MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Lingkaran Setan Kerja, Kesadaran Subjektif dan Perlawanan Kolektif

Buku ini dapat dianggap sebagai kisah tentang keagensian buruh. Banyak literatur telah memaparkan aksi-aksi kolektif buruh di Indonesia dan pengorganisasiannya, namun ilustrasi tentang kapasitas keagensian mereka nyaris tenggelam di dalam kolektivitas dari gerakan-gerakan buruh tersebut. Tokoh-tokoh (kebanyakan pemimpin serikat buruh) di pucuk-pucuk kepimpinan gerakan umumnya lebih dikenal ketimbang pemimpin-pemimpin di akar rumput, apalagi para buruh biasa, yang sebenarnya memiliki peran yang tidak kalah penting di dalam gerakan.  Suatu kepemimpinan gerakan, di tingkat mana pun, tidak pernah muncul dengan tiba-tiba. Ia datang melalui biografi panjang yang melibatkan pengalaman-pengalaman objektif dan subjektif: bermula dari akar rumput, ditempa dalam pengalaman-pengalaman keseharian yang antagonis, kemudian bertransformasi ke dalam suatu gerakan kolektif dan terlembaga.1

Kepemimpinan dalam gerakan adalah sebuah produk sejarah keagensian dalam suatu konteks sosial ekonomi politik. Setiap masa akan melahirkan watak kepemimpinan tersendiri, yang melekat ke dalam keadaan struktur ekonomi politik dan sosialnya. Seperti para buruh di dalam buku ini, kelahiran kepemimpinan mereka adalah produk dari konteks ekonomi politiknya, rezim perburuhan yang menaunginya, serta riwayat penghidupan di dalam kelas sosialnya. Namun.  ini tidak berarti kepemimpinan itu hanyalah produk pasif dari struktur, melainkan merupakan agen-agen yang aktif.2 Mereka mampu mencerna makna dari pengalaman-pengalaman pribadinya dan mengunyah arti dari peristiwa-peristiwa yang dialami kolega-koleganya yang bernasib dan beridentitas sama. Mereka juga berusaha memahami hubungan-hubungan ekonomi politik baik yang terjadi di dalam tempat kerjanya, lingkungan tempat hidupnya, hingga di ruang-ruang ekonomi-politik nasional. Dari pemahaman-pemahaman inilah mereka merespons: mengumpulkan dukungan, membangun jaringan, berorganisasi,  bernegosiasi dan melakukan perlawanan atas opresi dan ketidakadilan yang mereka temukan. Melalui proses dialektis ini, objek kekuasaan majikan untuk akumulasi kapital itu bangkit menjadi subjek yang membangun kekuatan tawarnya di dalam suatu struktur kelas sosial.  

Cerita yang ditulis oleh para buruh ini menyajikan dengan jelas bagaimana kesadaran kritis tentang kerentanan (precariousness), ketidakadilan dan subordinasi (penundukan) dalam dunia kerja, tumbuh secara sirkuler sejak mereka memasuki pasar kerja hingga terlibat dalam hubungan-hubungan produksi melalui proses-proses kerja (labour process).  Sementara itu kapasitas menggugat mereka dibentuk oleh sejauhmana mereka terlibat dalam aksi-aksi antagonis baik secara individual maupun kolektif; sedangkan  kapasitas tindakannya yang melembaga ditentukan oleh pengalaman mereka di dalam organisasi seperti serikat atau organisasi sejenis lainnya.

Meski demikian, penting pula untuk memahami bahwa hubungan-hubungan sosial seperti itu bukan satu-satunya faktor yang menentukan kemunculan kesadaran dan kapasitas tersebut. Pada masa Orde Baru, misalnya, kondisi tersebut tidak dapat terbangun secara memadai karena struktur kesempatannya tidak memungkinkan.  Kebijakan perburuhan yang korporatis dan represif, serta penghancuran infrastruktur gerakan buruh, menghambat laju pembentukan kesadaran kolektif kelas buruh, dan pengorganisasian kelas buruh secara leluasa.   Dengan kata lain, bentuk ekonomi politik dari suatu rezim perburuhan turut memengaruhi pula perkembangan kesadaran dan keagensian tersebut.  

Berkelana di Pasar Kerja yang Rentan

Cerita ini disusun oleh para penulis berdasarkan pengalaman nyata mereka berada di dalam sebuah rezim perburuhan nasional di era Reformasi Indonesia. Di era ini, rezim perburuhan telah terintegrasi semakin jauh ke dalam model perekonomian pasar. Negara tidak lagi sebagai pengendali utama pertumbuhan ekonomi sebagaimana terjadi di era Orde Baru.   Di dalam model sekarang ini, negara menempatkan diri sebagai fasilitator dan penjamin bagi bekerjanya sebuah pasar yang mendorong akselerasi pertumbuhan investasi modal.  Hasilnya antara lain adalah sebuah pasar kerja yang fleksibel (Tjandraningsih & Nugroho, 2008), sebagaimana tercermin di dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang belakangan ini berubah menjadi UU Cipta Kerja seperti dipaparkan oleh Suryomenggolo di bab terakhir buku ini.  

