“Rezim Jokowi Perusak Demokrasi, Gagal Sejahterakan Rakyat, Bangun Kekuatan Politik Alternatif & Rebut Kedaulatan Rakyat.”
Kondisi demokrasi Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja, mulai dari hilangnya partisipasi berdampak dalam penyusunan omnibus law, pendidikan yang semakin terkomersialisasi dan hilangnya kekuatan suara mahasiswa dalam dunia pendidikan, hingga kasus Pemilu 2024. Berkaca dari hal tersebut, Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) atau koalisi antara serikat dengan masyarakat sipil dalam menuju May Day dan Hardiknas menuntut agar kedaulatan rakyat dikembalikan rakyat melalui politik alternatif.
Hari Buruh Sedunia atau yang dikenal juga sebagai May Day diperingati setiap tanggal 1 Mei sebagai hari peringatan perjuangan buruh di seluruh dunia. Sejarah Hari Buruh Sedunia bermula pada tanggal 1 Mei 1886 di kota Chicago, Amerika Serikat, ketika ribuan buruh mengadakan aksi unjuk rasa menuntut hak-hak buruh yang lebih baik, termasuk hak untuk memperjuangkan hak mereka dalam serikat buruh dan menuntut jam kerja delapan jam per hari.
Namun, aksi protes ini berubah menjadi kekerasan ketika polisi membubarkan massa dengan kekerasan, yang menyebabkan kematian dan luka-luka di antara para buruh dan polisi. Insiden ini dikenal sebagai “Tragedi Haymarket”. Beberapa pemimpin gerakan buruh di penjara dan dijatuhi hukuman mati tanpa bukti yang cukup. Peristiwa tersebut menginspirasi gerakan buruh di seluruh dunia, dan pada kongres internasional kedua dari Federasi Serikat Buruh Internasional di Paris pada tahun 1889, diputuskan bahwa tanggal 1 Mei akan menjadi hari peringatan perjuangan buruh di seluruh dunia. Tanggal 1 Mei dipilih sebagai penghormatan kepada para korban yang tewas dalam Tragedi Haymarket. Sejak itu, Hari Buruh Sedunia dianggap sebagai momentum untuk menggalang solidaritas antar kelas pekerja di seluruh dunia dalam melawan kapitalisme. Begitu pula dengan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), pada masa kolonialisme saat itu Ki Hadjar dan rekan-rekannya menentang kebijakan pemerintah Hindia-Belanda yang hanya memberikan akses pendidikan terhadap keturunan Belanda & kauk priayi. Seakan tak jauh berbeda dimasa kondisi pendidikan di Indonesia sekarang yang dibalut dengan persoalan pendidikan mahal, akses yang tidak merata, dan lain sebagainya.
MayDay & Hardiknas harus menjadi tonggak perlawanan dan persatuan gerakan rakyat dalam membangun kekuatan politiknya yang sejati atas kondisi kelas yang tertindas dan terhisap oleh cengkraman imperialisme dan oligarki di Indonesia. Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) dengan ini menyampaikan salam hormat setinggi-tingginya kepada kelas buruh di Seluruh Dunia. Dalam kondisi krisis multidimensi yang merebak kesulitan kaum buruh, tentu bukan penghalang bagi kelas buruh terus memproduksi semua komoditas-komoditas penting untuk kelangsungan hidup umat manusia. Tuas-tuas kehidupan yang terus bergerak, kemajuan peradaban yang tiada tara, serta ilmu pengetahuan yang berkembang begitu pesatnya merupakan maha karya berjuta-juta rakyat buruh di seluruh dunia. Hidup Kelas Buruh Seluruh Dunia!
