Tulisan ini merupakan bagian penutup dari buku Seri Buruh Menuliskan Perlawanannya III dengan judul Berpencar, Bergerak!: Pergolakan Perlawanan Harian Buruh di Delapan Sektor Industri, yang akan segera terbit.
Pada 15 Juni 2023, dalam acara yang diberitakan luas, Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato sambutan saat meluncurkan rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.[1] RPJPN adalah peta strategi pemerintah guna mencapai “Indonesia Emas 2045”. Pidato sambutan tersebut menandai awal dari rencana jangka panjang pemerintah, dan jejak masa berakhirnya jabatan Joko Widodo (2014-2019; 2019-2024).
“Indonesia Emas 2045” ditetapkan berkenaan dengan peringatan seratus tahun kemerdekaan. Targetnya adalah meningkatkan Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita.[2] Saat ini, PNB per kapita sebesar US$ 4.580 (per 2022) sehingga Indonesia adalah “negara pendapatan menengah” (middle-income country). “Indonesia Emas 2045” hendak menaikkan PNB per kapita tersebut sebesar US$ 21.000 (per 2037) dan mencapai US$ 30.300 (per 2045), agar Indonesia menjadi “negara pendapatan tinggi” (high-income country). Dipercaya bahwa ketimpangan ekonomi akan berkurang, dan daya saing sumber daya manusia Indonesia akan meningkat, sehingga kemiskinan akan menjadi kisah masa lalu. Pada akhirnya, Indonesia diyakini akan menjadi salah satu negara adidaya Asia, bahkan salah satu dari lima negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Indonesia akan punya kekuatan dan pengaruh regional yang meluas dalam menentukan perkembangan dunia internasional.
Tujuan “Indonesia Emas 2045” tentu sungguh mengagumkan. Tak heran pula, hal itu dianggap sebagai cita-cita bangsa, sebuah perwujudan hasrat kita bersama, yang mesti disokong oleh semua warga negara Indonesia, tak terkecuali. Tak heran pula, calon presiden selanjutnya (2024-2029) tetap wajib taat pada RPJPN agar Indonesia dapat mencapai tujuan “Indonesia Emas 2045” tersebut.[3] Pembangunan ekonomi menjadi pekerjaan rumah bagi presiden terpilih selanjutnya, dengan memastikan pertumbuhan ekonomi sekurang-kurangnya harus sebesar 5,6% – 6,1% selama periode 2024-2029. Namun, bagaimana tujuan pertumbuhan ekonomi tersebut hendak dicapai? Dan terlebih pula, siapa yang menopangnya?
Model Pembangunan Ekonomi Masa Kini
Dalam kenyataannya, bukan Indonesia saja yang ingin menjadi “negara pendapatan tinggi”. Serupa “Indonesia Emas 2045”, Vietnam juga punya ambisi menjadi negara maju per 2045, yang menandai peringatan 100 tahun berdirinya Republik Demokratik Vietnam (yang kemudian menjadi Republik Sosialis Vietnam).[4] Selain itu, India punya “India@2047” yang mencanangkan India sebagai negara maju per 2047, bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaannya.[5] Jadi, banyak negara punya ambisi serupa untuk meraih kemakmuran nasional.
Perlombaan untuk menjadi negara maju ini mengandalkan model pembangunan ekonomi yang bersendikan “keunggulan kompetitif” (competitive advantage) dalam dunia persaingan internasional. Persaingan internasional diamini sebagai hal yang lumrah dan malah, menjadi resep unggulan guna menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Tanpa persaingan, tidak akan ada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang melesat (sebesar 9% – 13%) dianggap sebagai bukti resep persaingan tersebut mujarab, sehingga sering digembar-gemborkan sebagai contoh yang patut ditiru.
Mengekor Tiongkok, banyak negara dipaksa untuk menyusul ketertinggalannya lewat pertumbuhan ekonomi yang dipercepat. Termasuk juga Indonesia. Usai krisis ekonomi 1997 dan sejak Reformasi 1998, Indonesia dipaksa bersaing untuk tetap dapat mempertahankan pertumbuhan ekonominya, seiring persaingan internasional yang makin ketat. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi diyakini mampu menjamin stabilitas politik dalam negeri. Pada gilirannya, politik yang stabil punya peran penting dalam proses pembangunan ekonomi itu sendiri. Oleh karena itu, dengan didukung kepastian stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi Indonesia melaju pasti. Di atas kertas, kinerja ekonomi nasional memang tampak mengesankan.
Ditopang pembangunan infrastruktur, ekonomi Indonesia tumbuh selama dua dasawarsa terakhir (2002-2022), meski sempat melesu akibat pandemi Covid-19. Agar selanjutnya dapat menjalankan RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) dengan mulus, Indonesia didorong untuk menciptakan iklim usaha yang bersahabat bagi investasi asing.[6] Pemerintah menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tidak semata-mata bergantung pada kebijakan moneter. Oleh karena itu, perlu ada perangkat yang mampu menjamin hal tersebut.
