MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Marsinah Berlipat Ganda

Jika masih hidup, 10 April 2024 usia Marsinah tepat 55 tahun. Namun, di usia 25 tahun Marsinah dibunuh rezim. Kasusnya telah mencapai 31 tahun pembunuh sebenarnya tidak diungkap. Tepatnya pada 8 Mei 1993, ditemukan sesosok mayat yang tergeletak di tengah persawahan wilayah Nganjuk. Setelah diidentifikasi ternyata adalah mayat dari pejuang buruh yang ditakuti oleh rezim Orde Baru, ia bernama Marsinah. Sebelum kematiannya, Marsinah dikabarkan menghilang tanpa jejak. Banyak kawan-kawannya yang mencari kepergiannya, namun pedih yang didapat, kala mendengar Marsinah dikabarkan tidak bernyawa lagi. 

Marsinah lahir pada 10 April 1969 dan berpulang pada 8 Mei 1993.

Marsinah memang sosok yang benar-benar berani, ia bukan dari kalangan intelektual yang hidup penuh kenyamanan pengetahuan di wilayah kampus, ataupun anak dari seorang yang mampu. Tetapi kesadarannya untuk memperjuangkan hak-hak buruh, melampaui semua pengetahuan yang ada. Karena satu Marsinah saja sudah mampu mempengaruhi ribuan buruh untuk bersuara, membangkitkan lagi suara-suara tuhan yang telah dibungkam oleh rezim otoritarian Orde Baru.

Persinggungan Marsinah dengan gerakan buruh bukan suatu hal yang tiba-tiba terjadi. Ia pada awalnya hanya seorang perempuan desa yang pergi ke kota untuk mengadu nasib dengan menjadi buruh. Ia sendri pada akhirnya bekerja di PT CPS (Catur Putra Surya) yang bergerak di bidang pembuatan arloji atau jam tangan. PT CPS didirikan pada 15 April 1980 dengan nama asli Empat Putra Watch Industry.

CPS ini sendiri terletak di Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Jika kita menapak tilas pabrik tersebut, yang nampak hanya hamparan lumpur panas yang berbau menyengat. Desa Siring sendiri kini telah tenggelam akibat dari eksplorasi PT Lapindo Brantas yang dikuasi oleh elite nasional Aburizal Bakrie dan Arifin Panigoro. 

Perjuangan yang dilakukan Marsinah pada dasarnya sangat erat kaitannya dengan eksploitasi yang tidak manusiawi oleh PTCPS. Kala itu, di tengah kondisi perusahaan yang sedang berjaya, produksi mereka mampu mencapai 1.248.000 buah jam tangan per tahunnya, kurang lebih sekitar 70% di ekspor ke Amerika Serikat dengan taksiran keuntungan 2 juta dolar Amerika Serikat.

Situasi ini tak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan buruh yang bekerja di sana. Total ada sekitar 500 buruh yang bekerja di perusahaan tersebut, 300 di antaranya merupakan perempuan. Waktu produksi di perusahaan tersebut berlangsung selama 24 jam penuh dibagi menjadi tiga sif.

Sif pertama berlangsung pukul tujuh pagi hingga setengah tiga sore, sif ke dua dari setengah tiga sore sampai jam sepuluh malam dan sif ke tiga dari jam sepuluh malam sampai pukul tujuh pagi. Total buruh bekerja selama tujuh jam setengah untuk dua sif pagi dan sore dan sembilan jam untuk sif tiga. Artinya beban kerja paling berat ada di sif malam yang bekerja lebih dari tujuh jam kerja. Tidak hanya itu, para buruh yang bekerja di sif satu dan dua harus lembur selama dua jam, dengan beban waktu kerja sekitar sembilan hingga dua belas jam per hari.

Perusahaan yang sedang makmur-makmurnya kala itu, mendapatkan keuntungan yang besar dari eksploitasi buruh. Para buruh yang bekerja di sana diambil nilai lebihnya, melalui waktu kerja dan upah yang murah. Karena buruh tidak diupah dari per biji harga arloji, tetapi diupah dari waktu kerja yang sudah disepakati melalui kontrak. Artinya para buruh menjual tenaganya untuk sejumlah uang dalam waktu tertentu. Istilah lainnya ialah kerja upahan. Di samping itu, pemerintah juga berpengaruh besar dalam mengeksploitasinya buruh, apalagi saat itu rezim otoriter Suharto melegitimasi penghisapan tersebut. Siapapun yang berani mogok kerja akan dipecat dan dihantam oleh militer.

Karena upah pokok saat itu hanya Rp1.700 per hari dengan tunjangan tidak tetap sekitar Rp550 sampai Rp850 per harinya, dan perusahaan menetapkan kenaikan upah per tahun hanya Rp100. Situasi ini kontras dengan kondisi perusahaan yang sedang mengalami peningkatan penjualan. Apalagi buruh juga tidak disediakan alat perlindungan diri kala menjalankan mesin. Mereka harus menyewa alat tersebut. Bahkan ada denda sekitar Rp50 untuk buruh yang menghilangkan barang perusahaan.