Kemerosotan Hidup Kaum Buruh; UU Cipta Kerja Membawa Malapetaka
Kondisi kaum buruh saat ini menjadi lebih parah pasca disahkannya Omnibus Law Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Secara Umum, terdapat beberapa masalah krusial pada UU Cipta Kerja sehingga berdampak buruk pada kesejahteraan kaum buruh. Seperti halnya fleksibilitas tenaga kerja, Omnibus Law Cipta Kerja telah menghilangkan jaminan kepastian kerja, yaitu dengan bertambahnya jangka waktu perjanjian sistem kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Ketentuan batas waktu maksimal dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang semula (UU 13/2003) maksimal paling lama 3 tahun dengan satu kali perpanjangan kontrak 2 tahun, dengan tambahan maksimal 1 tahun, sekarang perjanjian kerja kontrak menjadi maksimal hingga 5 tahun. Artinya dengan durasi kontrak kerja yang panjang tersebut, maka buruh semakin tidak memiliki jaminan kepastian kerjanya alias sulit diangkat menjadi pekerja tetap atau Perjanjian Waktu Kerja Tidak Tertentu (PKWTT). Hal ini diperkuat dengan adanya PP No 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya, waktu kerja dan istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
System Kerja Outsourcing atau Alih Daya semakin diperluas, Sebelumnya soaloutsoucing/alih daya di atur dalam pasal 64-66 UU 13/2003 selanjutnya sejak diberlakukan UU 6/2023 kemudian diatur lagi dalam PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Aliah Daya, Waktu Kerja dan Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja. Dengan dihapuskannya pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan sistem alih daya (outsourcing) Perusahaan penyalur tenaga kerja, sehingga dalam prakteknya para buruh yang bekerja di berbagai jenis pekerjaan dapat dikerjakan dengan sistem outsourcing atau alih daya. Artinya dengan perluasan jenis pekerjaan tersebut maka segala permasalahan ketenagakerjaan yang timbul dalam hubungan industrial, maka banyak perusahaan yang sudah tidak lagi berhubungan langsung dengan para buruhnya, meskipun setiap hari para buruh bekerja diperusahaan tersebut. Karena perusahaan menganggap bahwa permasalahan ketenagakerjaan/perselisihan hubungan industrial tersebut adalah menjadi urusan pihak perusahaan penyalur tenaga kerja.
Politik Upah Murah, sejak tahun 2021 pasca Omnibus Law Cipta Kerja diberlakukan pemerintah menghapuskan variabel kebutuhan hidup layak sebagai pertimbangandalam penetapan upah minimum sebagai rujukan penghitungan upah minimum yang berdampak pada bergesernya konsep perlindungan pengupahan secara luas. Sehingga Kenaikan upah tidak akan pernah mencapai kebutuhan hidup layak. Pemerintah Mengeluarkan PP No.36 Tahun 2021 lalu direvisi menjadi PP No.51 Tahun 2023 tentang Pengupahan, yang menggunakan 3 variabel : pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu dengan rumus x yang justru mengurangi nilai angka upah buruh.
Pengurangan upah buruh yang paling mencolok adalah terkait upah sektoral yang sudah tidak diberlakukan lagi sejak tahun 2021 dan tidak ada kenaikan lagi hingga sekarang. Bahkan di awal tahun 2023 Menteri Ketenagakerjaan juga menerbitkan Permenaker No.5/2023 yang melegitimasi pemotongan upah buruh hingga 30%/bulan dan perubahan waktu kerja sepihak bagi buruh di sektor industri padat karya berorientasi ekspor, dengan alasan mencegah PHK, karena kriris ekonomi global.
PHK dipermudah, dengan adanya fleksibilitas sistem kerja kontrak maupun outsourcing pasca omnibus law cipta kerja maka secara otomatis pemutusan hubungan kerja (PHK) kaum buruh menjadi lebih mudah, karena proses PHK bisa hanya melalui pemberitahuan pengusaha kepada buruh tanpa didahului dengan perundingan. Hal ini yang kemudian mengakibatkan ledakan angka buruh yang di-PHK sepanjang UU Cipta Kerja diberlakukan yang memanfaatkan mendompleng pandemic covid. Sehingga Semangat dan tujuan untuk menciptakan lapangan kerja justru kontradiktif dengan realita di lapangan, yang tentunya juga berkaitan dengan perubahan nilai pesangon yang semakin kecil.