Perangkat Utama: Undang-Undang Nomor 11/2020
Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan pentingnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai “terobosan kebijakan” yang mampu menjamin kelancaran investasi.[7] Undang-Undang tersebut adalah perangkat utama agar iklim investasi di Indonesia menjadi menarik di mata pengusaha. Tak heran, pemerintah tergesa-gesa mengesahkan, meloloskan, dan bersikeras mempertahankan Undang-Undang tersebut, sekalipun ditolak oleh kaum buruh dan masyarakat umumnya.[8]
Hal serupa juga terjadi di banyak negara yang menempuh model pembangunan ekonomi yang dipercepat. Di India, pemerintah melakukan perubahan Undang-Undang sehingga pengusaha, terutama investor asing, dapat memperlama jam kerja buruh, dari 8 jam menjadi 12 jam per hari.[9] Serikat buruh menolak perubahan tersebut sehingga akhirnya pemerintah menundanya. Meski begitu, pemerintah tetap memandang hal tersebut perlu guna pertumbuhan ekonomi nasional. Di Malaysia, pemerintah mengajukan perubahan atas Undang-Undang tentang Serikat Buruh.[10] Koalisi serikat buruh Malaysia menolak perubahan tersebut, tetapi pemerintah tetap mengesahkannya. Jadi, perubahan Undang-Undang di bidang perburuhan adalah pertanda kebijakan pemerintah yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi.
Undang-Undang Nomor 11/2020 menjadi dasar “kebijakan buruh murah” sebagai strategi memancing investasi asing di kancah persaingan internasional. Hal ini terlihat dari dua aturan turunan Undang-Undang tersebut, yakni: Peraturan Pemerintah Nomor 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (singkatnya PKWT-PHK), dan Peraturan Pemerintah Nomor 36/2021 tentang Pengupahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 35/2021 memberi kemudahan bagi pengusaha untuk melakukan PHK, dan mempersulit buruh untuk memperoleh uang pesangon selayaknya. Peraturan Pemerintah Nomor 36/2021 merugikan buruh karena penetapan upah minimum akan semakin jauh dari standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Jadi, Undang-Undang Nomor 11/2020 (dan aturan turunannya) memperlemah posisi buruh.
Dunia kerja yang makin tak pasti
Sebagai perangkat yang menjamin investasi, Undang-Undang Nomor 11/2020 justru juga mengukuhkan “informalisasi ekonomi”. Artinya, banyak orang bekerja dalam kondisi kerja yang rawan, rentan, dan tak tentu. Jumlah buruh yang bekerja di sektor formal (sebagai buruh tetap) juga menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa selama periode 2022-2023, jumlah buruh sektor informal naik dari 59,9% menjadi 60,1%, sementara pangsa buruh formal menurun dari 40% menjadi 39%.[11] Ditegaskan pula bahwa hal ini malah sudah terlihat jelas sejak 2020. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 11/2020 yang digadang-gadang sebagai jalan “menciptakan kerja,” malah mendorong buruh masuk dalam sektor informal.
“Informalisasi ekonomi” ini semakin meluas seiring dengan kemajuan teknologi, terutama teknologi informasi. Kini, banyak orang muda didorong (dipaksa?) untuk menjadi “mitra kerja” dalam dunia kerja berbasis algoritma. Mereka sesungguhnya terjebak menjadi buruh informal, sebab mereka dibayar murah, bekerja serabutan, dan tidak punya kepastian kerja.
Akibat makin tergerusnya kerja permanen, kerja kontrak dan outsourcing telah menjadi kelaziman di berbagai bidang lapangan pekerjaan yang tersedia bagi generasi muda. Ironisnya, hal ini justru yang dianggap oleh pemerintah sebagai “terobosan kebijakan” dalam “menciptakan kerja”. Pemerintah seakan tidak peduli sekalipun pekerjaan yang “tercipta” tersebut berupa kerja kontrak dan outsourcing jangka pendek dan tak tentu. Hal ini sesungguhnya melanggengkan penindasan atas buruh (muda) sebab menjadikan mereka sebagai buruh kontrak/outsourcing/informal terus-menerus sepanjang usia mereka. Sekalipun mereka bekerja keras (dan lembur tiap hari!), upah mereka di bawah Kebutuhan Hidup Layak dan tingkat inflasi, sehingga mereka tidak akan dapat membangun masa depan mereka.
Salah satu akibat dari model pembangunan ekonomi yang dipercepat, Pemerintah Indonesia mengalami kesulitan membangun sistem perlindungan sosial yang mumpuni. Perlindungan sosial yang tersedia dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) masih bersifat tambal sulam. Jaminan Pensiun terbatas bagi buruh sektor formal, padahal “informalisasi ekonomi” telah meluas seperti yang dicatat oleh BPS. Diperkirakan pula, berbagai persoalan perlindungan sosial akan semakin pelik seiring dengan perubahan demografi. Oleh karena itu, alih-alih menjadi negara maju per 2045, malah mungkin Indonesia akan mengalami fenomena “menua sebelum menjadi kaya” (getting old before getting rich). Artinya, akan lebih banyak orang yang tetap miskin hingga Lansia sekalipun telah bekerja seumur hidupnya. Dan sebagian besar, mereka tidak mendapatkan perlindungan Jaminan Pensiun.