Penganjur ekonomi Neoliberal berkeyakinan bahwa pasar yang demikian memungkinkan sebuah sirkulasi tenaga kerja yang aktif, dan pada gilirannya, memungkinkan gerak ekonomi kapitalisme yang lebih produktif. Namun, sejumlah studi telah menunjukkan sisi kekhawatiran di balik optimisme semacam itu (Juliawan 2010; Hewison and Kelleberg 2012).  Fleksibilitas itu telah menciptakan juga ketidakpastian kerja (job insecurity), ketidakstabilan kehidupan sosial ekonomi, dan kerawanan di dalam hubungan kerja. 

Pengalaman pribadi yang dituangkan oleh para penulis telah membuktikan dengan sendiri argumentasi yang terakhir ini.  Hampir seluruh penulis di sini memiliki cerita panjang tentang mobilitas  pekerjaan (okupasi) mereka.  Pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain yang berjangka pendek dan berkali-kali mewarnai kisah mereka sebelum akhirnya berujung pada pekerjaan yang (barangkali yang) “terakhir” mereka tekuni saat menulis buku ini.  Mobilitas pekerjaan seperti ini, di satu sisi, memperlihatkan daya serap lapangan kerja yang cukup tinggi karena sifat fleksibilitasnya. Di sisi lain, pasar kerja seperti ini juga merupakan sebuah paradoks karena sekaligus memperlihatkan adanya sebuah pusaran rentan yang ditandai kondisi kerja yang buruk dan involutif. 

Sementara itu, fleksibilitas pasar kerja itu tidak hanya diindikasikan oleh perpindahan pekerjaan tetapi juga oleh ketidakstabilan aktivitas kerja itu sendiri sebagaimana ditunjukkan oleh buruh rumahan di Semarang (lihat h.36).   Buruh rumahan bekerja tergantung penawaran pekerjaan.  Akivitas buruh ini sangat rentan terhadap fluktuasi keadaan pasar.  Di bawah satu majikan yang sama, adakalanya mereka bekerja, adakalanya tidak. Keadaan ini mendorong mereka untuk mengambil “pekerjaan-pekerjaan-sela”. Ada kalanya juga mereka bekerja sebagai buruh rumahan, ada kalanya mereka bekerja sebagai buruh pabrik.3  

Informalitas menandai ciri berikutnya dari pasar kerja ini (Juliawan, 2010). Informalitas tersebut diindikasikan dari jalur rekrutmennya, sistem kontrak kerjanya, dan aktor-aktor pengendali rekrutmen.  Penulis-penulis buruh industri elektronik dan garmen, misalnya, menggambarkan adanya jalur-jalur terselubung dalam praktik-praktik rekrutmen pekerjaannya.  Salah satu contohnya adalah intervensi manajemen HRD secara informal dengan memanfaatkan penyalahgunaan wewenang yang berisiko pada kekerasan seksual (lihat h.86-87). Skema lain adalah penggunaan sistem perpanjangan kontrak melalui ormas lokal dan pemimpin komunitas (seperti ketua RT, dll), bahkan ada kalanya praktik ini melibatkan pula peran dari anggota/pengurus serikat. Sistem ini memungkinkan perusahaan mengurangi penggunaan tenaga kerja tetap, dan sebaliknya memperbesar kapasitas penggunaan tenaga kerja fleksibel seperti buruh alih daya (outsourced) atau buruh kontrak. 

Penggunaan jalur-jalur informal dengan memanfaatkan penyedia tenaga kerja dari komunitas-komunitas di sekitar perusahaan  ini memungkinkan perusahaan mengeksternalisasikan risiko bisnis yang timbul akibat hubungan kerja. Dalam kasus buruh industri elektronik, misalnya, manajemen perusahaan menghadapkan serikat buruh dengan penyedia tenaga kerja di komunitas, ketika pengurus serikat memperjuangkan hak anggotanya yang mengalami pemberhentian kerja (lihat h.97-98). Dengan cara ini, manajemen perusahaan tidak ingin berurusan secara langsung dengan buruh dan serikat dalam melakukan proses PHK maupun rekrutmen.  Upaya perusahaan untuk mempertahankan hubungannya dengan penyedia informal tenaga kerja ini memperlihatkan strategi politik produksinya untuk menekan biaya produksi melalui rekrutmen tenaga kerja fleksibel sekaligus menghindari konflik-konflik industri yang berbiaya tinggi.

Seperti sebagian besar para buruh yang menulis di buku ini, kebanyakan dari mereka mengalami kesulitan untuk keluar dari lingkaran struktur pekerjaan dan pasar kerja yang memungkinkan mereka untuk memperbaiki kondisi kerja dan kesejahteraannya (well-being).  Akses tersebut menjadi terbatas karena pasar kerja yang fleksibel ini hanya memungkinkan perpindahan dari satu pekerjaan rentan ke pekerjaan rentan lainnya.  Sementara itu di dalam tempat kerja, para buruh masih harus menghadapi kondisi kerja yang juga rentan.  Namun di sisi lain, keselarasan yang akumulatif dari kondisi antara pasar kerja dan kondisi kerja justru menjadi lahan yang subur di dalam memupuk sebuah kesadaran tentang kedudukan sosialnya sebagai buruh. 

