Masih membekas dalam ingatan Toni saat pertama kali bekerja sebagai buruh panen di PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP). Saat itu Toni harus menjalani sebagai buruh tempel terlebih dahulu. Dalam struktur produksi, buruh tempel sama seperti helper, atau orang yang bekerja membantu buruh panen. Namun, di PT HIP, hubungan kerja buruh tempel tidak diakui, karena diajak atau direkrut oleh buruh yang sudah bekerja lebih dahulu atau buruh yang status hubungan kerjanya tetap. Sebagai buruh tempel, pekerjaan Toni membantu mengangkat dan mengumpulkan buah sawit yang sudah dipanen dari tengah kebun ke tepi jalan untuk diangkut oleh truk sawit.
Setelah beberapa bulan bekerja sebagai buruh tempel, Toni mencoba melamar langsung ke PT HIP. Dengan bermodal pengalaman serta KTP dan Kartu Keluarga (KK) sebagai syarat administrasi, Toni diterima oleh perusahaan sebagai buruh panen dengan status PKWT atau kontrak selama enam bulan. Sebelum diangkat sebagai buruh tetap, perusahaan telah dua kali melakukan memperpanjangan kontrak kepada Toni. .
Berbeda cerita dengan Suwarno, sebelum menjadi buruh berstatus tetap di bagian panen, ia terlebih dahulu bekerja di bagian perawatan dengan status buruh harian lepas (BHL). Pekerjaannya saat itu membersihkan pelepah sawit atau pruning. Setelah 6 bulan Suwarno dipindahkan ke bagian panen dengan status sebagai buruh tetap. Suwarno melamar ke perusahaan sendiri tanpa harus menjadi buruh tempel sebagaimana cerita Toni.
Meskipun sama-sama bekerja di perusahaan yang sama, saat menerima upah, buruh BHL mendapatkan slip gaji atau payroll, sementara buruh tempel tidak. Tak hanya itu, jika buruh BHL mengalami kecelakaan kerja atau sakit, bisa berobat di klinik perusahaan, sementara buruh tempel harus menanggung sendiri. Tak diakuinya hubungan kerja buruh tempel, membuat perusahaan merampas hak perburuhan terhadap buruh tempel.
Buruh tempel biasanya direkrut oleh buruh tetap yang merupakan anggota keluarga, saudara atau teman. Ironisnya walaupun banyak spanduk larangan mempekerjakan buruh anak, kenyataannya sebagian dari buruh tempel yang bekerja berusia dibawah 18 tahun. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yang putus sekolah dan ingin bekerja atau sekadar membantu orang tuanya. Karena faktor usia yang masih anak-anak, mereka akhirnya bekerja menempel ke buruh tetap yang merupakan orang tuanya. Terlebih putus sekolah disebabkan oleh upah yang minim tak mencukupi untuk kebutuhan pendidikan anak buruh.
Kasus buruh anak di dalam perkebunan kerap disangkal oleh perusahaan karena perusahaan bisa mengatakan mereka tidak merekrutnya. Namun dengan menerapkan sistem target yang tinggi, buruh kerap melibatkan orang lain, baik itu anggota keluarga, saudara atau teman yang terkadang usianya masih anak-anak. Hal itu dilakukan agar dapat mencapai target yang ditentukan perusahaan. Bagi buruh tempel yang berusia di bawah 18 tahun, ketika sudah cukup usianya biasanya akan melamar sebagai buruh tetap langsung ke perusahaan.
Upah buruh tempel merupakan bagi hasil dengan buruh tetap yang mengajaknya. Besaran upahnya tergantung dari jumlah tandan sawit yang berhasil di panen. Dalam melakukan pekerjaan tersebut, mandor dan manajemen mengetahui tentang buruh tempel. Mereka seolah membiarkan dengan alasan bahwa mereka tidak memberi perintah untuk melakukan pekerjaan. Mandor pun hanya mengatakan “kalau mau yang suka ambil helper boleh, tapi hati-hati kalo kecelakaan karena perusahaan tidak menanggung karena tidak ada payrollnya.”
Marko mantan mandor perusahaan punya cerita sendiri, sebelum menjadi mandor ia sudah bekerja terlebih dahulu sebagai buruh panen. Pengalamannya bekerja di perusahaan dimulai pada tahun 2000 di divisi IV sampai pada tahun 2003 dan kemudian ia memutuskan berhenti bekerja. Enam tahun berlalu tepatnya pada tahun 2009, salah satu temannya yang merupakan bagian dari “orang dalam perusahaan” menemui Marko dan memberikan informasi bahwa perusahaan membutuhkan tenaga mandor. Kawan tersebut kemudian memberikan informasi tentang syarat-syarat administrasi yang harus dibawa. Yaitu Ijazah, pas photo dan KTP. “Hari itu saya kasih masuk berkas ke central atau divisi I, pas terdaftar langsung jalan gaji, dikasih peta serta daftar anggota (buruh panen)” ucap Marko mengingat saat ia diterima kerja.