Pengurangan hak pesangon kaum buruh, yang sebelumnya dengan perhitungan 2 x PMTK bisa mencapai 32 bulan gaji, saat ini maksimal hanya 1,75 PMTK dengan maksimal perhitungan 25 bulan gaji, yaitu pesangon 19 bulan gaji ditambah 6 bulan gaji diambil dari JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) berdasarkan Peraturan Pemerintah No 36. Bahkan pengurangan hak pesangon buruh yang di PHK dengan alasan perusahaan merugi tanpa dilakukan metode audit berdasarkan ketentuan hukum dan perusahaan tidak tutup, maka pesangon buruh yang sebelumnya sebesar 2 PMTK kini dikurangi menjadi hanya 1 PMTK.
Terkait PHK karena perusahaan merugi dan tutup, hak pesangon buruh yang sebelumya 1 PMTK dikurangi menjadi hanya 0,5 PMTK. Keenam, UU Cipta Kerja juga sangat mengurangi kontrol negara terhadap hubungan kerja, karena banyaknya hal yang dikembalikan pada mekanisme kesepakatan para pihak, seperti soal batas waktu PKWT dan hak istirahat panjang yang bisa disepakati dalam perjanjian kerja. Secara Sosiologis-empiris, pengaturan seperti ini sangat merugikan pekerja karena ketimpangan antara pekerja dan pengusaha membuat pekerja tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam melakukan perundingan dua arah secara berkeadilan.
Sektor Agraria
Di sektor agraria, KPA mencatat berbagai implementasi kebijakan turunan UU Cipta Kerja semakin memperburuk keadaan, petani, nelayan dan masyarakat adat. Lahirnya Lembaga Bank Tanah yang merupakan produk turunan dari UU Cipta Kerja telah meningkatkan eskalasi konflik agraria di lapangan. Kementerian ATR/BPN menyatakan bahwa luas aset tanah dari Bank Tanah sudah mencapai 10.961 hektar di tahun 2023, meningkat drastis dari 4.312 hektar di tahun 2022. Operasi pengadaan tanah oleh bank tanah dengan cara mematok – matok tanah masyarakat telah menyebabkan keresahan dikalangan petani dan menyebabkan konflik agraria di berbagai wilayah sebab, proses penetapan lokasi dilakukan secara sepihak tanpa melihat kondisi eksisting di lapangan. Setidaknya terdapat 2.939 letusan konflik agraria terjadi di Indonesia (Catahu KPA 2015-2023).
Meningkatnya ancaman penggusuran dan perampasan tanah atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN). Menurut Dirjen Pengadaan Tanah dan Pembangunan Pertanahan Kementerian ATR/BPN tahun 2021, kementerian tersebut telah melakukan pembebasan tanah mencapai 23.000 hektar untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) dan 10.000 hektar non-PSN. Besarnya gelontoran pendanaan ini ditambah berbagai kemudahan proses pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur melalui turunan dari UU Cipta Kerja telah meningkatkan eskalasi penggusuran dan perampasan tanah di lapangan dengan dalih proyek strategis nasional. Kemudian, semakin masifnya korporatisasi pangan dan peminggiran petani melalui Food Estate Alih-alih melindungi dan meningkatkan kesejahteraan petani sebagai garda depan atas krisis pangan yang mengintai selama periode krisis Covid-19, pemerintah justru menyerahkan urusan penyediaan pangan nasional kepada korporasi-korporasi besar.
Masalah berikutnya adalah kebijakan pengampunan Forest Amnesty bagi bisnis ilegal korporasi-korporasi di kawasan hutan. Sejak UU Cipta Kerja disahkan hingga April 2023, Kementerian LHK telah mengeluarkan 12 SK dengan total perusahaan ilegal sebanyak 2.701, dengan luas mencapai 3.372.615 hektar (SK.322/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/4/2023). Hal ini berbanding terbalik dengan proses pelepasan kawasan untuk kepentingan redistribusi tanah bagi rakyat yang hingga saat ini masih buntu.