Proses Kerja dan Kesadaran tentang Subordinasi 

Proses kerja adalah titik sentral dari keseluruhan pengalaman kerja yang memberi sumbangan esensial bagi pemahaman subjektif maupun kolektif buruh tentang kedudukan rentan mereka sendiri di dalam struktur kerja, bahkan perekonomian kapitalisme (Burawoy 1985, 7-8). Di titik ini, buruh menemukan ‘benang merah’ antara dirinya, alat produksi, tindakan-tindakan majikan pengelola modal (manajemen), keuntungan (profit) yang diambil oleh pemodal atas pekerjaannya, kesamaan kelas dan identitas dengan sesama buruh lainnya, dan sebuah tatanan ekonomi politik yang mengaturnya. Rahmat, salah satu penulis buku ini, menggambarkan keadaan ini dengan baik. Ia mengatakan, “Saya seperti manusia yang dipersiapkan untuk melayani mesin” (lihat h.212).  Pernyataannya merupakan sebuah pemahaman yang substantif tentang dirinya yang diciptakan sebagai elemen politik produksi dan politik kapitalisme. Ia ‘berkarya’ untuk suatu alat produksi yang dikendalikan oleh kekuasaan lain. Meski ia ada kalanya menyadari bahwa ia dapat memiliki ‘kekuasaan’ di dalam pekerjaannya tetapi bagaimanapun kapasitas kekuasaannya tetap tunduk pada struktur akumulasi modal di dalam sebuah rezim pabrik. 

Elemen-elemen proses kerja yang membentuk kesadaran tentang relasi yang rentan muncul dalam bentuk yang beragam, yang dipengaruhi oleh cara operasi dari rezim korporasi atau yang Burawoy (1985) sebut secara lebih luas sebagai rezim pabrik atau rezim produksi. Pada pekerjaan-pekerjaan di sektor manufaktur, ekstraksi kerja yang berlebihan dan dirasakan sebagai bentuk eksploitasi merupakan suatu bentuk perampasan (apropreasi) nilai sosial-ekonomi yang dengan cepat membangkitkan kesadaran tentang siapa dirinya maupun siapa rekan-rekan yang senasib dengannya.  

Para penulis buruh garmen, elektronik, dan industri makanan menggambarkan bagaimana cara  mereka bekerja ditentukan oleh ritme produksi yang merupakan representasi dari cara korporasi merespons persaingan pasar komoditas. Target adalah sebuah kata baku yang kerap didengar oleh para buruh ini, dan tentunya termasuk oleh puluhan ribu buruh lain di sektor ini.  Kata tersebut kerap dianggap sebagai momok oleh para buruh, karena kadang digunakan oleh aparatus-aparatus manajemen sebagai instrumen paksa yang intimidatif.  Target merupakan suatu bentuk narasi instruksional yang mengatur gerak produktivitas fisik, pikiran, dan emosi buruh sesuai dengan ritme pasar demi penciptaan akumulasi modal. Bahkan, Rahmat menggambarkan bagaimana proses tersebut telah turut mendikte tubuhnya dalam mengatur jadwal kebutuhan biologisnya (lihat h.210). 

Ritme produksi tersebut juga menciptakan rantai eksploitasi yang disertai oleh rantai kekerasan di dalam pabrik.  Proses ekstraksi nilai-nilai ekonomi dan sosial tidak hanya terjadi di tingkat buruh operator terbawah di dalam lini produksi, melainkan juga pada mereka yang memiliki kekuasaan (dalam derajat terbatas) atas kerja para operator.  Pengalaman penulis seperti Rahmat dan Yuni yang pernah menduduki posisi supervisor, analis kimia, maupun pengawas mutu (QC), memperlihatkan kerentanan tersebut.  Di satu sisi, tugas dari posisi mereka adalah mengatur cara kerja buruh-buruh operator yang berada di lini yang lebih rendah. Di sisi lain, pengaturan itu sendiri tentunya merupakan output dari sistem target dan ritme kerja yang ditetapkan oleh manajemen di tingkat atasnya.   Jadi, ketika persaingan pasar komoditas mendesak manajemen untuk melipatgandakan ritme kerja dan beban kerja, mereka yang berada di posisi supervisi dan setaranya turut menjadi agen yang meneruskan tekanan tersebut kepada buruh-buruh operator di bawah mereka secara masif agar bekerja dengan kecepatan produksi yang diharapkan perusahaan. Tekanan melalui bahasa verbal yang keras menjadi instrumen kontrol yang mewakili struktur kekuasaan modal.

