar utang, Dodi bekerja sepenuh tenaga agar mendapat THR lebih besar. Tidak hanya abai dalam perawatan kebun seperti revitalisasi, sistem pengupahan target lebih menguntungkan perusahaan. Karena dengan dalih target pekerjaan kecil sama maka perusahaan dapat mengupah lebih kecil. Logika sama yang dipakai dapat ditemukan pada sistem pengupahan buruh di pabrik garmen ketika era Covid-19 silam, no work no pay (lihat misalnya, Arifin, 2023).
Dengan keadaan sulit mendapatkan buah, Dodi diharuskan mendapatkan 50 hingga 60 tanda per hari atau satu ton per hari. Target itu tidak realistis. Dodi merasa berat dengan target tersebut. Karena hanya mampu mencapai 25 tandan per hari. Akibatnya, upah dan THR menurun, istri Dodi pun tambah manyun.
Dahulu, ketika musim buah banyak, upah Dodi bisa mencapai Rp8 juta per bulan. Sekarang, hanya sanggup mengantongi Rp2 hingga Rp3 juta per bulan. Itu pun didapatkan dengan cara susah payah.
Selain diharuskan mencapai target hasil pekerjaan, para buruh panen pun harus memenuhi target hari kerja, sebanyak 24 hari dalam sebulan. Sehingga para buruh harus berusaha sekuat tenaga tetap bekerja meskipun dalam keadaan sakit atau memiliki kepentingan keluarga. Mereka tidak mendapat cuti sakit apabila belum mencapai 24 hari kerja sebagai salah satu faktor perhitungan upah.
Dengan menggabungkan pembayaran upah berdasar satuan hasil, keharusan mencapai target pekerjaan dan sistem no work no pay, pemilik perkebunan telah mengondisikan buruh agar terdisiplinkan untuk terus-menerus bekerja. Buruh akan terus-menerus bekerja dengan mengabaikan beban pekerjaan dan kondisi kesehatan. Dalam konteks demikian pula dapat dimengerti pula jika para buruh panen akan berupaya menambah tenaga kerja tambahan. Tenaga kerja tambahan tersebut, yang disebut dengan ‘buruh tempel’. ‘Buruh tempel’ tidak dianggap sebagai bagian dari buruh perkebunan karena dianggap ‘satu paket’ dengan buruh panen. Seluruh hak buruh tempel ditanggung oleh buruh yang membawanya.
Suwarno (bukan nama sebenarnya), seorang buruh perawatan. Tugas dia adalah melakukan pruning pohon sawit. Upahnya dihitung dari jumlah pohon yang telah dibersihkan, tepatnya dari jumlah pelepah yang dibersihkan. Untuk empat hingga enam pelepah dalam satu pohon dihargai Rp 6.000. Dari satu pohon ‘gondrong’, Suwarno diupah sebesar Rp 10.000. Di dalam afdeling kebun, seorang buruh perawatan akan mengerjakan sebanyak 2-3 hektare kebun. Jumlah pohon yang harus dibersihkan tidak merata. Sebelumnya pembagian wilayah kerja hanya 1 hektare untuk satu orang, namun karena mengalami penurunan jumlah buruh di bagian perawatan maka area kerjanya diperluas.
Berikut adalah rumus perhitungan upah bulanan di dalam slip gaji buruh kebun:
Satuan + Rapel/Tunjangan Beras + Gaji Pokok + Simpanan + Tambahan Insentif Satuan = Upah Bulanan
Satuan (merupakan hasil panen dari para buruh yang dihitung berdasarkan jumlah janjang yang dipanen)
Tunjangan Beras (tunjangan beras per bulan akan ditambah apabila buruh bekerja di hari libur)
Gaji Pokok (merupakan hitungan pekerjaan yang dilakukan di luar dari jumlah satuan atau upah hasil panen, seperti: pruning harian, muat buah ke trailer, libur nasional atau bekerja di hari libur dengan tarif upah pokok sebesar Rp 105.023)
Simpanan (masih misterius keberadaannya tapi tercantum di dalam slip gaji)
Tambahan insentif satuan (insentif tambahan hasil panen dari perusahaan berbeda tiap bulannya)
Cerita Toni pada tulisan sebelumnya cukup menunjukan bagaimana buruh kebun terjerat utang karena upah murah yang dibuat oleh perusahaan.