Sektor Kelautan
Tidak hanya di darat, hilirisasi juga terjadi di laut atas nama Ekonomi Biru. Jika dibawah komando Susi Pudjiastuti, kebijakan kelautan dan perikanan bersifat protektif dengan moratorium izin kapal eks asing diatas 30 GT, larangan transhipment, larangan kapal dengan ukuran diatas 150 GT untuk berlayar di laut Natuna, hingga pelarangan penanaman modal asing. Pemerintahan Jokowi periode kedua justru melakukan liberalisasi sektor perikanan dengan UU Cipta Kerja yang memperbolehkan penanaman modal asing di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Peraturan Menteri KKP No. 58 tahun 2020 yang mencabut moratorium dan transhipment serta Permen KP No. 59 tahun 2020 yang mencabut larangan cantrang. Pada tahun 2023 lalu, indikasi pemerintah menjual sumber daya laut pada pihak swasta semakin jelas dengan PP No 11 tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang membagi-bagi zona laut untuk korporasi.
Dibalik liberalisasi pasar dan ambisi mengejar Ekonomi Biru, pekerja perikanan di pabrik pengolahan ikan dan kapal perikanan harus menanggung kerja-kerja eksploitatif. Sejak tahun 2019, National Fisher Centre (NFC) menerima 134 aduan untuk 356 korban yang mengalami penipuan dari calo perekrutan, gaji yang tidak dibayarkan oleh pemberi kerja, tidak adanya jaminan sosial yang dapat melindungi ketika kecelakaan kerja hingga kekerasan. Temuan dari Destructive Fishing Watch (DFW) menunjukan bahwa pekerja perikanan memiliki karakter terisolasi akibat harus bekerja di tengah laut, waktu kerja, penghasilan, dan resiko yang tidak terprediksi, kerentanan sosial dan finansial dan tidak adanya relasi industrial yang jelas antara pemilik perusahan dengan awak kapal perikanan. Karakter ini juga membuat pemerintah lepas dari tanggungjawab dan memberikan impunitas kepada pengusaha.
Eksploitasi terhadap pekerja perikanan juga dipermudah oleh Permen KP No. 33 tahun 2021 yang belum mengatur perekrutan dan penempatan AKP sehingga kekosongan tersebut diisi oleh calo menjanjikan dan membebani calo AKP dengan hutang yang harus dibayar dengan penghasilan mereka. Sehinga, tidak jarang AKP berlayar selama lebih dari satu tahun tanpa membawa uang sepeserpun. Selain itu, pemerintah Indonesia juga tidak kunjung meratifikasi Konvensi ILO C-188 yang menjamin gaji tetap bagi pekerja perikanan, kewajiban kontrak kerja, repatriasi, hingga mewajibkan pemilik kapal untuk menjamin fasilitas dasar seperti akomodasi, pangan, dan fasilitas kesehatan diatas kapal yang saat ini masih sangat minim.
Carut marut tata kelola penempatan awak kapal baik niaga maupun perikanan sudah muai terurai dengan hadirnya UU no 18/2017 dimana awak kapal niaga dan awak kapal perikanan menjadi bagian dari pekerja migran, dan diperkuat dengan PP 22/2022 ,tapi sangat disayang. Oleh sekelompok orang berusaha untuk mengeluarkan status pelaut sebagai pekerja migran dengan melakukan Judicial Review di mahkamah konsitusi. Kalau sekiranya gugatan mereka di kabulkan oleh MK maka secara otomatis PP 22/2022 sebagai turunan dari UU no 18/2017 tidak berlaku lagi.dan pelindungan awak kapal niaga dan awak kapal perikanan kembali di akomodir dibawah UU pelayaran yang ruang lingkupnya tidak meliputi awak kapal Indonesia yang bekerja di kapal asing.
Kerusakan Lingkungan
Dalam konteks lingkungan ada beberapa dampak bahaya UU Cipta Kerja. Pertama dalam konteks, kejahatan kehutanan. Dimana UU Cipta Kerja, secara prinsip mengampuni kejahatan kehutanan melalui mekanisme keterlanjuran dan mereduksi sanksi pidana menjadi sanksi administrasi yang juga menempatkan kuantifikasi lingkungan serta dampak lingkungan menjadi uang. Pengampunan kejahatan kehutanan ini dioperasionalkan melalui pasal 110 A dan 110 B.