Bagi buruh operator, supervisor tampak seperti bagian dari manajemen atau modal, sehingga ketidaksenangan atau ketidakpuasan terhadap supervisor atau petugas QC sering merebak di kalangan buruh-buruh ini. Tetapi beberapa penulis yang sempat mengenyam posisi supervisor atau setaranya berusaha menunjukkan bahwa kesadaran mereka mengenai arti yang sebenarnya dari hubungan produksi tidak selalu konsisten dengan figur dan status supervisor yang melekat kepada struktur kontrol tenaga kerja perusahaan.  Memang tidak sedikit mereka yang tunduk pada korporasi dan kesadarannya terhegemoni oleh moral korporasi. Akibatnya, mereka tampak seperti bagian yang “sempurna” dari aparatus modal.  Namun, subordinasi tersebut juga dapat mencerminkan  sebuah cara menyelamatkan diri dari tekanan kekuatan modal yang tak sanggup mereka lawan. Apalagi posisi mereka juga sama rentannya dengan buruh operator seperti digambarkan oleh beberapa penulis di sini tentang rasa tereksploitasi, rendahnya upah mereka dan tidak stabilnya keamanan kerja mereka (lihat h.216, 256).  

Jika pengaturan ritme produksi dan kontrol kerja menjadi strategi apropreasi nilai ekonomi dalam proses kerja di sektor manufaktur, beberapa penulis di sektor jasa seperti layanan kesehatan dan bisnis ritel mendapati apropreasi tersebut terjadi akibat pengalihan resiko korporasi yang berkaitan dengan sirkulasi inti komoditas.   Pengalihan risiko bisnis ritel (seperti kehilangan barang penjualan – baik akibat ulah konsumen maupun manajemen distribusi barang yang buruk) yang dibebankan kepada buruh ke dalam bentuk pemotongan upah menjadi sebuah cara kontrol kerja yang despotik karena menciptakan utang menumpuk yang terus-menerus bagi buruh terhadap perusahaan.  Akibatnya, kecenderungan buruh untuk mengambil lembur demi pelunasan utang tersebut menjadi suatu bentuk apropreasi ganda yang harus ditanggung oleh buruh (lihat h.124-128). Jam kerja mereka menjadi lebih panjang dengan nilai ekonomi yang rendah bagi pekerja. 

Pengalaman buruh di rumah sakit hampir serupa. Irasionalitas manajerial yang disebabkan oleh praktik korupsi masif pada manajemen rumah sakit telah mengorbankan para buruh. Kesinambungan kehidupan korporasi yang berusaha dipertahankan melalui praktik-praktik relasi patronase dan korupsi di lingkaran elite manajemen telah menyebabkan kerentanan-kerentanan kondisi kerja, apropreasi nilai-nilai sosial ekonomi para buruh rumah sakit dan praktik-praktik subordinasi. Di dalam uraiannya, penulis memaparkan juga bagaimana rezim korporasi tersebut menggunakan kekuatan-kekuatan di luar perusahaan seperti aparat keamanan negara untuk memelihara kekuasaannya.  

Ilustrasi yang tidak kalah signifikan tentang subordinasi dan apropreasi dalam proses kerja, namun relatif marginal di dalam diskusi-diskusi mengenai perburuhan, adalah keadaan buruh industri berbasis rumahan (home-based workers) dan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Interseksi antara proses kerja (produksi) dengan tugas-tugas dan hubungan-hubungan sosial kerumahtanggaan (reproduksi tenaga kerja), di mana hubungan berbasis gender sering memainkan peran kunci di dalamnya, menjadi titik sentral dari kerentanan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Interseksi tersebut menghasilkan kekaburan definisi ruang dan waktu di dalam proses kerja. Pemisahan tempat kerja sebagai ruang produksi dan rumah sebagai ruang reproduksi tenaga kerja mengalami kekaburan. Demikian pula, pemisahan antara waktu kerja dan waktu istirahat menjadi sangat cair.  Di dalam kekaburan ini, kekuasaan majikan dan kapasitas buruh untuk menghadapinya saling bergulat terus-menerus setiap hari demi terpeliharanya kepentingan masing-masing. Pertarungan tersebut terjadi baik melalui interaksi-interaksi yang tampak (overt) maupun yang sangat subtil.   

Pada pekerjaan industri berbasis rumahan, para buruh berhadapan dengan kekuatan yang berlapis-lapis di dalam mempertahankan kerja mereka.  Kekuatan tersebut melibatkan pihak-pihak seperti perusahaan (seperti petugas QC di dalam dan di luar pabrik, serta pimpinan perusahaan), rekan-rekan buruh tetap di dalam pabrik, bahkan kadang juga pengurus serikat. Sementara itu, karena sebagian besar kerja produksi dilakukan di rumah, mereka juga harus berhadapan dengan pengaturan urusan rumah tangga yang rumit.  Rumah menjadi wilayah di mana urusan kerja bercampur dengan hubungan-hubungan personal dengan anggota keluarga. Buruh rumahan yang mayoritas perempuan mendapati struktur patriarki sebagai pengendali perannya di rumah. Jadi, di bawah struktur dominasi seperti inilah, para buruh rumahan tersebut menjalani aktivitas produksi mereka sehari-hari. 

