Menundukkan Perlawanan Buruh
Protes besar pada 2020 di perusahaan tidak disangka mengubah kehidupan keluarga Yani, istri dari pengurus serikat SPPS yang bernama Agus. Mereka pernah bekerja dan tinggal di mess perusahaan di Divisi III sejak 2006.
Yani bekerja sebagai buruh kebun bagian perawatan, setidaknya hampir semua afdeling/kebun pernah ia kerjakan kecuali afdeling E dan F. Suaminya, Agus, bekerja sebagai mandor di berbagai divisi di perusahaan. Pertama di Divisi IV, kemudian pindah ke Divisi III, sempat berhenti bekerja dan kemudian menjadi mandor Divisi I kembali. Posisi terakhir bekerjanya adalah buruh bagian loading di Divisi III.
Protes 2020 bermula ketika banyaknya buruh yang dirumahkan akibat kebijakan dari perusahaan. Setidaknya sekitar hampir 1.000 buruh dirumahkan dan upah yang dibayarkan pada waktu itu hanya 50% dari pendapatan bulanannya. Selain itu adapun permasalahan BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan buruh yang telah dipotong di gaji, namun tidak disetorkan ke pihak BPJS. Akibatnya para buruh yang akan mengambil pensiun tidak dapat mencairkan hasil iuran mereka. Protes terhadap kebijakan perusahaan dilakukan dengan pemalangan/blokade dilakukan selama beberapa hari oleh para buruh salah satunya di daerah Negeri Lama.
Hasil protes buruh kemudian direspons perusahaan dengan memanggil para buruh yang dirumahkan untuk kembali bekerja, walaupun tidak semua dapat bekerja kembali. Dengan sistem rolling tiap minggu para buruh yang dipanggil untuk bekerja akan ditulis namanya dalam papan pengumuman di tiap divisi. Minggu pertama berapa orang dipanggil untuk bekerja setelah itu bergantian minggu depan akan berubah list/buruh yang akan bekerja.
Setelah berjalan beberapa minggu kebijakan itu dibatalkan kembali, buruh pun dirumahkan kembali. Sewaktu itu juga pada tiap apel diberitahukan kepada para buruh yang sudah bekerja 15 tahun dan buruh yang sudah pensiun dini tidak akan mendapatkan uang apapun (tali asih ataupun pesangon) ketika dalam proses dirumahkan. Rentetan masalah itu kemudian memaksa para buruh yang tidak terima untuk kembali protes kembali ke perusahaan. Menurut mereka perusahaan tidak mau melakukan PHK terhadap buruh yang bekerja lama dan tidak mau memberikan hak mereka sama sekali. Sementara rata-rata buruh di perusahaan memiliki flexi/hutang di bank orang, “Siapa yang mau bayar utang tersebut ketika dirumahkan dan tidak dipekerjakan kembali, mana dorang mau terima?” ucap Yani.
Dihadapkan dengan kondisi tersebut, perusahaan masih ngotot melanjutkan kegiatan produksi dengan memasukan buah sawit ke dalam pabrik pengolahan. Sontak para buruh melakukan pemalangan lagi di bagian pabrik, jika dihitung hampir satu bulan lebih protes dilakukan dan tidak selesai permasalahannya.
Para buruh yang protes datang dari Divisi II, III dan IV dengan membawa parang, mereka mengamuk mencari manajer perusahaan bernama Abu Bakar. Agus pada saat itu sedang beristirahat di mess bersama istrinya. Yani kemudian ditelepon oleh istrinya Robi, ia diminta untuk memetik buah nangka di kebun Robi yang berada di dalam area kebun perusahaan. Nangka tersebut diharapkan bisa dimasak untuk dijadikan sayur bagi para buruh yang sedang melakukan protes. Maklum mess tempat tinggal Yani merupakan salah satu tempat berkumpul para buruh untuk makan.
Agus yang sedang tertidur kemudian dibangunkan oleh istrinya, ia diminta untuk memetik buah nangka untuk dimasak. Dengan parang yang sehari-hari ia bawa di dalam bajunya ia memetik buah nangka dan kembali tidur di messnya. Ia kemudian mendapati informasi keributan bahwa para buruh akan menyerang manajer perusahaan. Bergegaslah ia menuju lokasi kejadian. Mendengar informasi tersebut Yani menelepon Robi untuk membantu mengamankan situasi tersebut.