Berdasarkan analisa data yang dilakukan oleh WALHI, dari korporasi-korporasi yang diidentifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagian besarnya tergabung dalam grup besar sawit di Indonesia. Bahkan, selain beraktivitas illegal dalam kawasan hutan, sebagian besar korporasi tersebut melakukan pelanggaran lainnya, seperti kebakaran hutan dan lahan serta perampasan tanah yang menyebabkan konflik dengan masyarakat. Bukan hanya mekanisme keterlanjuran dalam pasal 110 A dan 110 B yang mengancam keselamatan hutan, namun beberapa pasal lainnya seperti dihapusnya pasal yang mewajibkan minimal 30% hutan berdasarkan daerah aliran sungai dan atau pulau harus terjaga. Dihapusnya pasal ini akan semakin mempercepat deforestasi hutan-hutan tersisa.
Tak hanya melemahkan penegakan hukum dan menghilangkan tanggung jawab negara untuk melindungi batas minimal 30% Kawasan hutan, undang-undang Cipta Kerja juga mereduksi makna AMDAL. Dalam undang-undang Cipta Kerja, dokumen AMDAL merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan. Ketentuan ini mereduksi makna AMDAL yang sebelumnya merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan. Selain itu, pasal 162 UU Cipta Kerja juga mengafirmasi pasal 162 di undang-undang Mineral batu bara yang sering dipakai oleh aparat penegak hukum dan korporasi untuk mengkriminalisasi rakyat yang mempertahankan wilayah kelolanya dari ancaman aktivitas pertambangan.
Situasi Pendidikan
Situasi pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari beberapa aspek, diantaranya adalah akses, kualitas, dan orientasi pendidikan. Berikut adalah data terkait situasi pendidikan di Indonesia: Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut rentang umur 7-12 Tahun sebesar 99,1% dan rentang umur 19-24 Tahun sebesar 26,85%. Menurut data tersebut bisa kita simpulkan bahwa semakin sedikit jumlah masyarakat yang bisa mengenyam pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga tinggi. Kemudian, kesenjangan pendidikan antara perkotaan dan perdesaan juga masih cukup signifikan. Menurut Deputi Bidang Statistik Sosial (BPS) Ateng Hartono, sebagian besar usia 15 tahun ke atas di kota atau sebanyak 38,87% berpendidikan sekolah menengah atau sederajat, sedangkan di desa masih berpendidikan sekolah dasar atau sederajat. Hanya 22,45% penduduk di pedesaan yang menamatkan pendidikan hingga sekolah menengah atau sederajat, sedangkan sebanyak 36,22% yang menamatkan pendidikan SD atau sederajat.
Di perguruan tinggi, apalagi pasca disahkannya UU Cipta Kerja, kampus berlomba bertransformasi menjadi kampus PTNBH atau modeling corporate university, Negara melepaskan tanggung jawab pembiayaan dan memberikan wewenang kepada kampus untuk mencari pendanaannya sendiri. Disanalah transaksional profesor kehormatan, honoris causa, kemitraan, dosen NIDK menjadi lahan pencarian profit dan bargaining politik. Seperti yang terjadi terhadap kampus-kampus yang telah menerapkan PTNBH. Komersialisasi dan inflasi biaya pendidikan tinggi yang konsisten setiap tahun; komodifikasi penelitian dan kerja-kerja akademik, karena semakin masif melakukan hilirisasi riset dan link and match dengan korporasi; outsourcing pekerja akademik, pengaturan mengenai kepegawaian dosen maupun non-dosen dalam PTNBH diatur secara seragam menuju tenaga kontrak universitas/institut yang mengeksploitasi; dan, manufakturisasi metode pembelajaran dan kurikulum pendidikan yang membungkam kekritisan/kebebasan akademik serta menumbuhkan neo fasis dalam pendidikan. PTN-BH dalam jeratan turbulensi pasar yang dimana hal tersebut mendongkrak biaya pendidikan semakin tinggi melebihi tingkat inflasi kebutuhan pokok. Akan mengintegrasikan dengan regulasi student loans (pinjaman biaya pendidikan) sebagai fase laju perkembangan kapitalisme finansial dalam lingkup pendidikan tinggi. Skema student loans akan mengantarkan kita kepada krisis-multidimensi yang lebih luas.