Personalisasi hubungan kerja menjadi jauh lebih rumit dan subtil manakala menyangkut buruh rumah tangga (PRT). Tidak adanya regulasi yang mengatur hubungan kerja, mengakibatkan hubungan-hubungan sosial interpersonal dan tradisi budaya mengambil peran lebih dominan di dalam mengatur hubungan kerja. Pada pekerjaan ini, cakupan pekerjaan biasanya tidak dapat dinegosiasikan oleh buruh, melainkan didefinisikan secara sepihak oleh majikan. Kebutuhan buruh yang mendesak akan pekerjaan turut mempengaruhi ketidaksetaraan kekuasaan di dalam pendefinisian cakupan kerja tersebut.  Absennya formalisasi hubungan kerja memperkuat kecenderungan penetapan cakupan kerja tanpa batas. Seperti pada pengalaman Jumiyem, salah satu penulis, tugas-tugas pokok rumah tangganya dapat meluas dari pengasuhan anak majikan hingga menjaga toko majikan (lihat h.59-65). Perluasan tugas ini dengan sendirinya menciptakan kelenturan waktu kerja tanpa batas sebagaimana, antara lain, keharusan ia memasak di malam hari ketika majikannya baru tiba di rumah atau mengurusi majikan yang sakit di jam istirahat buruh (lihat h.66). 

Personalisasi hubungan kerja di kalangan PRT juga terjadi karena kehidupan sosial dan pribadi buruh melekat ke dalam rumah tangga majikan. Tidak jarang relasi kerja berbaur dengan relasi-relasi personal. Hubungan-hubungan ekonomi dalam jangka panjang dapat berubah menjadi ketergantungan sosial yang memelihara ketimpangan ekonomi dan relasi kuasa. Jumiyem mengekspresikan keadaan ini dengan ungkapan, “Sebagai PRT, seringkali bergantung pada belas kasih majikan. Biasanya, sebagian PRT menyebutnya dengan, ‘Untung majikannya baik’.” (lihat h.67). Sementara personalisasi dapat menciptakan ketergantungan-timpang yang subtil yang memberi kesan ‘menguntungkan’ buruh, ia juga dapat menghasilkan bentuk-bentuk tindakan despotik yang terbuka pada majikan-majikan yang opresif. 

Tulisan-tulisan di buku ini memperlihatkan bahwa para buruh dengan status yang tidak permanen, apalagi tanpa kontrak formal, mempunyai kerentanan yang jauh lebih tinggi dibanding pekerja tetap. Buruh-buruh kontrak, alih daya (outsourced), buruh magang, apalagi buruh rumahan dan PRT berada pada posisi marginal dan mudah tersingkir dari dunia kerja maupun pasar kerja. Meskipun begitu, adalah kurang tepat untuk memilah-milah buruh permanen dan buruh tidak-permanen berdasarkan derajat kesadaran subjektif tentang kedudukan sosial mereka di dalam suatu struktur hubungan produksi maupun konteks yang lebih luas. Sebab keduanya tidak selalu merupakan dua kategori yang terpisah secara ketat. Justru keduanya sering merupakan sebuah rentetan pengalaman bagi seorang buruh, yang terjadi secara bergantian, sebagai akibat dari keadaan struktur pasar kerja dan hubungan kerja yang semakin fleksibel dan rentan.  Lebih dari itu, yang menentukan apakah kesadaran itu dapat berkembang menjadi sebuah kapasitas menggugat adalah juga bagaimana mereka membangun interaksi dengan sesama buruh yang mempunyai pengalaman yang serupa. 

Kesadaran Kolektif dan Perlawanan 

Kesadaran tentang diri sendiri dan kedudukannya di dalam proses dan hubungan kerja menjadi elemen penting bagi para buruh dalam membuka jalan interaksi antara sesama buruh. Keadaan ini biasanya mempertemukan sesama yang mempunyai pengalaman atau keprihatinan yang serupa.  Interaksi ini memungkinkan pertukaran cerita dan pengetahuan tentang pengalaman masing-masing. Lewat interaksi ini pula, proses pembentukan identitas bersama terpenuhi. Para buruh garmen, elektronik, dan makanan menemukan teman-teman senasibnya di dalam pabriknya masing-masing. Begitu pula dengan para buruh tambang di Papua, atau buruh ritel, bahkan sesama PRT di komunitas-komunitas pemukiman di mana mereka bekerja. 

Perjumpaan dengan pengurus serikat adalah bentuk interaksi berikutnya yang sangat menentukan. Interaksi ini memungkinkan terbentuknya pengetahuan-pengetahuan baru tentang hubungan kerja, dan utamanya yang berkenaan dengan aspek hukum dari kerja. Hampir semua penulis menyiratkan bahwa wilayah hukum merupakan arena paling esensial dari pergulatan antara majikan versus buruh.  Dari sisi ini, para buruh mengenali bagaimana politik produksi dilakukan oleh manajemen atau majikan untuk menundukkan dan menarik keuntungan maksimal dari hubungan kerja. 