Selain itu para buruh juga harus menghadapi perhitungan hari kerja, dan potongan upah di slip gaji. Istri Suwarno kerap mendesak suaminya untuk menghitung hari kerja dan panen harian untuk tiap bulannya. Beberapa kasus di antaranya seperti perhitungan hari kerja tertukar dengan teman kerja, potongan koperasi yang tidak sesuai dengan jumlah pinjaman, dan hari kerja yang tidak tercatat. Selama bekerja Suwarno mengalami tiga kali kesalahan perhitungan di slip gaji; dua kali untuk potongan koperasi dan satu kali untuk perhitungan hari kerja. Jika hal tersebut tidak diurus sendiri oleh buruh maka upah sebenarnya akan hangus. Kejadian tersebut pernah dialami temannya. Karena temannya tidak mengurus kesalahan tersebut, ia harus merelakan upah sebesar Rp500 ribu hangus.
Mengenai tunjangan beras. Hingga 2019, tunjangan beras diberikan dalam bentuk barang. Namun, sejak itu tunjangan beras diganti dengan uang. Bukan hanya perubahan bentuk tunjangan, besarannya pun berbeda. Buruh bujangan mendapat tunjangan sebesar Rp 45.000, sedangkan buruh berkeluarga Rp 90.000. Apabila para buruh bekerja di hari libur, tunjangan beras bertambah. Dari amatan saya terhadap beberapa slip gaji, tunjangan beras buruh dapat mencapai Rp100 ribu hingga Rp300 ribu.
Berbeda dengan buruh panen, untuk buruh level mandor hingga manajemen mendapat tunjangan bensin. Mandor mendapatkan tunjangan bensin sebanyak 15 liter per bulan sedangkan atasannya kondaktur mendapatkan tunjangan sebanyak 30 liter per bulan. Semakin atas jabatan kerjanya maka semakin tinggi pula tunjangan bensin yang diberikan oleh perusahaan.
Dodi harus bertahan di bawah sistem pekerjaan yang buruk. Setidaknya, ia harus bertahan 20 tahun agar mendapat pesangon sesuai peraturan perusahaan. “Dulu sih, dengar cerita sempat 15 tahun (masa kerja), karena serikat kalah berunding bertahan di 15 tahun maka (masa kerja) naik menjadi 20 tahun,” jelas Dodi.
Dodi mengetahui beberapa teman sekerjanya yang keluar dari pekerjaan tapi tidak mendapat kompensasi yang layak. Karena tidak memenuhi syarat masa kerja minimal, yaitu 20 tahun. Salah satu rekan kerjanya pensiun, tapi hanya mendapat kompensasi sebesar Rp60 juta.[1] Itu pun dibayarkan dengan cara dicicil selama tiga kali dalam setahun. Kawan kerjanya yang lain, yang bekerja 18 tahun sekadar menerima tali asih dengan nominal jauh dari pesangon. Jumlah uang tali asih dan uang pensiun dua kawan Dodi tersebut, kemudian dipotong untuk sewa mes.
Beda cerita dengan Marko (bukan nama sebenarnya). Marko penah menjadi mandor kebun. Sewaktu bekerja, Marko membagi waktu antara bekerja di perusahaan dengan mengelola kebunnya. Namun, sejak 2004, Marko memutuskan mengundurkan diri melalui program pensiun dini. Ia beralasan tidak ada yang mengurus kebunnya. Perusahaan mengabulkan pensiun dini Marko. Ia mendapat pesangon Rp30 juta yang dibayar kontan.[2] Sejak itu, ia bekerja di kebun sawit miliknya. Saat ini, kebun milik Marko sudah dapat dipanen.