Walaupun berbadan besar, Agus tidak ingin keributan terjadi kepada anggotanya. Sebagai koordinator serikat ia mengumpulkan para buruh yang merupakan anggotanya dan berbicara,
“Karena saya yang menjadi penanggung jawab di sini, kamu dengar saya jangan bikin ribut! Saya mau pimpin kamu tapi yang penting jangan ribut, apa saja tuntutan kita yang penting jangan ribut! Kalau ribut saya tidak mau tanggung jawab, dan siapa yang ribut akan saya pukul,” ucapnya menenangkan para buruh yang emosi.
Anggotanya kemudian mengikuti perkataan Agus dan meminta Agus untuk menemui Abu manajer perusahaan. “Jangan kamu ribut biar saya ketemu dengan Pak Abu untuk menyelesaikan, jangan dulu dikasih masuk itu buah,” titip Agus kepada anggotanya.
Agus kemudian berangkat menemui Abu di Divisi I, kantor dan pusat administrasi perusahaan. Di saat yang sama Yani baru tiba di depan pabrik pengolahan. Ia diantar oleh Robi untuk bersama-sama mengawasi protes yang sedang berjalan.
Sesampainya di kantor, ia bertemu dengan 2 orang polisi yang menjaga ruangan tersebut. Salah satu di antara polisi tersebut bertanya, “Mau ketemu Pak Abu?” Agus menjawab “Iya, Pak. soalnya kasihan itu karyawan, tidak terima kalau buah (sawit) masuk hari ini. Jangan dulu! Selesaikan dulu ini tuntutan karyawan baru, silahkan kasih masuk buah”. Ia pun disuruh menunggu karena Abu sedang salat.
Pertemuan akhirnya berlangsung di ruangan kantor. Setidaknya ada 6 orang berada dalam ruangan tersebut. Di antaranya dua orang polisi bernama Hadi dan Iqbal, Abu bakar serta temannya sejumlah 2 orang yang tidak diketahui Agus.
“Kalau boleh jangan dikasih masuk dulu itu buah, karena kasihan itu karyawan, selesaikan dulu itu masalahnya,” pinta Agus kepada Abu Bakar manajer perusahaan. Tidak ada hasil pada pertemuan tersebut, Agus kembali kepada anggotanya dan menyampaikan hasil pertemuan tersebut. Protes pun masih terus dilakukan oleh para buruh hingga beberapa hari ke depan.
Dalam masa-masa protes setelah pertemuan dengan manajer, datanglah surat pemanggilan yang ditujukan kepada Agus dari pihak Polda Sulteng.
Surat Panggilan tersebut menjelaskan bahwa Agus disangkakan melakukan tindak pidana pengancaman dengan menggunakan parang ketika pertemuan dengan Abu manajer perusahaan. Ia terheran-heran sembari bertanya, kapan ia mengancam? Padahal kalau dia mengancam maka bisa langsung ditangkap pada saat itu juga karena sudah ada 2 personel polisi di dalam pertemuan tersebut. Ia pun berusaha untuk mencoba menemui Abu Bakar di kantor, namun semenjak terbitnya surat panggilan sang manajer terus menolak untuk menemuinya. Justru Yani-lah yang berhasil menemui Abu Bakar di kantornya. Dengan dikawal oleh tentara, Yani masuk ke dalam ruangan Abu. Sembari memperlihatkan surat panggilan ia menanyakan maksud dari pelaporan terhadap suaminya.
Pada saat itu Abu Bakar pun kaget melihat surat tersebut dan ia juga sama, mendapatkan surat panggilan dari kepolisian. Berdasarkan penuturannya ia tidak mengakui sebagai pelapor. Hanya dimintakan keterangan dan ia tidak mengatakan bahwa Agus melakukan pengancaman dan mengayunkan parang. Jika saja Agus tidak menahan para buruh yang akan menyerang Abu pada waktu itu maka nahas nasibnya karena kondisinya para buruh sudah mengamuk dan perusahaan masih memaksa memasukan buah sawit, tutur Yani.