Proses belajar kolektif semacam inilah yang perlahan-lahan memberi kesadaran bukan hanya tentang kedudukan sosial mereka di dalam struktur kerja, tetapi juga kapasitas perlawanan mereka. Misalnya, ketika, Zaenal, penulis buruh ritel, menyaksikan rekan-rekannya pulang kerja sesuai dengan aturan jam kerja dan menolak lembur, ia mulai belajar tentang cara menjadikan jam  kerja normal sebagai bentuk pembangkangan kolektif terhadap irasionalitas dari manajemen risiko perusahaan (Lihat h.133-134).  Demikian pula saat Corneless, peserta magang di perusahaan tambang raksasa di Papua, melihat berkumpulnya para buruh untuk aksi mogok, ia sedang belajar tentang arti dari kekuatan kolektif dalam menentang ketidakadilan. Di beberapa kasus, keterlibatan dalam mogok mempunyai sumbangan besar dalam memahami kaitan antara pengalaman-pengalaman subjektif dalam pekerjaan dengan adanya kesempatan melakukan perlawanan kolektif. Ini memberi sumbangan baik pada pembentukan kesadaran maupun emosi keberanian untuk protes.  

Dalam kasus di Papua, praktik kekerasan aparat keamanan dalam pemogokan buruh, justru meningkatkan derajat kesadaran buruh yang lebih luas mengenai konflik yang mereka hadapi. Meski para pemogok terdiri beragam etnis, termasuk mereka yang berasal dari pulau Jawa, tindakan kekerasan tersebut telah memberikan nuansa politik bagi pemrotes, setidaknya bagi penulis yang merupakan warga dengan etnis Papua. Apalagi penggunaan narasi politik tentang OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang dituduhkan oleh aparat keamanaan justru memicu perluasan cakupan makna protes yang sebelumnya tidak relevan di dalam hubungan industri mereka (lihat h.8-9). Oleh karenanya adalah masuk akal ketika interseksi antara isu kekerasan dalam hubungan produksi dan kekerasan politik negara ini pada akhirnya menghasilkan bentuk-bentuk repertoire aksi yang bersifat etnis-nasionalis seperti penggunaan identitas merah putih yang dikombinasikan dengan penggunaan atribut adat, termasuk dukungan komunitas-komunitas adat (lihat h.16). Langkah ini dapat dibaca sebagai aksi kontra gerakan terhadap korporasi dan negara yang juga memainkan politik lokal guna meredam perlawanan-perlawanan buruh.

Bagi penulis Papua, dukungan keluarga dalam aksi pemogokan turut mengartikulasi signifikansi dari gerakan kolektif tersebut. Keterlibatan keluarga telah menghubungkan dunia kerja dengan wilayah-wilayah sosial yang bersifat personal. Keterlibatan mereka dilihat dukungan moral, selain bantuan logistik dalam aksi protes.  Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa keluarga selalu berperan sebagai unit sosial yang konstruktif di dalam membangun kesadaran kolektif kritis. Ilustrasi peran keluarga yang disinggung oleh para penulis buruh di sektor rumah sakit dan ritel  justru mendapati keluarga sebagai agen pendisiplinan kerja yang justru memungkinkan perusahaan memelihara apropreasi dan subordinasinya (kasus ritel), atau membatasi potensi aksi perlawanan terhadap manajemen yang despotik.  

Agama dalam Aksi-aksi Buruh

Di dalam membahas aksi perlawanan ini, ada ilustrasi menarik yang relatif konsisten dijumpai pada cerita-cerita pengalaman yang mereka sampaikan. Tidak sedikit buruh yang menuliskan pengalaman spiritualnya. Ini adalah pengungkapan penting yang tidak dapat dikesampingkan – yang barangkali jarang muncul pada catatan-catatan etnografis tentang gerakan buruh di Indonesia pada dekade-dekade Orde Baru hingga masa Reformasi. 

Marx memang mengesampingkan signifikansi peran agama di dalam perjuangan kelas buruh (Marx 1970), tetapi perkembangan gerakan-gerakan buruh di beberapa tempat menunjukkan keterlibatan elemen ini. Serikat buruh beridentitas Kristen muncul di beberapa negara Eropa (Hyman 2001, 3). Gereja juga memberikan dukungan signifikan, meskipun tidak sentral, di dalam gerakan buruh di Brasil (Seidman 1994) dan Filipina (Scipes 2018).  Demikian pula Islamisme mewarnai gerakan buruh di Turki ( Buğra 2002).   Indonesia di era kolonial dan awal pascakolonial, beberapa faksi gerakan buruh juga membawakan identitas agama – walaupun kemudian mengalami ketegangan-ketegangan serius dengan faksi Kiri (Hadiz 1997). 