Ditambah lagi, hak-hak pekerja kampus semakin dihilangkan. Mulai dari pengupahan yang jauh dari kata layak, hingga kebebasan untuk berserikat yang semakin sulit, dan kebebasan akademik dalam melakukan berbagai kajian semakin berat.
HAM & Demokrasi
KontraS mencatat terdapat 622 pelanggaran dan serangan terhadap kebebasan sipil yang meliputi kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat dan kebebasan berkumpul secara damai. Angka ini tentu tak menutup kemungkinan jumlah riil yang lebih besar, sebab kami menduga begitu banyak bentuk represi yang tidak terliput oleh media. Selain itu, para korban cenderung ketakutan untuk mempermasalahkan tindakan represif yang dialami. Kriminalisasi juga masih menjamur. YLBHI-LBH mencatat, kebebasan berekspresi dalam rangka untuk mempertahankan tanah dan lingkungan yang sehat menyumbang angka tinggi dengan 212 individu yang ter kriminalisasi (2017-2023).
Di Papua, kondisinya lebih parah. Perampasan ruang-ruang berekspresi dijalankan secara lebih sistematis. Organisasi Tapol UK mencatat, sebanyak 801 (2022) dan 671 (2021), 443 (2019) individu menjadi korban pelanggaran kebebasan berekspresi. Menunjukkan tren yang selalu meningkat setiap tahunnya. Tidak hanya ditangkap, namun korban pelanggaran hak menyatakan pendapat di muka umum dan berkumpul juga berujung pada praktik extrajudicial killing. Ini menunjukkan bahwa watak opresif dan anti kritik negara tercermin begitu kental dalam tindakan brutalitas kepolisian (police brutality) yang dilakukan di lapangan. Disamping fakta di Papua bahwa tentara juga memainkan peranan penting dalam praktek-praktek pelanggaran kebebasan berekspresi.
Di sektor pers, LBH Pers mencatat setidaknya terdapat 51 peristiwa kekerasan terhadap pers tahun 2019, baik diarahkan kepada media, wartawan, narasumber, aktivis pers, hingga wartawan mahasiswa. Ke 51 kasus tersebut memakan setidaknya 113 korban individu maupun organisasi. Sedangkan di tahun 2020, LBH Pers mencatat kekerasan terhadap jurnalis mencapai 114 kasus. Angka ini naik 32% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 79 kasus. Di sektor kebebasan pers mahasiswa, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mencatat, sepanjang tahun 2020-2021 terdapat 185 kasus upaya pembungkaman pers. Penghalang-halangan gerak pers mahasiswa ini dilakukan dengan 12 bentuk. Represi paling banyak yaitu teguran dengan 81 kasus. Disusul dengan pencabutan berita 24 kasus, makian 23 kasus, ancaman 20 kasus, paksaan meminta maaf atas pemberitaan 11 kasus, penurunan dana 11 kasus, tuduhan tanpa bukti 6 kasus, penerbitan surat peringatan 4 kasus, teror 3 kasus, dan sebanyak 1 kasus dipukul oleh preman di luar kampus dan pelarangan aktivitas jam malam. Kemudian, pihak yang sering melakukan represi adalah birokrasi kampus sebanyak 48 kali, mahasiswa 16 kali. Lalu, dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) sebanyak 12 kali. Sementara itu, Organisasi Mahasiswa Eksternal (Ormek) delapan kali, narasumber enam kali, Aparat Keamanan Negara lima kali, Organisasi Mahasiswa Internal lima kali, Organisasi Masyarakat (Ormas) tiga kali, dan orang yang tidak dikenal tiga kali.