Yani pun mencari informasi terkait pelaporan suaminya dengan menanyakan buruh lainnya yang ada pada kejadian tersebut. Ia mendapati informasi bahwa setelah kejadian pertemuan Abu dengan Agus, para manajemen perusahaan kemudian berangkat menuju Polda Sulteng untuk melakukan pelaporan terhadap Agus. Beberapa mobil beriring-iringan dari perusahaan menuju Palu mengantarkan orang-orang perusahaan. Pelapor dalam kasus ini adalah Abu Bakar dan Nurul Huda. Sedangkan yang dijadikan saksi lainnya dalam kasus ini salah satunya bernama Bakrie. Mereka semua adalah orang-orang perusahaan.
Yani pun mengonfirmasi kepada Bakrie mengenai kesaksiannya kepada kepolisian. Bakrie pun menjelaskan bahwa ia tidak melihat kejadian tersebut dan tidak berada pada saat pertemuan tersebut. Hal yang sama juga diungkapkan para saksi lainnya yang dikonfirmasi oleh Yani: tidak ada keterangan mengancam atau mengayunkan-ayunkan parang serta tidak berada pada waktu kejadian itu terjadi.
Tetapi berdasarkan surat panggilan serta pemeriksaan yang dilakukan oleh kepolisian justru mereka mengamini adanya ancaman dengan menggunakan parang. Pernyataan-pernyataan itu semakin membuat geram Yani. Yani pun mengancam para manajemen ini dengan ancaman pidana keterangan palsu karena tidak berada di tempat kejadian disertai ungkapan yang berbeda dengan pemeriksaan di kepolisian.
Pemeriksaan pertama dilakukan di Hotel M3 Buol. Robi dipanggil oleh Polda Sulteng untuk dimintai keterangan. Ia pun menjelaskan permasalahan sebenarnya yang terjadi di perusahaan, Agus dan Yani ada dalam pertemuan tersebut. Agus pun meminta diperlihatkan surat panggilan pada waktu pertemuan itu berlangsung. Namun hanya Robi yang diperlihatkan surat panggilan pada waktu itu, sedangkan Agus tidak diperlihatkan hingga selesai pertemuan. Yani kesal karena malah saling lempar sana-sini oleh pihak kepolisian. Harapannya pemeriksaan bisa dilakukan di saat itu juga.
Alhasil Agus harus tetap menjalani pemeriksaan di Polda Sulteng, di mana jarak dan biayanya cukup besar untuk ditanggung. Sebuah tanda tanya besar bagi Yani “Kejadian ini berada di Buol, tapi kenapa melakukan pelaporan di Polda?” Yani pun meminta kepada perusahaan untuk membiayai perjalanan Agus ke Polda Sulteng, karena ia tidak memiliki uang untuk menghadiri panggilan tersebut. Perusahaan pun mau membiayai perjalanan Agus untuk diperiksa di Polda Sulteng.
Sewaktu menjalani pemeriksaan di Polda, tuduhan yang tercatat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah pengancaman dengan mengayunkan parang. Barang bukti pada kejadian tersebut adalah sebuah parang yang dibawa dan ditaruh di dalam baju Suparto. Itu pun tidak terlihat membawa parang ketika bertemu dengan Abu Bakar. Ia pun menjelaskan bahwa ia memang selalu membawa parang kemana pun, bahkan pada saat tidur sekalipun. Apalagi ketika bekerja di kebun, perkakas tersebut sudah pasti ia bawa. Kondisi parang tersebut pun sudah mulai rusak dan dipinjamkan kepada tetangganya orang Flores. Menurut tetangganya parang tersebut membawa keberuntungan ketika dibawa sering mendapatkan babi hutan ketika berburu maka dibelinya parang tersebut dari Agus. Agus pun melepasnya kepada tetangganya.
Menurutnya parang tersebut sudah tidak bisa terpakai karena sudah dipakai untuk memotong babi dan Agus seorang muslim. Namun apes bagi tetangga Agus, ia pun harus dipanggil sebagai saksi mengenai parang tersebut. Dengan kondisi parang yang sudah terpotong, kepolisian menjadikannya sebagai barang bukti.