Catatan yang ditemukan di dalam cerita ini, tentunya tidak sampai memperlihatkan peran agama sebagai sebuah elemen politik-gerakan yang esensial.  Namun mayoritas penulis tampak secara sadar melibatkan elemen keagamaan di dalam tindakan-tindakannya baik secara individual ataupun kolektif.  Agama di sini tampil sebagai elemen moral dalam sebuah perlawanan. 

Di dalam buku ini, penulis dari Papua menggambarkan bagaimana praktik keagamaan lintas keimanan turut menjadi salah satu elemen moral dari solidaritas untuk meneguhkan perjuangan dan perlawanan kolektif yang sedang dilakukan. Agama membantu memaknai ketidakadilan yang dihadapi sebagaimana ilustrasi penulis tentang respons nya terhadap represi yang dilakukan oleh aparat kepada para buruh ketika sedang melakukan ibadah bersama. Hal yang serupa terjadi ketika ia menafsirkan moralitas dari pemimpin serikatnya yang dikriminalisasikan dalam aksi protesnya (lihat h.18)  Sementara itu, doa, dzikir dan salat turut menjadi repertoire perlawanan dan medium pemaknaan terhadap tindakan aparat yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan (lihat h.23).  Dalam kasus ini pula, agama juga ditransformasikan sebagai dukungan politik gerakan melalui keterlibatan Gereja (GKI) dan organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah di kala eskalasi perlawanan meningkat ke jenjang politik negara (lihat h.30-31). 

Sementara itu para penulis lain menjadikan praktik agama sebagai ‘rasionalisasi moral’ dari perlawanannya atau perjuangannya untuk mempertahankan haknya.  Praktik agama juga digunakan untuk mengatasi kegamangan atas ketimpangan kelas yang dikonstruksikan oleh  politik produksi atau budaya kelas sosial, seperti pada kasus buruh rumahan yang berusaha memperoleh pengakuan haknya (lihat h.40). Nilai-nilai agama digunakan para buruh sebagai salah satu referensi moral di dalam mengevaluasi ketidakpastian-ketidakpastian yang mereka hadapi dalam pasar kerja, hubungan kerja, dan perselisihan-perselisihan yang terjadi di ranah tersebut. 

Elemen agama di dalam politik perlawanan buruh ini memang tidak bertransformasi menjadi sebuah kekuatan kolektif yang strategis sebagaimana terjadi pada pengalaman berbagai gerakan buruh di berbagai tempat yang saya sebutkan di atas. Oleh karenanya, terlalu dini pula untuk memprediksi apakah agama memang potensial untuk transformasi tersebut, mengingat residu dari ketegangan-ketegangan antara gerakan-gerakan beridentitas agama dan gerakan kiri yang pernah terjadi dalam perjalanan sejarah masih melekat di dalam tradisi-tradisi kultural maupun hubungan-hubungan sosial dan politik di masyarakat Indonesia masa kini.  Namun ilustrasi ini jelas bermanfaat untuk melihat bagaimana nilai-nilai dari praktik agama tetap mempunyai sumbangan di dalam melengkapi moralitas gerakan protes atau perlawanan terhadap ketidakadilan.  

Pengorganisasian Kolektif

Pengalaman konflik para penulis tidak serta-merta langsung mendorong pada kebutuhan atau kemunculan akan kesadaran berserikat. Tetapi, bagaimanapun pengalaman konflik membuka ruang untuk bersinggungan dengan aktivisme serikat, sekalipun dalam derajat yang minimal. Kondisi ini bisa dianggap merupakan sebuah pengenalan awal (prelude) yang signifikan bagi keterlibatan yang lebih jauh dan signifikan.  

Pengalaman para penulis menunjukkan bahwa keterlibatan dengan serikat sering didahului oleh skeptisisme atau tidak adanya pengetahuan yang memadai dari sebagian penulis tentang fungsi dan peran dari organisasi serikat.  Diskursus di antara teman-teman yang senasib maupun para pengurus serikat menjadi bagian penting untuk melihat hubungan antara pengalaman tentang ketidakadilan, konflik dan fungsi organisasi yang mewakili kepentingan bersama.  Kesadaran berserikat ini biasanya berkembang sejalan dengan keterlibatan mereka dalam perundingan-perundingan, kegiatan-kegiatan advokasi, pendidikan tentang organisasi dan hak, hingga pelaksanaan aksi-aksi kolektif yang diorganisasikan oleh serikat.  Pada beberapa penulis, keterlibatan dengan aktivisme serikat kemudian membawanya ke dalam skala aktivisme yang lebih luas, baik di tingkat pengorganisasian maupun di politik perjuangan yang lebih kompleks seperti yang dialami oleh penulis buruh tambang di Papua dan PRT di Yogyakarta. 