Setelah diterima Marko harus menjalani masa training selama tiga bulan dengan dengan upah saat itu sebesar Rp700 ribu per bulan. Setelah masa training selesai, perusahaan mengangkat Marko sebagai mandor. Dalam Surat Keputusan pengangkatan dari perusahaan, Marko mendapatkan upah sebesar Rp1,8 juta per bulan tanpa terpengaruh hasil target bulanan seperti nasib para buruh kebun.
Informasi perekrutan di PT HIP, selain diumumkan melalui spanduk yang dipasang di desa-desa sekitar kebun, juga melalui mandor kebun. Apabila membutuhkan lagi buruh panen, para mandor akan memberitahukan kepada para buruh panen yang bekerja di afdeling-nya bahwa perusahaan membutuhkan tenaga kerja di kebun. Informasi tersebut kemudian akan tersebar kepada buruh, dan para buruh nantinya akan mengajak keluarga ataupun teman untuk mendaftarkan kerja ke perusahaan ataupun mengajak buruh yang sudah menempel bersamanya. Penggunaan buruh tempel selain mendapatkan tenaga kerja murah juga bagian cara perusahaan tetap menjaga pasokan buruh murah di kebun sawit.
Berdasarkan penuturan Robi seorang mantan buruh dan pengurus serikat di kebun, sebelumnya semua buruh kebun pada bagian panen atau perawatan di PT HIP berstatus buruh tetap (PKWTT). Hal itu karena ketika ia masih bekerja dan sebagai pengurus serikat kerap menolak kebijakan perusahaan yang memberlakukan kontrak. Namun sejak tiga tahun kebelakang perusahaan mulai diberlakukan kontrak selama 6 bulan bagi buruh baru.
Proses penandatanganan kontrak kerja antara buruh dan perusahaan yang dilakukan oleh HRD. Sebelum menandatangani kontrak, calon buruh disuruh untuk membacakan kontrak terlebih dahulu. Setelah menandatangani kontrak mereka tidak diberikan salinan kontrak ataupun kartu tanda kerja dari perusahaan. Tak hanya itu, setelah menandatangani kontrak, HRD menanyakan jika akan masuk serikat buruh disarankan masuk ke dalam serikat buruh yang dibentuk oleh perusahaan. Untuk diketahui di PT HIP terdapat 3 serikat buruh, satu diantaranya adalah bentukan perusahaan. Sebagian besar buruh memilih untuk bergabung dengan serikat yang dibentuk perusahaan dengan harapan nantinya dapat membantu kerja-kerjanya di perusahaan. Namun hingga kini mereka sama sekali tidak menemukan upaya-upaya yang dilakukan oleh serikat sodoran perusahaan tersebut. Selain tidak diberikan salinan kontrak kerja, mereka bahkan tidak pernah mendapatkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang konon katanya diperjuangkan oleh serikat.
Hal ini berlaku juga dengan para mandor yang bekerja di perusahaan, walaupun kondisi kerja mereka sedikit lebih baik dibandingkan dari para buruh kebun. Marko sendiri pun harus mencari Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sendiri sewaktu bekerja, ia mendapatkannya dari mantan pengurus serikat yang sudah berhenti bekerja, itupun PKB pada tahun 2017 . Perusahaan dan serikat tidak pernah memberikan perjanjian kerja bersama hasil perundingan diantara mereka kepada buruh kebun/ mandor di perusahaan.
Ketiadaan dokumen-dokumen tersebut, menunjukan itikad buruk perusahaan dalam menjalankan produksinya. “Bagi kami para buruh panen cuma tahu slip gaji saja, sisanya kami tidak tahu untuk apa dokumen-dokumen tersebut” ucap Toni. Ucapan tersebut merupakan tanda perusahaan berhasil mengkerdilkan hak-hak buruh. Upaya pembodohan ini bertujuan agar para buruh tidak mengetahui hak-hak yang ia miliki sebagai buruh. Padaal hal ini sangat fundamental, karena kontrak kerja merupakan acuan dasar dari hubungan kerja antara para pihak yang mengatur hak dan kewajiban.
Kedatangan perusahaan memang menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat desa Buol. Namun masyarakat desa sekitar yang bekerja di perusahaan paling tinggi jabatannya adalah mandor. Mayoritas mereka bekerja sebagai buruh kebun baik buruh panen ataupun buruh perawatan di perusahaan. Mereka mengatakan bahwa tidak ada orang Buol di desa yang dipekerjakan pada posisi manajemen, untuk posisi manajemen perusahaan malah banyak mengambil tenaga kerja dari luar daerah Buol. Hal ini menunjukan PT HIP memiliki ketergantungan besar terhadap masyarakat di sekitar kebun untuk menjadi buruh. Sebaliknya buruh kebun kemudian semakin ketergantungan akibat dikerdilkannya hak-hak mereka selama bekerja. Sebuah bentuk hubungan parasit yang diselundupkan melalui simbiosis mutualisme ala penciptaan lapangan pekerjaan.[]
Jika Anda menikmati membaca cerita ini, maka kami akan senang jika Anda membagikannya!