Proses penahanan Agus setelah pemeriksaan sudah beberapa kali mau dilakukan oleh kepolisian. Terhitung sekitar 6 kali upaya penangkapan yang dilakukan oleh kepolisian. Namun upaya-upaya tersebut digagalkan oleh istrinya, di mana Agus tidak kabur dan berada di rumahnya. Pada upaya penahanan pertama yang dilakukan oleh kepolisian, mereka cukup ganas mengepung rumah Yani. Anak-anak disekitar ketakutan dengan adanya upaya pengepungan dengan menggunakan senjata laras panjang. Yani menolak menyerahkan suaminya, ia mengamuk hingga melempar kursi kepada aparat polisi.
Beberapa kursi yang dilempar sampai terbongkar rusak, pihak kepolisian kemudian mundur dan tidak jadi melakukan penahanan. Upaya penahanan kedua kembali dilakukan oleh pihak kepolisian. Mereka kemudian mencoba memasuki rumah Agus. Yani pun menyetop mereka yang ingin masuk ke dalam rumah sambil berkata, “Maaf, Pak! Masuk dalam rumah orang yang sopan. Bukan teroris di sini”. Ia kemudian mengambil parang di dalam rumahnya. Melihat kejadian tersebut para polisi kemudian lari serta membawa parang tersebut pergi dan ditaruh di rumah tetangganya.
Pada waktu upaya penahanan ketiga, Yani memanggil Agus dihadapan para polisi. Ia menyuruh suaminya duduk dengan membawakan parang kepadanya. “Potong siapa pun yang mau sentuh kamu, tidak rugi saya masuk penjara kalau ada yang kau korbankan, tapi karena masalah ini kamu mau dipenjara rugi saya!” tantang Yani di hadapan para polisi.
Dengan senjata laras panjang yang ditenteng, para polisi pun tidak berani mendekati Agus dan Yani. Seorang polisi kemudian menangis, mendekati Yani dan berkata, “Tidak ada perempuan seperti ibu, laki-laki saja takut dengan kami bawa senjata”. Ucapan tersebut dibalas oleh Yani, “Biar namanya tidak salah, kamu tembak saya mati pun saya tidak takut!”.
Upaya penahanan selanjutnya masih mendapat penolakan yang sama dari Yani, karena ia sangat yakin suaminya sama sekali tidak bersalah.
Ketika penahanan yang keenam kalinya, tidak hanya pihak kepolisian dari Polda dan Polres Buol yang datang, pihak kejaksaan datang juga untuk melakukan penahanan. Seorang diri Yani berdebat dengan aparat, “Suami saya koordinator serikat SPPS yang selalu dikorbankan. Dia pembela karyawan bukan pembela uang, yang lain (serikat lainnya) pergi ke Jakarta, ada apa itu?” teriaknya.
Kedatangan aparat pada waktu itu untuk menjemput dan melimpahkan penahanan Agus dari Polda ke Kejaksaan. Rencananya Agus akan ditahan di kejaksaan Buol, namun istrinya menolak keras. Kejaksaan kemudian mengalihkan status penahanan menjadi tahanan kota agar tidak ditahan di penjara, istrinya kemudian diminta untuk menyepakati dan menandatangani surat tersebut. Yani yang terus dipaksa pada akhirnya menyepakati hal tersebut dengan syarat ia meminta kejaksaan bertanggung jawab untuk tidak melanjutkan masalah ini hingga tidak ditahan. Salah satu alasan penolakan yang digunakan oleh Yani adalah penyelesaian masalah ini akan diselesaikan secara kekeluargaan oleh wakil bupati, karena ia juga terlibat di dalam masalah ini.
Abdullah Batalipu yang sekarang menjadi wakil bupati adalah mantan pengurus serikat SPH-SPSI di perusahaan. Berdasarkan informasi yang beredar, ia masih memegang kendali terhadap serikat SPH-SPSI dan SPKH. Kedua serikat ini tidak didengarkan oleh buruh, karena disinyalir sebagai orang-orang perusahaan. Sehingga ketika mereka ingin memobilisasi para buruh, banyak yang tidak mau datang. Sebaliknya SPPS terutama Aguslah yang lebih banyak didengar buruh, dan mampu melakukan mobilisasi di dalam perusahaan.