Selain serikat buruh, ornop/LSM juga memainkan peran strategis di dalam menopang gerakan buruh. Catatan beberapa penulis di sini menguraikan kontribusi peran ornop di dalam menghadapi liberalisasi hubungan kerja yang marak di era ekonomi pasar sekarang ini.  Ornop menjembatani kesulitan – jika tidak bisa sepenuhnya disebut kegagalan – serikat di dalam menjadikan dirinya sebagai kendaraan yang representatif bagi berbagai kategori buruh yang diciptakan oleh korporasi.  Pada kasus buruh industri berbasis rumahan, ketika struktur produksi didesentralisasikan oleh modal kepada buruh-buruh di komunitas pemukiman, serikat kehilangan rantai representasinya di wilayah ini. Menghadapi  strategi politik produksi yang demikian, ornop seperti Yasanti mengambil peran sentral dalam membangun organisasi yang berbasis komunitas itu. Keberadaannya di luar struktur hubungan industri di satu sisi memang membatasi beberapa fungsi advokasi di dalam melindungi kepentingan buruh rumahan di hadapan perusahaan. Namun, organisasi ini justru memiliki keluwesan untuk menghindari kontrol korporasi di dalam memberikan pendidikan tentang hak buruh, mengangkat isu berbasis gender yang relatif terpinggirkan ke arena yang lebih luas – seperti pemda atau jaringan buruh rumahan antar daerah.  Mereka juga membantu di dalam membangun kontra-narasi tentang hak buruh rumahan dan pengakuan status kerja, serta menentang konsep kemitraan yang secara hegemonik dikonstruksikan oleh korporasi maupun pemerintah (daerah).  Di Papua, dengan dukungan berbagai ornop, beberapa buruh dapat bergerak keluar dari wilayah konvensional hubungan industri, serta membangun jejaring yang luas lintas wilayah. Ini mengisi kekosongan wilayah aktivisme yang tidak dimasuki oleh organisasi serikat buruh.  

Penutup

Keseluruhan pengalaman buruh yang dituangkan dalam buku ini menggambarkan sebuah lingkaran setan dari kerentanan dunia kerja di dalam rezim perburuhan saat ini. Sejak memasuki pasar kerja, mereka telah dihadapkan berbagai ketidakpastian proses yang diindikasikan seperti beban biaya, informalisasi prosedur, perubahan kontrak kerja, dan sebagainya. Begitu masuk ke dalam pekerjaan, mereka menjumpai ketidakpastian jaminan kerja, ketidaksetaraan upah serta beban dan jam kerja, hingga manajemen yang korup serta personalisasi kerja yang eksesif. Belum lagi bias gender merwanai masalah sejak proses di pasar kerja maupun tempat kerja. 

Tanpa kesadaran kritis tentang keadaan ini dan membangun respons kolektif serta pengorganisasian yang melembaga, sangat besar kemungkinan para buruh hanya akan berada di dalam pusaran sosial ekonomi yang stagnan. Para buruh hanya akan berputar terus-menerus dalam lingkaran spiral dari pasar kerja dan tempat kerja, tanpa ada perbaikan kondisi kerja dan kehidupan. Ini adalah realitas yang yang tidak pernah diperhitungkan dalam dari aneka diskursus, keyakinan ideologis, dan jargon-jargon ekonomi neoliberal.  

Cerita dari tangan pertama para buruh ini amat penting bagi berbagai ragam pembaca, apakah ia seorang rekan buruh, aktivis serikat atau ornop, peneliti dan akademisi, jurnalis, bahkan pejabat publik. Ini adalah cerita tangan pertama yang menggambarkan bagaimana cara kerja kapitalisme atau kekuasaan pemberi kerja (majikan) beroperasi di dalam keseharian dunia kerja; bagaimana mesin-mesin dan keputusan-keputusan manajerial memberikan dampak secara sosial ekonomi kepada para buruh di berbagai macam sektor.  Dampak yang dihasilkan sering tampak subtil dan terabaikan sebagai akibat bias perbedaan perspektif dan kedudukan sosial, ekonomi, atau politik dari masing-masing pihak dalam memahami situasi ketenagakerjaan di Indonesia, padahal efeknya signifikan bagi kehidupan angkatan kerja. 

Bagi para buruh pembaca, ilustrasi ini membantu di dalam menemukan benang merah antara kisah rekan-rekan penulis ini dengan pengalaman-pengalaman pribadi yang sedang dijalani. Benang merah tersebut dapat memberikan proyeksi bagi pemahaman-pemahaman yang lebih kritis tentang dunia kerja maupun bentuk-bentuk pengorganisasian potensial yang dapat dibangun.[]

Catatan kaki

  1. Tulisan ini merupakan kata pengantar untuk buku Berpencar, Bergerak!: Pergolakan Perlawanan Harian Buruh
    di Delapan Sektor Industri. Diterbitkan oleh TAB dan LIPS. Yogyakarta dan Bogor. 2024.
    ↩︎
  2. Diskusi mengenai ini lihat juga Hadiz (1997: 5-6) ↩︎
  3. Observasi penulis melalui penelitiannya pada kategori buruh rumahan yang sama di Semarang pada tahun 2015-2017. ↩︎

Penulis

Hari Nugroho
Pengajar di Departemen Sosiologi Universitas Indonesia