Selanjutnya pemerintah mulai menaikan upah buruh menjadi Rp2.250 atau naik sekitar 30%, sementara Gubernur Jawa Timur saat itu Basofi mengeluarkan edaran kenaikan upah hanya 20% saja. Tentu ini memancing gejolak di antara para buruh. Mereka kemudian berhimpun, bersiap untuk melakukan aksi. Salah satu buruh yang aktif melakukan pengorganisasian adalah Marsinah.

Aksi kemudian berlanjut hingga sampai pada negosiasi. Saat itu ada pedoman hukum yang dipakai yakni Surat Keputusan Bakorstanas No. 02/Satnas/XII/1990 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 342/Men/1986 tentang Pedoman Perantaran Perselisihan Hubungan Industrial, di mana militer terlibat sebagai pihak penengah.

Pada era tersebut intervensi militer sangat kuat, karena dilegitimasi oleh Suharto. Tak jarang banyak dari kaum buruh mengalami intimidasi saat memperjuangkan hak-haknya. Kaum militer ini lebih condong membela pengusaha. Seperti yang terjadi di Sritex tempat Wiji Thukul mengorganisir hingga CPS tempat Marsinah bekerja.

Karena dalam forum negosiasi kala itu tidak sesuai harapan, ditambah buruh melakukan pemogokan, PT CPS melakukan pemecatan kepada 13 orang buruh tanpa pesangon sepeser pun. Tuntutan dari para buruh kala itu mereka ketik menjadi tuntutan utama, yakni meminta tunjangan kesejahteraan sosial seperti, cuti hamil, cuti haid, upah lembur, THR, jaminan kesehatan buruh, kenaikan uang makan dan uang transportasi. Karena hal tersebut tidak dipenuhi Marsinah bersama kawan-kawannya akan melakukan pemogokan besar, dan mengancam membuka produksi ilegal yang dilakukan oleh PT CPS.

Tidak berselang lama setelah pemogokan, terjadi intimidasi dan represi dari militer. Dan, saat itu juga Marsinah hilang. Ia ditemukan tak bernyawa di Dusun Jegong, Wilangan, Nganjuk. Tidak jelas siapa yang menculik dan membunuhnya. 

Rezim saat itu membuat kamuflase, di mana menetapkan sembilan tersangka yang kemudian diadili. Tetapi teka-teki kematian Marsinah sanggat janggal. dr Mun’im yang mengatakan bahwa Visum et Repertum (VR) yang dibuat oleh dokter dari RSUD Nganjuk tidak memenuhi standar pemeriksaan jenazah korban, karena tidak sesuainya hasil VR dengan bukti yang ada di persidangan. Kematian Marsinah penuh kejanggalan dan persidangan hanya mengada-ada.

Marsinah mati dibunuh oleh rezim otoriter Orde Baru, tidak hanya ia saja. Pada saat itu ada buruh lain yang menjadi korban rezim karena keberaniaannya memperjuangkan hak-hak buruh, mereka adalah Petrus Tomae buruh pabrik semen PT Indocement yang mati pada 29 Januari 1994, Rusli buruh PT IKD Medan yang mati pada 11 Maret 1994 dan Titi Sugiarti seorang buruh perempuan juga, ia bekerja di di industri tekstil PT Kahatex Bandung yang meninggal pada 30 April 1994.

Mengutip almarhum Munir, “Marsinah adalah sebuah cermin perlawanan buruh dalam bibit tumbuhnya gerakan buruh.” Semangat dan api Marsinah telah mengajarkan pada kita, bahwa orang biasa juga melawan. Tidak peduli latar belakang keilmuan dan pendidikan, selama ketidakadilan terjadi, selama hak dirampas, maka kita harus melawannya. Gerakan buruh lahir dari perampasan hak dan upaya menegaskan bagaimana hak hidup diberikan. Marsinah telah mencontohkannya.

Sebagai penutup, bahwa kepergian Marsinah menunjukan bahwa saat itu perjuangan seseorang yang melawan penghisapan pemodal, apalagi yang dilindungi rezim, tidaklah mudah. Karena ancaman itu akan hadir di setiap saat, intimidasi, represi, kriminalisasi hingga dilenyapkan nyawanya. Tetapi sejarah sebenarnya hanya berganti cangkangnya, selama orang-orang lama serpihan Orde Baru masih ada dan berkuasa, di kala demokrasi kita dibajak politik transaksional oleh kartel politik dan oligarki, maka saat ini pula kita menjadi Marsinah namun pada lintasan waktu berbeda.

Referensi

Suparto, Alex. (1999. Marsinah: Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan. Jakarta: YLBHI

Qurniasari, I., & Krisnadi, I. G. (2014). Konspirasi Politik dalam Kematian Marsinah di Porong Sidoarjo Tahun 1993-1995 . Publika Budaya, 2(3), 18-25.

Penulis

Wahyu Eka Setyawan