Buruh Berserikat
Menghadapi model pembangunan ekonomi yang dipercepat, buruh berserikat adalah keniscayaan. Kisah-kisah yang disajikan dalam buku ini memperjelas bahwa perlawanan buruh berawal dari kesadaran berserikat. Membangun serikat menjadi dasar bagi buruh guna mengenali kondisi kerja yang menindas sehingga mereka mampu menuntut perubahan-perubahan agar menjadi lebih baik dan menjamin penghidupan yang layak.
Seperti yang terungkap dalam banyak kisah di buku ini, buruh belajar berserikat secara sporadis, dan “di luar sistem”, malah juga secara diam-diam antarteman. Berserikat memang tidak diajarkan di bangku sekolah, sebab pendidikan yang ada hanya untuk menciptakan buruh-buruh yang patuh, tunduk, dan mudah diatur. Belajar berserikat adalah “pendidikan yang membebaskan”, pendidikan yang menyadarkan buruh akan kekuatannya untuk mengubah dunianya.[12]
Berserikat adalah kunci perlawanan. Dengan berserikat, buruh mampu memperjuangkan hak-hak dan kepentingannya, secara lebih efektif dan tepat-guna. Berserikat tidak hanya terbatas bagi buruh pabrik. Mereka yang bekerja di pertambangan, di rumah sakit, juga di dunia ritel perlu berserikat. Dengan berserikat, buruh rumahan menjadi semakin terlindungi.
Begitu juga, Pekerja Rumah Tangga (PRT) telah berserikat untuk menuntut perlindungan. Sayangnya, pemerintah enggan mengakui PRT sebagai buruh, menetapkan ketentuan upah minimum bagi PRT, membatasi jam kerja PRT, dan mewajibkan majikan menanggung iuran BPJS bagi PRT. Sebaliknya, tampaknya pemerintah sengaja memelihara eksploitasi atas PRT sebagai kelompok buruh yang paling rentan, marginal, dan sulit terorganisir. Ketertindasan PRT adalah ketertindasan semua kaum buruh. Kita semua perlu mendukung pembebasan PRT. Ini menjadi mata-rantai perekat bagi kita semua dalam membangun, memperluas, dan memperkuat perjuangan gerakan buruh. Ada suara dan keringat buruh di balik gemerlap impian “Indonesia Emas 2045”.
Catatan Kaki:
[1] Simak pidato lengkap: https://www.setneg.go.id/baca/index/sambutan_presiden_joko_widodo_pada_peluncuran_indonesia_emas_2045 Tersedia juga rekaman video: https://www.youtube.com/watch?v=0Ap21shQH3M
[2] Secara umum, PNB per kapita adalah ukuran jumlah pendapatan yang diperoleh per orang di suatu negara. Ukuran ini dapat dipergunakan untuk menilai standar dan kualitas hidup penduduk.
[3] Simak: https://tirto.id/bappenas-visi-misi-capres-wajib-taat-rpjpn-2025-presiden-jokowi-gQR3.
[4] Simak, misalnya: https://en.vneconomy.vn/vietnam-set-to-become-developed-nation-by-2045.htm
[5] Simak, misalnya: https://www.investindia.gov.in/team-india-blogs/developed-india-vision-progress-towards-2047
[6] Simak: https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2021/12/16/indonesia-economy-grew-in-2021-despite-covid-19-will-accelerate-in-2022-world-bank-report-says
[7] Simak: https://ekonomi.bisnis.com/read/20201104/9/1313375/sentil-ekonom-soal-uu-ciptaker-sri-mulyani-ingatkan-kisah-ini
[8] Pada November 2021 Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun. Ketimbang memperbaiki UU Cipta Kerja yang inkonstitusional, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dengan alasan kemendesakan. Di waktu yang sama, DPR dan Pemerintah merevisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU P3), yang menjadi landasan inskonstitusionalitnya UU Cipta Kerja. Akhirnya, Perpu Cipta Kerja disahkan pada Maret 2023 (editor).
[9] Simak: https://www.ft.com/content/6c78d1d4-9120-4335-a0f6-0950ba3920a0
[10] Simak: https://www.industriall-union.org/malaysias-new-bill-risk-crippling-unions. Simak juga: https://www.malaysiamarketing.my/group-criticises-amendment-to-trade-unions-act/
[11] Simak: https://validnews.id/ekonomi/tumbuh-223-jumlah-pekerja-indonesia-capai-1386-juta-orang
[12] Simak: Paulo Freire, Pendidikan yang Membebaskan (1968).
Penulis
-
Jafar Suryomenggolo
-
Penulis buku Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal (Marjin Kiri, 2015) dan Rezim Kerja Keras dan Masa Depan Kita (EA Books, 2022).