Sebelum terjadi protes 2020, kedua serikat ini menggunakan SPPS untuk mengumpulkan massa buruh. Mereka mengadakan pertemuan dengan para buruh di kebun perusahaan Divisi I, II dan IV. Selain serikat pertemuan tersebut juga dihadiri anggota DPRD Ramli Lampedu, mereka menjelaskan duduk permasalahan di perusahaan dan berjanji akan menyelesaikannya. Namun ketika masalah ini membesar kedua serikat beserta anggota DPRD ini mundur dan menghilang. Akibatnya SPPS yang kemudian pasang badan dan menjadi korban, seperti cerita-cerita di atas.
Perilaku ini sering dilakukan oleh mereka dan banyak yang tidak kaget. Ramli Lampedu sebagai politisi lokal juga dikenal memainkan isu petani plasma, dengan banyak iming-iming advokasi tapi nihil hasil. Sewaktu terjadi pemalangan di Negeri Lama anggota DPRD Ramli Lampedu, Wakil Bupati Abdullah Batalipu, SPKH yang diwakili Ali U. Ndala dan SPH yang diwakili Lukman berangkat ke Jakarta untuk memainkan isu ini demi kepentingan pribadi mereka. Mereka semua dikenal sebagai pemain di dalam perusahaan di saat para buruh mati-matian mempertahankan hak-haknya.
Keluarga Agus pernah dipanggil oleh Wakil Bupati untuk menghadap di Divisi VI ketika kejadian kriminalisasi oleh perusahaan. Para buruh kemudian dikumpulkan juga pada waktu itu. Mereka datang dari Divisi III dan Divisi IV. Selain Wakil Bupati, pertemuan tersebut dihadiri pula oleh Lukman sebagai ketua dari SPH-SPSI. Di hadapan para buruh mereka menyampaikan, “Kita belum bisa memenuhi tuntutan karyawan karena masih urus Agus karena sudah dipanggil oleh Polda”. Wakil Bupati kemudian menambahkan apabila Agus ditahan maka kejadian Ramadan Berdarah[1] 2010 akan berulang di Buol.
Keluarga Agus kemudian sempat diminta untuk menemui Wakil Bupati di Kantor Bupati untuk membuat surat pembelaan Agus. Wakil Bupati pun menawarkan pendampingan hukum seorang pengacara Pemda bernama Andre Wawan. Yani menolak tawaran tersebut karena kasusnya sendiri sudah ditangani pengacara dari Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat (PBHR) bernama Putri. Surat pembelaan sudah disiapkan oleh Samsudin Inta, sebagai penasehat hukum ia pun disinyalir sebagai orang perusahaan. Di kantor Bupati Agus kemudian dimintakan untuk membaca surat pembelaan tersebut, kemudian direkam menjadi video. Berikut isi surat pembelaan yang dibaca dan ditandatangani oleh Agus:
“Saya bernama Agus pekerjaan karyawan PT HIP tempat lahir di Buol alamat di Kecamatan Bukal, saya ingin membuat pernyataan sebagai berikut:
- Saya menyesali tindakan telah menghimpun karyawan PT HIP pada tahun 2020 untuk melakukan unjuk rasa demonstrasi menentang kebijakan terhadap PT HIP
- Saya berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut dalam bentuk apapun yang akan mengganggu keamanan dan kenyamanan dari PT HIP.
- Saya akan berada di garis terdepan jika terjadi gerakan dari manapun yang berusaha mengganggu keamanan dan kenyamanan PT HIP.
- Dengan penuh kesadaran sendiri, saya masuk menjadi angota grup Forum Merah Putih yang menjadi pertimbangan, sarana komunikasi kekeluargaan PT HIP.
- Apabila seluruh tingkah laku saya selama menjadi karyawan PT HIP bertentangan dengan pernyataan sebagaimana yang disebut diatas maka saya bersedia menerima sanksi dari PT HIP termasuk pemberhentian dengan cara tidak terhormat.
Demikian surat pernyataan ini saya buat atas kesadaran sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun, juga untuk bertanggung jawab kapan dan dimanapun selama saya menjadi karyawan PT HIP. Buol CCM 21 Oktober 2020, yang membuat pernyataan saya sendiri Agus”.