Bangun Kekuatan Politik Rakyat Yang Sejati
Pelbagai kelindan yang teramat dirasakan kaum buruh dan rakyat tertindas lainnya, semakin memperlihatkan keculasan pemilik modal untuk melancarkan kepentingannya dengan beraneka ragam akrobat licik melalui seluruh instrumen negara demi memastikan penghisapan terhadap rakyat tertindas. Kelas buruh dan rakyat tertindas lainnya bertubi-tubi dihadapkan dengan kebijakan neoliberal yang semakin menghisap. Selama pemerintahan Indonesia dikuasai oleh oligarki yang lahir dari partai-partai borjuasi sebagai kepanjangan tangan dari imperialisme tidak akanlah lahir kebijakan yang berpihak pada rakyat, namun sebaliknya rakyat akan terus menjadi objek penghisapan bagi keuntungan imperialisme dan kelanggengan kekuasaan oligarki.
Oleh karena itu, Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) dalam momen Hari Buruh Internasional dan Hari Pendidikan Nasional 2024 ini menyerukan kepada seluruh kelas buruh Indonesia, kaum tani, pemuda-pelajar dan mahasiswa, kaum rakyat miskin kota, perempuan Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia untuk memperhebat dan memperkuat persatuan perjuangannya untuk segera membangun kekuatan politik persatuan sebagai alat bagi rakyat tertindas untuk bangkit, bersatu, membalikan keadaan dan memenangkan pertarungan di semua lini.
Sebab, tidak ada jalan lain untuk merubah kondisi kehidupan agar lebih baik lagi selain dengan kekuatan politik persatuan rakyat yang sejati. Di depan sana, ketika kita sudah mau bergotong royong bahu membahu menyatukan kekuatan kita, tangan kita yang kuat ini akan kita angkat setinggi-tingginya, sehormat-hormatnya, untuk menghancurkan rantai penghisapan dan penindasan. Kehidupan yang layak, adil, setara dan sejahtera akan segera terwujud dengan kekuatan kita sendiri, dengan perjuangan kita sendiri.
Maka dari itu pada momentum mayday dan hardiknas 2024 yang akan jatuh pada tanggal 1 mei dan 2 mei 2024, Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menuntut kepada Negara dan Rezim sebagai berikut ;
- Cabut Omnibuslaw Cipta Kerja dan PP turunannya,
- Stop PHK dan Pemberhangusan Serikat Buruh,
- Berlakukan Upah Layak Nasional, secara Adil dan Bermartabat,serta cabut PP 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan,
- Tolak Sistem Kerja Kontrak/Outshourcing, Sistem Kerja Magang,
- Tolak Sistem Mitra Palsu bagi Driver Online dan Ojek Online (ojol),
- Lindungi Buruh Perempuan, Stop Pelecehan dan Kekerasan Ditempat Kerja,
- Berlakukan Daycare dan Ruang Laktasi bagi Buruh Perempuan,
- Berlakukan Cuti Ayah Bagi Buruh Laki-Laki Saat Istri Melahirkan,
- Jamin dan Lindungi Hak-hak buruh perkebunan sawit, perkebunan tebu, perkebunan karet dan sektor perkebunan lainnya,
- Jamin dan lindungi hak-hak buruh migran, pekerja perikanan, dan kelautan,
- Berlakukan pengangkatan seluruh pegawai honorer/pegawai PHL di pemerintahan menjadi pegawai tetap negara dengan gaji yang layak,
- Stabilkan harga-harga sembako,
- Tolak kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik (TDL), dan tarif jalan tol,
- Stop represifitas dan kriminalisasi terhadap aktivis,
- Wujudkan pendidikan gratis dan ilmiah bagi seluruh rakyat,
- Wujudkan reforma agraria sejati, tolak sistem bank tanah,
- Jaga kelestarian lingkungan hidup, tolak perampasan dan penggusuran tanah-tanah rakyat,
- Bangun industri nasional yang kuat dibawah kontrol rakyat,
- Tegakan demokrasi sejati, tolak politik dinasti.
- Revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Partai Politik,
- Cabut Undang-Undang Pendidikan Bermasalah Seperti Undang-Undang Sisidiknas dan Pendidikan Pendidikan Tinggi.
Penulis
-
Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat
-