Kebun Marko seluas 3 hektare, di mana 2,5 hektarenya ditanami sawit. Dari luas lahan tersebut, kebunnya menghasilkan 3 ton sawit per bulan. Menurut Marko, hasil tersebut belum maksimal jika dibanding petani pemilik lahan sawit lainnya. Dengan luasan lahan yang kurang lebih sama, petani pemilik lahan sawit lainnya dapat menghasilkan 8 ton sawit per bulan.
Marko tergabung dalam kelompok tani lokal yang membantunya menjual sawit. Sawit tersebut dijual dengan harga Rp 1.700 per kilogram. Dari penjualan sawit melalui kelompok tani tersebut, Marko merogoh penghasilan bulanan sebesar Rp8 hingga Rp9 juta. Hasil tersebut jauh lebih besar ketimbang upahnya ketika menjadi mandor di perkebunan. Kala itu, sebagai mandor, Marko menerima upah sebesar Rp2,5 juta. Namun, lebih penting lagi, Marko telah menjadi ‘bos’ bagi pekerjaannya sendiri alias tidak bekerja ke orang lain.
Dari penggalan cerita di atas, dapat dilihat bahwa baik Dodi maupun buruh kebun lainnya terpaksa ‘giat bekerja’ dengan kondisi kerja buruk yang diciptakan oleh perusahaan. Ungkapan bahwa ‘giat bekerja’ akan menghasilkan kesejahteraan tidak lebih dari sekadar mitos, yang dipatahkan oleh cerita Marko, yang mengelola kebun sawit mandiri. Dengan sarana dan alat kerja sendiri, Marko terhindar dari “jeratan upah murah” perusahan. Tidak Hanya itu, Marko pun mampu menolak tawaran bujukan perusahaan yang digadang-gadang sebagai satu-satunya perusahaan tempat bekerja di Buol. “Karena perusahaan cuma satu di Buol dan kami tidak tahu mau kerja dimana lagi, sehingga kami tidak berani apa-apa,” ucap salah satu buruh kebun.
[1] Usia pensiun buruh kebun di dalam perusahaan adalah 60 tahun.
[2] Pencicilan pesangon baru diterapkan beberapa tahun ke belakang hingga sekarang. Cara mencicil pesangon beragam dari 3 hingga 6 kali pembayaran.
Proses penangkapan ikan di Kepulauan Aru dilakukan oleh nelayan tradisional, nelayan lokal, dan kapal-kapal penangkap ikan industrial. Hulu dari proses produksi perikanan di Kepulauan Aru adalah kapal-kapal nelayan tradisional dengan mesin speed yang memiliki kemampuan berlayar lebih dari 12 mil, bahkan hingga mencapai batas negara Indonesia–Australia. Nelayan-nelayan ini beroperasi selama satu hari dan hasil tangkapan […]
Minggu pertama Agustus 2024, saya mengunjungi salah satu perkebunan sawit ternama di Kalimantan Barat. Perusahaan sawit ini memiliki nama prestisius karena dipandang lebih baik dalam aspek penyediaan fasilitas dan pemenuhan hak normatif, ketimbang perusahaan sawit lainnya di Kalimantan Barat. Ya, setidaknya begitulah pandangan buruh-buruh yang bekerja di perusahaan tersebut. Di perkebunan sawit ini, beberapa kebutuhan […]
Gerakan massa ‘Peringatan Darurat’ berhasil membatalkan revisi RUU Pilkada. Demonstrasi ‘Peringatan Darurat’ mengingatkan kembali mengenai pentingnya aksi massa, kampanye kreatif, pengorganisasian yang luwes dan pendidikan yang telaten. KAMIS 22 AGUSTUS 2024, Pukul 19.15. Lelaki kurus usia 60-an berkaos oranye-biru belel. Ia menggerakkan kakinya yang dibungkus sepatu bot dengan cepat. Lelaki itu menghampiri dan berbisik kepada […]