Pembacaan surat ini pun disaksikan oleh Yani serta Yanto yang berada di Kantor Bupati pada saat itu. Surat ini pun ada di Polda ketika Agus sedang menjalani pemeriksaan, namun Agus merasa surat tersebut lebih memojokan dan mengambinghitamkan dirinya. Surat tersebut lebih mirip pernyataan bersalah daripada bentuk surat pembelaan dan menjebak Agus agar tidak bisa kembali mengurus serikat.
Agus dipilih sebagai ketua serikat SPPS karena ketua sebelumnya Andi Taha tidak mau lagi mengurus permasalahan. Awalnya Agus tidak mau, karena ketakutan ditinggalkan oleh anggota serta ia tidak menerima kebijakan dirumahkan oleh perusahaan. Namun karena kasihan tidak ada yang mengurus kasus tersebut, pada akhirnya ia memutuskan untuk bergerak bersama dengan anggotanya. Setelah pemanggilan Agus oleh Polda, sudah tidak ada lagi kegiatan pemalangan yang dilakukan oleh buruh kepada perusahaan. Pengurus serikat SPPS hingga kini masih dipegang oleh Andi Taha, kabarnya serikat sudah tidak lagi memihak kepada buruh, “Mereka mengurus serikat hanya untuk pribadi bukan kepentingan karyawan,” ujar Yani.
Status Agus dalam surat penahanan kejaksaan dinyatakan sebagai tahanan kota sampai pada 16 Juni 2021. Setelah berakhirnya tenggat waktu masa penahanan di surat, tidak ada lagi kelanjutan dari kejaksaan mengenai kasusnya. Yani pun tidak lagi menerima surat dari kejaksaan mengenai perkembangan kasus dari suaminya.
Semenjak 2020 hingga kini berjalannya kasus, belum keluar SP3 dari kepolisian. Kabar yang didapatkan bahwa kasusnya sudah berhenti dan tidak lagi berjalan. Pada September 2021, Yani kemudian mengirimkan surat permohonan penghentian tuntutan kepada kejaksaan namun hingga detik ini pun suratnya tidak dibalas.
Agus kemudian tidak bekerja lagi di perusahaan. Ia memilih mengundurkan diri dari perusahaan. Perusahaan pun kembali memanggilnya untuk kembali bekerja dan memilih tempat kerja yang diinginkannya. Agus menolak tawaran tersebut dengan alasan, “Kalau saya mau kerja begitu kasihan teman-teman yang lain tidak bisa saya bantuin”. Ia pun memilih untuk bekerja di luar dari Buol. Kabarnya ia sudah bekerja di Gorontalo dan jarang pulang ke rumah karena sibuk bekerja.
Perjuangan tidak berhenti sampai di situ. Sewaktu bekerja dahulu mereka sempat membeli lahan kebun plasma seluas 1 hektar. Namun hingga kini, mereka tidak pernah mendapatkan uang sepeserpun dari kepemilikan lahan akibat permasalahan hutang yang diciptakan oleh perusahaan. Yani kemudian menjadi perempuan yang cukup vokal bersama para petani plasma lainnya menuntut tanggung jawab perusahaan. Beberapa baliho protes pun masih disimpan oleh Yani di rumahnya sewaktu melakukan protes bersama dengan petani plasma. Beberapa di antaranya berisikan unek-unek dari pengalamannya, “Mungkin dengan uang hukum bisa di beli, hargai hak kami sebagai warga negara”.
[1] Ramadan berdarah merupakan peristiwa kerusuhan besar yang terjadi di Buol sewaktu bulan Ramadan di tahun 2010. Peristiwa ini diawali oleh penangkapan seorang anak laki-laki ketika razia kendaraan bermotor yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Anak tersebut kemudian dibawa ke kantor polisi karena dianggap melawan aparat kepolisian. Keesokan harinya ia ditemukan meninggal di dalam tahanan akibat penyiksaan. Kejadian ini menyebabkan kemarahan masyarakat di Buol, akibatnya salah satu kantor polisi di Buol dibakar. Beberapa orang dilaporkan meninggal ditembak aparat kepolisian. (Kerusuhan Buol 2010 – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)